Roleplay 1: Sebelum Senja Pergi
Catatan:
Rekapan roleplay ini diedit sesuai sudut pandang J. Sehingga detail-detail atau kejadian yang terjadi pada karakter lain tidak tertulis di sini.
Silahkan mampir ke cerita masing-masing karakter untuk sudut pandang yang berbeda:
Into Dust - zzztare
Kabur - Catsummoner
[Colony AX0931]
J tidak dapat berhenti tersenyum semenjak dia sampai di titik pertemuan. Mobil-mobil besar berjajar itulah yang membuatnya tidak berhenti tersenyum.
Selama ini J hanya bisa memandang tanpa bisa menaikinya. Tapi kini dia bisa menaikinya. Pasti menyenangkan, pikirnya.
Saking senangnya, J bahkan tidak menyadari ada dua orang lainnya yang tidak memakai seragam AYX, menandakan bahwa mereka datang dari koloni yang sama dengannya.
Senyum J melebar melihat kedua orang itu, dia punya teman seperjalanan ternyata. J harus mengajak mereka berbicara.
J menghampiri salah satu dari mereka yang membawa papan seluncur. Tapi batal begitu melihat dia mendelik ke arahnya.
"Dia nanti saja deh." J bergumam pelan sambil berbalik, berganti menghampiri seorang perempuan yang tubuhnya sangat tertutupi lilitan kain. Mungkin saja dia lebih asik diajak bicara.
"Hai! Datang untuk ke Libertè juga?" Sapa J.
Ven melonjak, refleks menghindar. "Apa urusanmu?"
"Eh?" J mematung, dia merasa sudah mengambil langkah yang salah. Tapi sudah terlanjur berbicara, tidak bisa pergi sekarang.
"Euh, bukan urusanku sih. Hanya mencari topik pembicaraan, haha." J tertawa canggung sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Tapi, tapi. Siapa tau kita jadi rekan kan? Jadi ayo kenalan, aku J." J mengulurkan tangannya
Ven malah merogoh jubahnya, mengeluarkan senjatanya—lalu mengacungkan bagian tongkatnya.
"Ven. Rekan apa? Kriminal?"
J nyaris mengangkat kedua tangannya begitu melihat Ven mengeluarkan senjatanya. Lantas bernapas lega melihat hanya bagian tongkatnya yang teracungkan.
"Kriminal juga boleh." J nyengir, mengenggam tongkat Ven kuat. perempuan di depannya ini defensif sekali.
Tiba-tiba, J menarik tongkat yang di genggamnya. Membawa Ven mendekati Pria yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Ayo kita kenalan dengan pria di sana juga!"
"Kamu saja. Aku enggak butuh kenal dia." Ven menarik lagi senjatanya dan menyimpannya, lantas berjalan ke mobil.
J berlari kecil mendekati Ven.
"Eit, tidak bisa." J menarik lengan baju Ven, membawanya sekali lagi. Lagipun, sepertinya Ven akan marah kalau dia mengenggam lengannya.
Kali ini J sedikit berlari dan mempererat genggamannya pada lengan Ven. Jangan sampai lepas.
J membawa Ven mendekati Pria itu. Tapi anehnya, Pria itu malah melangkah pergi. Seakan kabur dari J dan Ven.
"Jangan tarik aku." Ven menyentak J, lalu berlari ke arah pria itu dan berseru. "Tunggu, hei!"
J terkejut saat Ven menghempas tangganya. Belum lagi dengan pria di sana yang tiba-tiba kabur.
J mematung, dirinya tidak mampu berbicara. Dirinya tertinggal sendirian sekarang.
"Seharusnya tidak begini" gumamnya melihat Ven yang mengejar Pria itu.
Tidak ada pilihan lain dan tidak mau ditinggal, J memilih mengikuti mereka dari belakang.
Dari belakang, J bisa melihat Pria itu berbicara kepada petugas AYX. Entah membicarakan apa, tapi setelahnya Pria itu sudah lebih dulu menaiki mobil tanki yang bagian tengah tankinya terbuka, menyediakan tempat untuk duduk.
"Apa yang kalian lakukan? Cepat masuk!" Seruan yang juga dari petugas AYX terdengar. Lantas setelahnya Ven berlari masuk ke dalam mobil.
Melihat Ven dan Pria itu yang sudah mengambil posisi di dalam mobil, dan sudah diteriaki untuk masuk juga. Akhirnya J memilih masuk.
Ven dan Pria itu duduk saling berjauhan, membuat J bingung harus duduk dimana.
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa detik, J memilih duduk di tengah-tengah mereka. J berpikir, akan lebih mudah mengobrol dengan mereka jika duduk di tengah daripada duduk berjauhan.
"Oh, Hai. Aku J, salam kenal. Omong-omong kenapa kau tadi lari?" J tersenyum ramah sembari mengulurkan tangannya pada Pria di sebelahnya, mengingat dia belum tahu nama Pria itu.
"Uhh ... Ya, sama-sama," gumam Ducky canggung pada J. Dengan enggan dia mengambil tangan yang terulur dan menyalami sesingkat mungkin. "Ducky," tambahnya, memperkenalkan diri
J tersenyum kecil, senang karena uluran tangannya kali ini diterima dengan tangan lagi—bukan tongkat.
Sepertinya Ducky tidak ingin menjawab mengapa dia lari tadi. Ya sudahlah, J hanya mencari bahan pembicaraan. Dia masih bisa memilih topik lain.
"Sepertinya kau bisa berseluncur ya? Papan seluncurmu itu terlihat keren!" J berseru semangat melihat papan seluncur di samping Ducky. Dari dulu J selali ingin punya satu, tapi tidak kesampaian.
"Ini ... tak susah. Bentuknya aneh karena rangkanya bisa dilepas dan dilipat. Ada pedal tambahan, tapi macet. Biasanya kutarik kalau- ...." dia menghentikan penjelasannya. Sepertinya tanpa sadar Ducky menjelaskan lebih banyak karena tak terbiasa beramah-tamah.
Ducky melirik pada Ven yang sedari tadi diam-diam menatap tajam pada mereka.
"Umm. Cewek terbungkus kain di situ, mantanmu? Kelihatannya dia marah, kau tak ingin melakukan sesuatu?" bisiknya pada J.
"Apa? Tunggu, tidak kok! Kami baru berkenalan tadi." J buru-buru menjawab sembari melirik Ven. Jangan sampai dia ditodong senjata milik Ven.
"Ah, aku salah sangka. Kalian bertengkar dengan akrabnya jadi kukira ada sejarah panjang atau pendek di antara kalian." Ducky menjawab sembari tersenyum dengan cara yang aneh. Entah apa maksudnya.
"Eh, oh iya. Apa ada alasan tertentu kalian mau ke Libertè?" J mengalihkan pembicaraan, menatap Ven dan Ducky bergantian. Tapi setelahnya dia malah merutuki dirinya sendiri karena pertanyaannya jadi seperti wawancara.
Seharusnya aku mencari topik yang lebih baik! Jeritnya dalan hati.
Wajah Ducky menyunggingkan senyum standar. Tak terlihat karena tersembunyi di balik masker, tetapi orang yang awas akan bisa melihat bagaimana sudut matanya yang tak tertutup berkerut.
"Apa lagi kalau bukan karena ingin hidup lebih baik di Libertè?"
J mengangguk-angguk. "Ah iya benar. Hidup di sana pasti lebih terjamin." J menyetujui ucapan Ducky. Walau J pergi ke sana karena alasan yang lebih sederhana, tapi memang poin plusnya J bisa hidup lebih baik di Libertè.
"Hidup," jawab Ven singkat. Ucapannya begitu tiba-tiba. Membuat J cukup terkejut dengan Ven yang tiba-tiba menjawab pertanyaannya. Dia pikir Ven tidak akan menjawabnya karena sebelumnya pun begitu.
"Kalau begitu aku pun karena ingin hidup." J tersenyum pada mereka berdua lantas melanjutkan kalimatnya,"dan alasan lainnya karena aku ingin menempati janjiku pada seseorang." Senyum J semakin melebar, sengaja ingin menutupi perasaan sedihnya mengingat kakaknya.
Jangan sampai dia terlihat murung di depan teman-teman barunya.
"Semua sudah naik?" seru salah seorang pegawai AYX.
"Siap! Semua sudah naik," jawab Ducky.
"Pintu akan ditutup, kalian nanti kunci dari dalam juga. Jangan dibuka kecuali kami suruh lewat intercom di situ!" jelas pegawai AYX seraya menunjuk pada kotak loud speaker di dinding yang menempel ke area tempat duduk supir.
Namun, ucapan pegawai AYX yang memberitahu pintu mobil akan ditutup tidak terdengar oleh J.
Setelah kalimat terakhirnya tadi, J banyak diam. Tiba-tiba emosinya terasa tidak stabil dan acak-acakan. Seakan air mata bisa tumpah kapan saja. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi.
"Woah." J baru sadar mobil sudah bergerak begitu sesuatu membentur bahunya. Ternyata Ven.
"Kau tidak apa?" Melihat Ven yang sedikit kesusahan membetulkan posturnya karena mobil yang bergerak cepat dan tidak stabil, J membantu Ven kembali duduk.
"Makasih, rekan kriminal. Sekarang, anggap aku tak ada." Ven tiba-tiba mengembuskan angin dari mulutnya sampai kain yang dia lilit sebagai masker menggembung.
Mulanya J terdiam melihat reaksi Ven. J tidak mengira Ven sungguhan menganggapnya rekan kriminal, padahal sebelummya J hanya bergurau.
J hendak menyangkal hal tersebut dan menjelaskan pada Ven, bahwa dia tidak ingin lagi menjadi pencuri jika sampai di Libertè nanti. Tapi batal begitu melihat Ven memalingkan wajah dan menghela napas hingga lilitan kain pada mulutnya menggembung.
Melihatnya, J tertawa kecil. Reaksinya lucu menurutnya. Yah, sepertinya rekan kriminal bohong-bohongan pun tidak masalah.
Tapi setelahnya Ven kembali memasang raut serius, bahkan mengisyaratkan J untuk menyingkir. J menurutinya, ikut menatap arah yang ditatap Ven, menatap Ducky.
"Pak—Ducky, apa yang membuat Anda kemari? Aku sudah bersumpah tidak mau berurusan dengan Anda lagi. Anda tidak menguntitku, 'kan?" tuduh Ven tajam.
Pertanyaan Ven pada Ducky membuat J terperangah, "kalian saling kenal ternyata!?" J menutup mulutnya tidak percaya
"Umm, maaf, Non. Apa kita pernah bertemu?" Balas Ducky, kebingungan.
J jadi semakin bingung sekarang, jadi sebenarnya mereka pernah bertemu atau tidak?
"Kuharap kita tak pernah bertemu, termasuk sekarang ini." Ven mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Biar aku tidak salah sangka, beritahu apa tujuan Anda berada di sini, sejujur-jujurnya. Kalau tidak ... aku akan membuka kunci pintu ini dan mendorong Anda keluar." Lanjut Ven lagi.
Mendengar akhir dari kalimat yang diucapkan Ven membuat Ducky melongo sesaat, sebelum kemudian tergelak. Tawanya kencang sekali, sampai perlu menarik lepas maskernya karena sesak.
"Boleh juga ancamanmu, Non!" ujar Ducky di sela-sela gelaknya. "Kalau bisa sih, aku juga dari tadi mencari cara untuk melompat keluar, sayangnya tak seorang pun dari kita bisa keluar dari sini tanpa izin pegawai AYX."
Ducky menunjuk pada kunci yang menjadi ancaman.
"Selain kunci itu, masih ada kunci lain di luar yang hanya bisa dibuka oleh para pegawai AYX di ruang supir, jadi ancamanmu tak ada giginya. Kau paham?"
"Begini saja. Aku minta maaf atas apapun yang kuperbuat dulu. Aku akan ganti kerugianmu, nanti setelah bayaran AYX masuk ... Sekarang kita kerja sama dulu setidaknya sampai dengan urusan sebagai pekerja untuk AYX ini selesai, setuju?" Tukas Ducky.
Sementara itu, sedari tadi J hanya bisa diam menonton. Ven terlihat marah sekali sampai J tidak bisa berkata-kata.
Tapi perkataan Ducky yang mengatakan ancaman Ven tidak punya gigi membuat dahi J merengut.
Sejak kapan ancaman punya gigi? J malah semakin bingung.
"Kalau mau kerja sama, aku tetap harus tahu tujuan Anda." J menoleh pada Ven yang membalas kalimat Ducky.
"Kalau enggak, aku tetap mau coba buka pintu ini sekarang juga. Andai ada apa-apa, Anda yang tanggung jawab. Anda yang paling tua, 'kan?"
Tangan Ven benar-benar bergerak ke arah pintu, bersiap membuka kuncinya.
Melihat itu, J bangkit. Buru-buru mencegah Ven membuka pintu itu. Jangankan Ducky yang didorong keluar, bisa-bisa Ven jatuh duluan saat membuka pintu. Karena mobil sedang melaju kencang.
"Tunggu, Ven! Jangan dibuka." J berseru sembari menghalangi Ven membuka dengan badannya.
"Oke." Ven tiba-tiba menyetujui J dan berbalik, hendak kembali ke sudut tempatnya duduk tadi sebelum terdistraksi guncangan mobil.
Semudah itu?
Sejujurnya J bernapas lega pintu tidak jadi dibuka oleh Ven. Tapi Ven yang menurut begitu saja, membuatnya terkejut.
Padahal J sudah siap jika Ven tiba-tiba menodongkan lagi senjatanya karena tidak mau dipaksa.
Tapi melihat Ven sudah berbalik, hendak kembali ke tempatnya. J merasa tidak perlu memikirkan hal tadi lagi.
"Kalian berdua terlalu banyak membuang tenaga untuk keributan yang tak perlu," keluhan Ducky membuat J menoleh padanya.
"Bersemangat itu bagus, tapi jangan sampai malah merusak kesempatan yang jarang-jarang ada ini!"
J tertegun mendengarnya, jangan terlalu bersemangat, kata Ducky. Itu permintaan yang susah sekali bagi J. Apalagi jika dia sudah merasa bosan di dalam mobil nanti. J akan melakukan segala hal agar rasa bosannya hilang.
Tapi J memilih menurut, dia juga tidak ingin ditendang karena tidak bisa diam. Terlebih, sendirian di padang gurun itu menyebalkan.
J pernah, tapi kapok. Bagaimana tidak? Selama berhari-hari dia hanya seorang diri. Tidak ada yang bisa diajak bicara atau bermain. Saking kesepiannya, J hampir gila karena berbicara sendiri atau berbicara dengan pasir yang dipijaknya atau angin yang jarang-jarang berhembus.
Akhirnya J kembali duduk dan Ducky tiba-tiba menyodorkan sesuatu. Daging kadal gurun kering.
J sumringah, sudah beberapa hari ini dia tidak makan daging kadal gurun. "Terimakasih, Ducky!" J menerimanya dengan senang hati.
"Memang cuma daging kadal gurun kering, tapi lumayan untuk menambah sedikit nutrisi. Kalian mungkin butuh ini untuk menenangkan diri!"
Ducky merogoh tasnya lagi dan mengeluarkan sekerat daging untuk dirinya sendiri, lalu mulai mengunyah.
"Kalian boleh tak percaya padaku, aku saja tak terlalu percaya pada diriku sendiri. Tapi kita sama-sama butuh pekerjaan ini ... Jadi kuharap kalian berdua bisa sedikit bersabar sampai dengan semua ini selesai."
"Aku agak enggak menyangka orang seperti Anda juga bisa berbagi," ucap Ven sembari menerima daging kadal gurun dari Ducky. Nadanya masih sinis walau agak melunak. "Jadi, kenapa Anda butuh pekerjaan ini?"
J mendengarkan sembari mengunyah daging kering bagiannya, sepertinya Ven masih penasaran.
"Ven masih penasaran ya? Kenapa kau tidak percaya alasan Ducky sebelumnya?" J bertanya tidak mengerti. Menurut J alasan Ducky tidak terlihat seperti kebohongan.
"Jawabanku yang tadi sengaja kupilih karena banyak yang berpikiran serupa. Tidak salah, tapi memang tidak tepat juga. Mungkin karena itu dia tak percaya." Akhirnya Ducky bicara setelah menelan makanannya.
J mengangguk-angguk mengerti mendengar penjelasan Ducky. Tapi setelahnya fokusnya pada pembicaraan hilang.
Entah karena daging keringnya yang terlalu enak atau apa, tapi pikirannya terfokus pada apa yang dimakannya.
Karena tau-tau saja saat J selesai menghabiskan daging keringnya, Ven sudah menjauh dan duduk membelakangi J dan Ducky. Tanpa J mengerti apa yang tengah terjadi.
Hening. Tidak ada yang memulai percakapan lagi, dan J mulai merasa bosan. J memainkan jarinya, membuat pola tertentu di lantai mobil yang dingin.
Satu menit, J menghela napas bosan. Menggambar acak ternyata tidak begitu menyenangkan. Akhirnya J menoel punggung Ven yang membelakanginya.
"Mau main?" Tanyanya sembari menunjuk lantai mobil yang sudah digambari pola kotak-kotak dengan batu runcing yang sengaja J bawa.
Gambar 'O' sudah tergambar pada kotak di tengah.
Ven memicing, menghela napas. "Itu main apa?"
"XOX. Cara mainnya mudah kok. Lihat pola kotak-kotak ini? Kita hanya perlu mengisinya dengan huruf 'O' atau 'X' di salah satu kotak itu."
"Misalnya, aku dapat huruf X dan kau dapat O. Aku harus mengisi kotak-kotak ini dengan tiga X berturut-turut, tidak boleh diselingi huruf O milikmu." J menjelaskan sembari mencoret,
memperagakannya
J menatap Ven, memeriksa apa Ven bisa memahami penjelasannya. Melihat Ven yang terdiam seakan berpikir, membuat J mengira dirinya tidak menjelaskan dengan baik.
Saat J hendak menjelaskan kembali, pertanyaan Ven sudah lebih dulu terlontar, "kenapa kamu ajak aku main? Kesepian? Kelihatannya kamu punya banyak teman di koloni."
J membuka mulutnya terkejut, bahkan sampai bibirnya sampai membentuk huruf O. Tebakan Ven tapat sekali.
"Wow, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau menguntitku?" J tertawa kecil sembari menirukan cara bicara Ven saat dia mengatakan Ducky menguntitnya.
"Tentu dong. Aku punya banyak teman di sana. Tapi ada juga sih, yang enggan bermain denganku. Karena katanya aku terlalu berisik. Kalau Ven bagaimana? Punya teman di koloni?" J membalik pertanyaannya pada Ven.
Ven memutar bola matanya sebelum menjawab. "Apa aku kelihatan punya teman? Lagipula, aku tahu kamu. Kamu mungkin enggak sadar, tapi aku pernah melihatmu mencuri--" Ven berdeham. "Paling aku hanya punya rekan buat kerja sama sementara.
Bola mata J membesar begitu Ven mengatakan dirinya pernah melihat J mencuri. J tidak pernah menyadari Ven pernah melihat aksi mencurinya.
Tapi yang membuatnya tertegun adalah kalimat Ven yang seakan dirinya tidak yakin mempunyai teman.
"Apa kau tidak mau mencoba berteman? Mungkin kau bisa melakukannya nanti di Libertè. Menurutku Ven bukan orang yang tidak bisa berteman kok." J malah mengoceh. Bahkan tidak sadar Ven mendelik pada Ducky di ujung kalimatnya.
Pastinya, J merasa tidak mempunyai teman akan sangat menyedihkan dan membosankan.
Tapi tiba-tiba dirinya merasa aneh. "Eh, bukankah kita bertiga berteman sekarang? Bahkan kita sudah saling berbagi alasan keberangkatan kita ke Libertè, loh."
"Berbagi alasan belum cukup untuk menjadikan seseorang teman." Ven bersedekap. "Lalu, laki-laki yang di sana itu," Ven menunjuk Ducky, "tampaknya lebih baik dia sendirian saja."
J mengerutkan dahinya tidak mengerti. Kenapa Ducky lebih baik dibiarkan sendirian?
.
.
.
.
.
.
14 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top