BAB XI

BAB XI

Lucy berangsur pulih. Ini semua berkat semangatnya untuk mencari kebenaran, juga dukungan penuh dari Kyan. Hari pertama kembali ke kantor, ia berusaha untuk berani menghadapi Gio. Terakhir kali ia bertemu laki-laki itu adalah saat pikirannya sedang kacau. Sekarang ia hanya butuh untuk bersikap tenang dan segera mengindar saat ia mendapat sinyal bahaya.

Selepas kerja, Lucy pergi ke Norfolk, apartemen Olivia dulu. Apartemen itu sepi, beberapa penghuni memutuskan pindah karena merasa tidak aman, garis polisi juga masih terpasang di depan pintu apartemen, padahal menurut kabar, pelaku sudah ditangkap. Ia adalah orang yang sama dengan pembunuh August Sanford. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada persekongkolan jahat di sini, seseorang tidak membiarkan orang lain membuka mulut.

Lucy memutuskan untuk menghubungi Luke sebelum ia masuk ke apartemen karena adik laki-lakinya itu melarang masuk sebelum ia datang ke lokasi.

Tiga puluh menit kemudian, Luke datang seorang diri dengan mengendarai mobil patroli.

"Maaf membuatmu lama menunggu," ujar Luke saat turun dari mobilnya, bergegas menghampiri Lucy.

"Tidak apa-apa. Apakah memang tidak diperbolehkan masuk?"

"Hanya berjaga-jaga, hal sekecil apa pun bisa membuatmu terkena masalah besar, Kak."

Mereka berdua masuk ke apartemen.

Keadaan masih sama seperti terakhir kali ditinggalkan. Tidak teratur, barang berserakan.

"Beberapa benda bergeser dari tempatnya semula. Sepertinya ada seseorang yang masuk sebelum kita."

Lucy mengerutkan kening. " Siapa? Untuk apa?"

"Entah. Melenyapkan barang bukti? Kak, ikuti aku! Aku akan memeriksa seluruh ruangan terlebih dahulu."

Lucy mengangguk, menelan ludahnya. Jujur saja saat ini jantungnya berdebar. Ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Setelah Luke memeriksa sudut demi sudut dan memastikan keadaan aman, barulah ia memperbolehkan kakaknya mencari apa pun di tempat Olivia.

"Setelah ini ikut aku ke pemilik gedung, Kak. Aku ingin melihat siapa saja yang datang ke tempat ini sebelum kita."

Lucy mengangguk, masih mencari ke sekeliling ruangan hingga ia teringat percakapan terakhir Olivia dengannya di telepon. Tempat di mana ia biasa menyembunyikan mainannya saat masih kecil.

"Sebenarnya apa yang kau cari, Kak?"

Lucy segera menuju tempat tidur, menggeledah tiap bantal yang ada di sana. Ada empat buah bantal lengkap dengan sarung bantal berwarna jingga. Saat memeriksa bantal yang terakhir, ia tersenyum.

"Dapat!"

Luke mendekat, Lucy mengambil sesuatu yang terselip di dalam sarung bantal. Ada sebuah foto di sana. Ukurannya 4R, tapi itu bukan foto Olivia, melainkan foto August Sanford dan Hannah. Di dalam foto, Hannah yang berusia sekitar tujuh tahun, memakai tas di punggungnya, tas yang sama dengan yang biasa ia bawa hingga saat ini, sedangkan August tersenyum merengkuh anaknya, mereka ada di sebuah taman bermain.

"Kenapa Olivia menyimpan foto ini? Dan ... dari mana kau tahu ada benda di dalam sarung bantal?"

"Kau ingat saat aku menangis setelah Olivia datang berkunjung ke rumah dulu? Saat itu aku masih delapan tahun dan kau enam tahun."

"Ya, kau menangis karena potongan puzzle yang hilang."

"Puzzle baru bergambar Little Mermaid yang dibelikan ayah. Kau tahu di mana kutemukan potongan puzzle itu?"

Luke mengerutkan keningnya.

"Di bantalku! Aku menangisinya berhari-hari dan tidak menyadari bahwa benda itu berada begitu dekat dengan kepalaku. Ibu yang menemukannya saat mengganti sarung bantalku. Olivia mengakuinya sambil tertawa saat datang ke rumah dan ia melakukannya lagi di bantal yang lainnya, terus seperti itu hingga Olivia masuk SMA dan sekolah di Manhattan."

Luke tersenyum, saat kakaknya bercerita seperti itu seakan ia masuk ke masa kecilnya, ia sangat merindukan masa-masa itu.

Lucy membalik foto dan Luke menyadari ada barisan nomor di sudut kanan bawah foto.

"Ada nomor! 224-3655," ujar Luke menunjuk sudut tersebut.

"Telepon?"

"Entahlah, bisa jadi. Aku akan mengingatnya dan mencari di pusat informasi. Aku tinggal menambahkan kode daerah di depannya."

"Oh Luke ... kau sangat membantu!"

"Apa ada yang lain lagi?"

"Sepertinya tidak ada lagi. Aku akan membawa foto ini dan memberikannya pada Hannah."

"Kalau begitu sekarang ikut aku ke pemilik gedung dan melihat rekaman CCTV."

"Luke, sebenarnya ada satu hal lagi yang harus kulakukan setelah ini."

"Apa itu?"

"Mengunjungi penjara."

"Aku akan menemanimu besok walau aku tidak tahu ada perlu apa kau ke sana."

Lucy tersenyum, dalam hati ia bersyukur memiliki adik seperti Luke.

^^^

Di hari minggu, Lucy tidak menyia-nyiakannya untuk bermalas-malasan di apartemen, ia harus segera mendapatkan hasil dari petunjuk yang ia dapatkan. Setelah berkunjung ke apartemen Olivia sore itu, Luke belum memberinya kabar tentang hasil rekaman CCTV ataupun nomor yang ada di balik foto yang disembunyikan Olivia, meskipun Luke berjanji akan memberinya kabar hari ini.

Foto itu diberikan pada Hannah dan Hannah menangis sambil memeluk foto itu. Ia berkata bahwa itu adalah hari di mana ayahnya memberi hadiah tas kesayangannya. Boneka yang menggantung di belakang tasnya sempat rusak, namun ayahnya membetulkannya sendiri dengan sangat rapi. Benar-benar seorang ayah yang teladan! Ia bahkan bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi Hannah.

"Apa kau sudah lama menungguku, Lu?"

Mata Lucy membulat saat yang datang menghampirinya bukanlah Luke.

"Kyan?"

Laki-laki berkacamata itu tersenyum sambil menggosok hidungnya tiga kali.

"Ya."

"Bukankah kau harus menyelesaikan urusan di KnK yang sempat tertunda karena merawatku?"

"Jangan dipikirkan! Luke memintaku untuk menemanimu karena ia harus pergi bersama Sandra."

Lucy menutup wajahnya. "Astaga!" Lucy menatap Kyan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku, Kyan. Aku tidak bermaksud merepotkanmu."

Kyan tersenyum. "Lu, aku tidak keberatan direpotkan olehmu. Aku senang kau bergantung padaku." Kyan menggandeng tangan Lucy. "Ayo kita pergi!"

Tanpa sadar, Lucy tersenyum.

Lucy mengunjungi penjara kawasan New York, terakhir kali ia datang adalah saat Elly masih hidup. Ia masih ingat tiap detail ruang besuk, tidak ada yang berubah.

"Siapa sebenarnya yang kau kunjungi?" tanya Kyan penasaran

"Pasadena Brooke."

"Kau mengenalnya?"

Lucy tersenyum kecut. "Tidak."

Tak lama setelah menunggu, seseorang muncul. Perempuan dengan rambut kuning gelombang yang kusut, tubuh kurusnya mengenakan seragam tahanan. Perempuan yang berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu tersenyum saat berhadapan dengan Lucy.

"Aku tahu kau adalah Lucia dan aku tahu untuk apa kau menemuiku di sini."

Jujur saja Lucy terkejut dengan sapaan perempuan itu, teman Elly saat masih di penjara, teman yang namanya pernah disebut dalam surat yang ditulis untuk Lucy sebelum meninggal.

Perempuan itu masih tersenyum. "Aku yakin nama Dena pernah disebut Elly. Elly yang memberitahuku semua tentangmu dulu saat ia masih di sini. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan? Waktu kita tidak banyak."

Lucy menatap Kyan sekilas kemudian kembali pada Dena.

"Apa yang kau ketahui sehingga Elly begitu percaya padamu?" Lucy memulai pertanyaan.

Tatapan mata Dena ke atas, menggerakkan kepalanya sesaat, kemudian kembali menatap Lucy.

"Banyak."

"Apa pun yang menyangkut tentang Gio?"

"Aku tidak mengenal Gio."

Seketika Lucy terdiam, ia tidak tahu apa yang dimaksud 'banyak' oleh perempuan itu dan mengapa Elly menyebutkan namanya di dalam surat.

"Aku hanya tahu tentang Adrian."

Wajah Lucy kembali dipenuhi harapan. "Bukankah itu sama saja?"

"Apakah yang kau maksud adalah Wilder Junior? Aku mengenalnya dengan sebutan itu. Kau tidak bisa melawan mereka semua seorang diri, setidaknya kau harus punya back up."

"Aku punya."

Dena tersenyum lebar. "Bagus! Kau sangat percaya diri. Kau mengingatkanku pada seseorang. Kau tahu ... Black Ebby?"

Mata Lucy membulat, Dena tertawa kecil melihatnya.

"Dari reaksimu sudah pasti kau tahu. Ethan mengunjungiku dan meminta saran. Aku menjelaskan tentang komplotan mereka, bagaimana mereka bekerja dan apa saja kejahatan yang telah mereka lakukan.

Seperti Adrian, ia seharusnya terjerat kasus korupsi karena sudah banyak uang negara yang dimakannya, lalu Randy ... banyak usaha kecil yang akhirnya memilih gulung tikar karena penindasan yang dilakukannya. Adrian menguasai politik, anaknya menguasai media, Randy menguasai pasar, Jennifer menguasai pemilu, Patrcik, Derrek, Jimmy, mereka bertiga menguasai dunia hukum dan Grup Ranford ... entah apa fungsi mereka selain pemasok. Kombinasi yang sempurna untuk menguasai pemerintahan, kan?"

"Dari mana kau tahu semua itu?" selidik Kyan.

"Aku dulu orang kepercayaan Adrian hingga aku berubah pikiran dan ingin membongkar mereka."

"Jadi kau dipenjara karena itu?" tanya Lucy.

"Kasus pencurian, hal yang sebenarnya tidak pernah kulakukan. Itu hanya rekayasa mereka. Sandiwara kecil antara Wilder, Patton, dan penegak hukum asuhan mereka."

"Lalu kenapa mereka membiarkanmu hidup sementara Elly dibunuh dengan kejam?" tanya Lucy lagi.

Dena memiringkan kepalanya, keningnya berkerut dalam. "Elly memang bunuh diri. Aku sudah menahannya, tapi ia tetap melakukannya. Setelah kau dipenjara, tidak ada lagi yang bisa kaulakukan, bahkan berbicara seperti ini kurasa tidak ada gunanya. Hanya pembicaraan, bukan bukti, tidak akan menguatkan fakta yang terjadi. Kalau kau memang ingin membongkar mereka, datanglah ke Cloud Palace di Battery Park City dan minta informasi. Kau paham maksud 'back up' di sini, kan?"

"Untuk apa? Itu hotel milik Adrian," ujar Kyan sambil mengerutkan keningnya, ia tidak setuju karena baginya datang ke tempat itu sama seperti mendatangi bahaya.

"Untuk apa lagi? Kau akan menemukan banyak hal di sana," ujar Dena.

"Baiklah, aku akan pergi ke sana!"

Kyan menatap Lucy tidak setuju. "Lu?"

"Aku harus melakukannya! Terima kasih petunjukmu, Dena."

Dena tersenyum. "Sama-sama."

Kemudian Lucy dan Kyan meninggalkan ruangan besuk setelah Lucy mengucapkan salam perpisahan untuk Dena.

Di luar, Kyan masih berusaha membujuk Lucy agar tidak pergi ke tempat yang dimaksud oleh Dena.

"Lu? Apa kau benar-benar akan pergi ke sana?"

Lucy mengangguk mantap.

"Kita tidak bisa mempercayai orang lain begitu saja, Lu. Itu adalah tempat milik Wilder, apa pun yang kau lakukan di sana, mereka akan menemukannya dengan mudah."

"Dia teman Elly, tidak mungkin dia berbohong. Kyan, aku tahu kau mencemaskanku, tapi apa pun akan kulakukan untuk kebenaran, sepertimu, yang melakukan apa pun untukku."

Kyan menggosok wajahnya putus asa. "Ini sama seperti bunuh diri, Lu!"

"Sandra! Sandra punya wewenang! Aku akan meminta bantuannya!"

Kyan menarik napas dalam sembari memejamkan matanya. "Sandra tidak bisa menemanimu hari ini, dia sedang pergi bersama Luke."

"Aku tidak pergi ke sana hari ini, Kyan."

Kyan terdiam sesaat. "Baiklah, kau sudah berjanji padaku bahwa kau akan selalu baik-baik saja."

Lucy tersenyum, kemudian mengecup pipi Kyan dalam waktu singkat.

"Terima kasih Kyan! Aku mencintaimu!"

Tidak ada jawaban dari Kyan, mungkin karena ia masih terkejut dengan hadiah kecil dari Lucy.

^^^

Tidak ada yang aneh di kantor pada hari itu, Gio melihat Lucy seperti biasanya, melakukan aktivitas kerja secara profesional. Perempuan itu tidak pernah membahas apa pun setelah ia menjenguknya. Mungkin ucapan terima kasih atas buket bunga dan cokelat mahal pemberiannya, hanya itu. Padahal terakhir bertemu, perempuan itu sangat ingin keluar dari NC Times.

Sebenarnya keputusan Lucy yang ingin resign saat itu merupakan keuntungan besar bagi Gio. Begitu resign, maka perempuan itu akan mutlak menjadi miliknya karena sudah jelas ia tidak bisa dibiarkan berkeliaran di luar dengan informasi penting tentang NC Times, namun perempuan itu tetap di sini.

Ia tahu alasan yang membuat perempuan itu tetap tinggal, namun ia tidak peduli, ia sudah mempersiapkan segala cara untuk mencegah perempuan itu berbuat apa pun yang merusak citra keluarganya.

Sore itu, Lucy tampak tergesa-gesa. Ia pulang tanpa berpamitan dengan Gio terlebih dahulu. Gio mengerutkan kening, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya.

Gio tetap berada di kantornya saat hari menjelang malam, mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan para pegawainya dengan benar. 'Penyapuan' adalah istilah yang biasa digunakannya dalam hal ini. Ia melirik jam dinding sesaat, hampir pukul delapan malam, sebentar lagi ia akan pulang. Tak lama kemudian, ponselnya berdering, itu adalah ayahnya.

"Ada apa, Ayah?"

Setelah mendengar banyak hal dari ayahnya, Gio menutup teleponnya, kemudian mengurut pangkal hidungnya. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk, masih dari ayahnya. Ayahnya mengirim gambar, gambar di mana perempuannya sedang berada di Cloud Palace bersama perempuan berseragam polisi, inspektur kepolisian, sepanjang yang ia tahu.

"Astaga Lucia ... kenapa kau memaksakan diri?"

Ada pesan masuk lagi dan Gio membalasnya.

'Kau boleh melakukan apa pun, Ayah.'

Gio meletakkan ponselnya dengan kasar, menyandar pada kursi kemudian tersenyum mencibir.

"Meminta list tamu yang hadir selama satu tahun terakhir? Kau mencoba mengorek informasi kami?"

Gio tidak pernah habis pikir, selama ini Gio mengancamnya agar perempuan itu tidak terkena masalah, namun perempuan itu justru malah terjun bebas ke dalamnya. Ia tahu kemarahan Lucy disebabkan karena kematian Olivia, namun Olivia saat itu juga mengancam posisi keluarganya. Apa lagi yang harus ia lakukan? Karena ketika ayahnya sudah bertindak, tidak akan ada yang bisa selamat.

^^^

Malam yang sangat sunyi, Kyan hendak menuju apartemennya tepat pukul dua belas malam. Biasanya beberapa orang masih berlalu-lalang mengingat tempat ini adalah tempat ramai di New York, namun malam ini tidak begitu.

Proyek KnK menjelang pemilu ayahnya, ditambah suasana yang sunyi, malam yang tidak pernah diinginkan oleh Kyan. Sepintas ia merasa ingin menghubungi kekasihnya, apakah ia jadi melakukan hal nekat? Menjelang pemilu adalah saat yang sensitif dan biasanya rawan kejahatan, jangan lupakan demo dan kampanye besar-besaran. Pemilu darurat untuk menggantikan posisi August Sanford, apa pun pilihan warga, ayahnya sudah pasti menang di sini, karena ketua pemilu, Jennifer Frith, yang nanti akan turun tangan langsung. Dunia politik selalu terasa kejam.

Tombol satu adalah tombol cepat untuk menghubungi Lucy. Dulu nomor satu untuk ibunya, setelah ibunya meninggal, tidak ada orang yang menempatinya, hingga Lucy hadir di hidupnya.

"Lu?"

Ada yang aneh dari suara di seberang, suara seseorang membuka laci dengan panik, belum lagi suara napas yang tercekat.

"Lu? Kau baik-baik saja?" Kyan mendadak panik.

"Maaf Kyan ... aku sedang mencari lampu senter."

"Ada apa? Katakan padaku!"

"Lampu apartemenku mendadak mati, suasana gelap sekali. Aku menelepon pemilik apartemen, tapi ia berkata bahwa lampunya baik-baik saja, mungkin hanya milikku yang bermasalah. Mereka akan memperbaikinya besok."

"Kenapa kau terdengar ketakutan??"

"Apa terdengar begitu jelas?"

"Ada apa, Lu?"

Lucy terdiam sesaat. "Seseorang seperti berjalan mondar-mandir di depan pintu apartemenku, aku melihat bayangannya saat akan ke dapur. Lalu suara jendela kamarku yang berkali-kali dilempar dengan kerikil. Hannah ketakutan, aku tidak mau membuatnya semakin takut."

Jantung Kyan berdebar cepat, ini sudah ada di pikirannya saat Lucy berkata ia akan pergi ke hotel bersama Sandra.

"Tunggu aku! Aku akan datang!"

"Tapi ...."

"Aku anak Landen, Lu, mereka tidak akan melukaiku."

"Baiklah, aku mengandalkanmu Kyan."

"Terima kasih."

Kyan menutup teleponnya dan bergegas pergi secepat yang ia bisa, ia terus berdoa dalam hati agar Lucy baik-baik saja.

Seseorang berlari saat Kyan memarkir motornya, orang itu mengenakan hoodie abu-abu gelap dan penutup mulut, sepertinya ia yang melempari jendela kamar Lucy. Lalu saat masuk ke gedung apartemen, seseorang memang berjalan di depan kamar Lucy, tubuhnya besar, pakaiannya tidak teratur, ia menggunakan penutup wajah. Laki-laki itu berlari ketika Kyan akan menangkapnya. Kyan mengerutkan keningnya, itu benar! Sistem keamanan mungkin sudah dirusak karena tidak ada seorang pun di luar yang menyadarinya. Ia ingat masih menyimpan kunci cadangan apartemen Lucy, Lucy memberikannya saat ia menginap beberapa hari di sini.

Keadaan apartemen Lucy gelap gulita saat Kyan masuk, ia menyalakan lampu senter dari ponselnya dan mengunci pintunya kembali. Setengah berlari, Kyan langsung menuju kamar Lucy dan menemukan mereka di sana. Penerangan lampu senter yang tidak seberapa menjadi kekuatan mereka, Hannah menangis sambil memeluk Lucy di atas ranjang, sedangkan Lucy berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. Kyan menghampiri mereka, memeluk mereka berdua, mengecup kepala Lucy.

"Aku takut," lirih Hannah di sela-sela tangisnya.

"Tidak apa-apa, aku ada di sini," ujar Kyan menenangkan mereka.

Saat itu Kyan merasakan tubuh Lucy yang gemetar hebat, bahkan Lucy tidak berbicara satu patah kata pun saat Kyan memeluknya.

^^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top