BAB VII
'Hai Lucy!
Kuharap langit di luar sana sedang cerah.
Apa kau tahu? Aku senang beberapa hari ini bisa saling berbagi cerita denganmu,
Bercerita tentang teman-teman penjara.
Kuharap kau tidak melupakan Dena,
Ia begitu baik padaku dan karena dia juga, aku terlindungi dari para napi yang nakal.
Kau benar, Lucy.
Aku terus memikirkan perkataanmu.
Aku punya hidup yang harus diperjuangkan, tapi aku tidak lupa ....
Aku bahkan tidak punya harga diri lagi, lalu untuk apa aku harus berjuang?
Berbeda denganmu, kau punya Kyan, juga Luke adikmu.
Walaupun jauh, tapi kau juga masih punya seorang ibu.
Kau punya orang-orang yang menyayangimu, di sekelilingmu.
Sedangkan aku tidak.
Berjuanglah untuk hidup, Lucy.
Aku menolak keras bila kau melawan Gio dan yang lainnya.
Ini tidak ada hubungannya dengan rasa cintaku padanya yang katamu begitu besar.
Aku memang mencintainya, tapi aku lebih menyayangimu.
Jangan membuang hidupmu hanya demi membalas mereka,
Perbuatan mereka akan terbalas dengan sedirinya, hanya tunggu waktu saja.
Aku menyayangimu, Lucy. Aku senang bertemu denganmu.
Aku menyesal pernah cemburu padamu karena Gio.
Dari : Elly'
Lucy menangis lagi saat membaca kertas yang sudah terkoyak itu, pesan dari Elly. Ia ingat bagaimana Elly saat dibawa ke rumah sakit. Pucat, dingin, tapi tidak ada beban di wajahnya. Ia seakan telah merelakan semuanya, mungkin saja ia telah merencanakan ini sejak lama tanpa sepengetahuan dirinya!
"Lu, aku tahu kau sedih, tapi kau tidak boleh menangis terus! Ini sudah dua hari sejak kematian Elly, kau membaca surat itu sudah ratusan kali!"
Olivia menenangkan dirinya. Ia bahkan tidak peduli kalau masih berada di kantor, meski jam menunjukkan pukul lima sore.
"Rumah sakit meneleponku, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Elly mutlak bunuh diri. Besok pagi jenazah akan dimakamkan."
Lucy memeluk saudaranya erat. Olivia. Sejak tahu kabar itu dari teman-teman sesama wartawan, ia langsung meluncur ke rumah sakit dan menemukan Lucy di sana, menangis di bangku rumah sakit. Ia memeluk Lucy erat dan mengatakan pada dokter bahwa Elly adalah saudarinya, ia juga meminta dokter menghubungi nomornya saja bila ada sesuatu yang janggal pada jasad Elly.
"Elly tidak bersalah. Kenapa dia harus seperti ini?"
"Aku tahu, Lu."
"Lucia?"
Seseorang memanggil dan mereka berdua tahu suara siapa itu. Olivia menghapus air mata Lucy kemudian tersenyum.
"Bos memanggilmu."
Lucy tersenyum miris. "Dia benar-benar tidak pernah menghargai orang lain."
"Itulah yang terjadi saat kau menjadi bos besar."
"Benarkah?"
Olivia mengangguk kemudian mereka berdua sama-sama tersenyum.
"Terima kasih telah menemaniku, Olivia."
"Aku ini kakakmu! Sudah seharusnya aku begitu!"
Lucy bangkit kemudian berjalan mengikuti Giovanni Wilder, menuju ruangannya.
Giovanni duduk di kursinya, menyuruh Lucy duduk hanya dengan isyarat saja. Lucy patuh, ia hanya menunduk.
"Selama dua hari kinerjamu menurun."
"Apa kau tidak melihatku sedang bersedih?"
Gio mendengus. "Kau bersedih selama berhari-hari hanya karena temanmu mati?"
"Hanya orang berhati yang tahu bagaimana rasanya kesedihan itu!"
"Oh, jadi kau berkata bahwa aku tidak punya hati?"
Lucy diam, tapi dalam hati ia menggeram.
"Aku tahu kau membenciku, Lucia."
"Terima kasih karena kau begitu perhatian. Kau boleh memecatku sebagai gantinya."
Gio tertawa. "Memecatmu? Tidak! Kau akan kuangkat menjadi sekretaris pribadiku."
"Apa? Tidak!"
"Aku memegang kekuasaan di sini, Lucia."
"Kalau begitu aku tidak akan pernah masuk lagi."
"Kalau begitu aku akan menjemputmu secara paksa dan menyekapmu di rumahku."
Lucy terdiam, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Katakan apa maumu?" desis Lucy kesal.
"Kau pindah ke ruanganku, bersamaku. Jadi, aku bisa mengawasimu secara langsung."
Lucy sejenak berpikir, apa keuntungan yang didapat bila ia berada di dekat Gio? Ah! Ia bisa menggali informasi lebih dalam lagi kemudian menjatuhkan mereka dengan kekuasaan mereka sendiri.
"Kau tahu aku sangat membencimu, kan?"
"Ya, dan aku suka itu."
"Baiklah, aku terima."
Gio tertawa. "Bagus!" kemudian ia menunjuk pada sebuah meja kosong di sisi lain ruangannya, seminggu yang lalu meja itu tidak ada di sana.
"Itu mejamu, sudah kupersiapkan sebelumnya. Bekerjalah dengan baik, Lucia. Kau tahu apa akibatnya bila melawanku."
Lucy tidak takut! Apa pun yang akan terjadi nanti ia akan menghadapinya, walau tanpa bantuan orang lain, termasuk kekasihnya.
^^^
Kyan menekan tombol merah pada remote televisi dan melemparnya ke sofa. Ia sudah jemu dengan semua ini! Berhari-hari ia dikurung di Ranford Studio dengan alasan rekaman, namun nyatanya ia hanya membuang waktu sia-sia dengan Jessi. Ia tahu tentang berita kematian Elly dua hari yang lalu dan ia berani bertaruh bahwa kekasihnya hingga saat ini masih belum bisa move on. Lucy pasti membutuhkannya! Sayangnya, Jessi selalu mencegahnya pergi, dan gadis itu selalu berada di studionya.
"Kyan? Apa kau sudah makan siang?"
Seseorang menyapanya, perempuan anggun berkulit tan, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya cokelat gelap pendek dan tertutup topi fedora. Di belakangnya ada perempuan yang hampir serupa dengannya dengan usia jauh lebih muda, hanya saja rambutnya lebih panjang.
Kyan tersenyum. "Aku tidak bisa pergi dari sini, Nyonya Ranford."
"Oh! Panggil aku Natasya!" Perempuan paruh baya itu tertawa anggun. "Sekarang aku tahu kenapa kau tidak pulang ke rumah, Sayang!" ujarnya melirik anak perempuannya.
"Ibu!"
Wajah perempuan itu tersipu merah, tapi Kyan justru tidak suka pemandangan itu.
"Sebenarnya Ibu ingin mengajakmu berkunjung ke panti asuhan untuk ...."
"Ibu! Sudah berapa kali aku berkata bahwa aku tidak suka kegiatan seperti itu."
"Mereka juga manusia, Jessi, hanya saja mereka kurang beruntung. Kau yang beruntung harus berbagi dengan mereka."
"Akan kupikirkan."
"Ibu pergi dulu, Sayang! Kyan, jangan lupa makan!"
Kyan tersenyum, mereka ibu dan anak, namun sifat mereka begitu kontras. Ibunya jauh lebih baik daripada anaknya, anaknya serupa dengan sifat ayahnya.
"Apa kau mencoba untuk menemuinya lagi?" tanya Jessi kesal sambil melipat kedua tangannya.
"Kau sudah tahu, harusnya kau membiarkanku pergi."
"Dia menghambatmu, Kyan!"
Kyan bangkit dari duduknya. "Maaf bila aku mengatakannya berulang kali. Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi aku ingin kita bersikap profesional saja."
"Setidaknya ayahmu tahu bagaimana caranya berterima kasih," cibir Jessi, "kau sudah tahu kabarnya, kan?"
Kyan menunduk. "Ya," jawabnya lemah.
"Kejadian ini sudah dirancang. Ada hal lebih besar lagi yang akan terjadi dan ayahmu kali ini ikut ambil bagian. Kalau sudah begitu, aku tidak tahu bagaimana reaksi perempuan itu nanti, mungkin saja ia akan membencimu, sama seperti ia membenci Patton, Wilder, termasuk Ranford."
"Aku akan menjelaskan padanya."
"Oke."
Jessi tersenyum, mempersilakan Kyan pergi. Kyan menatapnya curiga.
"Well, aku hari ini sedang berbaik hati," ujar Jessi
"Kau sudah tahu ini akan terjadi."
"Tentu!" Jessi berkata dengan santainya, "jangan lupa sebentar lagi pra-launching album pertamamu!"
Tanpa bertanya apa pun lagi, Kyan pergi. Ia mengenakan jaket musim dingin sederhana berwarna abu-abu, mengendarai motornya dengan cepat. Ada satu tempat yang ditujunya, KnK! Ia berharap Lucy akan duduk di tempat biasa karena ini sudah lebih dari jam pulang kerja.
^^^
Hari sudah mulai senja dan langit berubah menjadi oranye gelap saat Lucy keluar dari gedung NC Times bersama Olivia. Ia sudah menceritakan semuanya pada Olivia, tentang jabatannya yang naik. Olivia tampak sedikt takut dan berkali-kali memperingatkannya bahwa ia harus tetap waspada. Tak lama kemudian, sebuah motor besar berwarna putih berhenti di depannya, ia sangat tahu siapa pengemudi motor itu! Mendadak hatinya terasa ringan, orang yang selama ini dirindukannya muncul tanpa disangka-sangka.
"Syukurlah kau masih di sini, Lu!"
Laki-laki itu melepas helm, memberikan helm lain pada Lucy. Ia tetap laki-laki lugu berkacamata walau duduk di atas motor besar nan mewah. Lucy mengerutkan kening.
"Kau mengajakku pergi?"
"Ya. Ada yang harus kukatakan padamu."
"Tapi Olivia ...."
"Pergilah, Lu, aku tidak apa-apa. Aku harus menemui seseorang."
"Maafkan aku, Olivia."
Olivia tersenyum kemudian mencubit pipi Lucy pelan.
"Minta maaf untuk apa? Sampai ketemu besok!"
Olivia berlari pergi, sepertinya terburu-buru, bahkan tidak sempat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
"Kita akan pergi ke mana?"
"Suatu tempat. Naiklah!"
Ada rasa bersalah yang kental dalam nada bicara Kyan, namun Lucy tidak tahu apa alasannya.
"Oke ...."
Dengan ragu, Lucy memakai helm dan naik ke atas motor Kyan, berpegangan erat di pinggangnya.
Kali ini Lucy dibawa pergi lebih jauh oleh Kyan. Brooklyn, itu adalah tujuannya. Kyan tidak berhenti di kedai pinggir jalan, atau kafe, ia mengarah ke Brooklyn Selatan, kemudian berbelok ke West End Avenue, melewati pemukiman-pemukiman mewah di sana. Ia berhenti di ujung jalan, di depan mata terhampar pemandangan pantai Brighton yang indah, bahkan lebih indah saat salju yang menutupi bebatuan diterpa sinar matahari senja, angin perlahan berembus, mengibarkan rambut Lucy saat membuka helm.
"Kita sudah sampai."
Seseorang membuka pagar rumah rendah berwarna cokelat dan Kyan masuk, memarkir motornya sembarangan.
Di hadapannya saat ini adalah rumah mewah bernuansa cokelat, ada dua lantai, first floor dan lower level. Ada tangga di luar yang menuju pintu masuk utama yang ada di lantai dua. Elegan, terlebih letaknya ada di bibir pantai. Tak lupa ada bush tertutup salju yang dibuat seperti labirin mini di halaman depan rumah. Halaman rumah ini begitu luas, bisa langsung menuju ke sisi samping rumah, tempat kolam renang yang airnya sudah beku dan gundukan tanah yang berbalut salju menuju langsung ke arah pantai.
"Kyan?"
Kyan tersenyum lemah. "Selamat datang di rumah, Lu."
Kyan membimbing Lucy menaiki tangga, membuka pintu rumahnya. Di sanalah ia melihat nuansa yang lebih mewah lagi, tak kalah dengan penampilan luar rumahnya. Ruang tamunya mewah dengan sofa berwarna hitam.
"Duduklah! Apa kau mau kuambilkan minum?" tanya Kyan dengan lembut.
Lucy tidak menjawab, hanya mengangguk canggung. Ia masih melihat ke sekelilingnya, berbagai macam pertanyaan melintas di pikirannya, bagaimana bisa Kyan tinggal di sini? Siapa Kyan sebenarnya?
Lucy tidak duduk, ia berkeliling, lalu melihah foto yang ada di credenza ruang tamu. Foto Kyan bersama dengan laki-laki yang mirip seperti dirinya, tanpa kacamata, rambut sedikit lebih panjang, mereka berdua tersenyum. Ia seperti mengenal laki-laki itu. Lalu ada foto lagi, kali ini berempat dengan seorang perempuan paruh baya cantik berambut gelombang sebahu, sangat anggun. Ia bisa menebak bahwa itu adalah ibunya Kyan, lalu laki-laki yang ada di dekatnya adalah ayahnya, tinggi dengan rambut cokelat sedikit beruban.
"Lu? Kopi krim dengan dua sendok teh gula?"
Lucy tersenyum melihat Kyan membawa nampan berisi dua cangkir dan meletakkannya di atas meja. Mereka berdua duduk berhadapan, namun tidak terlalu jauh. Kyan membelakangi pintu kaca yang mengarah pada kolam renang mewah dan laut lepas.
"Ke mana keluargamu yang lain?"
"Ayahku pergi ke New Orleans dan akan kembali besok pagi."
"Di foto itu ...."
Kyan tersenyum. "Itu kakakku, dan perempuan itu adalah ibuku. Mereka berdua sudah meninggal. Bukankah kau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal?"
"Maaf aku tidak tahu kalau kakakmu juga," sesal Lucy.
"Tidak apa-apa."
Mereka saling diam dengan pikiran masing-masing, Kyan menarik napas panjang.
"Baiklah, mulai dari mana sebaiknya kita?"
Lucy masih diam, memandang cangkir klasik terbuat dari keramik berwarna putih dengan bibir dan tangkai emas, ada ukiran bunga yang sangat indah di badan cangkir.
"Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, Lu. Hanya saja aku tidak nyaman dengan semua ini. Aku lebih nyaman tinggal di apartemen. Selama ini aku merasa kesepian hingga akhirnya aku bertemu denganmu."
Jeda sesaat, Lucy masih diam. Dibandingkan dengan bertanya, Lucy lebih memilih untuk mendengarkan sendiri penjelasan Kyan.
"Kau tahu bagaimana perasaanku saat melihatmu beberapa hari yang lalu? Kau begitu gigih ingin membalas dendam, tapi aku takut ... mereka bukan orang yang bisa dikalahkan dengan mudah. Lalu berita tentang Elly. Aku semakin ingin menjauhkanmu dari mereka, terutama dari Wilder.
"Tapi aku tidak bisa. Selain aku tertahan oleh Jessi, aku juga tidak mau memcegahmu meraih mimpimu. Jurnalistik adalah duniamu, dan tempat Gio adalah tempatmu menemui duniamu. Hanya saja aku kembali teringat oleh kakakku. Frederick Patton, orang yang sama dengan orang yang menjebak Elly, adalah sahabat dekat kakakku."
Lucy terkejut. Tentu saja ia tidak percaya! Ia menatap Kyan dan mencari kebohongan di matanya, namun yang ada hanya penyesalan.
"Kakakku adalah penyanyi asuhan Ran Channel, studio yang sama dengan yang membantuku. Milik Ranford. Saat itu namanya melejit, ia digemari banyak orang, dan membuatku bermimpi menjadi sepertinya. Ia sangat berbakat, pandai bermain gitar, dan baik pada semua orang.
"Kakakku ... sepertinya ada orang yang tidak suka dengan ketenarannya. Hari itu setelah makan malam bersama keluarga besar Circle A yang diadakan oleh keluarga Ranford, mobil kakakku kecelakaan sangat parah. Semua sisinya remuk, kejadiannya mendekati tengah malam dan tak banyak orang yang menyadarinya.
"Kakakku meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Aku tahu ada yang berusaha menyingkirkannya, Frederick Patton adalah orang yang memiliki ciri sempurna. Ia ada di tempat yang sama malam itu, ia juga pulang bersama dengan mobil yang berbeda, ia pernah menghina kakakku saat aku berjalan bersamanya dan tidak sengaja bertemu. Hanya saja aku tidak punya bukti, hanya prasangka."
Kyan tersenyum dengan sebelah bibirnya. "Dan itu sangat konyol bila diusut ke pengadilan." Kyan menunduk sambil menautkan kedua tangannya.
"Nama kakakku perlahan turun pamor, terlebih saat media-media besar seperti NC Times memberitakan bahwa kakakku menyetir dalam keadaan mabuk, padahal jenazahnya tidak berbau alkohol. Kakakku tidak suka alkohol.
"Lambat laun namanya semakin pudar, saat itu umurku delapan belas tahun dan ingin balas dendam, sama sepertimu, tapi ibuku melarang dengan alasan kami memiliki hubungan baik dengan mereka."
Tatapan Lucy berubah mengiba, tapi ia tetap tidak berkata-kata.
"Setelah kematian kakakku ... keadaan ibu semakin memburuk, ibuku yang selalu semangat merancang desain untuk perhiasan seketika berhenti. Tiga tahun setelah kakakku meninggal, ibuku menyusul. Toko emas kami tutup."
"Tunggu! Kakakmu adalah ...."
Kyan tersenyum. "Kenneth Gallen Landen."
Mata Lucy membulat tak percaya. "Astaga! Kenneth si Penyanyi Tampan itu? Semua remaja di Saugerties mengidolakannya!"
Kyan masih tersenyum manis pada Lucy. "Kau juga?"
"Ya ... tapi tidak seperti mereka. Dia pernah memperkenalkan sebuah restoran yang menjual makanan cepat saji, kalau tidak salah nama restoran itu adalah ...."
"KnK."
"Astaga! Berarti KnK adalah singkatan dari ...."
"Kenneth n Kyan."
"Ya Tuhan!" Lucy menutup mulutnya. "Pantas saja kau selalu berada di sana! Kau juga selalu mendapatkan pelayanan khusus di kafe KnK!"
"Ayah menyuruhku sekolah bisnis untuk mengelolah KnK dan beberapa perusahaan lainnya karena aku adalah anak satu-satunya, tapi aku menolak karena ingin bernyanyi seperti kakakku. Sejak saat itu hubungan kami merenggang, tidak kunjung membaik walau aku mau mengurus seluruh KnK."
"Aku sekarang tahu kenapa kau tidak merasa nyaman berada di rumahmu sendiri."
"Ya. Pertemuan kami hanya berbicara tentang perusahaan. Ayahku mengurus perusahaan investasi Landen Group yang membiayai pedagang-pedagang kecil di Bronx sekaligus memiliki separuh saham di Ran Channel. Itulah sebabnya aku tidak bisa lepas dari Jessi, tapi percayalah padaku, Lu! Aku hanya menganggapnya rekan kerja, tidak lebih!"
Lagi, Lucy menatap ke sekeliling kemudian ia menatap Kyan, tersenyum lemah.
"Still, hanya dengan melihat semua ini aku merasa bahwa aku tidak sebanding denganmu. Jessi benar, aku hanya akan menghambatmu. Kau seperti sudah berada di atas awan, sedangkan aku ... sekeras apa pun aku ... pada akhirnya tetap akan terjatuh di kubangan."
"Lu, dengarkan aku!" Kyan buru-buru menggenggam tangan Lucy, seakan menahannya agar tidak pergi meninggalkannya.
"Hubungan kita tidak bisa diteruskan, Kyan ...."
"Tanpa kau, aku tidak memiliki semangat untuk hidup. Kau membuat duniaku terang, seperti saat ibu dan kakakku masih ada. Aku selalu merasa semangat bangun di pagi hari, keesokan paginya, dan seterusnya, karena aku tahu, aku akan bertemu denganmu. Aku bahkan senang walau hanya menatapmu dari balik dinding kaca KnK, berlarian menuju gedung NC Times.
"Tapi ayahmu ...."
"Ayahku, dia tidak berhak mencampuri urusan pribadiku." Kyan terdiam, melepas genggaman tangannya dari Lucy. "Lu, ada satu hal lagi yang harus kubicarakan denganmu. Aku tahu kau sangat membenci Circle A, termasuk Jessica Ranford karena ia adalah bagian dari mereka, tapi ...."
Lucy mengerutkan keningnya, menunggu lanjutan dari perkataan Kyan.
"Ayahku akan menjadi anggota House of Representative wilayah New York dengan bantuan dari mereka. Kau tahu cara kerja mereka, Lu. Meskipun pemilu masih lama, cepat atau lambat ayahku akan menjadi bagian dari mereka. Itu artinya, keluarga Landen di kemudian hari akan menjadi kebal hukum seperti mereka, termasuk aku."
"Itu artinya ... aku juga harus membencimu, Kyan. Maafkan aku ...."
Hati Kyan terluka mendengarnya, jauh dari Lucy saja ia tidak sanggup, apalagi bila perempuan itu sampai membencinya.
Lucy sungguh menyesal telah mengatakan hal itu. Ia melihat raut kecewa pada wajah Kyan, namun prinsip tetaplah prinsip. Ia membenci semua anggota Circle A dan berniat membalas dendam pada mereka apa pun yang terjadi! Bila keluarga Kyan kelak masuk menjadi anggota Circle A, maka ia juga harus membencinya, tapi ... apa bisa ia membenci Kyan?
Lucy memejamkan mata, kemudian bangkit dari duduknya, ia berbalik membelakangi Kyan. Ia melakukan hal ini karena ia tidak sanggup melihat wajah Kyan yang terluka.
"Antarkan aku pulang, please? Hari sudah semakin malam, dan jangan hubungi aku setelah ini, Kyan."
Tanpa diduga, Kyan memeluknya dari belakang, menyusupkan kepalanya di antara pundak dan leher Lucy.
"Kumohon jangan tinggalkan aku, Lu," lirihnya.
Kyan melepas peluknya, kemudian membalik tubuh Lucy hingga mata mereka saling menatap satu sama lain, Kyan memegang kedua pundak Lucy.
"Kumohon jangan membenciku. Aku ... aku juga tidak suka dengan keputusan mereka, begitu pula dengan keputusan ayahku. Jadi kumohon ... bantu aku, Lu!"
"Apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak memiliki apa pun."
"Temani aku untuk menggagalkan ayahku saat pemilu nanti."
Lucy mengerutkan keningnya. "Apa?"
"Jadilah partnerku untuk mencari kebusukan Circle A, agar ayahku tidak lagi percaya pada mereka."
Lucy kemudian tersenyum lemah. "Aku tahu bagaimana caranya."
"Benarkah?"
"Ya. Gio mengangkatku menjadi sekretaris pribadinya, akan berbahaya bila ia tahu bahwa aku mengkhianatinya, tapi ini satu-satunya cara untuk membantumu."
"Apa kau sudah membenciku hingga kau berbuat seperti ini?"
Lucy memegang kedua pipi Kyan dan saat itu ia melihat wajah Kyan bersemu.
"Maafkan aku, Kyan, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tidak bisa membencimu. Circle A atau bukan, walau otakku menolak, tapi hatiku tetap memilihmu. Ini satu-satunya cara, aku tidak ingin kau sendiri yang terjun melawan mereka."
"Kita partner, Lu! Kita lakukan semua ini bersama-sama! Waktunya masih lama hingga pemilu selanjutnya, kita pikirkan cara lain."
Lucy tersenyum, menurunkan tangannya dari pipi Kyan. "Kau benar! Baiklah."
Tiba-tiba, Kyan memeluk Lucy erat, mencium puncak kepalanya lembut.
"Lu, tidakkkah kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu?"
Lucy tersenyum, balas memeluk Kyan erat. "Ya, aku juga mencintaimu, Kyan."
Dalam hati, Lucy berjanji akan melakukan apa pun untuk membantu Kyan, meskipun menempatkan dirinya sendiri ke dalam bahaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top