1~Sang Gadis

    Sebuah pertengkaran hebat di sebuah rumah sederhana, dengan taman yang tidak terurus. Sepasang suami-istri berdebat hebat, dengan keadaan sekitar mereka yang sangat berantakan. Meja dan kursi sudah terjungkal tak berdaya, banyak pecahan kaca yang berceceran di lantai. Pertengkaran mereka berujung dengan sang suami menampar istrinya, dan kemudian di susul dengan tendangan kuat dari sang suami. Bukannya memohon ampun, justru sang istri menantang pria yang masih naik pitam itu

"Brengsek!" sebuah pukulan keras mendarat di tubuh wanita parubaya, yang kini tergeletak dengan cairan kental berwarna merah, mengalir di pelipisnya. Isak tangis terasa menggema, di ruangan dengan pencahayaan yang minim. Suara isak tangis itu keluar dari bibir seorang gadis, yang tengah meringkuk ketakutan di ujung ruangan sambil menutup kedua telinganya.

" HENTIKAN! TOLONG HENTIKAN!"

Sebuah pukulan terus menimpa tubuh sang istri lagi dan lagi. Darahnya mencrat, dan berbecak di dinding. Termasuk sebuah foto terpajang di sekitar dinding tersebut. Genangan darah mulai menyebar keluar dari tubuh sang istri.

"HENTIKAN!!" jerit sang gadis

Akhirnya sang istri mati dengan keadaan yang mengenaskan, di tangan suaminya sendiri. Sang gadis melihatnya hanya mengigil dalam ketakutan di sudut ruangan. Sebuah tubuh yang dilumuri dengan darah, darah yang sangat banyak. Gadis itu pun melihat sebuah botol minuman keras berukuran besar, tergeletak tidak jauh dia meringkuk. Segera dia mengambilnya, dan berjalan pelan ke arah pria tersebut. Sebuah hantaman kuat di bagian belakang kepala pria parubaya itu, membuat pria itu langsung tidak sadarkan diri. Botol yang di pegang gadis itu hanya tinggal leher botol saja. Matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang telah dia lakukan. Pria tersebut sudah terbaring, dengan darah segar keluar dari bagian belakang kepalanya. Perlahan sang gadis berjalan mundur ke belakang. Leher botol minuman keras yang masih dia pegang, kini perlahan lepas dari tangannya.

"Tidak...tidak...aku...bukan! Aku bukan pembunuh....AKU BUKAN PEMBUNUH! " jeritnya histeris

Sang gadis pun berlari keluar dari rumah yang penuh darah itu. Hujan deras di sertai petir yang menyambar, seolah menyambutnya dengan penuh semangat. Tapi sang gadis tidak memperdulikannya, dan terus berlari tak tentu arah. Kepalanya penuh dengan perkataan 'aku bukan pembunuh...Aku tidak membunuhnya...Aku hanya menyelamatkan diriku sebelum aku juga dibunuh oleh-nya'.

Seluruh tubuhnya, kini telah basah diguyur oleh hujan yang dengan begitu semangatnya menjatuhkan titik-titik air yang menghantam kerasnya bumi. Bercak darah yang menempel di bajunya, kini telah luntur oleh air. Sang gadis pun terjatuh di sebuah gang kotor dengan pencahayaan yang sangat minim.

"Aku ingin mati," gumannya tanpa sadar. Pada akhirnya, sang gadis jatuh pingsan di bawah hujan dan petir yang menguyur kota ini, kota yang di selimuti sejuta misteri. Jika kau ingin mengetahui misteri kota ini maka, kau tidak akan bisa memecahkan salah satu misteri di kota ini. Kota ini, semua orang yang hidup di sini, akan menyimpan semua rahasia mereka dengan sangat baik.

Gadis itu jatuh tidak sadarkan diri hingga pagi menjelang, dengan sang mentari yang mulai menampakan dirinya. Seekor anjing berjalan ke arah sang gadis. Kedua mata anjing tersebut hanya memandang bingung. Anjing tersebut menjilati wajah sang gadis. Perlahan sang gadis terbangun dari tidurnya. Anjing yang menjilati wajahnya langsung berlari meninggalkan sang gadis yang berusaha bangun dari posisinya.

Sensasi rasa sakit di sekujur tubuhnya terutama, di bagian kepalanya begitu terasa. Tubuhnya terasa begitu lemas hingga dia beberapa kali terhuyung ketika melangkahkan kakinya keluar dari gang kotor tersebut.

"Apa yang harus ku lakukan? Mau kemana aku sekarang?"

Terpaan sinar mentari pertama kali menyapa tubuh yang kotor dan lemah sang gadis, ketika keluar dari gang kotor tersebut. Kedua iris matanya memandang kosong ke sekitar. Dan seperti biasa, kota ini selalu disibukan oleh pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang menyadari keberadaan sang gadis sekarang, walaupun dia berada di tengah-tengah mereka. Sang gadis pun berjalan tak tentu arah, menyusuri jalan tortoar dengan wajah pucat pasi, sambil memeluk tubuhnya yang mulai mengigil dan lengket akibat hujan semalam. Pandangan matanya mulai mengabur. Berusaha menahan rasa sakit di sekujur tubuh yang pada akhirnya dia pun terjatuh di tortoar.

Tidak ada yang memperhatikannya, tidak ada yang membantunya, orang-orang yang berlalu lalang hanya sibuk dengan kegiatan mereka. Hingga, seorang wanita tua berjalan mendekati sang gadis.

"Kau tidak apa-apa nak?" ucapnya

Perlahan dia menoleh ke sumber suara. Sosok wanita tua mengunakan kerudung coklat kusam dengan baju hijau tua yang dikenakannya, menatap sang gadis dengan pandangan simpati.

"Kau sendirian?" sang gadis pun hanya menganguk lemah.

"Kalau begitu. Ayo, ikut Nenek. Kau pasti lelah dan lapar," katanya dengan senyuman hangat layaknya seorang Nenek pada cucu kesayangannya.

Nenek tua tersebut membawa sang gadis ke sebuah rumah tua yang tidak jauh di daerah perkotaan. Rumahnya sederhana, terbuat dari kayu dengan beberapa tanaman bunga yang tumbuh di sana. Dan juga sebuah kursi goyang, bersama meja kecil bundar terpajang di teras rumah.

Dan disanalah sang gadis diberi makan dan pakaian. Nenek tua itu pun sudah menganggap bahwa sang gadis adalah cucunya sendiri. Dia selalu menyayangi sang gadis. Perlahan-lahan sang gadis menyadari ada yang aneh dengan nenek. Dia selalu marah kalau gadis itu keluar rumah tanpa pamit atau ngendap-ngendap masuk ke kamarnya tanpa izin.

Keanehan itu makin lama semakin terasa. Sang gadis mulai curiga pada sang nenek. Dia pun menyusup masuk ke kamarnya tanpa sepengetahuan sang nenek, ketika beliau sedang pergi keluar.

Suara decingan pintu terdengar begitu nyaring ketika pintu itu dorong. Iris mata sang gadis menatap ke dalam kamar. Tidak ada yang aneh dengan kamar ini. Perlahan, ke dua kakinya melangkah masuk ke kamar nenek sambil menutup kembali pintu kamar dengan hati-hati. Ada sebuah jalan tepat di sebelah rak buku berukuran sedang. Ketika sang gadis berdiri tepat di jalan tersebut, kedua iris matanya menatap terkejut sekaligus tidak percaya apa yang dia lihat.

Banyak ramuan aneh terusun di dalam rak-rak berukuran lumayan besar, bau-bau yang tidak lazim menyerbak masuk ke indra pernafasannya. Yang membuatnya begitu terkejut bukanlah botol-botol ramuan yang terpajang di rak-rak, melainkan mayat wanita muda yang kelihatannya seumuran dengannya, tergantung layaknya binatang yang akan segera di sembelih dengan lengan yang mengantung meneteskan darah. Darah yang mengalir dari pergelangan tangan gadis-gadis yang tergantung, jatuh tepat di sebuah wadah yang besar yang berisi darah, darah yang sangat banyak.

Krekk...suara decingan pintu terbuka, membuat sang gadis merinding seketika. Sang gadis pun dengan cepat bersembunyi di bawah kolong meja yang tertutup oleh kain. Jantungnya terasa berdegup kencang. Ketakutannya semakin mendominasi dirinya. Suara langkah kaki memasuki ruangan itu terasa begitu mengema di telinga sang gadis.

"Sebentar lagi ramuan awet muda ku akan sempurna. Aku akan panjang umur dan awet muda," ujarnya dan di akhiri dengan tawa yang mungkin lebih mirip tawa nenek sihir.

Kletengg...suara benda kaleng jatuh dan bergelundung entah kemana, membuat sang gadis semakin ketakutan dengan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Gawat apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan mati di sini setelah aku menghindari kematian yang menimpaku waktu itu? Batin sang gadis.

Nenek itu berjalan perlahan ke arah meja. Setiap langkahnya merupakan peringatan besar bagi sang gadis. Keringat dingin mengucur di pelipisnya dan detak jantungnya berpacu sangat kencang. Kepanikan luar biasa melanda sang gadis. Aku harus keluar dari sini bagaimana pun juga, aku tidak mau berakhir menyedihkan seperti itu, ujarnya dalam hati.

Sang gadis pun segera mengambil ancang-ancang, jika nenek sihir itu membuka kain telapak mejanya. Nenek itu pun mulai berjongkok dan mulai membuka kain meja, Sang gadis langsung melesat keluar dari kolong meja. Namun sayang, aksinya ketahuan karena barang yang ada di atas meja terjatuh.

"Hey! Anak kecil mau kemana kau!" teriaknya

Sang gadis pun membanting pintu kamar nenek dan berlari ke arah pintu keluar.

"Sial! Pintunya terkunci!" umpatnya kesal sambil berusaha membuka pintu tersebut.

Terdengar suara tawa bak nenek sihir dari arah belakang, "Kau mau kemana, nak? Karena kau sudah tahu, kau harus mati sekarang juga!" seru nenek sambil mengeluarkan sebilah belati.

Sang gadis pun mengeleng keras, mengigil dalam ketakutan. Sang gadis berjalan ke samping guna mengantisipasi jika sang nenek menyerangnya. Hingga, sang gadis melihat guci yang berada di belakangnya, dan langsung mengambilnya, menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Perlahan sang gadis berjalan mundur di pojokan.

"Ne-nenek jangan bunuh aku. Aku mohon, apa kau tidak sayang padaku?" ucap sang gadis dengan sedikit terbata.

"Tentu saja aku sayang padamu. Pada tubuh mudamu itu. Kau tidak bisa lari kemana-mana sayang. Kau akan jadi pelengkap ramuanku," kata nenek sambil tertawa

Dia berjalan semakin mendekati sang gadis. Tangan sang gadis yang berada di belakang menggengam erat guci yang ada di belakang badannya. Dengan sekuat tenaga, gadis itu menghantamkan guci yang dipegangnya tepat di kepala sang nenek. Dia pun terjatuh meringis kesakitan dengan darah mengalir di kepalanya. Dengan cepat, sang gadis merampas kunci yang ada di pinggangnya. Ketika hendak pergi, kaki kiri sang gadis dipegang oleh-nya.

"Kau tidak akan bisa lari!"

Sang gadis segera menedangnya dengan kaki kanannya, dan langsung berlari meninggalkan rumah itu tanpa menoleh ke belakang. Langkah kakinya menuntunnya kembali lagi di kota metropolitan. Malam yang begitu dingin menyapanya. Kota ini perlahan mematikan cahaya-cahaya kecil-nya, yang menyisakan lampu neon sepanjang trotoar yang masih tetap setia menerangi gelapnya malam.

Langkah kakinya mulai melambat, menatap kosong pemandangan yang berada di depannya. Sang gadis memeluk tubuhnya yang mulai kedinginan karena sebentar lagi sang langit akan meneteskan air matanya. Kenapa...kenapa...kematian selalu mendatangiku? Apakah aku tidak pantas menerima sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan kecil sedikit pun? Batin sang gadis.

Perlahan, langit akhirnya meneteskan air matanya. Sang gadis mendongak menatap langit yang gelap gulita. Dia teringat ketika ia kabur dari tempat yang bisa dia sebut sebagai neraka. Yah, ini mirip dengan kejadian itu, ujarnya dalam hati

Sang gadis menatap sebuah teras toko yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia pun berteduh di sebuah toko yang sudah tutup dengan lampu temaram yang menerangi daerah teras toko tersebut. Sang gadis duduk sambil menekuk kedua kaki dan melipat kedua tangan di atas lututnya. Di tengelamkan wajahnya dan air mata-nya perlahan mengalir di sudut matanya.

Aku teringat akan kata-kata pria brengsek dan pembunuh itu, bawah kita tidak boleh mempercayai siapapun. Ini seperti kejadian waktu itu. Ya, ini mirip dengan kejadian itu ketika aku lari dari tempat yang kusebut neraka, batinnya.

Sang gadis pun kembali mendongak menatap langit gelap tanpa bintang, tanpa ada cahaya rembulan. Hanya awan hitam yang menguasai langit malam. Dia hirup aroma harum hujan malam ini.

"Apakah ini yang dinamakan dikucilkan oleh Tuhan?" gumannya tanpa sadar

Kedua matanya perlahan ditutupnya dan mempasrahkan dirinya menerima dinginnya angin malam yang menusuk di tubuhnya. Aku ingin mati. Mati. Aku sudah pasrah jika kematian kembali mendatangiku. Jika ada yang ingin membunuhku, aku akan menerimanya dengan setulus hati, katanya dalam hati

Tidak lama kemudian, seseorang berjubah hitam berjalan mendekati sang gadis. Merasa ada yang mendatangi dirinya, sang gadis pun mendongak menatap pria yang mulai membungkukan badannya.

"Ikulah denganku," ucapnya sambil membuka kacamata hitam miliknya dan terlihat kedua iris mata yang merah menyala.

Seperti terhipnotis, sang gadis pun perlahan mulai tidak sadarkan diri dan berakhir jatuh di pelukan seorang berjubah hitam.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top