5

Halloooo....

Datang lagi, nih. Mumpung lagi rajin.

Btw, ketik langsung publish, ya. Kl ada kalimat yang bikin bingung feel free aja buat komen.

Happy reading dan taburin bintangnya, ya.

###

"Eh ngelamun aja." Sebuah suara mengagetkan Jelita. Ia segera menoleh dan mendapati Melly sudah tertawa tertahan di sebelahnya.

"Apaan deh, Mel. Bikin kaget aja," ucap Jelita kesal.

"Kamu melamun terus sampai nggak sadar aku udah di sini dari tadi. Lihatin apa? Si Bapak?" tanya Melly dengan mengedikkan bahu ke arah Pak Surya dan istrinya dari kejauhan.

Anggukan Jelita berikan sebelum menjawab pertanyaan Melly. "Pak Surya beda banget kalau di rumah."

"Emang apanya yang beda?" tanya Melly.

"Di kantor kejamnya nauzubillah eh di sini lumer banget. Beliau kelihatan sayang banget sama anak-anak dan istrinya," desah Jelita.

"Bukan cuma sayang banget, tapi cinta mati," tegas Melly mantap.

"Eh, maksudnya?"

Melly menoleh ke sekeliling lalu menarik tangan Jelita menuju meja di mana tersaji beraneka hidangan lezat.

"Ngobrolnya sambil makan dulu biar otak bisa diajak jalan."

Jelita tertawa geli lalu menuruti keinginan teman barunya itu.

"Eh, Mas Rihan mana, kok nggak lihat?" Jelita seketika ingat dengan suami Melly. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan suami rekan kerjanya itu.

"Dia lagi ngobrol tuh sama ponakannya," tunjuk Melly ke salah satu sudut ruangan. Pada seorang pemuda yang terlihat begitu akrab sedang mengobrol dengan suami Melly.

Jelita mengernyit sesaat, "Bukannya itu putra sulung Pak Surya? Tadi aku dikenalin." Jelita masih begitu ingat saat istri atasannya itu memperkenalkannya dengan anak-anaknya.

"Emang," ucap Melly santai sambil memilih makanan di depannya.

"Mas Rihan masih ada hubungan keluarga dengan Pak Surya? Atau mungkin Ibu Tari?" Jelita masih tak paham.

Melly terdiam seolah berpikir.

"Kamu tadi mau cerita apa tentang Pak Surya, Mel? Sebelum ngajak makan barusan." Jelita menagih ucapan Melly yang sempat terpotong. "Terus, itu kok Mas Rihan kelihatan deket banget sama putra Pak Surya."

Melly terkekeh sejenak sebelum melontarkan kalimatnya, "Mas Rihan kan paman mereka, Lit. Dari kecil udah deket banget."

"Eh?"

Senyum Melly mengembang. "Aku nggak pernah cerita ke kamu, ya. Sungkan sih sebenarnya. Takut dikira sok ngaku-ngaku dekat sama atasan. Tapi karena hari ini adalah hari terakhirku bekerja jadi gak masalah deh kalau aku cerita."

Jelita makin penasaran dengan kalimat temannya.

"Jadi, Mas Rihan tuh dulu adik iparnya, Mbak Tari." Melly mengganti panggilannya kepada istri atasan mereka. Hal yang seketika membuat Jelita makin bingung.

"Mas Rihan, adiknya Pak Surya?"

Gelengan pelan Melly berikan.

"Dulu, Mbak Tari nikah sama almarhum kakak Mas Rihan. Mereka punya dua orang anak. Rasya dan Tasya. Mereka anak-anak Mbak Tari dengan suaminya terdahulu," tunjuk Melly pada seorang gadis yang ikut bergabung dengan suaminya.

"Jadi Bu Tari nikah sama Pak Surya sudah dalam posisi janda? Tapi Pak Surya kelihatan sayang banget sama kedua anak sambungnya. "

"Mereka berdua sama-sama sudah menikah, tapi Pak Surya belum mempunyai anak. Mbak Tari dulu staf administrasi di hotel."

"Eh menarik juga, ya, Mel. General Manager bisa ketemu sama pegawai biasa."

"Sebenarnya nggak sesederhana itu. Mereka berdua adalah sepasang kekasih di waktu kuliah. Pak Surya kakak tingkat Mbak Tari. Mereka bertemu kembali saat Pak Surya pindah tugas ke sini."

"Akhirnya mereka jatuh cinta kembali dan menikah, ya?"

"Seperti aku bilang tadi, tidak sesederhana itu." Melly menjeda kalimatnya seolah berpikir. "Di Bandung kamu nggak pernah denger gosip-gosip tentang Pak Surya, ya?" mulai Melly setelah ia duduk di salah satu sudut ruangan sambil mulai menikmati hidangan yang ia suka.

Jelita berpikir sejenak. Lalu ingatannya terpaut pada semua kabar burung yang pernah ia dengar yang tak sedikitpun ia percaya karena begitu tak masuk akal. Seketika ia sadar, jangan-jangan kabar burung itu memang benar.

"Jangan-jangan kabar kalau beliau pernah berada di---" Jelita tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Anggukan pelan Melly berikan yang seketika membuat Jelita meneguk ludah ngeri.

"Beliau pernah melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap bawahannya," lanjut Jelita pelan khawatir ada orang yang mendengar ucapannya. "Lalu wanita yang menjadi korban bagaimana nasibnya sekarang, Mel? Aku jadi kasihan sama wanita itu. Termasuk juga Bu Tari yang telah dikhianati. Padahal beliau terlihat begitu baik. Apa mungkin Pak Surya merasa bersalah makanya terlihat begitu sayang sama Bu Tari."

Sekilas Melly mengernyitkan kening berusaha memahami. "Kamu salah paham, Lit."

"Eh?"

"Korbannya Mbak Tari. Istri beliau sendiri," ucap Melly pelan lagi-lagi khawatir apa yang ia bicarakan dengan Jelita terdengar oleh orang-orang di sekitar mereka.

"Ma... Maksudnya?" tanya Jelita gagap.

"Pak Surya itu cinta mati sama Mbak Tari. Beliau sampai melakukan tindakan tak bermoral itu demi mendapatkan Mbak Tari. Padahal saat itu mereka masih bersama pasangan masing-masing."

Jelita seketika menutup mulutnya terkejut makin ngeri.

"Kamu jangan nakut-nakutin, Mel!"

Tapi Melly justru melanjutkan ceritanya.

"Aku jadi saksi perjalanan hidup mereka berdua hingga berada di titik sekarang ini. Pak Surya yang kamu lihat saat ini adalah orang yang jatuh bangun mendapatkan istrinya. Orang yang rela meletakkan dunia di bawah kaki istrinya. Kerumitan hubungan mereka sudah menjadi dongeng di hotel."

"Aku masih nggak terlalu paham, Mel." Jelita masih kebingungan.

"Kalau aku cerita semuanya, mungkin sampai besok pagi selesainya. Lagi pula dengan cerita kayak gini ke kamu, sama aja aku udah buka aib orang. Setidaknya aku kasih bocoran sedikit ke kamu, biar dosanya nggak banyak-banyak karena udah ghibahin orang." Melly terkikik lalu kembali menikmati makanannya. Mereka pun memutuskan untuk tidak lagi membahas urusan pribadi atasannya lagi meskipun otak Jelita masih kesulitan mencerna semua kalimat yang telah Melly lontarkan.

Satu jam kemudian acara pun berakhir. Jelita dan Melly berpisah. Jelita pulang terlebih dahulu sedangkan Melly masih berkeinginan tinggal lebih lama untuk menyapa keponakan sang suami.

Saat Jelita hendak berpamitan kepada tuan rumah, tiba-tiba saja dilihatnya sesosok pria yang akhir-akhir ini begitu familiar tampak sedang berbincang dengan Pak Surya dan istrinya. Fokus mereka teralihkan dengan kedatangan Jelita di antara mereka.

"Kok buru-buru. Di sini aja dulu, kita belum ngobrol banyak," ucap istri Surya dengan ramah.

"Terima kasih, Ibu. Sudah cukup larut. Lain kali kita bisa ngobrol. Terima kasih atas undangannya."

Saat Jelita hendak bersalaman dengan Surya, pria itu tiba-tiba saja berucap, "Ini sekretarisku yang baru, Yud. Mutasi dari Bandung untuk gantiin Melly."

Pria di sebelah Surya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Jelita. "Wah, kita ketemu di sini. Bagaimana kabarnya, Bu Jelita?"

Jelita menyambut uluran tangan pria itu, "Baik, Pak Prayudha. Saya tidak menyangka bertemu Bapak di sini." Senyum tulus tersungging di bibir Jelita saat pria yang menjadi pemilik Paviliun yang ia sewa itu menyapanya.

"Lo, kalian sudah kenal? Kenal di mana?" tanya Pak Surya kebingungan.

"Mohon maaf sebelumnya, Pak Surya. Kebetulan saya menyewa salah satu paviliun Pak Prayudha," ucap Jelita sungkan yang diiyakan oleh Prayudha.

"Oh, ternyata Jelita tinggal sama Mas Yudha. Tiap hari bisa ketemu, dong." Tari menambahi.

"Malah jarang, Bu. Ini saja baru dua kali bertemu secara langsung dengan beliau. Biasanya saya hanya melihat sekilas saja. Kalau dengan Erina justru setiap hari."

Pasangan suami istri di depan Tari terlihat mengulas senyuman.

"Bu Jelita sudah akrab dengan Erina. Sering keluar bareng juga, Ri." Prayudha menjelaskan.

"Jelita saja, Pak. Tidak usah ada bu-nya." Jelita merasa tak nyaman dengan panggilan itu. Prayudha pun hanya mengulas senyuman sambil mengangguk pelan mengiyakan.

"Oh, ya. Kalau begitu kenapa nggak sekalian pulang bareng saja. Kan tujuannya sama, lebih aman. Dari pada Jelita naik taksi, sudah malam." Tari tiba-tiba melontarkan ide yang membuat Jelita merasa tak nyaman. Ia tak ingin merepotkan siapa pun meskipun tujuan mereka sama.

"Tidak perlu, Ibu. Saya bisa memesan taksi. Aman, kok meskipun malam."

"Jelita pulang dengan saya saja. Betul kata Tari."

"Tidak usah, Pak. Saya bisa naik taksi. Nanti Bapak justru repot." Jelita masih merasa tak nyaman.

"Tidak ada yang repot. Tujuan kita sama, kan. Jadi tidak perlu sungkan. Ayo, kita pulang sekarang, kan?"

Akhirnya Jelita pun tak mampu menolak.

***

Saat mobil yang disetiri oleh Prayudha keluar dari gerbang rumah mewah itu, ponsel Jelita berbunyi. Sebuah panggilan video masuk, tapi tak direspons oleh Jelita hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Jelita tak mungkin menerima panggilan telepon apalagi video saat dirinya bersama orang asing dan lebih parahnya dia sedang menumpang.

Namun, sepertinya Jelita masih akan dibuat repot. Ponselnya kembali berdering. Membuat Jelita kembali merasa tak nyaman.

"Angkat saja, siapa tahu penting. Tidak usah sungkan." Sepertinya pria itu tahu apa yang Jelita pikirkan. Setelah mengucapkan maaf, Jelita membuka tasnya demi melihat siapa si pemanggil.

Erina. Kenapa gadis itu menghubunginya?

"Erina, Pak." Jelita melontarkan kata itu sebelum menerima panggilan.

"Angkat saja."

Setelah dua kata itu diucapkan Prayudha, Jelita pun menerima panggilan.

"Mbak! Aku sudah bilang Mas Eric. Dia besok mau ikut. Tinggal bilang papa aja, nanti kalau papa sudah datang dari undangan temannya aku mau bilang. Moga aja papa mau." Erina seketika melontarkan kalimatnya begitu Jelita menerima panggilan videonya. Tanpa sapaan apalagi basa-basi.

"Bilang apa, Rin? Kenapa papa harus mau?" Suara pria di sebelah Jelita seketika membuat Jelita tergeragap terkejut. Tak menyangka jika pria itu tiba-tiba ikut bergabung dalam obrolannya.

"Eh, Mbak!? Mbak di mana? Kok ada suara papa? Itu di mobil, kan? Mbak sama papa, ya?"

###

Gimana?

Gimana?

"Tenang aja, di sini jalur halal dunia akhirat. Gak bakalan ada tikung menikung atau salip kiri n kanan wkwkwk...." kata pembaca yang selalu optimis kalau penulisnya selalu di jalur lurus tanpa noleh. 🤣🤣🤣

Nia Andhika
10062024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top