4

Hallooooo....

Syelamat malam....

Masih ada yang nungguin, kan?

Masih inget sama ceritanya, kan?

Wkwkwkkw.....

Maapin penulisnya yang syelalu sok sibuk, ye.

Yuk, lanjutin baca n jangan lupa sentuh bintangnya.

###

"Kamu istirahat aja, Sayang. Kayaknya capek banget. Aku juga mau istirahat." Kalimat itu akhirnya menjadi penghujung dari percakapan Jelita dan Andre setelah perbincangan mereka melalui panggilan video berlangsung hampir enam puluh menit. Siang tadi mereka sudah sempat berkomunikasi di jam istirahat. Lalu setelah Jelita tiba di paviliunnya, Andre kembali menghubungi.

Mereka melakukan panggilan video sambil makan malam bersama. Jelita menyantap makan malam di dapur paviliunnya. Sedangkan Andre menikmati makan malam di meja makan rumah mereka. Hal yang membuat Jelita begitu bahagia setelah sejak kemarin ia dirundung rasa tak nyaman atas sikap Andre. Kini, ia tak lagi memikirkan hal itu lagi. Ia sadar, dirinyalah yang terlalu terbawa perasaan. Membuatnya berpikir di luar nalar dan mulai dilanda rasa cemas karena belum terbiasa berjauhan.

"Iya, deh. Aku juga udah ngantuk banget. Kamu baik-baik di sana, ya, Ndre. Jangan sampai menghilang gitu aja. Jangan bikin aku cemas."

"Maaf, aku kan sudah bilang alasannya. Aku nggak bakalan lalai lagi. Aku terkadang masih suka lupa kalau kamu nggak ada di sini. Jadi aku kadang berpikir, kan nanti kita bisa ketemu di rumah. Tapi ternyata kamu tidak ada di rumah." Andre berucap dengan nada penyesalan yang mendalam. Membuat Jelita akhirnya mengulas senyum maklum.

"Cobaannya orang LDRan gini banget ya, Ndre. Baru juga beberapa hari rasanya udah berat banget." Jelita mulai merasakan sesak. Padahal sesaat yang lalu ia sudah lebih banyak tersenyum.

"Dua minggu lagi aku ke sana, ya? Kalau kamu yang pulang aku nggak tega. Pasti capek banget di perjalanannya."

Kalimat itu seketika membuat Jelita berbinar. "Beneran, Ndre?"

"Iya, kan kita sudah komitmen bakal bertemu setidaknya dua minggu sekali selama tidak ada halangan. Besok aku mau coba cari tiket." Kalimat Andre makin membuat Jelita melambung. Hingga akhirnya percakapan itu pun berakhir dengan senyum yang menggelayut di bibir Jelita yang ia bawa hingga tidur lelapnya.

***
Hari-hari berikutnya berjalan dengan lebih ringan. Andre selalu menghubungi Jelita tanpa wanita itu minta. Sepertinya Jelita pun mulai yakin jika kekhawatirannya beberapa hari lalu hanya ada dalam pikirannya saja. Andre tak jarang meluangkan waktunya bahkan saat pria itu sibuk di kantor. 

"Lit, nanti malam mau bareng aku ke rumah Pak Surya?" Suara Melly mengusik Jelita yang sedang fokus pada layar komputer di depannya. Ia baru saja mematikan panggilan video Andre karena pria itu akan berangkat rapat keluar kantor.

"Nggak usah. Makasih banget. Kita beda arah. Aku bisa pesan taksi."

"Udah, bareng aku aja." Melly masih memaksa.

"Ih, ibu hamil jangan keras kepala. Aku beneran bisa berangkat sendiri. Lagi pula rumah Pak Surya lebih dekat dari paviliunku dari pada rumah kamu." Jelita tahu diri. Ia tak mungkin terlalu banyak merepotkan orang lain. Ia juga perlu membiasakan diri melakukan semua hal sendiri. Apalagi minggu ini adalah minggu terakhir Melly bekerja. Melly akan resign dan tentu saja beban kerja Jelita akan menjadi lebih banyak.

"Beneran, nih? Kamu nggak bingung kan sama lokasi rumah Pak Surya?" Melly masih tak yakin. Ia masih tak tega pada wanita yang sudah begitu akrab dengannya itu.

"Kan ada map, Mel. Rumah Pak Surya bukan di hutan belantara yang nggak terjangkau sama jaringan internet."

Melly akhirnya tertawa. Ia pun menyerah dan membiarkan Jelita dengan keputusannya.

***
Pukul setengah tujuh, Jelita sudah siap dengan penampilan rapinya. Ia duduk di kursi teras paviliunnya untuk menunggu taksi yang ia pesan hingga sebuah suara mengusiknya.

"Mbak, kok cantik! Mau ke mana?"

Jelita seketika menoleh ke asal suara. Dilihatnya Erina berjalan menghampiri dengan dua cup berisi minuman yang Jelita duga adalah kopi.

"Aku ada undangan, Rin."

"Yah..." desah Erina kecewa. "Padahal aku pengin ngajakin Mbak jajan. Ini kopinya udah aku beli duluan." Erina mengulurkan minuman yang ia bawa ke hadapan Jelita.

"Maaf, Rin. Lain kali aja, ya. Atau besok, deh. Mbak janji. Kan besok libur." Jelita mencoba menawar. Ia merasa kasihan pada gadis yang telah menjadi sahabatnya itu.

Erina berpikir sejenak sebelum ia melontarkan kalimat balasannya, "Tapi besok kita jalan pagi-pagi, ya, Mbak. Jogging aja gimana? Sekalian nanti malam kan Mas Eric datang dari Malang. Besok pagi kita jogging bertiga. Atau sekalian ajak papa aja biar rame. Papa kalau hari Minggu sering bersepeda sama teman-temannya. Kalau kita ajak siapa tahu papa mau absen bersepeda dulu." Erina menyebut sang kakak yang kebetulan kuliah di Malang dan pulang satu Minggu sekali ke Surabaya.

"Terserah kamu, deh, Rin. Atur sendiri gimana enaknya. Yang penting nanti sebelum tidur kabari aja,
jadi apa nggak."

Erina yang sesaat lalu terlihat muram akhirnya kembali menyunggingkan senyuman.

"Oke, deh kalau gitu. Nanti aku pastiin dulu. Eh, itu kayaknya taksi Mbak udah datang deh," tunjuk Erina saat Prapto berjalan menghampiri mereka. Pasti taksi yang Jelita pesan sudah menunggunya di depan sana.

"Ya udah kalau gitu aku balik aja, ya, Mbak. Nanti aku kabari. Oh, ya. Kopinya biar aku bawain balik aja. Aku taruh kulkas." Erina mengambil kembali kopi di tangan Jelita.

"Maaf banget ya, Rin," ucap Jelita penuh penyesalan.

"Udah santai aja, Mbak. Aku tadi cari Mbak siapa tahu bisa diajak jajan. Di rumah nggak ada orang. Papa juga baru aja keluar."

Jelita makin merasa tak nyaman. Untung saja Erina segera memintanya segera berangkat karena Prapto mengatakan jika taksi pesanan Jelita sudah menunggu. Sesaat kemudian mereka pun berpisah dan tak sampai tiga puluh menit Jelita sudah tiba di rumah atasannya.

Sebelum memasuki rumah megah itu, ia sempatkan menghubungi Melly. Ia tak ingin merasa canggung karena tidak ada orang yang ia kenal. Sialnya, wanita itu mengatakan jika dirinya masih terjebak macet. Mau tak mau Jelita pun akhirnya memasuki rumah atasannya itu seorang diri.

Sambutan ramah ia dapatkan dari si tuan rumah. Wanita cantik yang ternyata adalah istri Pak Surya membuat rasa canggung perlahan menghilang. Wanita yang meminta dirinya dipanggil Tari itu membawanya masuk ke tempat pesta diadakan.

Tasyakuran, itulah yang wanita itu katakan. Wanita itu tak mau menyebut pesta karena ia mengatakan tak suka dengan keriuhan. Sekilas, Jelita merasa jika dia akan menyukai istri atasannya itu. Pembawaannya yang lembut juga ramah adalah hal yang menarik perhatian Jelita. Sejauh ini, ia masih belum pernah mendapati istri-istri semua atasannya terdahulu yang terlihat ramah seperti wanita ini.

Wanita itu juga memperkenalkannya kepada ke empat anaknya yang duduk di bangku SMA, SMP, SD, dan si bungsu yang masih balita. Sejenak Jelita merasa takjub. Atasannya itu yang kini berusia hampir mendekati angka lima puluh masih memiliki balita. Dan sepertinya sang istri, Jelita duga berusia awal empat puluhan atau akhir tiga puluhan. Hal yang seolah menjadi angin segar untuk dirinya. Ia merasa optimis dan merasa masih mempunyai cukup banyak kesempatan untuk mendapatkan hadiah terindah yang terwujud dalam sosok duplikatnya kelak.

Tak lama kemudian pasangan itu pun meninggalkannya karena masih menyambut tamu lain yang datang. Dari kejauhan Jelita mengamati pasangan suami istri itu. Senyumnya perlahan tersungging samar saat melihat keduanya terlihat begitu bahagia. Apalagi senyuman tak pernah lepas dari bibir Pak Surya. Pria yang selalu terlihat tak ramah itu ternyata begitu jauh berbeda saat di rumah.

Bahkan, beberapa kali Jelita melihat pria itu mendaratkan bibirnya di pelipis atau bahkan di rambut sang istri yang bertubuh mungil itu. Tangan kiri pria itu juga selalu melilit pinggang atau bahu sang istri. Seolah ia akan mati jika tak bisa menyentuh dan berdekatan dengan sang istri. Benar-benar pasangan yang manis. Dan entah kenapa hal itu seketika membuat Jelita membandingkan dirinya dan Andre.

Beberapa menit kemudian, acara pun dimulai dengan begitu meriah meskipun tidak seberisik pesta ulang tahun pada umumnya. Lagi-lagi, perhatian Jelita terus terfokus pada kedekatan dan kemesraan pasangan tuan rumah yang aura kebahagiaannya begitu terpancar. Ya, siapa yang tidak berbahagia saat bisa melihat dan memeluk pasangannya kapan saja tanpa terhalang jarak. Bisa melepas penat dan berbagi hari lelah sepulang bekerja. Apalagi dikelilingi anak-anak yang menjadi tujuan hidup mereka.

Jelita mengernyit sesaat. Kembali teringat saat ia diperkenalkan dengan anak-anak Pak Surya beberapa saat yang lalu. Sedikit rasa iri menyeruak di dada Jelita. Apakah ia akan bisa mendapatkan hal yang sama? Dicintai dan dipuja oleh Andre seumur hidupnya juga mendapatkan hadiah luar biasa berwujud bayi-bayi mungil yang akan menyempurnakan harinya.

Ya, Tuhan. Ia lagi-lagi nelangsa dan terus menerus membandingkan dirinya dan Andre saat melihat kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Sampai kapan ia akan seperti ini?

###

Nia Andhika
09062024

Bab berikutnya bakal segera tayang, ya. Yang mau baca kisah Pak Surya dan Ibu Mentari bisa mampir ke lapak Another Sunshine.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top