3

Hollaaaa... selamat siang. Akhirnya LDR bisa tayang lagi. Kasih tepuk tangan dunk....

Ketik lsg publish ya, kalau nemu kalimat aneh feel free buat komen.

Sebelum baca tap bintangnya dulu ya, n jangan lupa ramein....

Happy reading.

###

Jelita akhirnya mampu memejamkan mata saat hari menjelang subuh. Dan satu jam setelahnya ia sudah terbangun karena merasa tidurnya tidak begitu nyaman. Efek memikirkan sang suami membuatnya tak tenang. Entah kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul. Sebelumnya ia tak pernah sekalipun berpikiran jika Andre mempunyai niat buruk terhadap dirinya.

Bahkan saat Latisha, tetangga depan rumah Jelita yang begitu akrab dengannya sering kali mengingatkan untuk lebih berhati-hati, Jelita mengabaikan. Ia tahu sebesar apa Andre memujanya. Andre adalah sosok yang mampu mengalihkan keterpurukannya akibat pengkhianatan yang telah dilakukan oleh kekasih Jelita di masa kuliah. Andre mengejarnya bahkan saat Jelita menolak untuk dekat dengannya. Pria itu dengan gigih terus menerus mendekati Jelita dan menunjukkan keseriusannya. Hingga akhirnya Jelita pun luluh. Ia tak mampu menolak semua perhatian Andre lagi.

Apalagi, Andre bisa dibilang berwajah di atas rata-rata. Tak ada wanita yang mengatakan jika pria itu tak menarik. Pasti semuanya akan mengatakan jika pria itu begitu luar biasa mempesona. Ditambah lagi tubuh menjulang pria itu yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Jika semua kelebihan fisik itu ditambah dengan perhatian dan kasih sayang yang begitu melimpah kepadanya, lalu apa lagi yang Jelita cari? Bukankah ia sudah mendapatkan semuanya?

Jelita meraih ponsel mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari suaminya. Nihil. Tak ada apapun di sana. Justru Erina yang sudah mengirimkan pesan untuk berangkat bersama. Gadis itu kebetulan berangkat ke kampus tidak sepagi biasanya. Jelita mengetik pesan balasan untuk Erina lalu tanpa pikir panjang dihubunginya sang suami. Tiga kali panggilan ia lakukan. Namun, hanya kekecewaan yang Jelita dapatkan. Kenapa suaminya itu begitu sulit dihubungi? Ada keinginan menghubungi Latisha dan menanyakan kondisi suaminya kepada tetangganya itu. Namun, masih sepagi ini. Ia khawatir wanita itu masih sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami dan balita mereka.

Akhirnya Jelita hanya mampu pasrah. Ia menyiapkan diri untuk berangkat bekerja. Saat dirinya memberikan sentuhan akhir pada mekapnya, ketukan di pintu paviliun terdengar. Pasti Erina. Rupanya gadis itu sudah siap berangkat.

Jelita memasang jam cantik di pergelangan tangan. Hadiah di saat ulang tahunnya tahun lalu dari Andre. Masih ada waktu satu jam lima belas menit lagi sebelum jam kerjanya dimulai. Rupanya Erina terlalu terburu-buru menjemputnya. Mungkin ia bisa mengajak gadis itu untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.

Namun, rencana Jelita gagal saat ia membuka pintu. Wajah Erina muncul di balik pintu dengan senyuman lebarnya. Di tangannya sudah ada nampan berisi dua buah mangkuk yang menguarkan aroma menggoda.

"Kita sarapan dulu, ya, Mbak. Masih ada waktu, kok." Gadis itu berucap lalu menerobos masuk bahkan sebelum dipersilakan.

"Kita makan di sini apa di dapur aja? Eh, sepertinya enakan di dapur, Mbak." Gadis itu mengedarkan pandangan pada ruang tamu yang tidak begitu luas itu. Saat Jelita mengiyakan, gadis itu pun berderap menuju dapur dan meletakkan nampan di satu-satunya meja di ruangan itu.

"Mbak nggak pilih-pilih makanan, kan? Ini tadi budhe Suli yang masak. Sudah pernah makan ini belum?" tunjuk Erina pada mangkuk berisi makanan berkuah kehitaman.

Jelita menggeleng. "Kayaknya belum pernah deh. Tapi aku tahu itu makanan apa. Rawon, kan?"

Erina mengacungkan jempol. "Yups, makanan orang Jawa Timur, Mbak. Yuk, cobain. Pasti nagih." Setelah mengucapkan kalimat itu, Erina mulai menyuapkan isi mangkuk di hadapannya. Tiga puluh menit kemudian mereka sudah menyelesaikan sarapan yang diiringi obrolan ringan. Setidaknya Jelita bisa mengalihkan kekhawatirannya kepada sang suami meskipun hanya sementara.

Setelah menurunkan Jelita di area parkir belakang hotel, Erina memacu mobilnya menuju kampus. Gadis itu mengatakan akan kembali menjemput Jelita nanti sore. Hal yang benar-benar membuat Jelita merasa tak nyaman. Ia baru mengenal gadis itu, tak baik jika ia terus menerus merepotkannya.

"Siapa yang nganterin kamu barusan?" Suara seorang wanita mengagetkan Jelita. Membuat wanita itu menepuk dadanya akibat rasa terkejut yang menerpa.

"Kamu ngagetin banget, Mel. Untung aku nggak punya riwayat penyakit jantung."

Melly hanya terkekeh menanggapi kalimat Jelita.

"Itu tadi Erina, aku nyewa salah satu paviliun milik orang tuanya."

"Paviliun yang diujung sana itu, kan?" tunjuk Melly pada jalan yang mengarah pada tempat tinggal Jelita. Wanita itu mengangguk mengiyakan.

"Kabarnya di sana mahal, beneran nggak? Kalau aku lihat sekilas dari luar jika kebetulan lewat, bangunannya cantik dan terlihat nyaman."

Jelita lagi-lagi mengangguk. "Emang nyaman banget di sana. Aku sekali lihat langsung betah."

"Nah, kan." Melly menyeringai. "Berapa tarifnya?" Melly mengulang pertanyaannya.

Jelita menyebutkan sebuah angka yang seketika membuat Melly terbahak keras. Hal yang mau tak mau membuat Jelita terkekeh. Menyadari apa maksud tawa temannya itu.

"Kalau aku sih sayang banget duit segitu buat bayar sewa tempat tinggal. Mending ambil cicilan rumah aja deh. Kan harganya sama kayak cicilan rumah. Endingnya kan kita dapat rumah. Nah kalau kamu?"

"Tenang, endingnya aku juga bakal dapat cash back, kok. Gak tanggung-tanggung, rumah besar di sebelahnya sekalian." Jelita terbahak melemparkan candaannya untuk menandingi ucapan Melly.

"Astaga, sepertinya harus aku aminkan, nih, doanya," balas Melly yang masih tak mampu menghentikan tawanya.

"Aminkan aja deh, nanti kamu orang pertama yang aku undang tasyakuran rumah baru." Candaan Jelita makin membuat keduanya terbahak keras.

Jujur saja, bagi Jelita, hal ini sudah ia pikirkan sejak awal. Biaya sewa paviliun yang ia tinggali tak bisa dikatakan ringan, sebanding dengan fasilitas dan kenyamanan luar biasa yang Jelita dapatkan di tempat itu. Meskipun Jelita kini memiliki gaji yang lebih besar dari sebelumnya, tapi jika mengingat kata-kata Melly, apa yang diucapkan wanita itu tak ada satu pun yang salah. Uang sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk hal-hal besar lainnya seperti cicilan mobil atau bahkan rumah.

Yang salah adalah, ia yang terpaksa berpisah dengan suaminya dan jika dihitung-hitung, tak ada penambahan finansial dari apa yang telah ia korbankan. Ia hanya mendapatkan promosi jabatan dan meskipun gaji yang ia peroleh lebih besar dari sebelumnya, keuangan mereka tetap sama saja karena besarnya pengeluaran saat harus hidup terpisah seperti saat ini.

Sepertinya dalam waktu dekat ia harus kembali membicarakam hal ini kepada Andre. Tapi, apapun itu sepertinya sudah terlambat. Ia tak mungkin pindah ke Bandung lagi setelah duduk di posisinya saat ini. Yang harus ia lakukan hanya mencoba untuk lebih kuat dan pasrah.

"Eh sudah sarapan belum?" Suara Melly mengalihkan Jelita dari pikirannya yang mulai melayang. Wanita itu menunjuk perutnya yang membuncit. "Dia protes minta diisi. Tadi pagi setelah bangun tidur, Mas Rihan sudah beliin aku bubur. Sekarang aku sudah pengin ngunyah lagi. Padahal aku pikir mau makan nanti agak siang sedikit."

Jelita mengulas senyum, "Ayo aku temani aja. Aku sudah sarapan. Tadi dibawain rawon sama Erina, anak yang barusan nganterin aku."

"Yah, kalau gitu nggak usah deh. Nggak jadi. Aku mau delivery order aja."

"Nggak apa-apa aku anterin."

Namun, Melly menolak. Wanita itu tak ingin merepotkan Jelita. Pada akhirnya mereka bersama-sama meninggalkan area parkir memasuki bangunan menjulang itu menuju ruang kerjanya.

Pagi ini semua berjalan seperti biasa. Atasan mereka, Surya Bisena tiba dua puluh menit sebelum jam kerja dimulai. Jelita sigap hendak menuju pantry untuk meminta office girl membuatkan kopi untuk Surya. Namun, Melly mencegah. Pria itu biasanya tak pernah minum kopi di kantor. Jika memang berkeinginan minum kopi, sering kali pria itu hanya meminta disediakan cangkir karena pria itu hanya meminum kopi buatan istrinya saja yang terkadang dikirim oleh sopirnya atau dibawa Dirga, asistennya.

"Kayaknya atasan kita agak beda, ya." Jelita mengulum senyum sambil berbisik setelah mendengarkan penjelasan Melly. Ia kembali berdiri sambil meraih tablet untuk mengonfirmasi jadwal Surya pagi ini.

"Kamu harus terbiasa. Termasuk dibentak oleh Pak Dirga."

"Eh?" Baru dua hari bekerja masih membuat Jelita tidak terlalu paham dengan kebiasaan atasannya. Termasuk Dirga, pria yang menjadi asisten Surya.

"Pak Dirga itu udah kayak foto kopian Pak Surya. Dia tahu apapun yang diinginkan Pak Surya dan perintahnya sudah mewakili semua yang diinginkan Pak Surya. Jadi selalu libatkan Pak Dirga dalam setiap kesempatan. Dia bukan hanya sekadar asisten pribadi saja. Dia lebih dari itu. Dia seolah menjadi tangan kanan Pak Surya sejak bertahun-tahun lalu."

Jelita mengangguk paham atas semua yang dikatakan Melly.

"Nanti sambil lalu aku jelasin apa saja hal-hal yang harus kamu tahu. Kemarin karena masih hari pertama masuk, kamu masih butuh menyesuaikan diri dengan ritme kerja Pak Surya. Setidaknya selama seminggu ini kamu harus menyerap semua hal yang harus kamu lakukan di sini sebelum aku angkat kaki."

"Coba kamu nggak usah resign, Mel. Enak kan, aku ada yang dampingi."

Melly berdecak. "Kalau aku nggak resign, kamu nggak bakalan di sini. Disyukuri aja apapun itu. Oh ya, gimana rasanya LDRan. Ini hari ketiga kan kalian berjauhan?"

Jelita mengangguk tak bersemangat. Entah kenapa perbincangan Melly yang semula terasa menyenangkan, kini membuatnya mengingat kembali rasa tak nyamannya sejak tadi malam. Hingga saat ini Andre masih belum bisa dihubungi. Padahal ia ingin dirinya yang dihubungi, dirinya yang dirindukan, bukan sebaliknya seperti saat ini.

"Baru mau jalan tiga hari aja udah berat, Mel. Aku saranin mending kamu jangan pernah ambil jalan ini. Harus ada yang mengalah. Mungkin aku memang tipe wanita cengeng tapi beginilah aku. Aku nggak bisa kalau jauh dari suamiku."

"Mas Rihan juga bukan tipe orang yang bisa berhubungan jarak jauh, Lit. Ini aja buktinya. Aku hamil sudah disuruh resign. Dari sejak nikah sih sebenarnya dia pengin aku di rumah biar misalnya dia dinas ke luar kota aku bisa dibawa serta. Tapi dia merasa kasihan sama aku. Takut bosan kalau nggak kerja."

Jelita makin merana mendengar kalimat temannya itu. Ia akhirnya segera menyalakan tablet lalu memeriksa jadwal atasannya. Setelahnya ia pun bangkit menuju ruangan Surya untuk mengonfirmasi jadwal pria itu untuk hari ini. Berbincang dengan Melly yang memiliki suami perhatian dan mempunyai sifat berkebalikan dengan Andre akan membuat Jelita makin membanding-bandingkan suaminya itu dan hal itu akan berbuntut ia tak mempunyai rasa syukur atas apa yang telah ia dapatkan selama ini.

***

"Akhir pekan ini saya akan mengadakan ulang tahun anak bungsu saya bersamaan dengan perayaan pernikahan saya. Saya minta kamu membantu beberapa hal. Kamu bisa berkomunikasi dengan Dirga, apa saja yang harus kamu lakukan. Termasuk mengatur jadwal saya karena saya tidak ingin dua hari sebelum acara berlangsung saya masih disibukkan dengan urusan pekerjaan." Surya mengatakan keinginannya sebelum istirahat makan siang dimulai. Sepanjang pagi ini, Jelita dan Surya sudah dua kali menghadiri rapat. Satu kali di ruangan pria itu dan satu lagi di salah satu kantor lembaga pemerintah.  

Kebetulan The Stars mendapatkan kesempatan untuk menjadi lokasi workshop yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga pemerintah tersebut dan yang lebih menggembirakan, program tersebut direncanakan akan berjalan selama tiga tahun dengan durasi pelatihan lima hari setiap bulannya.

"Baik, Pak. Setelah istirahat saya akan langsung berkomunikasi dengan Pak Dirga." Jelita menanggapi perintah atasannya. Setelah mengkomunikasikan beberapa hal, Jelita pun akhirnya keluar ruangan Surya demi bisa menikmati istirahat makan siangnya.

Ia akan menghubungi Andre. Pria itu pukul sembilan tadi mengirimkan pesan dan meminta maaf karena tak menghubungi Jelita. Andre mengatakan jika ia bangun terlambat dan terburu-buru berangkat ke kantor hingga masih tak menyadari jika ponselnya berada dalam mode silent. Sehingga panggilan masuk dari Jelita tak terdengar olehnya.

Jelita memejam sejenak. Mencoba mengurai kerumitan di kepala juga sesak di dadanya. Ia tak tahu harus berkata apa pada suaminya itu. Apakah harus menelan bulat-bulat apa yang pria itu katakan ataukah mengabaikan semuanya dan memantapkan hati untuk terus mempercayai pria itu? Ah, belum genap seminggu ia berjauhan dari suaminya, kini ia sudah merasa tak mampu menjalani hari di depan sana.

###
Nia Andhika
30092023

Yuk, tebak, yuk, tebak.....
Siapa nama istri Pak Surya?

Yang mau baca kisah Pak Surya sudah tahu kan ada di lapak mana?

Just info, lapak Pak Surya adalah lapak paling ngeri dari semua cerita saya. Masih jauh kalau dibandingin lapak si Jelita n Andre. Yang mau mampir ngintipin Pak Surya silakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top