1.
Ngisi daftar hadir dulu sebelum baca wkwkwkw......
Suaranya mana?
Bintangnya mana?
Happy reading.
###
"Ini kuncinya saya serahkan, ya. Jika Mbak Jelita butuh bantuan, saya akan memanggil pengurus paviliun ini untuk membantu membereskan barang-barang, Mbak. Semua ruangan sudah dibersihkan. Gorden, sprei, taplak meja, dan karpet baru dipasang kemarin." Gadis bertubuh semampai itu menjelaskan semua hal tentang paviliun yang Jelita sewa dengan ramah.
Setelah memeriksa semua ruangan dan memastikan semua hal berfungsi seperti seharusnya, gadis itu pun berpamitan. Meninggalkan Paviliun menuju bangunan utama. Rumah megah pemilik paviliun yang Jelita sewa. Meninggalkan Jelita dan Andre berdua saja di paviliun yang baru sekali lihat saja sudah membuat Jelita merasa nyaman. Ia tak salah saat memilih tempat ini. Harga tidak masalah baginya yang penting ia merasa aman dan nyaman. Terlebih lagi ia akan tinggal di sini seorang diri tanpa Andre, sang suami yang mendampingi. Hal yang sebenarnya menjadi bahan perdebatan mereka akhir-akhir ini.
"Kamu suruh orang untuk merapikan semua barang-barang kamu. Ada pengurusnya, kan. Lebih baik gunakan waktu untuk beristirahat."
"Aku tidak percaya jika barang-barangku diurus oleh orang yang belum kita kenal. Lagi pula kita belum berbelanja untuk melengkapi tempat ini," bantah Jelita.
"Kalau begitu kita lakukan nanti. Lebih baik kita rapikan barang-barang kamu sekarang. Setelah itu kita bisa berbelanja kebutuhan kamu sekaligus makan siang."
Akhirnya Jelita menyetujui usul suaminya. Mereka bergerak cepat dan efisien membongkar dua koper yang berisi baju dan barang-barang Jelita kemudian menatanya. Satu jam kemudian mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka lalu bersiap makan siang dan dilanjutkan berbelanja kebutuhan Jelita. Saat hari beranjak petang mereka sudah kembali ke paviliun Jelita.
Malam hari, seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai asisten rumah tangga pemilik paviliun datang untuk mengantarkan menu makan malam sebagai perkenalan penghuni baru. Setelah berbincang sejenak wanita baya itu meninggalkan paviliun.
"Sepertinya kamu akan betah di sini. Aku juga lebih tenang. Tempat ini nyaman dan sepertinya aman karena ada penjaga di depan."
Jelita tak merespons kalimat suaminya, ia hanya menikmati kebersamaan bersama suaminya yang tak lebih dari dua belas jam lagi. Besok pagi, suaminya itu akan pulang. Ia ingin menyimpan kenangan kebersamaan mereka sebelum akhirnya esok mereka tak akan bersama. Mungkin satu atau dua minggu lagi mereka akan berkumpul kembali. Atau bisa jadi lebih lama. Jelita tak yakin meskipun Andre menjanjikan jika pria itu akan mengunjunginya setiap dua minggu sekali.
Dalam hati ia mengutuk keinginan suaminya juga ketidakmampuannya menolak. Pria itu menginginkan kemajuan karirnya. Hal yang memang Jelita dapatkan, tapi tidak sadarkah jika mereka sama sekali tak mendapatkan apapun kecuali rasa lelah juga merindu. Hidup di kota terpisah tentu saja membuat pengeluaran mereka jauh lebih besar. Biaya hidup dan tempat tinggal adalah biaya yang paling besar terlihat perbedaannya. Hal yang membuat Jelita benar-benar frustasi. Posisi barunya tidak memberikan kontribusi apa pun untuk dirinya. Ia justru berjauhan dari sang suami.
"Sayang," desah Andre saat menyadari Jelita tak merespons kalimatnya, pun demikian dengan gerak tangannya yang mulai menggoda tubuh istrinya. "Besok aku pulang. Jangan ngambek lagi, dong." Andre mulai mencoba merayu. Ia sudah menduga apa yang dipikirkan istrinya.
"Aku nggak mau pulang dengan membawa ganjalan. Aku nggak mau selama berjauhan dengan kamu, aku bakal kepikiran. Kamu harus paham yang aku inginkan. Semuanya demi kebaikan kita. Di bulan-bulan pertama, aku yakin semuanya akan berat. Tapi kamu harus percaya, kita akan terbiasa dan semua impian kita akan terwujud tak sampai satu tahun lagi. Kamu dengan posisi ini, kita akan mendapatkan penghasilan tambahan, lalu kita akan mulai melakukan program kehamilan. Bukankah itu semua rencana yang sempurna?" bujuk rayu Andre begitu indah di telinga. Seolah-olah jika Jelita menolaknya, ia akan terlihat sebagai seorang istri yang tak pernah bersyukur. Namun, demi Tuhan. Semua yang pria itu ucapkan tak satu pun menjadi impian Jelita. Ingin sekali ia meneriakkan keinginannya di depan wajah pria itu dengan begitu keras. Bahwa ia tidak ingin pindah ke kota ini, ia ingin tetap di Bandung. Berkumpul dengan sang suami dan tetap bekerja di posisi sebelumnya. Sebagai sekretaris seorang manajer keuangan, bukan sebagai sekretaris eksekutif dari general manager yang sudah pasti akan menyita seluruh waktunya. Namun, saat ini ia tak ingin berdebat lagi seperti sebelum-sebelumnya. Ia sudah jenuh, lagi pula ia tak mungkin memulai perdebatan di saat esok hari sang suami harus kembali ke kotanya.
Dengan terpaksa Jelita akhirnya membawa tubuhnya untuk bisa berhadapan dengan sang suami. Disentuhnya wajah tampan pria itu. Senyum sendu yang tak mampu ia sembunyikan terulas sebelum anggukan pelan ia berikan. "Aku akan belajar menerima keputusan ini. Aku harap kamu mengerti, Ndre. Yang aku inginkan cuma satu. Dekat dengan kamu. Hanya itu."
Andre mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri, berusaha mengusir semua muram yang masih wanita itu rasakan. Perlahan bibirnya ia satukan dengan milik istrinya. Membagi rasa menyenangkan agar sang istri juga tahu betapa ia ingin selalu bersama wanita itu. Namun, banyak hal besar lainnya yang harus mereka peroleh. Bukankah happy ending itu butuh diperjuangkan? Kali ini mereka sedang mengupayakan hal itu.
Menit berikutnya tak ada lagi perbincangan di antara mereka. Bibir mereka yang saling bertaut juga tubuh yang saling berbagi peluh mewakili perasaan masing-masing. Erangan penuh kepuasan dari penyatuan luar biasa mereka menjadi akhir dari kegusaran yang mereka rasakan.
***
"Aku ingin bertemu pemilik tempat ini. Setidaknya aku ingin menyapa dan sedikit beramah tamah termasuk menitipkan kamu di sini biar ada yang menjaga dan mengawasi agar kamu lebih aman." Andre melontarkan keinginannya saat ia telah menyelesaikan sarapan di dapur paviliun.
Jelita mengangguk menyetujui keinginan sang suami. Setidaknya mereka harus mengenal pemilik tempat ini untuk membina hubungan baik. Mereka akan hidup berdampingan tidak hanya untuk satu dua hari saja. Namun, dalam waktu yang lama.
"Setelah ini saja kita langsung ke sana. Semalam, saat aku berbincang dengan asisten rumah tangga di rumah itu, aku sudah mengatakan keinginan untuk bertamu dan mengenalkan diri. Dan sepertinya di hari Minggu seperti sekarang, mereka tidak kemana-mana."
"Ya, sudah. Bawa bronis dan buah yang kamu beli tadi sebagai buah tangan. Kita ke sana sekarang." Setelah mengatakan kalimat itu Andre bangkit dari kursi lalu berjalan keluar dari dapur mungil yang tertata apik itu.
Jelita mengambil kotak berisi bronis dan buah lalu mengikuti langkah sang suami. Sebelum mereka menuju bangunan utama yang ditempati oleh induk semang tempat itu, Jelita menyempatkan diri mendatangi penjaga paviliun di bagian depan. Menanyakan keberadaan pemilik paviliun dan mengatakan jika ia ingin bertamu. Pria berusia awal lima puluhan yang Jelita ketahui bernama Prapto itu membawa Jelita dan sang suami menuju bangunan utama melewati pintu samping yang menghubungkan paviliun dengan rumah megah itu. Setelah menyeberangi taman berumput dengan tanaman yang tertata begitu memanjakan mata, mereka tiba di teras samping rumah.
Seorang pria bersama gadis yang kemarin menerima kedatangan Jelita di paviliun terlihat duduk di kursi teras yang terlihat nyaman. Sang gadis terlihat menekuri ponselnya sambil menikmati keripik kentang dalam kemasan tabung di tangannya. Sedangkan sang pria terlihat serius dengan koran yang dibacanya.
"Permisi Pak, mohon maaf. Ada tamu yang ingin bertemu." Suara Prapto mengusik dua orang yang seolah asyik dengan kegiatan masing-masing. Detik berikutnya kedua orang itu mengalihkan pandangan. Senyuman lebar terlihat di wajah gadis cantik bertubuh semampai itu.
"Wah, Mbak Jelita. Mari silakan," ucap gadis itu ramah lalu menghentikan semua kegiatannya untuk berdiri menyambut Jelita dan Andre.
"Oh ya, Pa. Ini penyewa baru paviliun kita. Kemarin aku sudah ketemu. Kebetulan Bu Devi kemarin tidak ada jadi aku yang nyerahin kunci sama jelasin semuanya ke Mbak Jelita dan..." Erina, putri pemilik paviliun menjeda kalimatnya karena tidak tahu nama suami Jelita.
"Pak Andre." Jelita yang menimpali.
"Iya. Jadi yang mau nyewa di sini itu Mbak Jelita. Dan Pak Andre adalah suami beliau." Erina menutup penjelasannya kepada sang ayah.
Pria yang Erina sebut sebagai ayahnya itu menganggukkan kepala lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Saya Prayudha, mari silakan masuk," ucap pria itu ramah lalu mempersilakan Jelita dan Andre memasuki ruang keluarga yang terhubung dari teras samping tempat mereka berbicara.
Obrolan hangat pun tercipta setelahnya. Dua cangkir teh disuguhkan untuk kedua orang tamu. Hingga tiga puluh menit kemudian Jelita dan Andre berpamitan.
"Kita sarapan dulu, ya. Sudah siap, lo makanannya." Sang tuan rumah menawarkan agar mereka menikmati sarapan bersama terlebih dahulu.
"Mohon maaf, Pak Prayudha. Mungkin lain kali saja. Saya harus mengejar penerbangan pagi ini." Andre harus pulang pagi ini. Esok, ia harus bekerja di salah satu perusahaan swasta terkemuka di kota kelahirannya.
"Wah, sayang sekali, ya. Lain kali kalau Pak Andre berkunjung kembali ke sini, mungkin kita bisa makan siang atau makan malam bersama." Prayudha menimpali.
"Iya, Pak. Pasti jika saya ke sini lagi. Oh ya, saya titip Jelita di sini. Mohon bantuan jika dia mendapatkan kesulitan. Jelita baru kali ini tinggal jauh dari kota kelahiran kami. Apalagi dia sendirian di sini tanpa sanak keluarga." Andre meninggalkan pesan sebelum mereka berpamitan.
"Oh, kalau hal itu jangan terlalu dipikirkan, Pak Andre. Di sini ada pengurus dan penjaga paviliun. Apapun kesulitan yang dihadapi istri Bapak bisa disampaikan ke mereka. Nanti jika perlu saya akan mengecek langsung. Kalau urusan adaptasi mungkin Erina ahlinya." Pria itu melirik sang putri yang bergelayut manja pada lengannya.
"Nanti Mbak Jelita aku ajak keliling-keliling, deh. Biar nggak bosan. Sekalian cari jajanan yang enak. Kita bisa berteman." Erina mengerling jenaka pada Jelita yang dibalas Jelita dengan senyuman terima kasih.
Setelah berbasa-basi sejenak, mereka pun berpamitan. Meninggalkan dua sosok yang tetap berdiri mengikuti langkah pasangan suami istri itu hingga tubuh mereka lenyap dari pandangan karena sudah memasuki paviliun yang mereka sewa.
"Pa." Erina tiba-tiba berucap setelah mereka berdua terpaku cukup lama.
"Ya?"
Hening. Tak ada respons dari Erina.
"Nggak jadi," tutup gadis itu kemudian berlalu dari sisi sang ayah. Membuat pria itu mengernyit bingung lalu kembali mendudukkan diri di kursi teras samping rumahnya untuk melanjutkan membaca koran yang telah ia tinggalkan karena menerima kedatangan Jelita dan Andra.
###
Masih baru bab 1, ya. Jangan suuzan wkwkwkwk....
Eh suuzan ke siapa sih?😁😁😁
Nia Andhika
Ditulis 2022
Dipublish 13082023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top