LCDP X - Ketua Jurusan
Keterangan :
Satu tusundi = seribu
Kepeng = koin tembaga , sweta = koin emas, sweta = koin perak
Mula Sadhguru = Pemimpin Mandala
Rajaputra = Pangeran
Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
Bel Mandala kami telah 12 kali berdentang, tanda hari sudah sampai pada tengah malam. Kupandangi daftar ceklis kewajiban yang harus aku selesaikan hari ini. Uh! Ternyata sudah semalam ini pun kewajibanku baru selesai 70% saja. Aku sebenarnya berharap besok bisa santai tapi jika kondisinya seperti ini terus maka aku takkan bisa apa-apa lagi selain bersiap sibuk terus selama akhir pekan. Kulepas sepatuku dan langsung kurebahkan diriku ke kasur yang sengaja aku letakkan di laboratoriumku.
Sudah empat malam aku sama sekali tidak tidur karena ada segunung pekerjaan yang harus aku selesaikan, mulai dari membimbing 40 siswa tingkat satu menguasai perapalan mantra yang benar, lalu membimbing 10 siswa tingkat dua membuat ramuan obat dasar. Belum cukup juga, aku juga diminta melakukan eksperimen penggabungan mantra penjara angin dan mantra rantai besi yang harus bisa bertahan setidaknya selama 10 jam. Masalah terakhir itu yang bikin hidupku selama empat hari ini berantakan!
Di Mandala kami, Ujungpara, tempat setidaknya dua tusundi siswa yang belajar dalam 8 tingkat kelas dan semuanya terbagi dalam 4 jurusan. Setiap jurusan dipimpin oleh seorang Ketua Jurusan yang bergelar Sadhguru atau Guru Besar. Tugas seorang Sadhguru adalah memimpin jurusannya sebaik mungkin guna menghasilkan suatu temuan yang berguna dan layak dipersembahkan bagi Kemaharajaan. Sejatinya Kemaharajaan hanya menuntut satu temuan untuk dipersembahkan setiap 10 tahun, namun Ketua Jurusan Taksu Tempur tempatku bekerja tidak mau prestasinya biasa-biasa saja. Ia ingin jurusan yang ia pimpin mempersembahkan setidaknya satu temuan atau modifikasi mantra taksu – kekuatan gaib – yang memukau saban tahunnya.
"Jangan mau kalah dengan Mandala Catur Sagara! Catur Sagara selalu mempersembahkan temuan tiap 3 tahun sekali! Kita harus bisa lebih dari itu! Kenapa? Karena kita bisa! Yakin! Yakin! Yakin! Itu kuncinya!" begitu Sadhguru Samad pernah bicara kepada seluruh siswa dan guru kala ia memaparkan visi dan misinya terhadap jurusan kami.
Aku bukannya tidak setuju dengan visi-misi Ketua Jurusan. Bagaimana pun dia melakukan ini demi nama baik Ujungpara. Tapi yang aku tidak suka ... Sadghuru Samad terlalu banyak meletakkan beban kerja di pundakku. Jika aku harus ingat-ingat dulu aku masuk kemari hanya melamar sebagai guru siswa tingkat dasar yakni tingkat satu, dua, dan tiga. Tapi entah bagaimana ceritanya, aku tiba-tiba dipanggil dan dimintai menangani pula urusan laboratorium taksu yang ada di bawah Sadhguru Samad. Pendeknya, aku diangkat menjadi asisten Sang Sadhguru.
Saat itu sebagai anak muda yang baru saja resmi lulus sebagai Juru Rapal ditambah gelora yang membara dalam dada untuk memberikan kesetiaan yang sebesar-besarnya pada negeri dan Mandala yang dulu telah mendidik serta membesarkanku, tawaran Sadhguru langsung aku terima. Tapi ternyata seiring berjalannya waktu, kondisi ideal yang aku dambakan ternyata jauh panggang dari api.
Aku diwajibkan mengajar sejumlah besar siswa dari pagi hingga sore hari sementara setelah senja hingga larut malam aku berkutat di laboratorium, mencoba-coba berbagai teori yang dikemukakan Sadghuru Samad supaya bisa diterapkan dalam praktek nyata. Misalnya menyimpan taksu halilintar dalam batu kecubung ungu yang bisa dipakai sebagai mata cincin. Teknik penyimpanan seperti ini sebenarnya pernah ada di masa lalu namun sejak Kemaharajaan menyatakan perang dengan Kekaisaran Wong Balar – orang-orang berkulit pucat – dari dunia belahan barat, teknik ini hilang seutuhnya. Bagaimana cara memulihkan teknik yang sudah lama hilang seperti ini? Sang Sadhguru menyatakan membaca kitab-kitab kuno dari masa Dinasti Kemaharajaan Ketiga adalah jawabannya.
Kedengarannya mengasyikkan sampai kalian menyadari bahwa kitab-kitab itu ada di Gedong Pustaka Agong, perpustakaan para raja, yang jaraknya sampai tiga hari perjalanan dengan kuda besi sekalipun. Ijin ke sana juga tak mudah, perlu perijinan dari Rakyan Mantri yang mengurusi pendidikan baca tulis dan pendidikan di Mandala. Entah bagaimana kala itu Sadhguru Samad berhasil mendapatkan surat bermeterai dari Sang Rakyan Mantri disusul dengan izin khusus penggunaan taksu portal dimensi dari Ujungpara ke Gedong Pustaka Agong untuk pulang dan pergi.
Sesampainya kami di Gedong Pustaka Agong ternyata hanya ada tiga guru selain diriku yang hadir bersama Sadhguru untuk membongkar keropak-keropak lontar dan mulai mencari-cari teknik menanam taksu halilintar dan taksu-taksu serupa ke dalam batu-batuan perhiasan. Keropak itu jumlahnya ribuan, halaman-halamannya mulai menghitam karena termakan usia, membuat kami berempat makin kesulitan membaca tulisan-tulisan yang ditorehkan di atasnya. Sadhguru Samad? Beliau kala itu mengatakan ia harus pergi karena ia harus bernegosiasi dengan para pejabat Kemaharajaan supaya kami boleh terus di Gedong Pustaka Agong sampai seminggu ke depan. Beliau berjanji akan kembali secepat mungkin untuk membantu kami menelusuri keropak-keropak lontar itu.
Apa yang terjadi? Selama seminggu kami berada di sana, seluruh tugas Sang Sadghuru untuk mengarahkan kami mencari keropak yang tepat malah diambilalih oleh Sakuntala, guru muda ahli bahasa kuno yang mengajar siswa tingkat 8. Berkat Sakuntala pulalah kami berlima bisa menghemat banyak waktu dengan memilah lontar berdasarkan isinya hanya dengan membaca bagian awal dan tengahnya semata. Akhirnya kami dapat mempersempit pencarian kami ke 20 judul lontar yang isinya berisi penerapan taksu ke dalam berbagai media termasuk di antaranya teteken – tongkat jalan, kandhag – pedang pendek, hingga tumbak – tombak. Batu cincin memang tidak disebutkan di sana, namun kami percaya dengan sedikit modifikasi mantra dan mudra – posisi tangan untuk memperkuat daya mantra – kami bisa mengatasi masalah ini.
Sadhguru Samad sendiri baru muncul di hari kedelapan. Ia mengucapkan terima kasih dan mohon maaf tidak bisa membantu karena sejumlah pejabat negeri yang tertarik dengan usaha kami menanyakan banyak hal dengan Sadhguru Samad dalam undangan-undangan jamuan makan – yang katanya akan berpengaruh buruk terhadap citra Mandala Ujungpara jika undangan itu sampai ditolak. Kala itu aku dan teman-temanku sama sekali tidak sadar ... bahwa kami semua hanya dimanfaatkan semata oleh Sang Sadhguru.
******
Kini sudah tujuh tahun sejak aku memasuki Gedong Pustaka Agong untuk pertama kalinya. Teknik menanamkan taksu halilintar, taksu api, dan taksu angin sudah banyak kami temukan kembali dan kami bawa untuk dipersembahkan kepada Sang Maharaja. Pujian datang tak henti-hentinya kepada kami, banyak pejabat yang mengundang kami dalam perjamuan makan, dan lebih dari sepuluh usaha dagang menyatakan hendak menyumbangkan dana sumbangan rutin kepada Mandala kami.
Di mata orang banyak barangkali aku dan rekan-rekanku tampak seperti orang-orang sukses. Tapi sebenarnya tidak begitu. Mau bukti? Baiklah coba lihat berapa bayaran yang aku dapat dari mengajar 8 jam dan lembur 6 jam saban harinya itu.
"Selamat pagi Tuan Guru Denny!" sapa petugas keuangan Mandala kepadaku.
"Selamat pagi!" sapaku kembali.
"Mengambil gaji?" tanyanya sekedar basa-basi yang kujawab dengan sebuah anggukan.
"Gaji Tuan Guru bulan ini 3000 kepeng, mau dibayar pakai kepeng saja atau 30 swarna atau 300 sweta?
"Sepuluh swarna, 100 sweta, 1000 kepeng seperti biasa saja."
"Baik! Ini gaji Tuan Guru," Bu Sumari menyerahkan tiga kantong uang sesuai dengan satuan yang aku minta padaku, "Semoga gaji Tuan Guru bermanfaat!" kata petugas keuangan itu ramah.
Aku hanya bisa menyeringai sambil terus menggumamkan, "Sabar-sabar-sabar!" sampai setidaknya 10 kali sampai detak jantungku kembali normal.
Seorang pegawai negeri biasa dibayar 5000 kepeng per bulan sementara seorang guru biasa di Mandala Ujungpara biasanya dibayar 6000 kepeng per bulan. Adapun pekerjaan seperti pekerja bangunan atau pekerja gerabah dibayar 2000 kepeng per bulannya. Rata-rata rumah tangga di Kemaharajaan menghabiskan 2000 kepeng per bulan untuk hidup. Jadi mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana ceritanya aku, seorang guru di sebuah Mandala bergengsi, bisa digaji hanya 3000 kepeng?
Itu tak lain dan tak bukan karena statusku di sini yang hanya guru luar biasa alias guru yang bukan guru tetap. Tak peduli betapa seringnya aku diikutkan dalam proyek-proyek penelitian oleh Sang Sadhguru, statusku dari tahun ke tahun tak pernah berubah, guru luar biasa! Luar biasa tanggung jawabnya! Luar biasa beban kerjanya!
Aku dan rekan-rekanku yang dahulu berhasil memulihkan teknik menanam taksu dalam batu cincin itu sudah berkali-kali meminta pada Sadhguru Samad supaya status kami bisa diusulkan naik menjadi guru tetap namun Sang Sadhguru selalu punya aneka rupa alasan.
"Akan saya usahakan!"
"Saya sudah berusaha, tapi tampaknya ada beberapa pertimbangan dari pihak Kementerian yang menghalangi langkah saya! Jangan khawatir! Tunjukkan terus prestasi kalian maka saya yakin kesempatan emas itu akan terbuka lebar!"
"Memang saat ini mungkin masih saatnya kita semua bermatiraga, tapi seperti kita ketahui para wasi – orang bijak pertapa – di masa lalu juga menjalani matiraga selama tahunan sebelum mendapatkan berkah Dewata!"
"Jangan menyerah! Tinggal sedikit lagi! Satu penelitian lagi dan saya jamin kalian akan diangkat langsung menjadi guru tetap senior yang gajinya dua kali lipat gaji guru biasa! Pasti ini! Saya sudah mendapatkan jalur khusus dari pihak kementerian dan selain saya ada tiga orang Sadhguru lagi yang mendukung langkah kalian!"
Pada akhirnya semua itu tinggal janji. Bertahun-tahun kami mengerjakan penelitian demi penelitian. Tak terhitung lagi berapa banyak dana yang mengalir kepada Mandala dan kepada Sang Sadhguru. Tapi status kami masih begini-begini saja. Hanya Sakuntala seorang yang agak beruntung karena sudah 5 bulan ini ia diangkat menjadi guru tetap. Tapi yang lainnya tak seberuntung itu. Danu, yang sudah menikah dan punya dua orang anak, tidak tahan dengan situasi 'perbudakan kerja' di Mandala dan akhirnya memilih keluar lalu pulang ke desanya dan berladang di sana. Mogala, dengan alasan serupa, memilih keluar mengajari anak-anak kampung baca-tulis dengan gaji 2000 kepeng semata. Nitandi, yang paling muda di antara kami semua, saat ini belum memutuskan keluar namun mengambil cuti setahun karena kondisi kesehatannya memburuk akibat sering lembur.
Karena terlalu sibuk memikirkan nasibku, aku tak sengaja menabrak seseorang dalam perjalanan pulang ke asrama guru.
"Eh maaf! Saya tak lihat jalan!" ucapku.
"Denny?" dari suaranya aku langsung sadar bahwa itu Sakuntala.
"Sakuntala? Hei! Lama tidak bertemu! Apa kabar?" aku hendak menyalaminya tapi ia segera menepis tanganku lalu beranjak pergi.
"Maaf Denny, aku buru-buru! Lain kali saja kita bicara lagi."
*******
Aku telah usai membaca ribuan keropak lontar dalam tujuh tahun ini. Aku hafal setiap mantra yang harus terucap dan setiap mudra yang harus aku bentuk dengan jari-jemariku. Pengalamanku selama tujuh tahun ini membuat aku mudah menyadari aneka bentuk ketidakberesan di sekitarku, salah satunya adalah soal Sakuntala tadi. Normalnya setiap tubuh manusia hanya memuat satu jiwa saja, tapi saat Sakuntala menepis tanganku tadi aku merasakan suatu keganjilan yakni adanya jiwa kedua dalam tubuh Sakuntala. Kasus seperti ini biasanya terjadi pada orang yang didampingi oleh satu sosok makhluk niskala alias makhluk tak kasat mata atau .... .
"Ibu hamil," dugaan itu tiba-tiba saja menyeruak dalam pikiranku, aku sendiri nyaris tidak percaya tapi hanya itu kemungkinan terbesarnya.
Tapi siapa yang menghamilinya? Apakah dia mau bertanggungjawab terhadap Sakuntala? Seorang gadis yang hamil di luar ikatan pernikahan adalah sebuah aib di masyrakat Kemaharajaan dan sebuah mimpi buruk jika yang mengalaminya adalah seorang guru apalagi guru dari Mandala besar seperti ini. Sakuntala takkan hanya mengalami sekedar pemecatan, ia bisa saja dipenjara karena dianggap melakukan tindak asusila atau ditawari bakar diri guna menjaga kehormatannya.
Aku peduli pada Sakuntala karena kami berdua sama-sama tidak punya rumah untuk kembali. Mandala ini adalah rumah kami. Jika kami terusir dari sini kami mungkin takkan punya rumah untuk kembali. Sesuatu harus aku lakukan dan harus cepat! Sesaat aku berpikir bagaimana caranya menolong Sakuntala!
"Aku harus terus membuntutinya! Siapa tahu dia akan bertemu kembali dengan lelaki yang menghamilinya!" begitu pikirku tapi setelah aku berpikir kembali, bagaimana bisa terus mengamati Sakuntala tanpa meninggalkan tanggung jawabku? Masih ada segunung pekerjaanku yang belum selesai dan Sadhguru Samad pasti akan mendatangi ruang kerjaku terus-menerus jika pekerjaanku belum tuntas.
Aku berjalan mendekati jendela aku melihat segerombolan burung perkutut dan merpati mencari makanan di halaman Mandala sementara burung-burung sriti beterbangan memenuhi langit mencari serangga untuk makanan mereka. Ah! Masalahku terpecahkan!
Kuambil foto Sakuntala yang ada di salah satu album foto, lalu aku membuka jendela kamarku kemudian bersiul-siul memanggil beberapa burung dari tiap-tiap jenisnya untuk masuk ke dalam kamarku. Ada seekor burung hantu yang masih baru bangun tidur, beberapa burung perkutut, dan sepuluh burung sriti datang memenuhi panggilanku. Aku duduk bersila di tengah kamarku dan burung-burung itu membentuk jajaran barisan rapi menunggu apapun yang hendak kuucapkan.
Terpujilah Opo Empung yang menciptakan tanah, laut, dan api
Terberkati pula Toar-Lumimuut, yang menurunkan segenap Bangsa Maesa
Saya Tonaas Walian dari Tana Malesung
Yang ditunjuk oleh Opo Manguni
Direstui oleh Opo Toar
Dan disaksikan Opo Mamarimbing
Wahai burung-burung yang pengelana
Moyang-moyangmu telah terbang bersama Opo Manguni
Menuju tanah terjanji di bumi ini
Karena itu sekarang dengarkan sabdaku
Ada satu anak manusia
Sakuntala namanya
Seperti inilah rupanya
Seseorang telah menjahatinya
Menenamkan benih jiwa dalam dirinya
Wahai segenap burung pengelana
Moyangmu telah bersumpah
Untuk membantu anak-cucu Opo Toar
Kuminta hari ini kalian penuhi janji
Cari anak manusia yang menjahati Sakuntala
Atas bantuan kalian aku janjikan balasan
Balasan setimpal yang akan kalian terima,
saat kunyatakan tugas ini selesai
Kuikatkan sumpahku pada Lingkanwene, si penguasa padi
Dan biarlah Opo Lumimuut menyaksikan sumpahku
Burung-burung itu tampak menatap foto Sakuntala lekat-lekat sebelum akhirnya melangkah mundur dan terbang meninggalkan kamarku. Malam itu juga segenap burung-burung di sekitar Mandala terus saja ribut sepanjang malam, mengamati pergerakan Sakuntala dari segala penjuru.
Aku sendiri tetap bekerja lembur hingga waktu mencapai jam 12 malam dan di tengah malam itu pula aku dikunjungi kembali oleh seekor burung hantu yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku dengan paruhnya. Aku membukakan jendela dan burung hantu itu terbang masuk ke dalam kamarku dan menyodorkan kepadaku selembar sobekan foto yang menunjukkan wajah dari Sadhguru Samad.
Aku nyaris tidak percaya dengan temuan para burung ini! Aku memang tahu bahwa Sadhguru Samad adalah seorang yang egois, manipulatif, dan tidak jujur di banyak kesempatan, tapi kalau beliau sampai menghamili gadis yang juga merupakan anak buahnya sendiri? Aku sama sekali tidak bisa mempercayai hal ini!
Kutarik nafas dalam-dalam dan kupandangi burung hantu itu tampak menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil menatapku dengan tatapan bingung. Tidak, burung-burung ini tak pernah berbohong, burung-burung ini lebih jujur daripada manusia. Sejak manusia pertama dari bangsaku diturunkan ke bumi tak pernah satupun burung-burung ini memberi kabar bohong. Jadi suka tidak suka aku harus menelan fakta pahit bahwa Sakuntala memang benar dihamili oleh Sang Ketua Jurusan.
"Besok pagi aku harus tanyai Si Sakuntala!"
*******
Esok paginya rencanaku berantakan. Alih-alih sempat menemui Sakuntala, aku malah dipanggil lebih dulu oleh orang yang paling tak mau kutemui hari ini. Sang Ketua Jurusan tampak duduk dengan menyandarkan kedua kakinya di meja kerjanya. Uh! Rasanya aku ingin menampar muka orang itu detik ini juga, tapi aku masih memikirkan konsekuensi dari tindakanku nanti. Bisa-bisa aku nanti ditangkap, dipenjara, lalu dihukum mati.
"Ho! Denny! Bagaimana kabarnya tongkat sinar untuk penjelajahan gua bawah tanah itu? Apakah taksu cahayanya bisa bertahan untuk penelusuran selama 3 hari 3 malam?" tanyanya sambil membaca selembar dokumen yang dicetak di atas kertas bagus, sepertinya dokumen dari Kemaharajaan atau Kemantrian.
"Tongkat sinar bisa bertahan selama 2 hari 2 malam Rama Sadhguru. Sepertinya masih sulit untuk keluar dari batasan ini."
"Ah! Tapi kamu kan guru paling jenius di sini Denny, aku percaya kamu nanti akan temukan solusinya! Kalau bisa selesaikan sebelum Rabu depan ya? Maharaja katanya akan berkunjung ke Mandala kita dan Sang Mula Sadhguru sudah memintaku untuk memamerkan sejumlah temuan kita, termasuk tongkat sinar itu!" ujarnya tanpa sedikitpun memandang ke arahku.
"Bagaimana kalau saya menolak?" akhirnya kesabaranku habis menghadapi orang ini.
"Apa?" Samad tampak menurunkan dokumen di hadapannya lalu menatapku tak percaya, "Denny, kamu jangan bercanda dong! Ini kan demi kepentingan Mandala kita juga, kita semua di sini adalah keluarga Den. Mandala ini rumah kita bersama dan kita semua tentu ingin Mandala ini terus jadi yang terdepan dalam segala hal terkait taksu!"
"Kalau kami semua di sini adalah keluarga, kenapa sampai saat ini gaji saya masih 3000 kepeng? Kenapa saya dianaktirikan? Berapa inovasi lagi yang harus saya kerjakan? Berapa alat lagi yang harus saya selesaikan? Berapa hari lagi harus saya habiskan dengan kondisi tanpa tidur? Kapan janji Rama Sadhguru soal pengangkatan saya menjadi guru tetap terlaksana?"
"Ah ya ampun! Denny! Sabar! Semua ada waktunya! Pencapaianmu selama ini telah diketahui Sang Mula Sadhguru sekalipun! Sebuah posisi telah disiapkan untukmu, jangan menyerah di tengah jalan Den! Sabar!"
"Posisi apa dan kapan?" tubuhku mulai bergetar karena nyaris tak mampu menahan amarah.
"Semua ada waktunya Den! Dan lebih baik posisi itu jadi rahasia sampai waktunya Den! Tidak baik jika saya beberkan sekarang."
"Posisi itu jadi rahasia karena posisi itu tidak ada kan Rama Sadhguru?"
"Denny, Denny, tolong ingat dong bahwa kamu sudah berhutang banyak kepada Mandala ini. Mandala ini yang dahulu menampung dirimu sejak usia 10 tahun dan mendidikmu hingga kamu dewasa. Mandala ini pula yang memberimu pekerjaan pertama dan karena Mandala ini pula kamu bisa bertemu dengan orang-orang besar di Kemaharajaan. Banyak orang menginginkan posisimu, Den, tapi mereka tidak bisa karena mereka tidak mampu dan gampang menyerah!"
"Kalau banyak yang menginginkan posisi saya maka saya dengan senang hati akan menyerahkan posisi saya pada mereka, Rama. Siapa mereka? Tolong sebutkan satu nama saja, saya akan dengan senang hati menyerahkan posisi saya pada mereka. Saya serahkan semua kelas saya, semua tanggung jawab saya, semua pekerjaan saya."
"Lho! Terus kamu mau kerja apa Den? Jika tidak ada pekerjaan sama sekali maka kamu takkan digaji lho!"
"Rama tak usah khawatir soal itu, karena saya mengundurkan diri dari Mandala ini mulai detik ini!"
Samad tampak menghela nafas, menundukkan kepala, lalu menghantam meja di hadapannya sampai patah menjadi dua.
"Sebenarnya saya tak mau main kasar, tapi kamu memaksa saya Den!" ekspresi Samad berubah marah, matanya melotot dan nyalang bak hewan buas, "Kamu tidak boleh pergi! Kamu pikir saya akan melepaskan kamu semudah itu?"
"Memangnya apa yang bisa Rama lakukan?"
Seringai keji terbentuk di wajahnya, "Yah, bagaimana ya? Misalnya saya bisa saja bocorkan rahasia Sakuntala bahwa dia hamil di luar nikah?"
"Dan Rama yang menghamilinya!"
"Oh, kamu tahu? Tak masalah! Siapa lagi yang tahu? Kamu mau bawa ini ke forum? Siapa nanti yang akan lebih dipercaya Dewan Mahaguru kamu atau saya? Ketua Jurusan Taksu Tempur atau guru luar biasa yang gagal terus menjadi guru tetap karena hasil tesnya tak pernah memenuhi syarat? Atau ... perlukah kutambahkan kalau aku tahu bahwa kamu datang kemari karena diusir kedua orangtuamu kala mereka tahu bahwa kamu suka menggoda sesama lelaki untuk menjalin hubungan asmara denganmu?"
Aku terperanjat ketika menyadari bahwa Samad tahu rahasia besarku! Aku sudah menimbun memori buruk itu selama bertahun-tahun tapi sekarang memori itu muncul kembali. Nyaliku mengkerut hanya karena ingatan aku dipukuli kedua orangtuaku kemudian dilempar keluar rumah dilanjutkan dengan seluruh desa melempari aku dengan batu dan buah busuk, hanya karena aku percaya saja pada bujuk rayu dari anak kepala desa.
Bedebah itu menggodaku saat usiaku baru 10 tahun, menawariku hadiah dan kembang gula, kemudian mengajakku berbuat tidak senonoh di tempat-tempat sepi. Kala warga desa memergoki aksi kami, bedebah itu lepas tangan dan mengatakan bahwa aku anak setan yang punya ilmu sihir kemudian mengguna-gunainya supaya mau melakukan perbuatan tak senonoh seperti itu. Penduduk desa percaya saja, orangtuaku juga percaya, dan jadilah aku terusir dari rumah dan tanah kelahiranku sendiri.
"Catatan pengusiranmu masih ada di Malesung sana, tapi di sini aku pegang salinannya," ujar Samad masih saja tersenyum licik, "Kalau aku kirimkan salinan ini kepada Paduka Maharaja kira-kira apa yang akan terjadi, Denny?"
Apa yang akan terjadi? Tentu saja aku akan diarak ke sepenjuru kota, dipasung, dirajam, sebelum mati dicacah-cacah di alun-alun!
"Tapi tenang saja Denny, aku takkan sejahat itu padamu. Aku akan melepaskanmu dari tanggung jawab ini kalau kamu menuruti apa kataku. Paham?"
Tubuhku masih gemetaran membayangkan semua peristiwa buruk itu namun aku berhasil mengangguk.
"Jadi bantu aku menyelesaikan aneka proyek sampai aku diangkat menjadi Mula Sadhguru Ujungpara atau aku dipanggil ke Ibukota untuk menjadi pejabat di sana! Kalau salah satu dari dua syarat ini terpenuhi, dokumen ini akan kubakar dan kamu bebas mencari pekerjaan apapun yang kamu mau, bahkan kalau kamu berminat mungkin aku bisa merekomendasikanmu bekerja di pelacuran di Kadatuan Praya di Negeri Utara sana, itupun jika penampilanmu masih menarik Den. Hahaha!" Samad menertawakan segala ketidakberdayaanku dengan congkak tapi naas aku sama sekali tak punya daya dan kuasa untuk melawannya.
*******
Sudah beberapa hari berlalu sejak peristiwa konfrontasi antara diriku dengan Samad. Aku berusaha menyelesaikan tuntutan Samad secepat mungkin karena bekerja di sini semakin lama membuatku semakin muak. Tetapi akibatnya karena terlalu lelah bermalam-malam kurang tidur, aku sampai tak menyadari jika ada orang lain masuk ke laboratoriumku.
"Tuan Guru Denny Sagita!" suara seorang wanita yang tegas dan keras membuatku kaget sehingga aku akhirnya berhenti mengutak-atik tongkat sinar yang belum juga berhasil memenuhi kriteria yang Samad inginkan
"Bisa tolong Anda ke ruangan saya sekarang?" tanya wanita itu yang ternyata adalah Sadhguru Niruti, Wakil Ketua Jurusan Penghusada alias praktisi taksu penyembuh luka dan penyakit.
"Baik Amma!" aku mengangguk mengiyakan, namun tetap khawatir mengingat wanita ini juga adalah istri dari Samad.
*******
"Denny Sagita," Amma Niruti tampak menatapku dengan tatapan penuh selidik, "Kamu pasti sudah tahu kenapa kamu aku panggil kemari kan?"
Aku sama sekali tidak mengerti. Posisiku sebagai guru luar biasa di Jurusan Taksu Tempur bukan posisi yang bisa dengan bebasnya keluar-masuk ruang kerja Wakil Ketua Jurusan Penghusada. Jika bukan di forum pertemuan tahunan atau rapat besar Mandala, guru dari suatu jurusan takkan mungkin bisa bertemu dengan seorang petinggi jurusan lainnya.
"Tidak Amma!" jawabku.
"Tongkat sinar itu ... apakah cuma kamu seorang yang mengerjakan itu?"
Aku mengangguk.
"Dan mana timmu yang lain?"
"Sakuntala sedang tidak enak badan," jawabku karena Sakuntala memang sesekali diutus untuk membantuku meski tampaknya perempuan malang itu lebih banyak dijadikan 'mainan' oleh keparat bernama Samad itu.
"Dan Samad?"
"Rama Samad sedang ada kesibukan," jawabku.
"Bekerja sendirian, mengajar banyak kelas, bekerja sampai larut malam, mengerjakan temuan-temuan penting bagi Kemaharajaan tapi tak pernah sekalipun kamu diakui sebagai orang paling penting oleh Samad, apa alasanmu tidak mau meninggalkan tempat ini meski Samad memperlakukan dirimu seperti itu?"
"Rama Samad memperlakukan saya dengan cukup baik Amma, lagipula adalah keinginan saya sendiri tidak pergi dari tempat ini karena saya punya hutang budi pada tempat ini Amma Guru," jawabku berbohong
"Hanya itu? Jika kamu punya hutang budi pada tempat ini kamu bisa saja keluar lalu bekerja pada Kementerian dengan surat rekomendasi dari sini lalu sumbangkan sebagian gajimu pada Mandala. Andaikan Samad tidak mau memberimu surat rekomendasi maka saya bisa beri kamu surat rekomendasi supaya kamu bisa langsung bekerja sebagai Pegawai Negeri tanpa seleksi!"
Aku hanya diam, tubuhku kembali gemetar, dan Amma Niruti langsung melanjutkan pertanyaannya, "Kamu diancam oleh Samad kan? Kamu punya rahasia tertentu yang tidak ingin terbongkar kan? Apa itu? Katakan saja pada saya, karena jika tidak saya tidak bisa membantumu."
"Amma terlalu menduga-duga, saya sama sekali tidak diancam oleh Rama Sadhguru."
"Atau mungkin biar saya saja yang tebak? Kamu ini ... lelaki yang hanya bisa menyukai sesama lelaki kan?"
Aku tak bisa tidak kaget dengan pernyataan beliau barusan. Langsung saja kakiku melangkah mundur tiga langkah dari posisiku semula, tanganku gemetaran, mulutku kelu, otakku beku karena membayangkan akibat-akibat yang mungkin timbul dari terbongkarnya rahasiaku selama ini.
"Dari mana Amma Guru tahu?"
"Dari pengakuan Rajaputra Mapanji Grasakan saat kalian masih berstatus siswa. Saya ini guru kamu dan Si Rajaputra, Den. Kamu lupa?"
Ah! Sial! Dulu aku pernah tak sengaja menjalin hubungan dengan sesama siswa yang ternyata seorang anak raja itu. Tentu saja demi menjaga status dan kehormatannya kami berdua harus mengakhiri hubungan kami. Tapi aku tidak menyangka jika dia menceritakan perihal hubungan kami pada seorang guru, guru senior pula!
"Samad tahu soal ini ya?" Niruti kembali bertanya.
Aku sebenarnya hendak menjaga rahasia ini rapat-rapat tapi karena emosiku sudah tak terbendung akhirnya tangisku pecah di depan wanita yang dahulu pernah menjadi guruku ini. Wanita itu kemudian mendekati dan memelukku kemudian mengelus-elus kepalaku seolah-olah aku ini anaknya sendiri. Dan sesudah reda tangisku akhirnya aku menceritakan semua yang aku dan Sakuntala alami di bawah 'bimbingan' Samad.
"Tua bangka itu sialan betul!" wanita itu meremas-remas jarinya dengan penuh amarah, "Sudah berapa lama Sakuntala hamil, Den?"
"Mungkin sekitar empat bulan," jawabku.
"Apa yang suamiku janjikan pada Sakuntala?"
"Kami ... akan menikah dan mengakui bayi itu adalah aib perbuatan kami dan Samad akan 'melindungi' kami dari segala 'bahaya' yang mungkin timbul. Sebagai imbalannya kami akan terus meneliti di bawah bimbingan Samad."
Niruti menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak sebelum melanjutkan pembicaraannya, "Ujungpara memang selalu bersaing dengan Catur Sagara. Tapi jika kita ingin Ujungpara bisa menang dalam persaingan melawan Catur Sagara, tentu saja kita harus memastikan kompetensi seluruh guru dan siswa kita dalam tataran yang lebih dari layak. Sekarang aku tanya padamu Den, apakah perilaku Ketua Jurusanmu itu termasuk kompeten?"
"Tentu saja tidak Amma, tapi kita bisa apa?"
"Kita bisa begini, Den," Niruti membentangkan sebuah gulungan kertas lebar dan mulai menjelaskan rencananya.
******
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sang Maharaja beserta Prameswari dan para Rajaputra-Rajaputri bertandang ke Mandala Ujungpara. Semua guru, siswa, dan segenap pejabat Mandala berkumpul di arena besar, tempat Mandala biasa mengadakan pentas atau ujian akbar bagi para siswanya. Duduk di panggung kehormatan adalah Sang Maharaja beserta keluarganya. Sementara berdiri di tengah arena adalah Samad beserta Sang Mula Sadhguru.
Sang Mula Sadhguru yang rambutnya telah memutih seluruhnya itu mengelus-elus janggut panjangnya sejenak sebelum mulai membuka acara, "Terima kasih kami haturkan pada Sang Paduka Maharaja beserta Sri Maharani dan tak lupa segenap Rajaputra dan Rajaputri yang telah bersedia mengunjungi Mandala kami yang kecil dan hina ini. Sebuah kehormatan yang tak terhingga bagi kami karena kami dipercaya menerima kehadiran Paduka dan Yang Mulia sekalian. Karena itu agar kunjungan Paduka beserta keluarga tidak mengecewakan, kami persembahkan kepada Paduka beserta keluarga, Sadhguru terbaik di Mandala kami, Sadhguru Samad, yang akan mempresentasikan temuan-temuan terbaiknya yang semoga saja bermanfaat bagi negeri ini!"
Samad masuk ke tengah arena lalu mulai berbicara panjang lebar mengenai 'temuannya', tentang keunggulannya, tentang 'perjuangannya' menyelesaikan temuannya itu, tentang 'keberhasilannya' mengkoordinasikan sebuah tim ahli yang menurutnya cukup membantunya menyelesaikan masalah-masalah krusial dalam temuannya ini tapi sama sekali tak menyebutkan namaku atau Sakuntala. Sekali lagi Samad berusaha merebut panggung hanya untuk dirinya seorang.
Samad mengambil tongkat sinar dari rak artifak kemudian memperagakan cara mengoperasikan tongkat sinar itu sebelum sinar yang keluar dari tongkat itu meledak dan taksu dalam tongkat itu mengarah ke arah penonton. Mula Sadhguru dan para Sadhguru yang lain bertindak cepat dengan membentuk taksu perisai guna melindungi segenap hadirin sementara Niruti sesuai rencana berseru kepada Samad.
"Rama Sadhguru, sepertinya ada yang tidak beres dengan artifak buatanmu itu! Sebaiknya uji coba ini ditunda atau panggil 'tim ahlimu'!"
"Ah! Jangan khawatir Amma Sadhguru ini hanya kesalahan kecil, untuk selanjutnya saya akan memperagakan cincin taksu halilintar yang .... ," belum usai Samad berkata-kata halilintar besar sudah turun dari langit dan nyaris menyambar dirinya dan Mula Sadhguru beruntung dua orang itu bisa menghindar.
"Siapapun yang tergabung dalam tim ahli Samad sekarang juga turun ke arena!" Mula Sadhguru meneriakkan perintah.
Aku pun melayang turun dari puncak arena dan mata semua hadirin tampak memandangiku penuh arti.
"Mana yang lain?" Niruti bertanya kepadaku.
"Tidak ada Amma dan Rama sekalian. Seluruh pekerjaan penelitian Sadhguru Samad selama ini hanya dikerjakan oleh saya seorang serta dibantu Nona Guru Sakuntala dalam beberapa hal. Tak ada orang lain."
"Jelaskan masalah dari dua artifak ini!" Mula Sadhguru melemparkan tongkat sinar dan cincin taksu halilintar itu kepadaku.
"Rama, kedua artifak ini belum sempat saya tatah mantra perlindungan ketika dibawa ke arena. Sehingga praktisi yang kurang ahli bisa saja celaka saat menggunakan kedua artifak ini."
"Dan kamu bisa menggunakannya tanpa mencelakai yang lain?" tanya Niruti.
"Bisa!" aku mengangkat tongkat sinar itu ke atas dan muncul bola sinar benderanng yang melayang lembut ke angkasa dan terus bersinar sampai kuturunkan tongkat itu.
Adapun cincin itu akhirnya kukenakan di tanganku dan kuarahkan ke sebuah batu besar yang sedianya menjadi sasarannya lalu keluarlah seberkas halilintar dari dalam cincin itu dan hancurlah batu itu menjadi kepingan kecil.
"Lihat Rama dan Amma sekalian, artifak ini bekerja dengan baik," ujarku.
"Yang berarti," Niruti menoleh ke arah suaminya, "Samad lah yang tidak becus menangani artifak itu."
"Samad!" suara Rama Mula Sadhguru menggelegar, "Siapa yang selama ini sebenarnya mengerjakan temuan-temuanmu?"
"Saya Rama!" jawab Samad masih saja tak mau jujur.
"Bohong! Jika kamu yang selama ini mengerjakan temuan-temuanmu kenapa kamu bisa tidak tahu cara menggunakannya sementara asistenmu bisa?!"
"Kondisi saya sedang tidak baik Rama," Samad berdalih, "Karena itu saya gagal menggunakan artifak itu."
"Apakah dia katakan hal yang sebenarnya, Tuan Guru Denny?" kali ini Rama Mula Sadhguru bertanya padaku.
"Semua penelitian dan temuan Samad, semua saya dan Nona Sakuntala yang mengerjakannya!" jawabku.
"Samad! Kamu berani-beraninya mempermalukan Mandala kita!" emosi Mula Sadhguru memuncak.
"Sebentar Rama! Rama percaya begitu saja pada ucapan Denny? Tidakkah Rama tahu bahwa dia dahulu datang kemari karena diusir dari desanya karena melakukan hubungan terlarang antar sesama lelaki? Rama lebih percaya pada pendusta seperti ini daripada Sadhguru seperti saya?"
Dua detik berikutnya tubuh Samad melayang dan membentur tiang bangunan. Kulihat mantan teman sekelasku, Rajaputra Grasakan sudah turun panggung dan memukul Sang Sadhguru dengan segenap kekuatannya.
"Berani-beraninya Sadhguru gadungan macam kau menghina teman baikku! Dengarkan semua yang hadir di sini! Saya, Rajaputra Mapanji Grasakan, bersaksi bahwa yang Samad katakan adalah dusta! Denny adalah teman sekelas saya ketika masih belajar di Mandala ini dan dia adalah orang paling jujur yang pernah kami kenal! Hayo! Berani kalian katakan aku pendusta begitu?"
Semua yang hadir di sana tak ada yang berani menjawab argumen Sang Rajaputra dan acara itupun berakhir dengan sidang darurat para Sadhguru dengan disaksikan Sang Paduka Maharaja.
*******
Lima bulan berlalu sudah sejak kejadian itu. Atas desakan Sang Rajaputra, Samad dipenjara karena perilakunya yang dianggap memperdayai Kemaharajaan. Sakuntala telah melahirkan seorang bayi laki-laki, bayinya Samad, dan menitipkan bayinya kepada Mandala ini. Sementara aku? Aku hari ini duduk di gerbang Mandala berusaha membujuk teman baikku untuk terakhir kalinya untuk tetap tinggal di Mandala ini.
"Sakuntala, tak bisakah kamu pertimbangkan lagi keputusanmu?" kembali aku membujuk Sakuntala yang membawa sebuah koper besar.
"Maaf Den, aku tahu kamu peduli padaku, tapi mohon maaf untuk sementara aku tak bisa lagi mengajar di sini."
"Tapi di sini ada anakmu. Kalau kamu pergi kamu akan jarang bertemu anakmu."
"Justru itu Den, mengapa aku harus pergi. Di sini aku akan sering tergoda mengunjungi anak itu. Bisa jadi orang-orang akan curiga dan menyelidiki siapa orangtua anak itu. Jika sampai orang-orang tahu bahwa anak itu adalah anak Samad maka akan banyak orang menggunjingkan dirinya. Ia takkan bisa tumbuh dan belajar dengan baik. Posisimu akan terancam dan aku tak mau membahayakan kalian berdua."
Aku menghela nafas, sepertinya memang tak ada gunanya menghalangi kepergian Sakuntala karena tekadnya sudah bulat, "Kalau kamu berniat kembali, pintu Mandala ini akan selalu terbuka lebar untukmu. Sebab ini adalah rumahku dan rumahmu juga Nona Guru Sakuntala."
Sakuntala tersenyum, "Kalau begitu berjanjilah kala aku kembali kemari suatu hari kelak, jadikan jurusan kita ini jurusan yang lebih maju dan hebat lagi, Rama Ketua Jurusan!"
===OO===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top