7

Kuugaruk bukanlah tempat yang ramah. Saat itu pertengahan tahun, Juli, dan mereka tidak menemui malam di sana. Tubuh Kiel kebingungan saat mereka harusnya istirahat, tapi belum melihat gelapnya langit. Terlebih, kini sudah lebih dari satu jam perjalanan dari Kuugaruk Airport dengan kendaraan darat pribadi milik keluarga Naomi, mereka pergi menuju pesisir laut.

Naomi menolak supir pribadi untuk mengantarkan mereka. Untuk alasan kerahasiaan, bisik Naomi pada Kiel sebelum mereka berdua menaiki mobil kuno itu. Naomi menyetir mobil tua tanpa GPS itu sampai beberapa menit lalu. Kiel baru lima belas menit menggantikan gadis itu menyetir setelah mereka berhenti untuk mengisi bensin di sebuah gas stasiun tua di pinggiran kota. Hingga dari kejauhan, Kiel bisa melihat tujuan mereka.

"Naomi, bangunlah. Kurasa kita hampir sampai."

Old Church Stone, sebuah landmark aneh dan penuh sejarah di Kugaaruk, Nunavut. Bangunan tua itu memanjang, seperti gudang tak terurus yang bagian bawahnya tertutupi salju, seperti jemari putih yang meraih-raih dari tanah untuk menyembunyikan bangunan bersejarah itu. Sisanya sudah mencair karena panas matahari yang tidak seberapa.

Kiel memarkirkan mobil tak jauh di sisi gereja. Ia keluar dan menutup pintu mobil, sembari mendongak, mengamati ujung bangunan gereja yang menjulang tinggi di depannya. Itu adalah sebuah menara tua yang berdiri kokoh dan sombong, mengabaikan bagian belakangnya yang rendah seperti gudang dan terlihat bisa jatuh kapan pun. Di ujung menara, sebuah salib menjulang tinggi, menunjukkan bagaimana keras perjuangan pembawa kristen kemari, bapa Pierre Henri pada 1941.

Di antara semua tempat di dataran salju ini, Naomi pergi menuju gereja tua ini. Gereja ini menyimpan sesuatu. Asap mengepul dari mulut dan hidung Kiel saat ia melihat gadis itu berdiri menyejajarinya. Pipinya merona dan bibirnya memucat sewarna bunga dahlia merah muda. Meski memang ada matahari saat ini, suhu udara masih sangat rendah. Kiel tak habis pikir dengan bangsa Inuit yang bisa tetap hidup di lingkungan seperti ini.

"Apa ini benar tujuan kita?"

"Ya. Semoga."

"Apa maksudnya semoga?"

"Aiden Lee tidak bisa dihubungi. Aku tidak bisa memastikan apa dia masih berada di sini atau sudah berpindah lagi."

"Kau pasti bercanda."

"Jika itu candaan, aku yakin itu sama sekali tidak lucu."

"Naomi, lalu kenapa kita ada di sini?"

"Karena dari yang terakhir aku tahu, Aiden Lee memang tinggal di sini."

"Dan kapan itu tepatnya?"

"Beberapa tahun lalu."

"Oh, Tuhan."

Kiel mengusap wajah dan membasahi bibirnya yang terasa kering dengan lidahnya. Kemudian dari kejauhan, ia melihat seorang warga lokal datang ke arah mereka. Seorang pria paruh baya. Semakin pria itu mendekat, semakin Kiel bisa memastikan pria itu adalah seorang Inuit, kaum pribumi yang tinggal di daerah itu. Pria itu berseru dari kejauhan dengan bahasia Inuktitut.

"Maaf, saya tidak mengerti bahasa Inuit," balas Kiel ketika jarak mereka sudah cukup dekat untuk bisa saling mendengar.

Seperti tak mengerti apa yang Kiel katakan, pria itu terus menjawab dengan bahasa Inuktitutnya yang asing di telinga Kiel. Kiel mengamati sosok di depannya itu, berwajah khas orang Inuit yang seperti orang dari Asia Timur, terlihat berada di awal empat puluhan, memakai pakaian tebal. Pria Inuit itu terus bicara dengan menggunakan bahasa ibunya dan Kiel hanya bisa mendengarkannya dengan seksama, berharap secara tiba-tiba dirinya adalah seorang poliglot.

Suara lembut seorang gadis menjawab pria di hadapan Kiel dan menyelamatkannya. Naomi berjalan mendekati mereka dan dengan lancar berbicara pada si pria Inuit, menjelaskan sesuatu dan menggambar pola acak di udara. Kemudian si pria mengangguk dan dengan bersemangat mengajak mereka untuk memasuki gereja tua itu, sedangkan Kiel dan Naomi mengekorinya.

"Aku tidak tahu kau bisa bahasa orang Inuit."

Sebuah senyuman sombong yang manis melebar di wajah cantik Naomi. "Bahasanya disebut bahasa Inuktitut. Dan masih banyak hal yang tidak kauketahui dariku."

Kiel mendengkus kecil dan menyipitkan matanya.

"Apa yang kaukatakan padanya?" bisiknya pada Naomi.

"Apa yang ingin dia dengar," jawab Naomi sambil memberi Kiel senyum misterius yang dibuat-buat.

Kiel tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Mungkin perjalanan ini setengahnya merupakan penculikan secara tidak langsung. Tapi dengan berada bersama Naomi, ia agaknya merasa hari itu takkan menjadi hari yang terlalu buruk.

Pria Inuit itu, Naomi mengenalkannya sebagai Tuan Nuniq, seorang warga setempat kebetulan lewat saat tugas berjaga di lingkungan sekitar ini. Tuan Nuniq membawa mereka masuk ke dalam bangunan gereja dari pintu belakang. Setelah dilihat dari dekat, barulah Kiel menyadari sisi-sisi bangunan itu ditahan oleh beberapa papan-papan yang terbuat dari kayu sebagai penahan dinding gereja agar tetap berdiri kokoh. Mungkin itu untuk mempermudah orang-orang membersihkan salju dari atas atap gereja. Membayangkan bahwa mereka harus membersihkan salju-salju itu setiap hari saja membuat Kiel terus berangan-angan, kenapa masih ada orang yang bersedia tinggal di tempat seperti ini.

Secara mengejutkan, bagian dalam bangunan gereja itu cukup hangat. Dan meski tidak terlalu luas, mereka merawat gereja ini cukup baik. Kursi-kursi jemaat terlihat masih bersih, bahkan terlihat cukup baru, meski tak ada bantalan di tempat duduk atau tempat bersimpuhnya. Semuanya terbuat dari kayu. Mimbar imam juga jauh dari kata mewah, namun kiranya layak digunakan untuk sembahyang. Tapi ia tahu, gereja itu sudah tidak digunakan sejak zaman perang lalu. Itu berarti, ada seseorang yang cukup peduli untuk merawatnya sedemikian rupa.

Tanpa ia perkirakan sebelumnya, Tuan Nuniq tiba-tiba menepuk pundak Kiel dan mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Masih dengan bahasa Inuktitutnya. Kiel yang masih belum memiliki keajaiban menjadi poliglot dadakan, langsung saja membulatkan mata dan membetulkan posisi kacamatanya, kebingungan.

"Dia berpamitan, Kiel. Dia akan meninggalkan kita di sini karena masih harus meneruskan penjagaan."

Kiel segera mengangguk dan berterima kasih. Mereka berdua tetap diam mengamati sosok Tuan Nuniq beranjak pergi dan kembali menutup gereja untuk meninggalkan mereka berdua di dalam bangunan gereja.

"Berjaga-jaga? Apa Tuan Nuniq adalah seorang polisi?"

"Polisi tidak berpatroli di sini, Kiel. Mereka hanya berkeliling untuk memastikan tidak ada bangunan yang hancur karena timbunan salju, atau tidak ada serigala yang tersesat dan memakan cadangan daging mereka," ucap Naomi sambil berjalan dengan di ragu ke arah mimbar.

"Hei, Naomi, mau ke mana kau?"

Naomi tak perlu meminta pria itu untuk mengikutinya, Kiel sudah menempel di belakangnya seperti anjing yang patuh. Naomi menatap lurus ke pemandangan remang di depannya dan menyadari kini dirinya berdiri dalam naungan apse. Naomi mengatur napasnya untuk kemudian menoleh pada pintu di sebelah kanannya yang biasanya akan menuju panti imam. 

"Naomi."

Kiel menahan tangannya untuk tidak menarik lengan Naomi saat gadis itu berjalan mendekati pintu yang biasanya membatasi panti imam dengan bagian dalam gereja. Namun, Naomi sudah mengetuknya tiga kali dan membuat nada ceria dengan ketukan cepat itu.

Tak ada jawaban. 

Suhu dingin dan minimnya cahaya di bangunan itu, hanya membuat suasana menjadi mencekam saja.

"Naomi, apa kau yakin?"

Naomi menolehkan kepalanya ke belakang dan memberikan senyum pada Kiel.

Kreeekk.

Secara refleks, Kiel beringsut ke arah Naomi. Berdiri di antara gadis itu dan pintu panti imam yang tengah terbuka dengan suara berderik yang mengerikan. Naomi bisa merasakan bagaimana tegangnya Kiel saat itu dengan melihat bagaimana punggungnya naik turun karena napasnya. Namun, pemandangan yang lebih menarik baginya adalah siapa pun yang membukakan pintu untuk mereka itu.

Pintu itu bahkan tidak terbuka setengahnya, awalnya hanya ada kegelapan. Kemudian suara gemerisik, lalu udara dingin yang tidak bersahabat keluar dan membekukan dari celah pintu yang terbuka. Kemudian tidak ada yang terjadi.

Kiel menelan air liurnya dan berusaha bersuara sampai suara lain mendahuluinya.

"Siapa?"

Suara itu berasal dari dalam pintu, Kiel tak bisa melihat sosoknya dengan jelas dari jarak pandangnya, tapi ia bisa melihat siluet sebuah sosok di balik pintu, sama-sama tertelan dalam kegelapan. Kiel tak bisa menjelaskan itu suara perempuan atau laki-laki. Yang jelas suara itu serak dan terhalang sesuatu.

"Aiden Lee?" pundak Kiel terjingkat saat suara imut di belakangnya tiba-tiba berseru, "Aku merindukanmu!" Naomi berusaha melepaskan diri dari perlindungannya untuk menghampiri seseorang di balik pintu itu.

Aiden Lee?

Jadi, orang aneh yang bersembunyi di dalam gereja reyot ini adalah Aiden Lee?

Kiel jelas sekali tidak bisa membiarkan Naomi menghampiri gadis di balik pintu itu begitu saja. Untungnya, Aiden Lee segera menutup pintu sebelum Naomi bisa meraihnya.

"Aku sudah bilang padamu untuk tidak datang," ucap gadis di balik pintu itu. Dia terdengar murung dan tidak bersemangat pada kunjungan itu.

"Aku sudah bilang, aku akan membawa teman. Ini adalah Kiel White. Dia adalah asisten yang paling Dr. Adolf percaya."

Kiel menatap Naomi dengan pandangan aneh.

"Apa? Kenapa kau memperkenalkanku seperti itu?"

Naomi menatap tajam Kiel sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. Kemudian ia berdeham dan kembali bicara di depan pintu itu.

"Aiden Lee?"

"Sudahlah, Naomi. Sebaiknya kita pulang." Kiel kini tak segan memegang lengan Naomi dan menariknya mundur dari pintu itu.

Naomi menggeleng keras dan menatap Kiel dengan penuh tekat seperti anak anjing yang tetap minta diajak jalan-jalan meski di luar rumah adalah Kuugaruk.

"Kau jangan membuat perjalanan jauh kita jadi sia-sia, Kiel!"

"Jauh, dan dingin. Oh, Naomi, percayalah padaku, aku mengingat dengan jelas seperti apa perjalanan kita ke sini. Tapi mau bagaimana lagi? Sepertinya kau kurang bisa mengambil hatinya dan gadis itu tidak akan membiarkan kita masuk."

"Bagaimana dengan kaucoba merayunya? Dia tidak bertemu dengan pria selama bertahun-tahun. Dan siapa tahu, ia akan membukakan pintu pada pria tampan sepertimu."

Andai Naomi tahu, sesuatu dalam lubuk hati Kiel berteriak riang setelah mendengar ucapannya.

Percakapan mereka diinterupsi oleh suara yang tidak asing. Derikan pintu di depan mereka.

Suara pintu kayu tua yang tadi tertutup rapat, kini kembali terbuka. Kali ini lebih lebar. Saat itu Kiel bisa melihat sendiri sosok Aiden Lee di ujung matanya. Seperti penggemarnya, Aiden Lee adalah gadis jangkung berambut pirang nyaris putih seperti salju, matanya gelap, sayu, bibirnya proposional dan ia memiliki garis wajah yang kuat. Tubuhnya kurus, ditambah lekung di daerah sekitar matanya itu membuatnya terlihat seperti mayat hidup.

"Oh, Aiden!"

"Hentikan, Naomi. Aku tidak sedang dalam mood untuk memelukmu. Dan jangan berisik. Kau sangat mengganggu."

"Kau tidak pernah dalam mood untuk itu!"

Kiel mengamati kedua perempuan di hadapannya. Naomi terlihat sebagai satu-satunya pihak yang menganggap hubungan mereka adalah pertemanan. Sedangkan Aiden Lee terus mendorong gadis itu. Meski begitu, Kiel merasa ragu, Aiden Lee tidak menganggap Naomi sebagai teman. Perempuan itu tidak terlihat cukup ramah untuk begitu saja membukakan pintunya pada seseorang yang tidak ia percaya.

"Oh, Aiden. Ini adalah peneliti kepercayaan Theo. Kiel White. Kiel, ini adalah temanku, Aiden Lee."

Kiel mengatur komposisi sikapnya. Ia berdiri tegap dan menatap gadis misterius itu. Ia tak bisa mengendorkan waspadanya dengan mengucapkan salam perkenalan yang layak. Begitu pun Aiden Lee yang tetap diam di tempatnya, hanya mengangkat matanya pada Kiel dan mengamati pria itu.

Setelah mereka berkontak pandang, barulah Kiel merasa ada sesuatu yang salah pada gadis bernama Aiden Lee itu. Entah itu mekap tipis yang dikenakan Aiden Lee, atau pakaiannya yang terlalu tebal, bertumpuk-tumpuk.

"Apa yang kauinginkan?"

Tidak ada salam perkenalan. Kiel menguatkan asumsinya bahwa Aiden Lee sama sekali tidak mengundang kedatangannya meski Naomi bersikap seolah membawa Kiel saat berkunjung layaknya membawa kado bagi Aiden Lee. Terlebih, pertanyaan itu seperti hanya ditujukan pada Naomi. Aiden Lee tidak benar-benar menganggap dirinya ada di sana.

"Ah, kau benar!" Naomi dengan cepat membuka tas yang ia bawa dalam tas yang ia bawa dengan logo kucing di ujung pengaitnya—sesuatu yang membuat Kiel tidak habis pikir bisa sampai sejauh mana gadis itu menjadi manis—dan mengeluarkan sebuah buku. Buku milik Dr Adolf.

Aiden Lee mengerutkan kedua alisnya menikuk tajam saat ia menatap buku itu.

"Dari mana kau mendapatkan buku itu?"

Kiel angkat bicara, "Aku mendapatkannya dari Dr Adolf. Ia ingin aku melakukan sesuatu yang tidak kumengerti dengan buku itu."

"Berikan buku itu dan kembalilah padanya untuk bertanya sendiri. Itu bukan urusanku." Aiden Lee mengulurkan tangan kurusnya untuk mengambil buku itu dari tangan Naomi.

Namun secepat napas berhembus, tangan Naomi dengan luwesnya menghindari uluran tangan Aiden Lee, kemudian menyembunyikan buku itu di belakang punggungnya dan berganti mengeluarkan sebuah mini glock dari dalam rompinya yang mahal dengan tangan lainnya.

Tak satu pun dari Kiel dan Aiden Lee yang menduga apa yang akan dilakukan Naomi. Kiel dan Aiden Lee seketika membatu, dan sempat saling bertukar pandang. Memahami bahwa ini adalah spontanitas dari Naomi sendiri, Aiden Lee mengangkat tangannya dan mengamati bagaimana dengan satu tangan, tanpa tremor, Naomi mengacungkan ujung pistol itu di dadanya. Itu membuat Aiden Lee yakin, itu bukanlah saat pertama Naomi mengacungkan pistol terkokang pada seseorang.

"Kau tidak akan menembakku." Aiden Lee menyipitkan matanya.

"Kalau begitu, aku akan menembak diriku sendiri dan membuatmu berada dalam masalah."

Aiden Lee berdecak kesal. Kiel tak mengerti mengapa gertakan tak masuk akal seperti itu bisa membuat Aiden Lee tunduk. Naomi tidak kehilangan akal sehatnya untuk menembak dirinya sendiri, bukan?

"Sial, Naomi."

"Aiden Lee," suara Naomi yang tadinya tenang, kini goyah, "kita berada di kapal yang sama. Theo membuat ulah dan kita tidak akan senang dengan apa yang akan diperbuat pria itu. Jadi kumohon, dengarkan."

Aiden Lee menutup mata untuk mengambil dan mengembuskan napas panjang dan membuka matanya lagi setelah beberapa detik berlalu. Kemudian perempuan itu mengangguk kecil.

Naomi menurunkan pistolnya dan tersenyum lebar. Kiel merasa mendapatkan kedua kakinya lagi dan mengatur napasnya. Aiden Lee menurunkan kedua tangannya dan membuka pintu lebih lebar.

"Aku hanya memiliki sedikit persediaan makanan. Jangan makan dan minum terlalu banyak, kau mengerti?" ucap Aiden Lee sambil mempersilakan dua tamu yang sama sekali tak diundang itu memasuki rumah rahasianya.[]

.
.
To be continued, 🐨

Edited: Fri, Oct 18

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top