25

Drone, atau pesawat canggih tanpa awak, dilepaskan dan seperti burung migrasi, memenuhi langit pagi di sekitar alun-alun kota, tempat di mana Laila Adams menyampaikan visi misinya sebagai walikota baru.

"Theo ...."

"Maafkan aku, Naomi. Aku berjanji, aku akan melindungimu dari Laila dan siapa pun itu setelah ini, tapi sekarang, kau diam dan lihatlah."

Jemari Theo kembali menari di atas keyboard. Dengan panik, Naomi mendongak, menatap berpuluh-puluh drone melayang, melesat di udara, di atas kepalanya.

"Apa yang akan kaulakukan, Theo?!" Tak ada jawaban, kengerian menguasai diri Naomi yang semakin panik saja, "Kumohon Theo! Kau tahu betapa mengerikannya virus itu dan kita tidak bisa menyebarkannya begitu saja!"

"Aku yang paling tahu bagaimana virus itu merenggut mereka yang harusnya tinggal, Nao. Sekarang, ikutlah bersamanya ke dalam." Theo menunjuk dengan dagunya pada Iris yang bungkam, masih bersiap dengan senapannya, tak jauh dari sana. "Dia akan membawamu ke tempat yang aman."

"Tempat aman? Kau bercanda?" Satu, dua langkah maju dari Naomi.

Iris membidikkan moncong senapannya pada Theo. "Tidak ada yang bergerak," ucap wanita itu dingin.

"Apa yang sedang kaulakukan?" Theo menghentikan gerakan jemarinya.

"Tarik kembali drone-drone itu," ancam Iris dengan wajah ngeri menatap burung-burung buatan melesat di udara, membawa kematian.

"Tarik kembali drone itu, Bajingan!" teriakan Iris membuat Theo mengangkat kedua tangannya.

"Masuklah ke dalam, Iris. Kau tahu, aku tidak akan dihentikan oleh kematian," ucap Theo dengan nada yang ringan.

"Kau yang harusnya masuk, Theo."

Suara itu sama sekali asing bagi Naomi. Begitu juga bagi Iris. Namun, rahang Theo mengeras begitu ia mendengar suara keempat itu bergabung dengan mereka.

"Apa yang kau lakukan di sini, Aiden Lee?" bisik Theo lirih.

"Aiden?" Naomi terperanjat akan kedatangan sosok itu.

Aiden Lee muncul di belakang mereka, di antara pipa pipa saluran angin dan gas. Iris bermaksud membalikkan tubuh dan beralih mengarahkan pistolnya pada Aiden Lee, namun gerakan-gerakan berikutnya sama sekali tidak ia sadari.

Seseorang bernama Aiden Lee itu sudah menempelkan ujung pistol pada leher Iris dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memastikan Theo diam di tempat dengan pistol lainnya. Sementara Theo dan Iris memahami keadaan mereka, secepat kedipan mata, Naomi mengeluarkan sebuah glock dari dalam saku rompi dan ganti membidik ke arah Iris.

"Jauhkan senjatamu dari Theo," perintah Naomi dengan nada dingin, berjalan mendekat.

"Tidak buruk juga," bisik Iris tersenyum melihat bagaimana terlatihnya posisi Naomi untuk menembak.

Naomi tak memberikan respons lainnya. Ia susah payah mengusai diri dari keterkejutannya melihat Aiden Lee di sana, berdiri dengan tingginya yang semampai, lebih dari Theo, rambut pirang panjangnya yang lembut menari dimanjakan angin, dan kulit putihnya yang pucat seperti sangat tidak cocok dengan matahari.

Aiden Lee tidak memakai mekap. Wajah tergas itu membuatnya terlihat maskulin. Di tambah pakaiannya saat itu, sebuah tank top hitam yang kontras dengan kulit putihnya, dilapisi dengan kardigan warna biru gelap, celana chino panjang dan sepatu sneakers.

Aiden Lee terlihat lebih ... pria?

Mungkin karena gadis itu tampil tanpa makeup. Hentikan membohongi dirimu sendiri, Naomi. Itu tidak akan membawamu ke mana pun. Aiden Lee di depannya masih adalah orang yang sama. Orang yang sama, dengan identitas berbeda. Kali ini, identitas aslinya sebagai seorang pria.

"Aku sama sekali tidak berharap kita bertemu di momen seperti ini, Kawan Lama," sapa Aiden.

Suara Aiden Lee juga sangat berbeda dari yang biasa Naomi dengar. Suaranya berat, sebagaimana milik para pria.

"Aiden Lee, sebaiknya kau kembali ke Kuugaruk, sebelum mereka mengetahui siapa kau sebenarnya."

Sebuah senyuman enteng muncul di wajah Aiden Lee. Pria itu kemudian menggerakkan kedua bola matanya tertuju pada Naomi. Sebuah senyuman tipis, terbentuk di wajahnya.

"Aku punya seorang pelindung yang cukup kuat untuk melindungiku dari mereka, Kawan. Kau yang sebaiknya pergi dan dinginkan kepalamu."

"Aiden Lee, aku memperingatkanmu sekali lagi, sebagai seorang yang memiliki utang budi," Aiden Lee menatap langit, di mana beberapa drone-drone berdiam di koordinat yang sudah diatur sedemikian rupa, sedangkan yang lain masih beterbangan, "pergilah dari sini."

"Atau apa?"

"Tabung-tabung di drone itu membawa virus, Aiden!" Naomi akhirnya bersuara. "Theo akan menggunakan virus itu untuk membunuh kita semua."

Aiden Lee menghilangkan senyumnya, matanya sedikit merengut tajam dan melirik pada Theo.

"Dia tidak akan melakukannya," ucap Aiden Lee.

Theo tertawa. Awalnya lirih, kemudian semakin keras dan menggeleng.

"Kalau begitu, kau tidak memahamiku, Kawanku."

Dengan cepat, Theo menggerakan jemarinya ke atas laptop. Secepat itu juga, secara refleks, Naomi membidik Theo dan menembaknya.

"Sekarang!" teriak Aiden Lee.

Seperti sebuah aba-aba, bersamaan dengan seruan Aiden Lee, di langit meledak-ledak kembang api dengan sebuah motif yang sama. Suara tembakan Naomi tenggelam dalam riuh kembang api yang tiba-tiba meledak di atas langit itu.

"Simbol itu ...." Iris menengadah, menatap ledakan kembang api membuat pola bunga dalam beberapa detik sebelum menghilang. "Amelia?"

Detik berikutnya, Theo ambruk di atas lantai, kaki kirinya berlubang, mengucurkan darah segar.

"Dia sedang menunggumu di bawah!" ucap Aiden Lee menghadap pada Iris. "Dia membutuhkan bantuanmu."

Iris dengan tak mengerti memandangi wajah Aiden Lee, "Bagaimana kau tahu—"

"Kalian memiliki tato yang sama di leher kalian. Bunga mawar," ucap Aiden Lee sambil menurunkan pistolnya saat Naomi bergegas mendekatinya. "Bawa Naomi dan Theo ke laboratorium kendali. Amelia sudah membuat jalan keluar yang aman dari sana."

"Tapi pria gila ini herhasil meluncurkan drone-drone itu untuk melepaskan bawaannya! Kalian juga harus masuk dan menyelamatkan diri," ucap Iris panik dan mendongak ke atas.

Tapi apa yang dilihatnya di atas sana tidak sama seperti apa yang dibayangkannya. Tabung di drone-drone itu tetap terpasang di tempatnya, tidak terlepas dan menyebabkan kekacauan massal. Beberapa bahkan mulai terbang menjauh, ke arah utara

"Theo!" Naomi sudah menekuk lututnya untuk melihat keadaan kaki Theo akibat tembakannya sendiri.

"Apa ... yang sedang terjadi?" tanya Theo sambil menatap langit. Ia kehilangan warna mukanya, matanya membelalak dan keringat berkucuran dari pori-pori wajahnya.

Melihat itu, Naomi mengerti bahwa kejadian ini juga merupakan kejanggalan bagi Theo, kenapa protokol yang ia perintahkan, dibatalkan tanpa konfirmasi apa pun. Naomi tak mengatakan apa pun lagi, ia berusaha membantu Theo berdiri untuk mencari cara merawat luka tembaknya. Namun, Theo bergeming. Theo tengan menyadari sesuatu. Pria itu segera menatap Aiden Lee yang menjulang di belakangnya.

"Apa yang kaulakukan pada Meredithku?" tanyanya geram, suaranya gemetar karena rasa sakit luar biasa di kakinya.

"Meredith?" Naomi mengulangi. Ia mendongak pada Aiden Lee untuk meminta penjelasan.

"Bagaimana dengan kau turun dan melihatnya sendiri?" Mata dingin Aiden Lee menatap Theo yang ada di bawahnya.

Theo menggeram marah. Ia menepis Naomi dan mencoba sekuat tenaga berdiri. Aiden Lee menangkap tubuh Naomi dengan sigap dan memberikan isyarat pada Iris untuk membantu pria itu ke tempat yang ia tuju. Dengan sekali anggukan, Iris menangkap lengan Theo, memapahnya dan membawanya masuk kembali ke dalam gedung.

"Aiden Lee. Aku tak tahu kau akan datang."

"Bohong. Dean pasti sudah mengirimkan pesanku padamu. Kau tahu aku akan datang," ucap Aiden Lee sembari menyimpan kembali pistol dalam sarungnya di balik punggung.

Sebuah senyum merekah di bibir gadis itu, "Aku bersyukur kau berada di pihakku," senyum Naomi perlahan memudar saat ia melihat sosok Aiden Lee dengan lebih jelas. "Aiden Lee, kau—"

"Ya, Naomi." Dengan napas berat dan sebuah sikap menghindar, Aiden Lee berjalan ke arah komputer yang tadi digunakam Theo dan mengutak-atiknya. "Maaf, harusnya aku mengatakannya lebih awal. Aku seperti yang kaulihat sekarang, adalah seorang pria. Aku akan menjelaskan detailnya nanti."

Naomi bersusah payah mengangguk, menelan segala pertanyaan dan menghentikan pikirannya untuk berputar ke belakang, mengingat hal-hal memalukan apa yang sudah ia lakukan atau katakan pada pria di hadapannya ini. Sementara itu, Aiden Lee menancapkan USB disk pada komputer yang tadi digunakan Theo, kemudian mulai mengotak-atiknya. Naomi menunggu dengan sabar di belakang Aiden.

"Bagaimana kau menghentikan drone-drone itu melepaskan bawaannya?"

"Bukan aku. Jika drone-drone itu berhasil mundur, Kiel berhasil melakukan tugasnya dengan baik."

"Kiel?" Sebuah harapan berbinar di mata gadis itu, tentu, tak luput dari sudut mata Aiden Lee. "Dia selamat! Syukurlah! Ia dikejar-kejar saat melarikan diri setelah aku memintanya pergi untuk mencari bantuan."

"Ya, entah bagaimana, Kiel berhasil meloloskan diri, dan memberikan disk itu padaku. Berjanjilah padaku kau tidak akan menghadapi bahaya seperti itu sendiri saat aku tidak bersamamu, ok?"

"Apa aku kelihatan punya pilihan lain saat itu?" Naomi memcebikkan bibirnya, kemudian tersenyum lembut, "Lagi pula aku tahu, kau akan datang. Dan kau datang."

"Ahem," Aiden Lee menggeleng kecil, seperti berusaha menyadarkan dirinya dati mabuk, saat ia tidak sedang dibawah pengaruh alkohol, "Dari mana kau mendapatkan disk itu?"

"Meredith memberikannya padaku."

"Hm, jadi Kiel benar, Meredith yang memberikan enskripsi itu padamu."

"Enkripsi?"

"Kode yang dibuat sedemikian rupa agar tidak sembarangan orang bisa membacanya. Aku memecahkan kode itu dan mendapati kenyataan yang mencengangkan."

Setelah Aiden Lee mengetik tombol terakhir di komputer itu, ia menoleh pada Naomi yang menatapnya penuh rasa penasaran.

"Klona pertama Theo, bukanlah Meredith yang sama seperti yang kaulihat tertembak di depan matamu, Naomi." Aiden Lee memulai penjelasannya, "Klona pertamanya, ia menyebutnya The Mother, adalah klona sempura yang menghidupkan seluruh sel kerja otak dan menjiplak persis saraf tulang belakang dari tubuh aslinya. Membuat dua Meredith yang bahkan memiliki sidik jari yang sama, namun bertubuh setengah robot dengan jantung buatan. Lazarus's Heart."

"Apa?" Naomi tercengang dan ia berlari kcil mengikuti Aiden Lee yang mulai melangkah dengan cepat setelah mengambil kembali USB dari komputer Theo dan memasukkannya dalam saku. "Lalu di mana Meredith yang pertama? Maksudku klonanya. The Mother itu?"

"Ia berada di tempat yang dituju Theo."

"Kenapa kau malah menggiringnya ke sana, Aiden?"

"Ia ingin menjadikan The Mother sebagai prototype awal dari tubuh klona yang akan ia buat setelah genosida ini. Aku ingin Theo melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana mahakaryanya berakhir."

.
.

To be continued, 🐨

Edited: Thu, Nov 28

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top