22
Seorang peneliti, cukup berumur, dengan kacamata yang terlihat sama tua dan tebalnya, berjalan dengan langkah kecil kaki tuanya itu secepat yang ia mampu. Dari kantornya menuju laboratorium, tempat tujuannya, tidak terlalu jauh. Namun, seseorang yang menunggu di sanalah yang membuat di peneliti tua ini berjalan cepat hingga keringat mengucur di dahinya.
"Nyonya Adams," panggil si peneliti tua.
Laila Adams, memakai jas peneliti yang sama dengan orang-orang di sekitarnya, berbalik pada pria tua itu dan membulatkan mata melihatnya datang. Wanita elok itu tak mengatakan apa pun, hanya sorot matanya yang tertarik mendengarkan apa yang akan dikatakan si peneliti tua.
"Kita berhasil masuk."
Satu kalimat itu cukup membuat air muka Laila berubah. Wanita itu meninggalkan pekerjaan apa pun yang sedang ia lakukan beberapa saat lalu, kemudian ia bergegas mengiringi langkah kaki si peneliti tua.
Di ruangan penelitiannya, di sanalah Theo sedang berdiam di balik salah satu dari banyak komputer di dalam ruangan. Pria itu membelakangi pintu, kepalanya terdongak, terarah pada akuarium besar di mana Meredith, satu-satunya alasan yang membuat pria itu berada di sana, melihat gadis dalam air itu tengah membuka mata.
"Sejak kapan ia membuka matanya?"
Mata Laila membelalak saat melihat bagaimana Meredith, satu-satunya sahabat, gadis misterius yang ia ketahui sudah meninggal beberapa tahun lalu, kini sedang menatap Theo, pria yang Laila kagumi, pria yang tak pernah bisa menjadi miliknya.
"Kau ingin mencoba memintanya melakukan sesuatu, Laila?"
Suara Theo menggema dari tengah ruangan sebelum peneliti tua yang mengantar Laila ke sana dapat menjawab pertanyaanya.
"Ya," Laila menatap punggung pria itu, kemudian berjalan mendekat, "ada saran?"
Theo menoleh dengan senyuman kecil di bibirnya. Bau alkohol, seperti biasa. Laila akan menampar siapa pun yang bekerja di laboratoriumnya dengan bau mulut seperti itu. Tentu, kecuali Theo. Wanita itu kini bahkan menyebelahinya.
"Bagaimana kalau pertama-tama, kita keluarkan dia dari sana?"
Laila mengedipkan matanya sekali, kemudian ia menoleh pada bodyguard yang siap sedia di belakang mereka. Ia juga melihat mata-matanya yang berasal dari Greenland, Iris, sedang memegang senapannya dan memasang wajah dingin, tanpa ekspresi, dengan mata tajamnya seperti biasa.
"Oke. Mari kita adakan reuni kecil."
Senyuman Theo melebar, kemudian ia memainkan jemarinya di atas komputer kendali dan beberapa detik kemudian, air dalam tabung akuarium yang mengurung Meredith sedikit demi sedikit berkurang dan membuat gadis itu terkulai di atas lantai tabung.
Begitu tabung akuarium itu terbuka, para peneliti lainnya bergegas melepas alat bantu berupa selang dan berbagai alat medis lain yang menempel di tubuh Meredith. Theo dan Laila juga bergegas mendekati gadis itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Theo bisa merasakan degup jantungnya sendiri. Sangat gugup, lebih dari kapan pun yang pernah ia ingat. Tapi begitu gadis itu bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri, barulah Theo bisa melihat mata gadis itu dengan jelas.
Meredith memandanganya dengan pandangan jijik.
Theo tak tahu apa yang sudah terjadi, tapi Meredith yang sekarang, yang ingatannya sudah benar-benar pulih ini, seperti baru saja menuduh Theo melakukan sesuatu yang membuat Meredith muak dengan hanya melihat wajahnya.
"Meredith?"
panggilan Laila menyelamatkan jiwa Theo dari tusukan pandangan tajam Meredith padanya. gadis itu sontak menoleh pada Laila, jelas terlihat pandangan wajah gadis itu berubah seketika.
"Laila ...?" ucap Meredith serak.
"Oh, Tuhan!"
Laila sontak melingkarkan kedua tangannya pada Meredith. Meredith, yang terlihat kebingungan, baik itu untuk perasaan aneh dalam dirinya, dan kehangatan dalam pelukan Laila membuatnya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membalas pelukan wanita itu.
"Kau mengingatku?" tanya Laila saat kemudian ia melepaskan pelukannya dari Meredith. Kedua tangannya masih memegangi pundak kurus gadis itu, takut tiba-tiba dia terjatuh.
"Ya. Ya. Laila Adams. Kau si Kolot Jenius fakultas Ekonomi ... bukan?" Dengan setengah senyuman di wajahnya, Meredith menjawab sembari memiringkan kepalanya, terlihat tidak yakin dengan jawabannya yang tepat. "Benar, bukan? Waktu itu kau di fakultas ekonomi dan aku di Teknik Kimia?"
Terharu, Laila menahan air matanya agar tidak jatuh dan dia mengangguk cepat, "Ya. Ya, Meredith. Kau benar!" Laila yang terlihat sangat puas dengan jawaban Meredith, beralih menatap Theo dengan wajah berseri-seri. "Kau berhasil, Theo!"
Meredith diam di tempatnya dan mengerutkan alis saat Theo tersenyum ragu dan berjalan mendekat.
"Meredith."
"Siapa kau?"
***
"Naomi."
"Di mana Theo?"
Naomi berderap-derap berhamburan masuk ke ruangan Laila. Laila sedang mengamati laporan-laporan di mejanya saat deru napas Naomi hampir menerbangkan kertas-kertas dokumen di atas meja.
"Kau bisa berkeliling dan mencarinya." Laila sama sekali tidak mengangkat wajahnya dari kertas-kertas itu.
"Sudah. Dan aku tidak menemukannya."
Suara kesal gadis manis itu membuat Laila mengangkat wajah dari kertas-kertas dan mengamati pipi Naomi yang sudah mengembung kesal.
"Kau tak perlu berlarian seperti itu."
"Aku tidak--"
"Dari pada Theo," Laila berdiri dari kursinya dan menatap sesuatu di balik punggung Naomi, "kurasa kau ingin melihat seseorang yang sudah menunggumu," ujar Laila sembari menunjuk seseorang di balik punggung Naomi.
Naomi mengerutkan alis. Tidak yakin ia akan senang pada tawaran Laila. Tapi gadis itu berbalik dan segera matanya membulat.
Meredith berdiri di baliknya. Sama persis dengan apa yang diingat Naomi. Mata tajam kakaknya akan menjadi luluh dan penuh kasih sayang saat menatapnya. Rambut cokelat madu yang lebih gelap dari miliknya. Semuanya.
"Meredith ...?"
Satu air mata jatuh dari mata kiri Naomi. Ia menutup mulut setelah mengeluarkan kata yang hampir berbisik itu, dan satu langkah mundur.
"Nao."
Meredith adalah satu-satunya orang yang memanggilnya demikian sebelum Kiel datang. Semua perasaan, bahkan rasa takut, bercampur aduk dalam diri Naomi. Ialah yang mengantarkan tubuh Meredith yang berada dalam peti mati untuk diturunkan ke dalam tanah. Melihat sosoknya sama berdiri di depannya, tak ayal membangkitkan rasa ngeri bagi diri Naomi.
"Meredith ...."
Begitu ia menyadari apa yang terjadi, Naomi membiarkan dirinya masuk dalam pelukan Meredith yang terasa asing. Untuk beberapa detik berikutnya, mereka hanya menyuguhkan pemandangan yang membuat Laila tertawa kecil. Naomi sama sekali tidak merasa ini lucu, meski ia memang megap-megap dan kebingungan membuatnya memasang wajah yang menurut Laila lucu. Wanita itu jelas tidak melihat bagaimana kengerian membuat wajah Naomi pucat.
"Me--"
"Laila," suara lantang Meredith membuat Laila fokus padanya, "bolehkah aku meminjam rekanmu ini untuk sebentar saja?"
Senyuman di wajah Laila tiba-tiba pudar. wanita itu masih menyisakan sedikit garis di bibirnya untuk disebut sebuah senyuman kecil, semata-mata untuk menutupi ketegangan yang sedang ia rasakan.
"Kalian bisa bicara di sini. Aku berjanji tidak akan mengganggu," katanya kemudian.
"Ini bukan karena kehadiranmu semata, Laila. Kau lihat. Ini adalah Nao. Adikku. Aku ingin memiliki waktu beberapa menit saja berdua dengan satu-satunya keluargaku yang tersisa. Kau tahu ... rasanya sudah bertahun-tahun."
"Meredith—"
"Lalu aku akan melakukan apa pun yang kauingin aku lakukan."
Kalimat terakhir Meredith merupa sebuah ancaman, membuat ujung bibir Laila berkedut. Laila merenung sejenak, kemudian mengangguk.
"Oke. Kau tahu di mana untuk mencariku jika urusan reuni keluarga kalian sudah selesai." Laila bangkit dari tempatnya dan memberikan senyum pada sepasang saudari itu.
"Terima kasih Laila, aku sangat menghargai itu."
Naomi masih kebingungan saat Meredith melingkarkan sebelah lengan pada lengannya, dan menariknya keluar dari ruangan itu. Naomi melihat kelibatan pandangan yang tidak beres di mata kakaknya itu. Wanita itu, Meredith, entah itu benar kakaknya atau bukan.
Baru beberapa langkah keluar dari mulut pintu ruangan, Naomi bisa melihat Kiel yang berjaga di luar menghampirinya dengan wajah khawatir. Kemudian tiba-tiba wajah pria itu terlihat tegang, ia membulatkan matanya dan berlari ke arah Naomi.
"Miss Blake! Merunduk!"
Terdengar suara tembakan dan terasa sebuah hentakan keras. Tubuh Meredith terjungkal ke depan, kemudian jatuh ke lantai dengan punggung berlubang, darah membasahi blouse sederhananya.
Naomi terjatuh, terlalu shock untuk memahami apa yang baru saja terjadi. Ia, untuk yang kedua kalinya, melihat sosok kakaknya terkapar di depan matanya. Tak bergerak. Dan darah. Darah itu terus mengalir, membunuh orang yang sama, untuk kedua kalinya.
.
.
To be continued, 🐨
Edited: Sun, Nov 24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top