19

"Minumlah, Amelia."

Tidak ada gerakan.

"Setidaknya agar aku tidak lagi melihat tremor tanganmu dari air dalam gelas itu," ucap Naomi sambil memposisikan dirinya untuk duduk di kursi tanpa sandaran yang tadi diduduki Kiel.

Amelia menatap apa yang dilihat Naomi. Demi peluru sialan yang menembus tubuhnya, Amelia melihat dirinya tegang dan tangannya gemetaran. Ia tahu dengan siapa dia bicara, dan gadis yang terlihat ceria itu bisa membunuhnya dalam satu kedipan jika dia menginginkannya.

Setelahmeneguk habis air dalam gelas itu, menyiram kerongkongannya yang terasa kering, Amelia meletakkan gelas di atas nakas sebelah ranjang.

"Apa yang diinginkan seorang bangsawan kelas atas sepertimu dariku?"

Naomi menghela napas panjang dan tersenyum sedih, senyum yang lagi-lagi tak bisa diartikan dengan baik oleh Amelia.

"Kiranya memang tidak ada gunanya berusaha menyembunyikan jati diriku darimu, bukan?" Naomi terkekeh kecil dan menunduk untuk mengamati sepatunya.

"Lagi pula, kenapa kau bermaksud untuk menyembunyikan identitasmu dariku?" Amelia kini memposisikan diri bersandar pada sandaran dipan.

Amelia masih mencoba menenangkan dirinya, menatap Naomi dengan lemah. Ia merasa sudah tidak ada poin baginya untuk waspada. Ia bisa mati kapan saja, tergantung suasana hati Si Bangsawan muda pesolek ini. Setelah  Naomi menggunakan dirinya untuk keperluannya, Amelia yakin, gadis itu tidak akan segan membunuhnya. Lebih buruk lagi, menjadi anjing peliharaan untuk seumur hidup.

"Aku ingin bicara padamu sebagai seorang biasa. Siapa tahu, kau bisa memercayaiku."

"Itu berarti kau sudah tahu, aku tidak memercayai Para Bangsawan."

"Kurang lebih," ucap Naomi sambil mencebik, mengangkat bahunya dan sama sekali tidak kehilangan senyumnya.

"Kau dan teman-temanmu sudah mendapatkan apa yang kalian mau. Bahkan kau bisa memengaruhi salah satu orang terbaikku."

Naomi membulatkan mata, senyum di bibirnya perlahan memudar.

"Jadi Eve's Apple benar-benar berada di tangan mereka?" Naomi berdiri. Alisnya mengerut dan ia berjalan berputar-putar dengan gundah, "Harusnya aku bergerak lebih cepat."

Amelia mengerutkan alisnya pada Naomi yang terlihat gusar, "Apa yang kaugusarkan?"

Naomi bergumam-gumam tidak jelas sambil mengusap-usap dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ia berjalan ke kiri dan kanan, berputar dengan memasang wajah kesusahan.

"Hei--"

"Tunggu," Naomi menunjukkan jari telunjuknya pada Amelia, "biarkan aku berpikir sejenak."

Amelia memutar bola matanya kesal, "Oke, kau tidak perlu berakting seperti itu. Jauh dalam dirimu kau pasti sangat bahagia, benar? Aku tak tahu untuk apa kalian mengambil alih kendali The Great Tree dari tempatnya, tapi yang jelas, kalian berhasil. Dan pasti akan ada perayaan mewah untuk itu."

"Mereka sudah memiliki inti The Great Tree. Mereka bisa melepas Red Killer itu kapan saja mereka mau."

"Apa?"

"Theo dan Eve's Apple, mereka, para sialan itu, memiliki dua syarat aksesnya."

"Kenapa kau menggunakan kata 'mereka' seakan kau bukan salah satu dari mereka?"

Naomi berhenti bergerak. Kemudian mengangguk. "Kau benar. Aku harusnya adalah salah satu dari mereka."

Amelia menggeleng cepat dan menyipitkan matanya, curiga pada Naomi yang terus bersikap aneh, "Apa-apaan kau ini?"

"Aiden Lee!"

Setelah seruan Naomi, Aiden Lee masuk ke ruangan tak lama kemudian. Mata Amelia sekali lagi mengamati Aiden Lee. Awalnya, mungkin karena sibuk dengan pikirannya sendiri, Amelia tak menyadari betapa tingginya Aiden Lee. Garis wajah tegas dan makeup tipis yang dikenakannya.

"Aiden, aku ingin Amelia bisa turun dari ranjang esok--"

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" Amelia menaikkan sebelah alisnya, nampak terheran-heran. Sayangnya, Naomi terlalu sibuk untuk mendengarkan keheranannya dan terus mengoceh.

"--Dan ia akan bekerja sama denganmu."

Aiden Lee yang tadinya menunduk, mendengarkan Naomi dengan seksama, kini melirikkan mata pada Amelia. Bibir Amelia megap-megap mencari kata-kata untuk menarik perhatian Naomi, karena Naomi terus mengacuhkannya. Aiden Lee kemudian menatap kembali pada Naomi. "Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku akan pergi bersama Laila."

Aiden Lee mengerutkan alis, "Bercandaan yang tidak lucu."

Amelia menyerah, kemudian merebahkan diri di atas ranjang dengan perlahan. Ah, lebih baik begini. Luka di perutnya benar-benar akan terbuka lagi jika ia terus menggeram kesal karena pemandangan yang disuguhkan oleh bangsawan pesolek itu. 

"Tak kusangka selain Bangsawan, kau juga seorang gay, Nona. Luar biasa." Amelia menutup mata dengan sebelah tangannya.

"Seseorang harus mengajari gadis bar-bar itu untuk bersikap sopan pada orang yang sudah menyelamatkan hidupnya." Aiden Lee bergerak maju ke arah ranjang. Amelia segera bangun dan duduk sambil menahan sakit dari luka di perutnya yang semakin terasa perih setiap ia bergerak. 

Naomi menahan tubuh Aiden Lee dan tertawa kecil, "Aiden, kau harus mengakrabkan diri dengannya selama aku pergi."

"Kau tidak akan pergi ke tempat wanita gila itu dan aku tidak perlu mengakrabkan diri pada perempuan tidak tahu diri ini."

 "Aku akan pergi bersama Kiel."

"Oh, jelas kau tidak akan mendengarkanku." Aiden Lee memutar bola mata.

"Ok!" Dengan bersemangat, Naomi mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian melihat Amelia, "Kuharap kau lekas sembuh, Amelia. Kami ingin kau segera bekerja."

Amelia memutar bola matanya, "Kurasa aku tidak akan berguna untukmu dalam jangka waktu yang kira-kira ... tidak bisa ditentukan, Nona."

Senyum Naomi masih di sana, terpajang lebar, "Tenang saja. Aku akan membantumu mengatakan sesuatu pada Stuard, dokter yang menanganimu, agar membantumu bangun dari ranjang itu."

"Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja." Amelia bangkit, duduk dan menahan perih di perutnya. Ia tahu, Naomi akan meracuninya atau apa pun itu jika ia tidak menurut. "Kau ingin aku melakukan apa?"

"Aiden Lee akan menjelaskannya padamu. Kalian jadilah teman yang baik, ya. Sampai jumpa di sana."

"Jika kau tidak menghubungi tim ke amanan tiap jam, aku akan mengambil alih kepemimpinan," ucap Aiden Lee sembari menghela napas lelah.

Naomi menarik sebelah pundak Aiden Lee untuk turun. Saat Aiden Lee menurutinya, Naomi mencium pipi Aiden Lee. 

"Bye, Aiden."

Aiden Lee tak menjawab salam perpisahan gadis itu dan hanya menatapnya berlarian menjauh untuk menemui Kiel. Begitu Naomi menutup pintu, Aiden Lee melipat tangan dan menatap Amelia dengan enggan.

"Aku pernah berada di posisimu," ucap Aiden Lee mengawali.

"Apa maksudmu?"

"Membenci para Bangsawan. Sejujurnya, masih. Hingga detik ini."

"Lalu apa yang membuatmu berada di sini?" Amelia menunduk, mengamati perutnya yang dirawat dengan sangat layak, perawatan dengan biaya mahal yang sudah lama sekali tidak di dapatkan Amelia.

"Naomi adalah pengecualian. Kalau kau bisa melihatnya. Kalau kau mau melihatnya."

"Dia pesolek, aku bisa melihat itu."

Aiden Lee menggaruk dagunya, kemudian berdecih, lalu bergerak ke arah Amelia. Amelia bergeming, namun tatapan tajamnya memperingatkan Aiden Lee jika ia berani macam-macam, Amelia akan menyerang dan tidak akan peduli jika ruangan ini akan berlubang dan dihujani peluru dari segala arah.

"Kenapa kau melindungi mesin itu, The Great Tree?"

Amelia setengah mati menahan tawa ejekannya.

"Apa maksudmu? Apa kau bodoh? Jika The Great Tree dinonaktifkan dan suhu udara semakin tinggi, virus itu akan berkembang biak dan sejarah akan terulang. Virus itu untuk sekali lagi akan mematikan hampir tiga perempat populasi Eropa--"

"Kuncinya adalah suhu," Aiden Lee menyela gadis itu, "jika virus itu berhasil lepas dari dataran dingin Eropa dan masuk ke suhu panas dan lembab di dataran tropis, Australia akan menjadi urutan terakhir peradaban manusia saat ini." Aiden Lee menerawang dengan pandangannya yang menatap lurus, "Aku pernah melihat kematian itu di depan mataku sendiri, kau tahu ..." Aiden Lee menolehkan kepala pada gadis yang sedang mengamatinya dalam-dalam itu, "... Amelia. Amelia, bukan? Namamu?"

"Ya," Amelia mengangguk tanpa ia sadari. Tenggelam dalam biru gelap dalam mata Aiden Lee yang menyesatkan. Beberapa detik tenggelam dalam mata misterius itu, Amelia kemudian tersadar.  Amelia menggeleng kecil sambil mengangkat bahunya, "Tidak. Maksudku ... ya, namaku Amelia. Harusnya aku tidak perlu mengakuinya padamu," aku Amelia sambil menghela napas enggan.

Aiden Lee tersenyum sinis, kemudian menyalakan ponselnya, lalu menarikan ujung jempolnya di atas monitor alat komunikasi itu. Amelia saat itu hanya diam, mulai berpikir jika Aiden Lee akan mengacuhkannya dan hanya akan berinteraksi dengan ponsel pintarnya.

"Lihat," Aiden Lee memperlihatkan ponselnya pada Amelia. "Kau tahu sesuatu tentang ini?"

Amelia menatap gambar di layar ponsel itu. Itu adalah foto sebuah surat kaleng, dengan potongan huruf dari majalah atau koran lama. 

'Aku tahu kau akan menyelamatkan Pohon Kehidupan. Venus mati di sana. Selamatkan dia.'

"Surat kaleng?" Amelia menaikkan kedua alisnya.

"Kepada Naomi. Surat ini ada di dalam mobilnya saat ia bermaksud meninggalkan Greenland untuk kembali ke Alberta." Aiden Lee menatap mata Amelia yang mulai menunjukkan ekspresi lain sejak ia bangun, sebuah keterkejutan, "Seseorang meminta Naomi untuk menyelamatkan 'Venus'. Aku tak bisa mengatakan bagaimana ia bisa tahu Venus adalah kau, tapi saat Naomi melihatmu sekarat di tempat yang hampir hancur itu ... ia bilang kau masih bernapas dan dia merawatmu, Venus."

Amelia menyahut ponsel itu dari tangan Aiden Lee dan mengamatinya dalam-dalam. Ia tak merasa asing dengan cara si pengirim menempelkan kertas potongan huruf itu. Meski ukurannya tidak sama, si pengirim menempelkan kertas-kertas itu dengan rapi, seakan-akan ada garis bawah tidak terlihat yang menjadi patokan si pengirim untuk menyusunnya hingga rapi sedemikian rupa. Hanya satu orang yang dikenal Amelia, membuat surat kaleng serapi itu.

"Iris ...," bisiknya pada diri sendiri.

"Kau mengenal siapa pengirimnya?"

Otot bawah mata Amelia menegang. Cukup lama ia mengamati gambar itu, sebelum akhirnya, Amelia menutup matadan mengangguk. Ia mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

"Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu Bangsawan itu."

Aiden Lee menyeringai. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku dan mengangguk, "Selamat datang di kelompok barumu, Venus."

"Aiden Lee. Aiden Lee, benar?"

"Ya." Aiden Lee sedikit membulatkan mata setelah mendengar gadis itu memanggil namanya dengan ragu.

"Apa yang kaulakukan dengan itu?" Amelia menunjuk wajah Aiden Lee dengan jari telunjuknya yang berputar-putar.

"Itu, apa?"

"Apa dewasa ini, pria bermekap sudah menjadi fashion? Kenapa kau, seorang pria dewasa, memakai mekap dan berdandan seperti perempuan, sedangkan kau tidak menutupi sikap arogan khas para pria itu?"

.
.
To be continued, 🐨

Edited: Sat, Nov 23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top