14
Theo berderap, berjalan tertatih-tatih, dibopong oleh seorang gadis berambut cokelat panjang yang membawa senapan di tangannya seakan itu bukan barang yang berat untuk di angkat seorang gadis muda sepertinya.
Tak ada yang mereka bicarakan saat itu. Theo hanya terus berjalan ke mana si gadis membawanya. Gadis yang dipanggil Iris oleh temannya yang ia tembak dari belakang. Theo menelan ludahnya sendiri. Ia mengingat bagaimana dinginnya Iris meninggalkan gadis pertama yang mengejarnya. Ia bersyukur, kedatangan Iris membuat si gadis pirang berhenti mengejarnya, tapi ia tetap merasa tak enak hati meninggalkan adegan itu begitu saja.
Iris menembak gadis itu. Mereka terlihat mengenal satu sama lain. Si gadis pirang ponytail itu mengajaknya bicara; bertanya apa yang sedang Iris lakukan dengan menembaknya, apa yang terjadi, kenapa dia tega melakukan itu dan semuanya. Iris hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan satu jawaban.
"Tutup mulutmu dan tidurlah."
Setelah mengatakan itu, Iris kemudian meninggalkannya begitu saja. Iris menarik Theo bersama komputer dan Eve's Apple, kemudian menyeretnya dan meninggalkan gadis pirang yang terbaring tak berdaya di gelapnya ruangan itu. Theo sama sekali tidak mengenali siapa mereka. Yang Theo tahu, perempuan-perempuan itu adalah para pemberontak.
"Belok kanan."
Theo tidak bereaksi apa pun selain menuruti perintah gadis itu.
"Ke mana kau akan membawaku?"
Tidak ada jawaban.
"A--apa yang kauinginkan?"
Jelas gadis itu sama sekali tidak memedulikan dirinya, karena tidak ada sama sekali jawaban.
Yang jelas, gadis itu membiarkan Theo membawa Eve's Apple dan dia tak terlihat terlalu bernafsu untuk menjejalkan salah satu peluru dari senapan yang dibawanya pada tubuh Theo. Itu saja sudah bisa membuat Theo merasa cukup aman bersamanya. Setidaknya untuk beberapa saat.
Iris menggiring Theo menuju sebuah mobil Rover keluaran tahun 1990 yang terparkir di salah satu sisi luar bangunan. Iris tak mengatakan apa pun, hanya pandangan matanya yang mengintimidasi itu menyuruh Theo untuk berhenti bertanya dan masuk saja ke dalam mobil. Dan Theo cukup tahu, ia tak memiliki banyak pilihan lain, mengingat ia menyadari di sekitar mereka, beberapa orang yang bersenjata, tak berseragam, mirip dengan penampilan Iris, bersiap untuk menembaki dirinya jika ia bermaksud melarikan diri.
Entah bagaimana, para pemberontak itu berhasil menguasai area ini. Theo tahu, saat itu sama sekali bukan saat yang tepat untuk mengagumi musuh, tapi jika memang para pemberontak ini berhasil menembus dan memporak-porandakan sistem pertahanan ketat militer di area itu, mereka pasti sangat kuat.
"Obati lukanya," ucap Iris pada salah seorang wanita kulit gelap yang sudah menunggu di dalam. Tanpa menunggu lebih lama, wanita itu segera merawat luka tembak di kedua kaki Theo.
Theo sedikit panik, ia tak terbiasa disentuh orang asing.
"Kalian punya EMS (Emergency Medical Service)?"
Si gadis berkulit hitam dan Iris bertukar pandangan dengan wajah kesal setengah mati pada pria di hadapan mereka itu.
"Theo."
Theo menoleh pada Iris, mengernyit saat ia merasakan rasa sakit dari lukanya semakin menjadi-jadi saja.
"Aku akan membawamu pada Laila."
Theo membulatkan mata, "Apa? Kalian menangkap Laila juga? Lepaskan dia, aku bersumpah—"
"Simpan sumpahmu," Iris mengibaskan tangannya ke udara. "Dia yang merencanakan ini semua."
"Ini semua? Maksudmu ... penyerangan terhadap dirinya sendiri?"
Iris mengangguk, "Dan mengakhiri masa pemberontakan."
Theo tertegun mendengar penjelasan itu. "Kenapa kau menceritakan ini padaku?"
Tanpa basa-basi, Iris mengokang Colt AR-15 yang tak pernah jauh dari tangannya, "Karena aku ingin kautahu, aku mempertaruhkan segalanya di sini. Jadi kau menurut saja dan jawab pertanyaannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang dilakukan Para Bangsawan itu sampai kau mau melakukan ini semua?"
Iris bisa menembak temannya sendiri dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Membunuh Theo tidak akan memengaruhi dirinya. Jika ia membunuh Theo, Iris bisa mendapatkan info yang ia butuhkan dari Theo dengan menemukan Naomi dan menyiksanya untuk mengatakan semuanya.
Naomi Blake.
Theo akan menukar nyawa untuk melindungi gadis itu.
Jadi, dengan mulut gemetar, Theo mulai bercerita.
***
Beberapa minggu setelah Theo kembali dari Kuugaruk.
Theo sama sekali tidak membayangkan di antara ratusan ribu orang yang selamat dari bencana yang telah terjadi, dua orang wanita yang paling tak ia ingin temui saat ini, malah secara misterius muncul di depan pintu rumahnya.
Rumah lamanya yang penuh kenangan dengan kekasihnya, Meredith Blake.
"Laila? Naomi? Bagaimana kalian—"
"Pertama," Laila masuk dalam rumah itu dengan tanpa menunggu Theo mempersilahkannya, "syukurlah kau bisa menempatkan posisimu dan tidak mempersulit kami dengan tidak membukakan pintu."
Theo menaikkan sebelah alisnya, apa mereka pikir, Theo tidak akan tahu bahwa jika ia melakukannya, mereka tidak akan segan untuk melubangi pintu dan merusak rumah kesayangannya ini untuk masuk secara paksa? Theo tidak akan merusak apa yang bagi Meredith adalah sesuatu yang berharga.
"Kedua, kau tahu kedatangan kami bukan untuk basa basi," Laila, wanita berambut pirang pendek itu berbalik dan mengangkat dagu saat berkata, "Di mana kau sembunyikan Meredith?"
Theo mengencangkan otot rahangnya, begitu pula kepalan tangannya. Ia tak menjawab sepatah kata pun, hanya mengerutkan alis dalam-dalam pada Laila.
"Kalian sudah gila?" Theo menaikkan sebelah alisnya.
"Theo."
Suara Naomi bersamaan dengan suara pintu yang tertutup di balik punggungnya.
"Kami mengikuti jejakmu dari Kugaaruk, dan aku mendapatkan banyak informasi dari salah satu temanmu di sana. Aiden Lee. Aku sendiri telah turun tangan dan membuatnya bicara. Bekerja samalah. Aku tak ingin Bangsawan lain menangani masalah ini dan memberimu hukuman karena menyembunyikan sesuatu dari kami."
"Aku tidak tahu apa yang kau ucapkan, Naomi."
"Bodyguard kami ada di luar, Theo. Aku tahu betapa berartinya rumah ini bagimu. Dan kami hanya tinggal meminta mereka untuk menembakkan meriam ke sini untuk menghancurkan semuanya jika kau tetap berkeras hati untuk pura-pura bodoh begitu."
Theo menggeleng, "Mereka tidak akan melakukan apa pun selama kalian berdua masih berada di dalam sini."
Naomi mengangkat satu tangannya yang sedang memegang kunci.
"Aku akan keluar."
Kemudian gadis manis itu menodongkan pistol ke kepala Theo.
"Dan kau tidak akan menghentikan kami."
Theo menatap lubang pistol terkokang itu, kemudian menatap wajah kaku Naomi yang mengingatkan betapa dinginnya Meredith ketika perempuan itu sedang marah.
"Kau tahu aku bersungguh-sungguh," ucap Naomi lagi.
Theo menghela napas. Ia melihat ke arah Laila yang bersedekap, tak terlihat goyah, kemudian kembali pada Naomi. Kemarahan, kekecewaan, kekesalan dan kesedihan. Mata gadis itu seingat Theo selalu dipenuhi keceriaan dan kepolosan yang membuatnya terlihat sangat manis. Theo merasa bersalah ia telah menorehkan emosi-emosi negatif pada gadis yang telah ia anggap seperti adiknya sendiri itu.
"Ikuti aku."
Theo dengan setengah hati membawa kedua wanita itu ke rumah bawah tanahnya yang secara mengejutkan, tak kalah mewah dengan rumah utamanya. Di sana adalah sebuah ruangan yang sama sekali berbeda dari ruangan-ruangan lain. Sangat tertutup, dengan banyak sekali pintu. Laila dan Naomi tidak akan dapat mengingat pintu yang mana yang dibuka Theo dalam sekali ingatan.
Theo membawa kedua wanita itu masuk, mempersilakan mereka menguak rahasianya.
"Astaga, Tuhan!" Laila terkesiap, menutup mulut dan berbisik kecil pada dirinya sendiri setelah menyaksikan pemandangan di hadapannya.
"Meredith!" raungan kecil itu berasal dari Naomi. Ia berlari dan menghampiri sosok Meredith yang tertidur di ranjang pasien di bagian tengah ruangan, pusat dari segala aktivitas di laboratorium pribadi milik Theo ini.
Naomi menyentuh wajah kakaknya yang tertidur. Dingin. Naomi segera menarik kembali tangannya dan merasakan dingin itu seakan menyayat bagian dari hatinya.
"Theo ...." Laila menghampiri Theo, matanya meminta penjelasan.
Tapi Theo bergeming dan dengan penuh pengertian, tetap berdiri di tempatnya untuk bersiap menerima amukan dari Naomi.
Satu tetes air mata jatuh, beberapa tetes lainjya menyusul. Naomi, dikuasai oleh amarah, menoleh pada Theo dan menatapnya tajam.
"Beraninya kau—"
"Yang pertama, itu bukanlah Meredith yang sesungguhnya."
Suara tegas Theo membuat baik Laila atau pun Naomi bungkam. Kebingungan tersirat jelas di mata mereka yang membelalak.
"Kalian pasti sudah tahu apa yang terjadi pada mayat pasien yang terkena virus mematikan itu. Darahnya mengental perlahan seperti efek dari biuasan ular, kemudian membusuk, menghitam, dan menginfeksi seluruh organ. Gas metana dalam tubuh akan menumpuk, jasad akan meledak kecil, lubang di sana sini, membuat proses pembusukan menjadi beberapa kali lebih cepat—"
"Kau tidak perlu melakukan penjelasan sejauh itu, Theo." Naomi membuang muka, hanya untuk menjatuhkan pandangannya pada wanita elok yang tertidur di depannya.
Theo menghela napas, merenggangkan saraf tubuhnya yang kaku.
"Aku tidak mengambil mayat Meredith. Secara ilmiah, jasadnya memang harusnya sudah tidak ada di dalam tanah."
Naomi menggeleng, "Tapi penjaga melihatmu di makam malam itu. Kau menggali makamnya!"
"Aku memang menggalinya. Ok? Hanya untuk mengambil kunci ruangan ini."
Itu membuat Naomi tersentak. Satu hal yang diminta Meredith untuk ia bawa bersamanya dalam peti matinya nanti ialah sebuah kunci yang ia simpan di dalam nakas di ranjangnya.
"Kunci itu ..." Laila menaikkan sebelah alis dan memandang Theo curiga, "... adalah kunci yang sama dengan yang kaugunakan untuk membuka pintu ruangan ini, kan?"
"Ya. Aku dan Meredith membuat laboratorium bawah tanah ini untuk memuaskan jiwa peneliti kami. Kami merekayasa ulang, penemuan-penemuan terlarang namun luar biasa di zaman lalu, menjadikan ruangan ini sebuah rahasia kecil kami. Dan kami menguncinya dalam lorong seribu pintu, di bawah sini."
"Lalu di mana milikmu?" tanya Naomi.
Theo menggeleng, "Aku membuangnya. Saat aku tahu Meredith meninggal, aku membuang kunci itu seperti janjiku."
"Kenapa kalian berusaha menyembunyikan ruangan ini?" Naomi memicingkan mata pada Theo dan berjalan mendekatinya. "Apa yang kalian sembunyikan?"
Theo menatap mata Naomi dalam-dalam. Kemudian melihat Laila yang tak kalah penasarannya, dan melihat sekeliling. Ia menghela napas dan menurunkan pundaknya yang kaku sejak membawa dua wanita itu kemari.
"Semuanya. Aku dan Meredith menyembunyikan ini semua dari ... kalian."
"'Kalian'?" Laila menaikkan sebelah alisnya.
"Kami? Bahkan aku?" Naomi menunjuk dirinya sendiri.
"Jangan salah paham. Bukan padamu, Laila, yang adalah teman baiknya. Dan bukan padamu, Naomi, yang adalah adik perempuan kesayangannya. Tapi pada kalian, Para Bangsawan Pemerintah Dunia."
.
.
To be continued, 🐨
Edited: Sun, Nov 10
SELAMAT HARI PAHLAWAN KAWAN-KAWAN REBAHAN SEKALIAN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top