13

"Biarlah masalah ini biar kita yang selesaikan. Aku akan membunuh banyak orang; pria, wanita, tua, muda, bahkan bayi-bayi tak berdosa di luar sana, dengan mematikan alat ini. Cukup aku, jangan lebih jauh mengotori tanganmu dengan darah. Diam di situ, dan tunggu aku selesai."

Laila hilang kata. Wanita itu bungkam. Matanya kini menatap Theo lekat-lekat. Laila menelan ludahnya, sebelum kemudian mengangguk.

"Oke."

"Asalkan kau tetap menjaga janjimu untuk melindungi rahasia kita, aku akan melakukan apa pun untukmu."

"Theo—"

Dooomm!!

Dooommm!!!

Dooommm!!!

Suara beberapa ledakan keras dari luar, membuat baik Laila maupun Theo merundukkan badan dan melindungi kepala mereka. Suara sirene kencang dan lampu yang setengah diredupkan di seluruh bangunan itu membuat mereka cukup tahu apa yang terjadi.

"Gila, siapa orang yang cukup gila untuk menyerang tempat ini?!" Theo berdecak dan berlari untuk melindungi Laila. "Kau tak apa?"

"Aku baik-baik saja. Para pemberontak itu ...," Laila mengetatkan rahangnya, kemudian menghela napas keras, "aku akan menjamu tamu tidak diundang itu. Kau lakukan apa yang mereka ingin kau lakukan ..." kalimat itu belum selesai. Theo menunggu dengan sabar dan menatap wanita di hadapannya itu. Laila perlahan mengangkat wajah dan menatap mata Theo dalam-dalam, "... lalu kita pulang ke rumah."

Dengan itu Laila berderap cepat, sangat tahu apa yang harus dilakukannya. Pintu besi itu otomatis tertutup dan mengunci Theo di dalamnya. Theo menghela napas berat.

"Meredith ... akankah kaubisa memaafkanku setelah melakukan ini setelah semua yang kaukorbankan?"

***

Kawasan perlindungan itu sedang dalam penyerangan besar-besaran. Theo tahu itu dari dentuman-dentuman di atas bangunan yang ia rasakan juga di sekitarnya.

Theo dengan sigap berlari mendekati mesin The Great Tree, mulai memeriksanya dengan seksama. Bukan hal yang sulit bagi Theo untuk menemukan control panel untuk mengendalikan mesin itu, mengingat ia adalah satu-satunya orang yang membantu Meredith menyelesaikan model mesin ini.

Meredith ....

Meredith tahu dan percaya pada Theo atas akses sepenuhnya atas pertahanan terakhir manusia dari kematian massal. Memikirkan kenyataan itu hanya membuat tremor di jemari Theo semakin keras. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari wajahnya. Berulang kali ia menelan ludahnya. Dentuman-dentuman ledakan dan suara pistol yang samar-samar terdengar membuat Theo maju-mundur untuk melakukan tugas kejam yang ia emban.

Sampai sebuah ledakan besar terjadi, berikut guncangan keras bak gempa bumi. Theo terjemembap di lantai dan melindungi kepalanya dari beberapa material bangunan yang berserakan akibat ledakan. Atap kaca di atasnya pecah dengan tingkat kerusakan yang dramatis. Debu, asap memenuhi ruangan membentuk tirai kabut yang gelap.

Napas Theo sesak. Pandangannya hampir dibutakan oleh asap. Ia berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang masih shock. Theo hanya bisa menyeret pantatnya mundur, bertumpu dengan kedua tangannya, mendekati The Great Tree, saat mendengar suara langah seseorang mendekat dari balik pekatnya kabut beberapa meter di depannya.

"Ini Yellow Leaf. Aku mendapatkannya," ujar seorang gadis muda berambut dirty blonde, dikepang sembarangan di salah satu pundak. Kulitnya kecokelatan, wajahnya tajam seperti tatapannya pada Theo. Di antara semua itu, Theo tak bisa mengalihkan pandangannya dari lubang senapan yang diarahkan si gadis padanya.

Untuk sepersekian detik, gadis itu mengalihkan pandangan dari Theo, ke salah satu bagian mesin The Great Tree, lalu kembali pada mangsa tak berdaya di bawahnya, "Dia belum menyentuh mesinnya."

Gadis itu menekan alat komunikasi di telinganya dan bicara dengan napas memburu. Theo membetulkan kacamata dan menatap gadis itu dan menutup rapat bibirnya saat gadis itu mulai mendekatkan moncong senapan yang ia bawa, tepat di depan kepala Theo.

Amelia, si gadis pimpinan pemberontak yang berhasil mengobrak-abrik tempat perlindungan itu, hampir tersenyum senang saat melihat Theo, sasarannya, dengan manis menutup mulut dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberontak. 

"Ini Blue Pixie," sebuah suara terdengar dari alat komunikasi Amelia. Blue Pixie, itu adalah nama samaran untuk sahabat sekaligus rekan kerjanya, Iris. "Laila Adams bersamaku."

Iris, di sebuah lorong panjang, dengan napas hampir habis, berhasil mengalahkan seluruh penjaga di sepanjang lorong itu dan berdiri menjulang di antara tubuh-tubuh yang sudah tergeletak di bawah kakinya. Gadis berambut cokelat diikat ponytail,  dengan tubuh sigap, berotot padat, dan kuda-kuda yang masih sangat sempurna meski lengan dan kakinya terlihat lebam, sedang menodongkan senapannya pada Laila yang terkulai di atas lantai.

"Yellow Leaf," ucap Iris tanpa mengalihkan perhatian penuhnya pada Laila Adams, "apa kaubutuh bantuan untuk membawa pria itu ke markas?"

"Kurasa aku akan baik-baik saja," jawab Amelia.

Amelia mengangkat pandangannya pada The Great Tree, pohon besi yang menjadi satu-satunya tameng perlindungan bagi kaumnya di Utara, kemudian ia menurunkan pandangan kembali pada Theo.

"Apa yang mereka lakukan padamu hingga kau bersedia melakukan ini, Theo Adolf?!"

Theo memicingkan matanya, dengan harapan memperjelas pandangannya pada wajah gadis itu. Theo sama sekali tidak mengenalnya. Gadis itu pasti sudah mencari informasi dengan susah payah sampai ia tahu, ia akan bertemu dengan mantan professor kawakan di universitas yang tidak terlalu terkenal di dunia, di tempat seperti ini.

"Aku tahu siapa kau. Aku akan kuulangi pertanyaanku sekali lagi. Apa yang diberikan Para Bangsawan Sialan itu padamu sebagai upah sebagai ganti menghancurkan karya terakhir wanita yang kaucintai ini, Bajingan?"

"Apa kau mengenal Meredith?"

"Kau bisa menganggapnya begitu. Tak masuk akal, meski bagi pria pengecut sepertimu, untuk bisa mengkhianati Meredith setelah ia meninggal demi hidup kita."

"Kau tidak tahu--"

"Bagaimana kau bisa menyepelekan begitu saja apa yang sudah diperjuangkan Meredith dengan segenap jiwa dan raganya?!"

Theo diam. Matanya menyalak seakan segala rahasia yang ia pendam dalam-dalam tengah berkelibatan di sana. Namun, pria itu tak mengucap satu patah kata pun, bibirnya terkatup rapat.

Kemudian hening. Tarikan dan embusan napas berat di antara keduanya.

"Yellow Leaf? Kau baik-baik saja?"

Suara Iris mengagetkan Amelia.

"Semua baik-baik saja di sini." Amelia berbicara pada microphonenya. Sedangkan Theo dengan tenang mengatur napasnya, "Kau," Amelia berkata setelah ia berdeham kecil untuk melegakan tenggorokannya, "berdiri, ikuti aku."

Theo, dengan gerakan cepat, alih-alih menurut untuk menyerah, memenfaatkan kelengahan Amelia tadi, Theo memutar badannya dan pergi untuk bersembunyi di belakang The Great Tree. Tembakan beruntun segera dilakukan Amelia tanpa pikir panjang mengekori ke mana Theo pergi

"Hei! Yellow Leaf! Apa yag terjadi?" ucap Iris terdengar panik di alat komunikasi mereka saat dirinya mendengar suara Amelia melakukan tembakan beruntun.

"Pria sialan itu berusaha melarikan diri!" geram Amelia sambil mengejar Theo yang melarikan diri.

Amelia mengejar Theo yang bersembunyi di antara geneator- generator daya yang berjejer membentuk lorong-lorong panjang. Napas Amelia tercekat. Ia hanya bisa berbisik pada Iris untuk menjawab gadis itu.

"Kita seharusnya hanya menangkap dia, jangan membunuhnya. Kau dengar aku?"

Amelia mengalihkan kepalanya cepat saat ia mendengar suara langkah kaki di balik tabung generator panjang di sebelahnya. Tanpa ragu sedikit pun, ia kembali menembak ke arah lantai di seberangnya.

Kena.

"Argh!" Pria itu tidak bisa menahan erangannya saat tembakan Amelia berhasil mengenai salah satu kakinya. Namun, di detik berikutnya, suara pria itu hilang begitu saja. Amelia tertegun, sesuatu yang dipelajari pria itu setelah satu tahun menjalani wajib militer di Perang Dunia Ketiga.

"Menembak kakinya takkan membuatnya mati."

"Yellow Leaf!"

Teriakan Iris sama sekali tidak Amelia gubris. Saat Amelia kembali ke tengah ruangan di mana The Great Tree berada, Amelia merasa ada sesuatu yang salah. Suara mesin itu tidak lagi sama.

Amelia mendongak, melihat bahwa ujung mesin yang membuat sudut-sudut yang biasanya bergerak tenang, kini sama sekali tidak bergerak. Panik, Amelia memeriksa bagian tubuh mesin itu. Ia mendapati sebuah lubang, di mana harusnya chip inti mesin itu tertanam, menganga, kosong.

"Dia berhasil mendapatkan Eve's Apple."

Eve's Apple, sebuah inti berbentuk lempengan logam, sebuah chip yang merupakan motherboard, inti bagi The Great Tree, telah raib dari tempatnya. 

"Apa?" Iris terdengar tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Pria bajingan itu telah membawa Eve's Apple pergi bersamanya." Amelia memastikan senapannya dalam keadaan siap tembak dan berderap mengejar Theo.

"Itu tetap tidak berarti kau boleh membunuhnya! kita membutuhkan pria itu dalam keadaan hidup, dan bisa berpikir."

Amelia melihat pintu besi yang menyatu dengan dinding, yang tadinya terkunci rapat, kini terbuka lebar. Gadis itu mengerutkan alis dan mulai berlari ke arahnya.

"Aku akan membuatnya menurut terlebih dahulu," ucap Amelia sambil berderap melewati pintu dan mengekori jejak darah Theo.

Dan dia menemukannya. Amelia mematikan alat komunikasi miliknya dan menyimpannya di antara saku jaket.

"Hei! Sial!" Iris berdecih, ia harus menelan kenyataan bahwa rekan kerjanya sekarang hampir kalap dan akan menghancurkan semua rencana yang sudah disiapkan sedemikian rupa.

Theo, seorang yang sama sekali tidak mengetahui tempat perlindungan yang sangat luas itu, mulai kehabisan tenanga karena berlarian tanpa arah yang pasti dengan keadaan kaki masih terluka. Di tambah, kini Amelia, berada jauh di ujung lorong yang berseberangan dengannya, telah melihatnya saat ia mencoba beristirahat untuk membebat lukanya agar berhenti mengucurkan darah.

Tanpa ampun, gadis itu lagi-lagi menembak, mengisi amunisinya dengan sangat cepat, kemudian menembak lagi. Theo mulai menyesali atas kecanduannya pada alkohol dan penolakannya pada nasehat Kiel yang menyuruhnya untuk mulai berolahraga dan hidup sehat. Bermain kejar-kejaran dengan seorang gadis yang tidak ragu menembak, membuat tubuh dan mental Theo kelelahan. Jantungnya berdegup sangat kencang dan paru-parunya terasa akan meledak saat napasnya semakin habis.

Baru saja Theo menemukan tempat persembunyian di sebuah ruangan gelap di salah satu koridor kosong itu, sebuah peluru berhasil menembus daging dan otot kakinya yang lain. Tubuh Theo saat itu juga terjerembap di lantai, diikuti dengan suara keras saat tubuhnya jatuh berdebam.

Theo dengan napas tak karuan melihat kedua kakinya yang berdarah. Pria itu bersumpah serapah, lalu menutup rapat mulutnya saat ia mendengar suara langkah gadis itu mendekat. Kedua mata Theo menyisir ruangan itu ke arah ruangan di mana ia berada sekarang. Ia bisa melihat benda yang paling ia butuhkan sekarang ada di dalam sana. Sebuah komputer.

Dengan susah payah, Theo berusaha bangkit dan mengunci ruangan itu, kemudian merangkak, membawa tubuhnya mendekati komputer. Ia bergerak semakin cepat saat mendengar suara langkah Amelia berubah menjadi derap lari.

Tanpa menunggu tamu tidak diundangnya itu berhasil merusak pintu dan menerobos masuk, Theo berhasil duduk di kursi yang berhadapan dengan satu-satunya komputer yang berada di dalam ruangan itu. Ia dengan cepat menancapkan USB Eve's Apple dan menarikan jemarinya dengan lincah di atas keyboard. Napasnya memburu dan keringat dingin mengucur di seluruh wajahnya.

DOR! DOR! DOR!

Tiap tembakan di pintu yang telah dikuncinya membuat pundak Theo naik, tegang. Tidak ada yang bisa keluar dari bibir Theo selain deru napas yang seakan mengeringkan tenggorokannya.

"Cepat! Cepat! Sialan!!" Theo berseru pada komputer yang sedang meng-install program dari dalam Eve's Apple.

Mata Theo menatap nanar pada bar panjang yang bergerak lama di layar monitor komputer itu. Theo merasa sangat frustasi saat komputer itu tidak juga menyelesaikan proses instal itu dengan cepat.

BRUAAKK!!

Kunci pintu itu rusak dan pintu ruangan itu terbuka lebar. Tubuh Theo membatu di atas kursinya dan ia hanya bisa menatap nanar Amelia, si gadis yang membawa senapan an tengah membidiknya. Amelia menatap Eve's Apple yang sudah menancap di komputer. Ekspresi wajahnya mengeras.

"Apa yang sudah kaulakukan?!" Amelia menggeram keras dengan gigi yang saling terkatup.

Bola Mata Theo bergerak turun, dari Amelia, menatap windows yang keluar di monitornya.

'Installation is successfully completed. Please click 'agree' to run The Great Tree Project.'

Progam itu berhasil diinstal! Kini ia mungkin untuk mengendalikan The Great Tree dari jarak jauh.

Raut gembira di mata Theo itu tak luput dari pengamatan Amelia. Gadis itu merengutkan alisnya dan memantapkan sikap untuk menembak pria itu jika dia berani bertindak bodoh.

"Jangan coba-coba." Amelia menggeleng, memperingatkan dengan sungguh-sungguh.

Theo tersenyum kecil, "Kematian takkan menghentikanku." 

Seakan itu adalah sebuah aba-aba, Theo menggerakkan jemarinya dengan cepat di atas keyboard. Dan secepat itu juga, suara tembakkan terdengar memekakkan telinga. Theo yang tadi dengan penuh percaya diri menantang kematian, kini sudah meringkuk di bawah meja dan gemetaran, menutup matanya erat, berdoa agar ia bisa tetap bernapas.

Amelia menunduk, melihat perutnya yang basah oleh darah. Seseorang menembaknya dari belakang. Tubuhnya oleng saat itu juga. Kedua lututnya bersimpuh di atas lantai. Senapan laras panjang yang tadi ia pegang sudah tercampakkan tak jauh dari tubuhnya yang terbaring dan berusaha menahan rasa sakit yang membakar.

Dengan susah payah Amelia menggerakkan kepalanya untuk menoleh pada pintu, di mana seseorang yang menembaknya dari belakang. Sebuah sosok yang Amelia kenali berjalan ke arahnya perlahan.

"Iris ...?"

"Tidurlah. Aku akan menanganinya dari sini."

.

.

to be continued,🐨

Edited: Sat, Nov 9

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top