12
Ruangan itu terang, namun dingin. Sang pemilik ruangan membiarkan jendelanya terbuka, beberapa burung kadang tersasar dalam sarang miliknya itu. Dua orang wanita, pemilik ruangan itu, kontras dengan wajah lembut mereka, kedua tangannya sibuk berkutat dengan amunisi dan beberapa senjata laras panjang.
Dering dari sebuah telepon kuno membuat mereka mengangkat wajah dari senjata-senjata yang berserakan di depan mereka. Tanpa perlu berdebatan, salah satu dari mereka, yang berambut cokelat lurus panjang, berdiri, mengangkat telepon itu.
Gadis satunya, si rambut pirang dengan kulit kecokelatan, hanya memandang ke arah Iris, gadis yang mengangkat telepon dan mendengarkan dengan seksama ucapan seseorang di balik sambungan telepon itu.
Iris menutup telepon itu tanpa menjawabnya. Ia mengembuskan napas kecil sebelum kembali berjalan dengan enggan kembali ke tempatnya semula.
"Mereka datang, Amelia," ucap Iris sambil mulai mempersenjatai dirinya.
Amelia untuk sejenak membatu. Iris tak berkomentar apa pun saat ia melihat mata sewarna madu milik Amelia menerawang bayangan masa lalunya.
"Bagaimana dengan para gadis lainnya?" Akhirnya setelah beberapa lama Amelia berada dalam pikirannya sendiri, ia bangkit dan melakukan hal yang sama dengan Iris; mempersiapkan dirinya untuk perang kecil mereka.
"Semua seperti yang kau inginkan."
Senjata terakhir, pisau lipat lempar, disembunyikan Iris dalam pakaiannya. Iris memastikan kembali senjatanya beramunisi. Kemudian ia menatap Amelia yang masih sibuk dengan perlengkapannya.
"Ini mungkin terlambat, tapi aku tetap akan menanyakannya. Apa semua ini yang kauinginkan, Amelia?"
Mata madu yang dulu pernah bersinar sehangat cinta itu menatap Iris dingin.
"Mereka, Para Bangsawan sialan itu bermaksud merusak The Great Tree yang dibuat Meredith Blake untuk membekukan virus itu dengan taruhan nyawanya. Takkan kubiarkan mereka menyentuhkan satu jarinya pun di sana."
Iris tersenyum kecil mendengar itu, kemudian mengangguk dan mengokang senjatanya.
"Sampai bertemu di bawah sana, kalau begitu."
"Tetap hidup," pesan Amelia sebelum Iris pergi di balik pintu.
"Untuk tanah dan keluarga."
Pintu tertutup, terdengar katrol yang membawa Iris turun bersama keluarga mereka yang lain dan memastikan semua sesuai dengan rencana.
Amelia menatap langit. Air mata hampir jatuh di mata yang kembali menyorotkan pandangan hangat pada para burung yang terbang ke sana kemari itu.
"Untuk tanah dan ...."
Bibirnya terkatup, satu tetes air tak dapat terbendung dan membasahi sebelah pipinya. Amelia segera mengusapnya dan mengokang senjata jarak jauhnya.
Ia memandang lurus ke arah pintu keluar, dingin di mata indah itu seakan menelan segala emosi yang ada di sana sebelumnya. Tanpa pernah meneruskan kalimat itu, Amelia keluar dari ruangan dan turun untuk menghentikan Laila Adams.
Wanita itu, seorang idealis yang membawa kehancuran dengan segala ambisinya.
***
Laila membawa Theo memasuki area terlarang di Greenland yang hanya bisa diakses setelah melewati keamanan ketat militer. Bahkan setelah lolos pun, para penjaga yang bersenjata lengkap, akan memeriksa dokumen yang menyatakan mereka adalah utusan pemerintah tertentu. Daerah dilindungi ini adalah area benteng perlindungan nasional yang melindungi The Great Tree yang legenaris di dalamnya dari khalayak umum.
Laila membawa Theo memasuki bangunan itu. Dari ujung mata Theo, ia melihat beberapa orang pria penjaga, orang-orang terlatih militer, terlihat selalu waspada, terlihat di setiap sisi. Belum lagi CCTV yang terpasang di mana-mana. Itu membuat Theo merasa tidak nyaman. Mereka seperti sudah mengantisipasi kedatangan serangan dari pihak mana pun.
Laila membawa Theo masuk cukup dalam di bagian utama gedung setelah melewati lorong-lorong membingungkan. Dan pada titik di mana mereka berada, Theo tak melihat satu orang pun berjaga. Hanya CCTV.
Theo tertegun dengan semua keamanan canggih dan mahal ini. Semuanya dipasang untuk melindungi satu benda. Mereka semua, semuanya, baik para penjaga, atau pun musuhnya, ada di sini, hanya untuk melindungi peninggalan berharga yang dibuat oleh mendiang calon istrinya tercinta; Meredith Blake.
Membayangkan namanya saja, membuat otak Theo menampilkan paras wajah wanita yang sangat ia kasihi itu.
Senyuman Meredith tiba-tiba mendatangi benaknya dan membuat Theo hampir melupakan segalanya.
Laila menghentikan langkahnya tepat di sebuah ruangan besi yang cukup tinggi. Theo menyadari, Laila benar membawanya ke sebuah tempat yang sangat rahasia di area rahasia ini. Sepanjang koridor di sisi mereka kosong. Theo dengan sabar tetap diam dan menunggu Laila melakukan apa yang harus wanita itu lakukan ketika mereka sampai di sebuah pintu besi yang hampir tak terlihat karena permukannya yang menyatu dengan dinding besi lorong. Tanpa perlu membalikkan badan untuk membuat kontak dengan Theo, Laila tidak menghabiskan waktu lama untuk memencet beberapa kode pada papan pengaman. Sontak, pintu besi berat dan besar di hadapan mereka terbuka.
Di dalamnya tak ada barang lain yang terlalu mencolok selain sebuah mesin yang cukup besar, berwarna putih, berdiri kokoh di tengah ruangan. Mesin itu berkilat, tinggi menjulang, dengan ujung melebar, membentuk sudut-sudut yang bergerak ke sana kemari dengan tenang. Sedangkan di atas mereka adalah atap yang terbuat dari kaca.
"Kaca itu one-sided mirror," ucap Laila,"jangan khawatir, tidak akan ada orang yang dapat melihat isi ruangan ini jika mereka melihatnya dari luar. Dan ruangan ini bukan satu-satunya. Ada saturan ruang dengan atap yang sama untuk mengecoh siapa pun yang cukup bodoh untuk berniat mencari The Great Tree."
Theo mengangguk, "Bagus, karena sobat kita satu ini harus melihat langit untuk bekerja."
Mata Theo turun, mengelilingi ruangan, berbentuk tabung-tabung panjang yang saling berjajar-jajar, membentuk suluran serupa akar yang terbuat dari kaca buram. Sulur tabung itu memenuhi dinding ruangan yang luasnya mengingatkan Theo pada lapangan terbang milik salah satu rumah konglomerat yang pernah mempekerjakannya.
"Tabung-tabung itu menuju ke mana?" tanya Theo.
"Ke luar bangunan."
Theo menganggukkan kepala kecil, mesin ini membuang hasil kerjanya ke lingkungan sekitar untuk memengaruhi suhu, kelembapan, angin, dan memengaruhi cuaca itu sendiri. Theo pikir, dalam situasi ini, di mana The Great Tree sudah bekerja selama bertahun-tahun, mesin ini bahkan mampu mengendalikan iklim dalam jangkauan area yang cukup disebut satu negara.
Di luar kendalinya, Theo mulai berusaha merekayasa ulang blue print kasar di dalam otaknya mengenai sistem kerja mesin raksasa di hadapannya itu.
"Aku yakin, kau, dan beberapa juta umat manusia lain yang tersisa belum pernah melihat mesin ini."
Theo diam. Jika diingat-ingat lagi, ucapan Laila benar. Meredith mengunci dirinya di dalam ruangan ini. Meredith menutup semua akses ke dalam, agar tak ada satu orang pun yang mengganggunya menyalakan mesin ini, ketika Red Killer terbangun dari hibernasi panjangnya. Tak seorang pun diizinkan mendekati daerah ini. Termasuk Theo yang bahkan harus diborgol dan dikurung agar menghentikan upayanya untuk mendekati area itu demi menyelamatkan Meredith dari Red Killer. Sebuah kegagalan terbesar dalam hidup Theo, yang menjadi momok baginya hingga detik itu.
"Terkenal di seluruh negeri, tak terlihat, tak dipercaya, namun menjaga kehidupan. Mesin ini seperti makhluk spiritual yang suci."
Theo tak mengindahkan Laila yang tengah berjalan mendekati mesin raksasa itu. Ia tetap diam. Dengungan mesin itu, tempat di mana ia berada saat ini. Semuanya memaks pikiran Theo kembali mengingat momen-momen terakhir yang ia habiskan bersama Meredith. Seperti kenangan hari kemarin.
---
"Theo, aku cacat."
Air mata sedih di mata indah milik sang kekasih, kenyataan yang baru keluar dari rumah sakit.
"Aku tidak bisa memberimu keturunan."
"Meredith. Aku hanya ingin menjagamu, bersamaku. Kita akan tetap bersama. Aku sudah berjanji."
Genggaman tangan hangat yang kecil itu, kemudian sebuah ciuman lembut yang akan dirindukan Theo hingga neraka, dan senyuman hangat seperti senyum para malaikat surga yang menenangkan.
"Kau tahu, Theo. Awal dari segala Dewa dewi Yunani yang terkenal itu?"
"Gaia? Dewi Bumi?"
"Ya ..." mata indah Meredith yang selalu misterius itu menerawang jauh, "Gaia melahirkan anak-anak bagi saudara sekaligus suaminya. Ia menciptakan kehidupan dan menjaganya. Tapi ia merasakan penderitaan tiada henti hingga cerita-cerita tersohor itu berhenti. Gaia tidak bahagia."
Theo mengingat betapa ia tak mengerti jalan pikiran Meredith saat itu.
"Gaia adalah genesis. Awal dari segalanya. Wanita adalah Gaia. Kami akan selalu menciptakan sesuatu yang akan membuat kami menderita. Dan kami akan mencintainya. Itu seperti sebuah kutukan." Meredith diam sejenak, "Aku harus menciptakan sesuatu untuk kehidupan."
---
"Theo?"
Theo menurunkan kepalanya yang sedari tadi mendongak, tenggelam dalam suara-suara mesin The Great Tree, sebuah ciptaan dari Sang Genesis yang ia kasihi. Di sana, di dekat papan kendali itu, Laila bersedekap, menunggu Theo dengan sabar, kembali dari lamunannya.
"Aku tidak punya banyak waktu. Kita, tidak punya banyak waktu sampai acara peresmian."
Theo kini berjalan. Tatapannya tertuju pada mesin yang melindungi berjuta nyawa agar tetap hidup itu. Mahakarya milik Meredith, cintanya. Dan kini, ia, dengan kedua tangannya sendiri, harus mematikan fungsi benda itu.
"Ini akan memakan waktu cukup lama," ujar Theo sambil memeriksa fungsinya. "Meredith membuat kode, enkripsi rumit untuk menonaktifkan mesin ini. Dan itu bukan semudah membalik telapak tangan."
"Oke, kau bisa membereskannya di sini, selama itu, aku akan pergi ke suatu tempat—"
"Kau bermaksud mencari Aiden Lee, benar?"
Langkah Laila terhenti.
"Lazarus's Heart memang buatannya. Tapi ia sama sekali tidak memiliki blue print dari model yang kaucari. Jika kau menginginkan Meredith-ku, maka datanglah padaku. Tunggu aku di sini."
Theo melayangkan lirikan tajam pada Laila. Wanita itu mengeratkan rahang, kesal. Ia memang ingin mencari gadis buronan gila itu.
"Jika kau berpikir akan menjebakku dengan menggunakan merusak The Great Tree sebagai alasan untuk mengurungku di penjara, lalu kau akan menggantikan posisiku sebagai satu-satunya pemegang metoda klona tersempurna yang pernah ditemukan dengan menemui Aiden Lee dan menjadikannya budakmu, lalu membunuhnya ... berhenti sampai di situ, Laila. Kau tahu, aku melakukan ini karena kita memiliki sejarah. Aku, kau dan Meredith."
Laila tetap bungkam. Wanita itu bahkan sama sekali tidak menatap mata Theo sekarang.
"Biarlah masalah ini biar kita selesaikan. Aku akan membunuh banyak orang; pria, wanita, tua, muda, bahkan bayi-bayi tak berdosa di luar sana, dengan mematikan alat ini. Cukup aku, jangan lebih jauh mengotori tanganmu dengan darah. Diam di situ, dan tunggu aku selesai."
.
.
To be continued, 🐨
Edited: Sat, Nov 9
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top