11
Meredith.
Tolong aku, Theo.
Bertahanlah!
Hanya kau yang bisa menolongku!
Meredith, darahmu ....
Theo kumohon, aku tidak ingin mati.
Darah. Gadis itu tergeletak di atas tanah penuh salju. Darah berceceran di mana-mana. Di tangannya, Theo membawa buku dari Aiden Lee.
Theo?
Theo memalingkan pandangannya dari Meredith yang telah tewas, pada seseorang di belakangnya yang baru saja memanggil.
Maria Lee dengan wajah setengah robot, tersenyum pada Theo. Ia sedang membopong tubuh seorang wanita. Tubuh yang sangat ia kenali dan begitu ia kasihi lebih dari dirinya sendiri. Wanita itu kemudian menerjunkan diri di kolam lava yang menunggu di bawah kaki mereka.
"MEREDITH!?"
"Theo? Theo? Hei, apa kau baik-baik saja?!"
Mimpi-mimpi buruk itu lagi.
Theo Adolf duduk di atas ranjangnya. Kening dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat di suhu yang sangat dingin. Laila, wanita cantik itu duduk di sebelahnya. Dengan tangan yang hangat membetulkan anak rambut Theo yang berantakan.
"Apa yang kaumimpikan?" tanya wanita itu. Matanya yang biru, bercahaya lemah.
Mimpi yang sama.
Theo membuka mulutnya, ia ingin menceritakan apa yang ia ingat dari mimpi itu, tapi bibirnya tak bergerak. Mulutnya terus membuka, meraup udara dingin di ruangan itu untuk mengeringkan tenggorokannya.
Laila menggelengkan kepala. Wanita berambut pendek pirang emas itu memberikan satu gelas air mineral ke tangan Theo.
"Tenangkan dirimu, ok?"
Wajah cantiknya tidak menenang dengan diamnya Theo. Mata biru yang jernih itu mengamati wajah Theo yang hampir tak dikenalinya lagi, kemudian memaksakan sebuah senyuman pasrah.
"Jika kau ingin waktumu sendiri, aku akan pergi. Biarkan aku tahu jika kau membutuhkanku."
Laila Adalms menunduk, beringsut dari ranjang. Belum sampai kedua kaki jenjangnya menyentuh lantai, sebelah tangan Theo menahan lengannya.
"Laila."
Rambut pendek pirang emas wanita itu bergerak kecil saat Laila menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Theo.
Theo memandangnya, membuat sesuatu yang ia kira sudah sembuh dalam hatinya, kembali terasa perih. Mata hijau terang milik pria itu berpendar penuh kesedihan dan rasa putus asa. Laila harus menghela napas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya saat melihat langsung pada mata pria itu.
"Apa kau punya obat penenang?" tanya Theo dengan suara serak seperti suara itu tersayat dari dalam tenggorokannya.
Seakan sudah tak kuat melihat pria itu lama-lama, Laila menggeleng dan menutup mata, lalu menunduk.
"Kiel, atau siapa pun nama pemuda yang menjaga labmu itu, memintaku untuk tidak memberikannya padamu, Theo. Aku tidak menyediakannya untukmu."
Theo harus diam dan mencerna ucapan Laila untuk beberapa detik sebelum bisa merespon.
"Kau ... bertemu Kiel?"
"Ya, dia memberiku hadiah berupa beberapa memo, untuk menghindarkanmu dari rokok dan alkohol atau hal-hal bodoh lainnya. Dan aku tidak keberatan untuk menyanggupi itu."
Laila memandang tangan Theo yang gemetar. Awalnya ragu, tapi begitu ia sadar, tangannya sendiri telah melingkupi tangan kasar pria itu.
"Theo ...."
"Maafkan aku, Laila."
Laila mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia kembali duduk, kali ini bukan di kursi sebelah ranjang di mana Theo tidur, namun di pinggiran ranjang di mana Theo masih memeganginya untuk tetap tinggal. Laila menatap Theo yang kini menunduk. Rambut pirang kecokelatan pria itu acak-acakan menutupi wajahnya.
"Kau terlalu banyak meminta maaf. Kau bahkan tidak melakukan apa-apa yang membuatmu harus meminta maaf. Semuanya terjadi di luar kendali kita, Theo. Aku juga kehilangan Meredith. Sangat dalam. Itu bukan salahmu. Jangan menekan dirimu sendiri."
Theo menggeleng kecil.
"Itulah kesalahanku."
"Maaf?"
"Aku tidak melakukan apa-apa, ketika aku punya kesempatan untuk menyelamatkannya."
Laila menarik tangannya dari jemari Theo yang tak bergerak. Wanita itu memalingkan pandangannya dari Theo, dan mereka terjenak dalam keheningan.
"Tidak ada yang mampu masuk dalam gedung itu, Theo."
Di benaknya, ingatan bagaimana punggung Meredith saat wanita itu berlari menerobos penjagaan gedung di lembah antara pegunungan yang sudah terinfeksi, kembali muncul dan menyiksa Laila. Mungkin juga Theo.
"Ia pergi dengan kemauannya sendiri. Meredith tahu apa yang sedang ia lakukan. Dan ia tidak berharap kita akan menjadi seperti ini."
Dengan sekali embusan napas cepat, seperti Laila memaksa ingatan itu terhempas dari pikirannya, wanita itu bangkit dan berjalan menjauhi ranjang. Kali ini Theo diam, tak menahannya.
"Bersiaplah, kita akan turun ke lapangan pagi ini."
***
Theo menghabiskan waktu cukup lama untuk mandi. Pria itu tengah berjalan ke arah area utama gedung yang sedang ia masuki.
Di sana, seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, Laila sudah berada di tengah arus kerja itu. Wanita berambut ikal pendek itu tengah bicara dengan beberapa pria. Wajahnya serius. Namun, atmosfir berat itu tak menghentikan langkah Theo untuk terus melangkah mendekat. Dirinya tahu, Laila sedang membicarakan apa.
Begitu Laila menangkap sosok Theo mendekat, wanita itu segera membubarkan pria-pria yang mengelilinginya dan menghela napas.
"Kupikir aku harus menjemputmu ke salon."
Theo tak menggubris ucapan sinis yang sudah akrab sebagai pengganti salam. "Bagaimana dengan para pemberontak itu?"
Perjalanan mereka menuju tempat itu tak semulus yang dikira Theo. Sebelum hari ini, beberapa hari lalu, mereka pergi ke Ottawa untuk menghadiri rapat dengan para Para Bangawan Petinggi Negara lainnya. Hasil dari rapat itu, sesuai yang diinginkan Laila, mereka berhasil mengantongi izin dan segala yang diperlukan untuk pergi ke Greenland.
Sistem keamanan yang digunakan Laila saat bertolak menuju Greenland, hampir sama seperti saat wanita itu menjemput Theo. Mereka dikawal beberapa mobil kembar dan berpencar untuk mengambil jalur aman. Tiga di masing-masing jalur. Sayangnya, kiranya perjalanan kali ini cukup rumit.
Tiga mobil yang gunanya adalah untuk mengecoh, diserang oleh pemberontak di daerah Greenland, ketika mereka sampai di tujuan. Beruntung, mobil yang membawa Laila dan dirinya sudah sampai di titik keamanan militer yang menjaga tempat rahasia-di mana mereka berada sekarang-, sebelum para pemberontak itu menyadari, mereka salah sasaran.
"Aku akan membereskan mereka." Laila menghela napas dengan berat dan berjalan ke arah pintu keluar.
"Laila."
Panggilan itu menghentikan langkah cepatnya.
Keheningan menyelimuti mereka saat Theo hanya menatap punggung Laila, meski di sekitar mereka, para peneliti pilihan tengah belerja keras.
"Apa kau yakin dengan ini?"
Laila menolehkan kepalanya pada Theo.
"Kau tahu jawabanku dan tidak akan ada yang bisa mengubahku. Bahkan jika itu adalah kau, Theo."
Laila kembali melangkahkan kakinya. Kali ini lebih cepat dan keras, suara langkah kaki yang memerintah Theo untuk tidak berkomentar apa pun lagi dan mengikutinya dengan menurut.
"Kudengar para pemberontak itu adalah para wanita," ucap Theo sembari mengikuti langkah cepat Laila.
Laila mengangguk kecil, "Hanya mereka yang tertinggal pascaperang. Utara mengalami masa-masa sulit setelah isu politik dalam negeri mereka sendiri, terlebih setelah kegagalan tim Utara menghentikan penyebaran Red Killer. Dalam perang terakhir, bagian Utara mengalami banyak sekali kekalahan, bahkan setelah mereka mengerahkan sumber daya manusia terakhir, mereka tidak bisa menahan serangan dari Amerika dan bantuan dari Inggris tidak berpengaruh banyak karena mereka sibuk mempertahankan diri."
"Apa itu berarti ... pemerintah Utara saat itu bahkan mengerahkan pria-wanita non-militer untuk bertarung?"
Laila mengangguk, "Terutama para pria dewasa. Tak banyak dari prajurit tak terlatih itu selamat. Hampir tak ada. Hasilnya, mayoritas wanita-janda perang- dan anak kecil kini mendominasi populasi Utara."
Theo tertegun, sekali lagi merasakan bertambahnya beban berat di pundaknya.
"Kenapa mereka menyerangmu?"
Langkah Laila terhenti. Ia memutar tubuhnya dan menghadap Theo. "Mengerangmu?" salah satu sudut bibirnya tipisnya tersungging sinis, "bukan hanya aku, tapi kau juga."
"Aku?" Theo menggeleng tak mengerti.
Laila mengeraskan wajahnya, "Mereka bermaksud menghentikan apa yang kita lakukan di sini."
"Apa? Apa kau membuat semacam pengumuman di publik?"
"Kau tahu aku tidak sebodoh itu, bukan?"
"Lalu bagaimana para pemberontak itu bisa tahu?"
"Orangku tengah menyelidikinya. Mereka, para pemberontak itu memiliki jaringan yang secara mengejutkan cukup luas di bawah tanah. Kami cukup kesulitan untuk menemukan mata-mata mereka. Tapi utu hanya sekedar masalah waktu."
Theo menghela napas. Matanya menatap sedih pada mata Laila yang tegas, "Para Pemberontak itu ada di mana pun di bagian dunia ini, Laila. Mereka, yang kita lihat kemarin, adalah yang memiliki cukup tekad dan daya untuk menyerang. Tapi masyarakat memang tengah sakit. Mereka akan saling membantu untuk menjatuhkan Para Bangsawan yang membuat mereka iri hati setengah mati."
"Dan seperti yang kau tahu, aku tidak berhenti."
"Laila, dengar-"
"Sepertinya kau masih tidak mengerti."
Theo menatap Laila yang menaikkan nada suaranya, mengintimidasi. Mata wanita itu dingin, dan semakin dingin. Theo lupa jika Laila pernah memiliki sorot mata seperti itu dulu.
"Ini adalah perintah langsung dari Pemerintah Pusat setelah mereka tahu apa yang kau lakukan pada Meredith Blake, Theo. Mereka ingin kau melakukan ini. Atau aku akan mengatakan apa yang sudah kau lakukan pada Naomi Blake."
Theo mengetatkan otot rahangnya. Tangannya terkepal, menahan segala perasaan buruk yang muncul dari pori-pori jiwanya yang gelap. Bibirnya terkatup rapat, meski tiap otot di wajahnya terasa akan meledak dalam ketegangan.
"Bagaimana aku tahu?" Laila tertawa kecil, "Aku tidak bercanda saat aku bilang, aku akan menyerahkan klona itu pada Pemerintah Pusat dan menjadikannya bahan percobaan seumur hidupnya setelah membunuhmu."
"Laila."
"Kau tahu aku, Theo. Dan aku tidak suka bercanda. Tidak dengan hal seperti ini. Jika kau nekat melarikan diri dariku dan pemerintah, kau akan dianggap sama seperti para pemberontak itu dan menanggung konsekuensi yang sama. Melawan pemerintah dunia sama dengan mati. Kau tahu itu, Theo. Kita tahu itu. Jadi, mari kita bekerja sama, dan tetap hidup di lantai teratas."[]
.
.
To be continued, 🐨
Edited: Thu, Oct 7
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top