5. BERLABUH ATAU TENGGELAM ?
"Baiklah, rapat saya akhiri. Selamat mengerjakan tanggung jawab masing-masing!" Aku menutup buku catatanku serta menyelipkan bolpoin ke sela lembarannya.
Hari ini adalah tepat hari keseratus setelah kepergian Cassandra. Aku baru saja mengakhiri rapat dengan panitia acara Kartini---acara terbesar partaiku setiap tahunnya. Sekali lagi, aku meninggalkan keluargaku di hari peringatan penting ini untuk pekerjaanku.
Tanpa menunggu semua panitia beranjak dari ruang rapat, aku bergegas meninggalkan kantorku. Jangan salah sangka, aku sudah dapat berjalan tanpa tongkat! Cedera kakiku tidak terlalu parah, sehingga sudah pulih hanya dalam tiga bulan. Partaiku pun tetap berjalan lancar meski pemimpinnya sempat absen.
Aku tidak lagi mengendarai motor, karena sudah ada seorang pria yang setia mengantar-jemputku dengan mobil setiap hari. Dia bukan Lukman, melainkan sopirku. Sejak kejadian itu, aku mulai membuka hati untuk menerima bantuan orang lain. Namun, menjadi penyandang disabilitas selama beberapa saat, tidak menenggelamkan semangatku.
≈ ≈ ≈
Langit sudah petang, ketika aku baru sampai Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Terlihat ayahku dan Lukman sedang memandangi sebuah batu nisan yang kami sayangi. Wajah keriput ayah dan rambut putihnya tersamarkan oleh jingganya sinar matahari.
"Terima kasih, Pak. Tolong antar ayah pulang lebih dulu ya, Pak! Nanti Mas Lukman yang akan mengantarku pulang," pintaku pada sopirku.
Aku melangkah perlahan, menyusuri rerumputan di sela-sela gundukan berbaris. Lukman langsung menoleh begitu mendengar seretan langkah beratku di belakangnya. Dengan hati-hati, ia menuntun ayahku pergi. Ayah pasti sudah lelah berjemur seharian.
Aku pun tersungkur menindih gundukan kesayangan kami. Harum seikat bunga mawar merah---kesukaan Cassandra---bercampur bau tanah basah membangkitkan memori. Pandanganku mulai kabur, tak tahan membaca ukiran pada nisannya.
CASSANDRA DWI PRATISTA
Putri dari : Dody Pratmadja
Lahir : Jakarta, 26 Mei 1993
Wafat : Bogor, 4 Januari 2016
Waktu berlari begitu cepat. Sudah seratus hari berlalu, tetapi rasanya seperti baru kemarin. Mungkin, angin berhenti berhembus sejak saat itu.
Mengapa Cassandra sangat cepat meninggalkan kami? Namun, apakah adikku yang memang terlalu cepat pergi? Atau, aku yang terlalu lama tidak peduli padanya? Ya, aku terlalu sibuk sendiri dengan urusan karirku, selalu datang terlambat untuknya. Bahkan, aku tidak menghadiri upacara pemakamannya---karena kecelakaan itu. Kakak macam apa aku ini?
Air mata membasahi tanah yang sedang kuremas. Ribuan, bahkan jutaan kenangan bersamanya mengalir deras di benakku. Dari belakang, Lukman menepuk-nepuk pundakku. Ia membiarkanku terus membanjiri makam adikku, hingga matahari terbenam.
"Sudah cukup, Diandra. Cassandra nggak bisa tenang kalau melihat kamu begini ...," bisik Lukman setelah beberapa lama berdiam.
Aku berusaha mengatur nafasku. Susah payah, aku menghentikan aliran memori tentang Cassandra. Lukman mengusap lembut air mata di pipiku dengan sapu tangannya.
"... dan mungkin ...," lanjutnya, "... Cassandra akan lebih tenang lagi, kalau kita mengabulkan permintaannya."
Permintaannya? Aku memutar otakku sejenak. Ah, ya ... aku hampir saja melupakannya, permintaan agar kami berdua menjadi satu, aku dan Lukman. Masih ada satu jalan untuk menebus ketidakpedulianku pada Cassandra, yaitu mengabulkan permintaannya.
Haruskah aku benar-benar melakukannya? Aku ... sama Lukman? Hmm .... Aku dapat melihat ketulusan dari senyuman Lukman. Mungkin aku harus mempertimbangkannya.
"Aku akan pikirkan nanti, Mas," jawabku masih terisak.
"Nanti? Cassandra sedang menunggu jawaban kamu sekarang loh, Di," paksa Lukman tidak sabar.
Sekarang? Baru seratus hari bercerai dengan tunangannya, bagaimana bisa Lukman sudah menginginkan pengganti? Ah, Sandra, sepertinya tunanganmu ini tidak setia padamu. Apakah kamu juga mengharapkan hal ini terjadi secepatnya, Sandra?
"Ayolah, Diandra. Langit sudah gelap. Cassandra nggak bisa menunggu lebih lama lagi."
Aku mulai dapat tertawa dalam hati. Tampaknya, Lukman takut dengan suasana pemakaman yang sudah gelap ini. Namun, seumur hidupku, aku tidak pernah membayangkan lamaran atas nama almarhumah adikku seperti ini. Ini menyinggung harga diriku!
"Diandra," panggilnya lagi seraya menggenggam erat tanganku. "Bukan cuma demi Cassandra, lakukan ini untuk dirimu sendiri, Di, untuk masa depan kita!"
Mata kami bertatapan. Sudah lama sekali, aku tidak memandangi indahnya bola mata hitam yang mengintip di balik kelopak sipitnya, sedekat ini. Jantungku berdegup tak beraturan.
"Jujur saja, Diandra, aku pernah memikirkan masa depanku bersamamu, waktu awal kita berkenalan, sembilan tahun yang lalu, di bulan April kayak sekarang ini. Kamu juga menyadari itu, 'kan, Di? Ayo, kita lanjutkan perasaan itu lagi! Diandra Eka Pratiwi, menikahlah denganku!"
Akhirnya, Lukman melamarku tanpa mengatasnamakan Cassandra. Haruskah aku mengambil keputusan sekarang juga? Bukan demi adikku, bukan ayahku, bukan juga Lukman. Hanya diriku sendirilah yang dapat mengendalikan arah hidupku. Ke manakah tujuanku berlayar?
Jiwaku bagai sehelai layar yang terpampang pada sebuah perahu kayu. Sudah terlalu lama, aku membiarkan perahuku terapung di laut biru, tanpa tahu ke mana arah yang dituju.
Haruskah aku membiarkan perahuku terus terhempas oleh gulungan ombak pasang, diterjang badai, hingga kain tipis ini terkoyak, membuat perahu tak terkendali, dan tenggelam? Atau, sanggupkah aku mengarungi samudra yang lebih dalam, melawan belaian angin yang tak menentu, mengendalikan arah tujuan ke pulau seberang?
Mungkin benar yang pernah dikatakan Lukman di mobil saat itu, selama ini, aku hanya terlalu takut untuk berlayar di 'samudra rumah tangga' yang lebih dalam. Ya, aku takut menghadapi pukulan demi pukulan gelombang pasang-surut, takut tersandung bongkahan batu karang, takut akan tamparan angin badai yang tiada henti, dan takut tenggelam.
Hingga detik ini, mungkin perahuku masih bersandar di dermaga, berlindung di tempat yang paling aman dan menyenangkan bagiku. Rasanya, tak ada keinginan untuk aku berlabuh ke pulau lain, tak ada keberanian untuk berlayar ke samudra yang lebih dalam, tak ada arah tujuan.
Karena terlalu lama terapung di tempat aman itulah, aku langsung tenggelam ketika diterjang badai dan tersandung batu karang dalam waktu bersamaan. Saat kehilangan adikku dan patahnya kakiku, aku tenggelam. Serapuh itukah perahuku?
Tidak! Aku belum tenggelam! Aku masih dapat terus mendayung sedikit demi sedikit, berjuang agar karirku tidak ikut goyah.
Bagaimana hasilnya sekarang? Aku berhasil! Kegiatan partaiku tetap lancar. Akhirnya, aku dapat mengukur ketangguhanku melalui kelemahanku. Seperti kata Lukman, ini lebih membanggakan.
Dari mana asal kekuatanku ini? Bukan dari diriku sendiri, tenagaku sudah lenyap saat kejadian itu. Lantas, dari ayah dan Lukman? Benar. Namun, bukankah mereka juga kehilangan semangat saat itu?
Sejak kehilangan seseorang yang sangat kami sayangi, kami bertiga yang lemah ini saling menguatkan. Tanpa mereka berdua, mungkin kapalku sudah karam. Rasanya saat ini, aku ingin selalu dan selamanya bersama ayah ... dan juga Lukman.
"Satu syarat," jawabku akhirnya, "jangan sampai pernikahan kita menghambat karirku!"
Dalam gelapnya pemakaman, Lukman mengecup keningku untuk pertama kalinya. Baiklah, Lukman Puta Caniago, aku akan berlabuh ke hatimu.
≈ ≈ ≈
Berhasil! Dengan bangga, aku menutup layar tablet yang menampilkan laporan perkembangan partaiku di seluruh Indonesia tahun 2022.
Akhirnya, partaiku sudah memenuhi syarat untuk mengajukan partisipasi dalam Pemilu 2024. Hampir semua kecamatan pada masing-masing provinsi sudah memiliki pengurus yang layak. Meskipun kecil kemungkinan untuk menang sebagai partai politik baru, aku akan tetap berusaha.
Namun sebenarnya, masih ada satu hal yang mengganjalku untuk mengikuti Pemilu itu. Sulit untuk berkonsentrasi pada pekerjaanku akhir-akhir ini, dikarenakan kondisi tubuhku yang---.
"Uwek ... uweeek ...."
---mual sekali rasanya. Selama empat bulan ini, aku sulit mencerna makanan, kecuali susu penguat kandungan. Sudah kupikirkan berulang kali, apakah aku benar-benar harus membatalkannya?
Drrrt ... drrrt ....
Tertera nomor tak dikenal pada layar ponsel menghubungiku.
"Halo?"
"Selamat pagi, Bu!" sapa seorang wanita dari sambungan telepon yang menampilkan video. Terlihat wanita itu mengenakan kemeja dengan tidak rapi, tampak kusut dan kancingnya miring, ditambah tangan kecil yang menarik-narik kerahnya. Namun, wajahnya masih tampak ceria sembari membelai tangan kecil itu.
"Ya, selamat pagi!"
"Benarkah saya berbicara dengan orangtua dari Cassia Princella Caniago?"
"Benar, saya mamanya Cassia."
"Saya wali kelas Cassia. Bisakah Ibu datang ke sekolah besok pagi? Ada yang ingin saya bicarakan tentang putri Ibu."
Putri sulungku, Cassia, sudah duduk di bangku TK kelas 0 kecil. Salah satu hal lagi yang kupertimbangkan untuk tidak dapat mengikuti Pemilu adalah buah hatiku ini. Setiap hari, ia terus merengek untuk ditemani bermain, padahal sudah kubelikan video games berteknologi 3D.
"Maaf, Bu Guru, saya harus bekerja besok pagi. Bisakah Ibu jelaskan di telepon saja? Ada masalah apa dengan Cassia?"
"Masih bekerja di hari Sabtu?" Celetukan guru itu mencubit hatiku. "Begini, Bu. Ini sudah yang kesekian kalinya putri ibu bertengkar dengan murid laki-laki."
Suara tangis dan teriakan anak-anak kecil di sekitarnya mengganggu penjelasannya, mungkin memang sebaiknya aku datang. Terlihat di belakangnya, sosok Cassia sedang menjambak rambut anak laki-laki yang menangis di pangkuan guru itu. Ya, itu teriakan putriku. Senakal itukah?
≈ ≈ ≈
"Sepertinya, Cassia kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. Saya mengerti kesibukan Ibu sebagai politisi dan suami Ibu sebagai dokter. Tapi, bisakah Ibu meluangkan sedikit waktu untuk mendidik putri Ibu, supaya bisa berperilaku lebih santun layaknya anak perempuan?"
Terngiang teguran ibu wali kelas putriku pagi tadi di sekolah. Nyeri kembali terasa di dadaku saat aku memikirkannya. Rasanya bagaikan seorang hakim menyatakan bahwa aku bersalah dan patut dihukum.
"Saya perhatikan, Cassia baru 4 tahun saja, gaya bicaranya sudah seperti ibunya yang menyuarakan hak wanita. Dia berani melawan para murid laki-laki, dan mem-bully teman perempuan yang lebih lemah. Jika terus dibiarkan, sikapnya akan semakin kurang ajar."
Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, kupandangi wajah polosnya yang sudah terpejam di sampingku. Cassia, nama yang kami berikan dari kependekan nama Cassandra, agar keceriaannya ikut hadir dalam jiwanya. Cassia Princella Caniago, lengkapnya. Wajahnya pun sangat mirip dengan adikku saat masih kecil.
"Ibu tahu, 'kan, anak seusia Cassia belum bisa mengerti bedanya perilaku yang baik dan buruk jika tidak diajarkan? Sejak lahir, anak-anak hanya meniru dari apa yang biasa dilihatnya, yaitu orangtuanya."
Mendadak, aku merindukan kelipan manik mata Cassia yang jarang kutatap. Aku selalu sibuk berkarir, sehingga hanya dapat memandangnya ketika ia sudah terlelap. Tanpa sadar, air mataku membasahi bantal kecilnya.
Apakah selama ini aku salah mendidiknya? Atau, aku memang tidak pernah mendidiknya? Ahh ... kenapa begitu banyak rintangan untuk berkarir sejak pernikahanku?
Belaian lembut tiba-tiba terasa di perutku yang agak membuncit. Janin yang seakan ikut marah terhadap sikap tak acuhku pada kakaknya pun akhirnya tenang. Suamiku, Dokter Lukman Puta Caniago, Sp.BTKV (Spesialis Bedah Toraks dan Kardiovaskular---menyangkut rongga dada, jantung, dan paru-paru) tengah berbaring miring di samping buah hati kami seraya menatapku serius. Kukira ia sudah pulas karena lelahnya menangani pasien seharian.
"Masih menganggap keluarga sebagai penghambat karirmu?" bisiknya sembari terus membelai perut buncitku.
Aku menggeleng seraya tersenyum. Mungkin, akulah yang salah menentukan tujuan, bukan lagi untuk karir, melainkan keluarga.
≈ ≈ ≈ TAMAT ≈ ≈ ≈
Versi asli : 6 Oktober 2016 hanya di Storial.co
Versi revisi : 24 Juli 2017 hanya di Wattpad
≈
DON'T FORGET
TO VOTE & COMMENT
AFTER READ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top