4. GELOMBANG PASANG

Dua bibir menyatu, masih dapat terlihat jelas di balik butiran air mataku. Yang satu tampak lebih agresif mengulum pasangannya yang kering dan pucat. Sangat mesra, Lukman memeluk tubuh lemas Cassandra. Tidak tahan, aku memalingkan pandanganku dari mereka.

Dadaku bergemuruh setiap melihat kemesraan mereka. Beberapa kali aku meyakinkan diriku, bahwa aku tidak merasa cemburu maupun iri dengan hubungan mereka. Benar-benar ikhlas, aku merestui cinta pertamaku bertunangan dengan adikku.

Ya, memang sih, terkadang aku penasaran dengan kebahagiaan yang mereka rasakan. 'Bagaimana rasanya bisa saling mencintai? Bagaimana rasanya terombang-ambing oleh suka-duka cinta?' Hanya penasaran, bukan berarti aku menginginkannya.

Kembali terngiang ucapan Cassandra sebelumnya kepadaku, "Sandra sudah lega ... kalau Sandra ... harus pergi ... setelah ... ketemu Kak Dian ...."

Pergi? Tidak, Sandra! Jangan pernah berpikir untuk pergi! Aku membiarkan Lukman membujuknya---seraya mengecupnya---selama aku tidak sanggup berkata-kata.

"Apa yang bisa ... Sandra harapkan lagi? Penyakit ini ... susah disembuhkan. Cepat atau lambat, Sandra ... akan pergi ...," desis Cassandra tersengal.

"Nggak, Sayang. Kamu pasti bisa sembuh! Kalau mereka nggak bisa, aku sendiri yang bakal sembuhkan kamu! Aku akan pelajari tentang penyakit TBC di Tokyo. Bertahan, ya, Sayang!" bujuk Lukman berapi-api.

"Berapa lama ... Sandra harus ... bertahan, Sayang? Sandra sudah ... nggak kuat. Sakit banget ...."

Air mata Lukman membasahi pipi Cassandra. Baru pertama kali, aku melihat seorang pria menangis, selain ayahku. Aku pernah melihat air mata ayah satu kali, ketika ibunda meninggalkan kami. Setelah pemakaman ibunda berakhir, sepertinya ayah tidak pernah menangis sekali pun.

Hari ini, sekali lagi, aku melihat air mata seorang pria yang dapat membuatnya terlihat lemah. Ternyata pria yang dianggap kuat itu juga dapat menangis. Apakah dengan menangis, pria dapat terlihat lemah seperti wanita? Tampaknya tidak.

Aku pun tidak mengerti dengan perasaan ini. Air mata tidak membuat Lukman terlihat lemah. Lalu perasaan apa ini? Seolah aku dapat melihat tulusnya hati Lukman melalui air matanya, kemurnian hatinya yang tidak dapat kulihat pada pria lain sebelumnya.

"Mas Lukman Sayang ..., Kak Dian ...," Panggilan Cassandra membuyarkan tangisan kami. Dengan sisa tenaganya, ia menggenggam tangan kami berdua.

"Kalian berdua ... dan daddy ... adalah orang-orang ... yang sangat Sandra sayangi. Sandra nggak mau ... kalian terus-terusan sedih ... dan kesepian ... setelah Sandra pergi. Lukman Sayang, kamu harus ... tetap menikah ... dengan wanita yang sehat ... dan hidup bahagia ... dengan anak-anakmu nanti."

"Nggak, Sayang. Nggak ada yang bisa menggantikan kamu," isak Lukman.

"Kak Dian ..., apakah Kakak mau ... selamanya hidup sendiri ... tanpa menikah ...? Sandra pengen ... daddy bisa menimang cucu .... Kalau Kak Dian ... mencari pria yang sebanding ... dengan kepintaran Kakak ..., lihat saja Mas Lukman ...!"

"Nggak, Sandra. Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Kakak nggak mau merebut Mas Lukman dari kamu. Sandra tahu, 'kan, kakak nggak cocok dengan Mas---" Lidahku terhenti.

Jemariku menegang saat bersentuhan dengan tangan Lukman. Aku baru sadar, Cassandra menyatukan tangan kami yang berada dalam genggamannya. Entah mengapa, Lukman menurutinya untuk memindahkan telapak tangannya ke tanganku, lantas menggenggamku.

"Apa cuma sama Diandra, kamu nggak akan cemburu, Sayang?" tanya Lukman serius.

Jangan, Mas Lukman! Jangan menyetujuinya! Ini konyol!

Cassandra mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Mata sayunya menatap kami bergantian.

"Berjanjilah padaku ..., kalian berdua ... harus segera menikah ... setelah Sandra pergi."

≈ ≈ ≈

Dengan semangat baru di tahun baru, aku memulai kembali aktivitasku di Jakarta. Aku telah menikmati liburan bersama Cassandra di Bogor. Aku lega, kemarin ia sudah dapat tersenyum dan tidak berpikir macam-macam lagi. Cassandra pasti cepat sembuh!

"All the single ladies ... All the single ladies ...."

Tiba-tiba, Beyonce bernyanyi di ponselku ketika aku sedang sarapan. Telepon dari Lukman. Ada apa pagi-pagi begini ia meneleponku?

"Halo, Mas Lukman?"

"...." Tidak ada jawaban.

"Halo?"

"...."

"Mas Lukman?"

"...."

"Ada apa, Mas?"

"Diandra ...," Akhirnya terdengar lirih suaranya.

"Iya, Mas Lukman. Kenapa?"

Beberapa detik ia terdiam lagi. Jantungku berdetak curiga.

"Cassandra ... sudah pergi ...."

Apa? Apa yang ia katakan? Ada apa dengan Cassandra? Pergi ke mana? Tidak mungkin! Cassandra belum pergi! Aku harus mencari adik kesayanganku!

≈ ≈ ≈

Motor bebekku berlari kencang di jalan raya. Entah ke mana kendaraan beroda dua ini akan membawaku. Aku tidak dapat melihat dengan jelas apa pun yang ada di depanku.

Tin ... tiiin ....

Ciiitt ....

Brak!

≈ ≈ ≈

Langit tampak sangat cerah pagi itu. Tiupan angin lembut seolah mengajak dedaunan hijau menari riang. Merahnya kembang sepatu berdampingan dengan putihnya lili. Berderit-derit rantai yang terpaut pada tiang besi.

Terlihat dua gadis kecil kakak-beradik sedang bermain di taman itu. Sang adik duduk di sebuah papan ayunan, sedangkan sang kakak mendorongkan adiknya dari belakang. Berseri-seri wajah polos keduanya. Tawa gembira terdengar sangat nyata.

"Sudah ah, Kak Dian. Sandra sudah capek."

Belum lama bermain dengan gembira, raut sang adik berubah murung. Nafasnya mulai terengah-engah. Kulitnya memucat. Bocah 4 tahun itu benar-benar tampak kelelahan.

"Belum, Sandra. Kakak belum mendorong Sandra sampai ke puncak paling tinggi," bantah kakaknya yang masih semangat mendorong punggung adiknya.

"Nggak mau! Sandra mau turun, Kak! Sandra capek!" rengek adiknya.

Semakin keras adiknya menjerit meminta berhenti, semakin kencang kakaknya mendorongnya. Hingga saat sang kakak mendorong sekuat tenaga, adik mungil itu melambung tinggi ke udara, seperti terbang jauh meninggalkan ayunannya.

"Sandra!" panggil sang kakak panik.

Adik kecil itu tetap terbang tinggi ke langit biru, semakin tinggi, dan tinggi sekali. Ketakutan, sang kakak berusaha mengejar adiknya. Ia berlari dan melompat-lompat setinggi-tingginya. Namun, tetap tidak tergapai.

Bruk.

Kaki kiri gadis 9 tahun itu terantuk batu, hingga tubuhnya tersungkur ke tanah. Nyeri sekali, kakinya tidak sanggup berdiri lagi. Ia hanya dapat menangis melihat adiknya semakin lenyap ditelan awan.

"Sandra! Sandra!" raungnya.

≈ ≈ ≈

Kepalaku pusing. Seluruh tubuhku mati rasa, kecuali kedinginan. Cahaya putih menyilaukan mempersulit penglihatanku. Bau seperti sesuatu yang pahit membuatku ingin muntah.

Di mana Cassandra? Ini di mana?

"Diandra, kamu sudah sadar?" Terdengar suara yang tidak asing di sisiku. Lukman, tah?

"Di mana Sandra?" erangku seraya berusaha untuk segera bangun dari posisi terbaring.

"Tenanglah, Diandra! Jangan banyak bergerak dulu!" Lukman menahan tubuhku dengan kedua tangannya. Ya, benar, ini Lukman yang kulihat. "Kamu mengalami kecelakaan tadi pagi. Lukamu baru dijahit."

Apa yang terjadi? Kecelakaan? Aku berusaha keras mengingatnya. Beberapa menit yang lalu, bukankah aku menerima telepon? Lalu aku langsung mengendarai motor. Lalu aku bermain dengan Cassandra di taman depan rumah kami.

Aku tidak ingat jelas. Kepalaku semakin pusing. Apa yang terjadi di jalan? Mengapa aku bergegas pergi? Telepon itu? Apa yang Lukman katakan di telepon?

"Mas Lukman ... Cassandra di mana?" tanyaku sekali lagi, memastikan bahwa ingatanku salah.

"Cassandra sudah nggak ada," bisiknya lirih.

Maksudnya? Cassandra ... Tidak mungkin! Aku pasti salah dengar! Apakah adikku benar-benar sudah pergi? Secepat itu? Tidak mungkin! Cassandra tidak benar-benar meninggalkanku! Kemarin ia terlihat lebih sehat!

"Di mana? Di mana Cassandra sekarang? Aku harus bertemu dengannya!"

Aku berusaha untuk bangun dari ranjang pasien. Setidaknya, untuk terakhir kalinya, aku ingin melihat wajahnya. Sekuat tenaga, aku melawan tangan Lukman yang menahanku.

Arghh! Kaki kiriku sulit untuk digerakkan. Seperti mati rasa dari lutut hingga ke ujung jari. Aku pun menyingkap selimut yang memberatkan kakiku---.

"Kakiku?"

"Maaf, Diandra. Kecelakaan itu membuat tulang telapak dan pergelangan kaki kirimu patah. Tulang keringnya juga retak, dan ada beberapa luka ringan di tangan dan kakimu."

Apa? Patah? Tidak! Aku terdiam, menatap nanar pada kaki kiriku yang terbungkus sesuatu berwarna putih---gips yang terbalut perban.

Apa yang dapat aku lakukan dengan kaki seperti ini? Apakah aku akan menjadi penyandang disabilitas yang membutuhkan pelayanan khusus? Ya Tuhan, apakah ini karma dari-Mu karena menganggap rendah mereka?

"Istirahat saja dulu, Diandra, biar kakimu cepat sembuh. Sekarang ini sudah larut malam. Besok saja aku antar kamu ke makamnya ya. Nggak jauh dari rumahmu kok, Di. Kami sudah membawanya ke Tanah Kusir, nggak perlu ke Bogor lagi."

Mengapa aku harus kehilangan adikku dan kakiku di saat yang bersamaan? Tak akan terdengar lagi, tawa riang Cassandra. Tak ada lagi jalan yang dapat aku tempuh.

Tenggelam sudah kapalku ..., terhantam badai ... dan terbentur batu karang .... Layarnya terkoyak .... Aku tenggelam ..., terpuruk di dasar laut terdalam ....

≈ ≈ ≈ Bersambung ≈ ≈ ≈

Versi asli : 5--6 Oktober 2016 hanya di Storial.co
Versi revisi : 17 Juli 2017 hanya di Wattpad

DON'T FORGET
TO VOTE & COMMENT
AFTER READ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top