Taufan: Nama Yang Engkau Sebut (3/3)

"Kamu ini! Cobalah berpikir positif sedikit!"

"Cih! Sombong sekali!"

"Ayo kita buktikan, siapa yang lemah!"

"Kamu hebat! Nggak perlu kuasa baru segala."

"Kamu bantu Yaya, dan kamu bantu Atok. Aku ... bantu nonton TV. Hahaha ..."

Benak Taufan mendadak dipenuhi kata-kata Halilintar yang pernah didengarnya. Yang ditujukan padanya maupun Gempa. Sementara, detak jantungnya terus berpacu. Begitu kencangnya hingga terasa sakit.

Sungguh, bagi Taufan, Halilintar adalah kakak yang layak dijadikan panutan. Walau sesekali sifat pemarahnya muncul. Atau menunjukkan selera humor yang kadang menyebalkan. Namun, Halilintar selalu ada untuknya dan Gempa. Memberikan nasehat atau pujian. Menegur atau mendukung.

Melindungi.

"Aaakh!"

Taufan tersentak. Di hadapannya kini, tangan raksasa Robot Mukalakus tengah mencengkeram tubuh Halilintar. Menggenggamnya cukup kuat hingga pemuda itu berteriak kesakitan.

"HALI!" Taufan berseru cemas.

Kali ini, Taufan memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Entah apa karena tekad yang kuat, atau memang pengaruh serangan listrik telah pudar, dia bisa bergerak lagi. Kemudian bangkit berdiri.

"Kalau jadi kau, aku tidak akan bergerak sembarangan."

Sebuah suara serak-serak basah mendadak terdengar, menghalangi niat Taufan untuk kembali bertarung. Suara yang familier itu menyentak Taufan, sebelum dia melihat sosok sang pemilik suara. Alien hijau berkepala kotak, dengan dua antena mencuat di atas kepalanya. Dia baru saja datang dengan pesawat angkasa miliknya.

"Adu Du?!"

Taufan menyerukan sebuah nama tanpa ragu. Meskipun sosok hijau itu sudah agak berubah dari yang terakhir dilihatnya. Ralat, mungkin tidak terlalu berubah, tetapi yang jelas badannya lebih tinggi daripada tiga tahun silam.

"Ternyata benar kau!" Taufan melanjutkan ucapannya. "Huh! Kupikir kau sudah menyerah untuk menguasai Bumi!"

"Mana mungkin seperti itu?" Bukan Adu Du, tetapi robot ungu di sampingnya—Probe—yang menjawab. "Iya, 'kan, Incik Boss?"

"Apa mau kalian?!" sentak Taufan.

"Apa mau kami? Huahahahaha ...!" Tawa jahat khas Adu Du membahana di tempat itu. "Mukalakus! Genggam dia lebih kuat lagi!"

Grek.

"Aaargh!"

Perintah dilaksanakan, sehingga Halilintar harus kembali berteriak kesakitan.

"Berhenti!" Taufan berseru lagi.

Adu Du tersenyum sinis. Sementara, Mukalakus melonggarkan genggamannya kembali. Taufan melihat tubuh Halilintar melemas, dengan kepala tertunduk dan napas tersengal.

"Lepaskan dia!" sentak Taufan.

"Tentu," Adu Du menyahut tenang. "Tapi ... ada syaratnya."

"Syarat?"

"Halilintar akan jadi tawananku." Seringai licik menghiasi wajah Adu Du. "Dan kebebasannya hanya bisa ditukar dengan resep rahasia cokelat Tok Aba, serta Ochobot."

"Apa?!" Taufan mengepalkan tangan.

"Jangan harap!" Halilintar ikut berseru. "Kau takkan mendapatkan apa-apa, Adu Du!"

Halilintar mengumpulkan energi dengan cepat, lantas melepaskannya menyerang Mukalakus. Petir merah menyelimuti raksasa besi hijau. Namun, robot itu bergeming.

Adu Du tertawa. "Percuma! Mukalakus ini tidak sama dengan Mukalakus yang dulu. Serangan kalian sudah tidak berarti lagi baginya! Huahahaha ..."

"Betul!" Probe ikut berkata penuh semangat. "Inilah, Robot Mukalakus Mark III!"

Taufan mendengus spontan, meskipun dalam hati ketar-ketir juga. "Huh! 'Three'? Memangnya kapan pernah ada 'two'?"

"Memang tak ada, lah!" Probe berkata angkuh. "Karena dia mendapat upgrade dua tingkat sekaligus! Lebih kuat, lebih cepat! Dengan teknologi AI* terbaru, sehingga bisa beroperasi tanpa pilot! Serta persenjataan yang lebih canggih—!"

"Oi!" Adu Du memotong dengan tatapaan kesal. "Buat apa kau menjelaskannya pada musuh?!"

Probe tertawa tidak jelas. "Maaf, Incik Boss. Kupikir, biar mereka takut."

"Cih! Percuma kalian coba menakut-nakuti kami!" Halilintar berkata. Ia tampak kesal karena usahanya untuk melepaskan diri sejak tadi, terus saja gagal.

"Hoo ... Begitu, ya?" Adu Du tersenyum sinis. "Mukalakus! Kembalikan serangan tadi padanya!"

Ketika Halilintar dan Taufan masih kaget, energi merah berkilat-kilat yang serupa dengan milik Halilintar, telah berkumpul di tangan kanan Mukalakus. Cepat sekali, dan langsung digunakannya pada Halilintar.

"Huwaaaaa?!"

"HALI!"

Taufan yang cemas, sangat ingin berbuat sesuatu. Namun, ia sendiri tak bisa mendekat. Aliran petir merah itu terlalu besar dan liar. Salah-salah dirinya akan ikut terkena, lantas dilumpuhkan dalam sekejap. Dan takkan bisa berbuat apa-apa lagi.

"Adu Du! Hentikan!"

Adu Du hanya tertawa sinis menanggapi tuntutan Taufan. Namun, serangan itu berhenti juga setelah beberapa detik. Saat itu, Halilintar sudah nyaris pingsan. Tubuhnya terkulai lemas, tidak bergerak lagi, kecuali karena napas yang tersengal-sengal.

"Pergilah!" Adu Du berkata sambil menatap Taufan. "Bawakan apa yang kuminta kalau kau ingin saudaramu selamat!"

Kedua tangan Taufan terkepal gemetar. Matanya menatap tajam ke arah Adu Du, lalu Mukalakus yang masih menyandera kakaknya. Tidak bisa. Meskipun dia—sendirian—menyerang habis-habisan sekarang, Taufan sama sekali tak yakin bisa menang.

Saat Taufan masih bingung harus berbuat apa, Adu Du dan Probe masuk kembali ke dalam pesawat angkasa mereka. Benda terbang itu segera memelesat pergi, diikuti oleh Mukalakus yang terbang masih sambil menggenggam tubuh Halilintar.

"HALI! Hoverboard Taufan!"

Tanpa pikir panjang, Taufan mengeluarkan kendaraan terbangnya, bermaksud segera mengejar Halilintar. Namun, ia teringat ancaman Adu Du dan terhenti. Dilema menahannya di tempat, sementara benaknya dipenuhi sosok sang kakak yang selalu melindunginya.

Lima tahun lalu juga seperti ini. Seharusnya Taufan yang waktu itu tertangkap. Namun, Halilintar melindunginya. Sama persis seperti hari ini, Halilintar mendorongnya menjauh agar terhindar dari bahaya. Dan dia sendiri yang akhirnya tertangkap oleh Adu Du.

Tak lama setelah itu juga, Taufan sempat lepas kendali ketika mendapatkan kekuatan baru. Halilintar lah yang saat itu maju untuk menghentikannya, meskipun harus terluka. Waktu itu Taufan berpikir dirinya sudah mendapatkan kekuatan yang setara atau bahkan melebihi Halilintar. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, mungkin saja Halilintar sengaja menahan kekuatan. Karena dia tak ingin melukai adiknya sendiri.

"Khh ...!"

Taufan—masih melayang di atas hoverboard—mengepalkan tangan sekali lagi. Pemuda itu tak ingin bertindak gegabah sehingga membahayakan nyawa sang kakak. Akan tetapi, dia juga tak ingin Halilintar ditawan. Tidak lagi. Bagaimana kalau Adu Du menyiksanya lagi seperti dulu?

Tidak. Taufan tidak bisa membiarkan hal itu terjadi!



"Aduuh ..."

Taufan terduduk sendirian di tempat asing, sementara hoverboard-nya tergeletak di tanah tak jauh darinya. Tetumbuhan lebat dan pepohonan tinggi ada di mana-mana, mengelilinginya. Sebenarnya, 'hutan' ini tidak terlalu asing. Taufan tahu ini di mana, sebuah pulau yang dulu pernah dipijaknya bersama saudara dan kawan-kawannya. Hanya saja, area ini memang ada di bagian hutan yang belum pernah didatanginya di pulau itu.

Pulau Terapung!

Pemuda berjaket dominan biru itu bangkit, menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya setelah jatuh dari ketinggian. Bukan cedera yang parah. Dia yakin sebentar lagi rasa sakit yang tak seberapa itu juga akan hilang. Yang penting sekarang, bagaimana caranya dia bisa menemukan keberadaan Halilintar.

Beberapa saat sebelumnya, Taufan akhirnya telah memutuskan untuk mengikuti kapal angkasa Adu Du. Bahkan ia bisa bergerak sampai dekat sekali dari pesawat itu, tanpa diketahui. Lantas duduk dengan tenangnya di salah satu bagian pesawat yang cukup datar. Menjadi penumpang gelap.

Pesawat angkasa itu ternyata terbang menuju tempat yang cukup jauh. Menyeberangi lautan, hingga tiba di Pulau Terapung. Ada cerita tersendiri bagaimana bisa ada pulau misterius itu di dekat Pulau Rintis. Kenangan yang lekat di hati dan pikiran Taufan, tetapi sekarang bukan saatnya memikirkan itu.

Singkat kata, begitu tiba di Pulau Terapung, pesawat Adu Du segera mencari tempat yang cukup lapang untuk mendaratkan diri beserta Robot Mukalakus. Saat itulah, sempat terjadi insiden kecil. Entah bagaimana pesawat angkasa oleng, kemudian menabrak beberapa pohon tinggi nan lebat.

Tak ada kerusakan serius, kejadiannya pun hanya beberapa detik, lalu kapal angkasa stabil kembali. Namun, Taufan yang menjadi penumpang gelap, terkena dampaknya. Ia gagal mempertahankan keseimbangan, lantas tergelincir dan jatuh. Pemuda itu masih sempat mengeluarkan hoverboard di saat-saat terakhir. Namun, akhirnya tetap menabrak sebatang pohon hingga terhempas ke bumi.

Yah, paling tidak dia tak terluka parah.

"Ah!" Taufan yang masih berjalan menembus hutan, tiba-tiba berhenti. "Sebaiknya aku minta bantuan. Kenapa nggak terpikirkan olehku?!"

Taufan menepuk jidatnya sendiri. Melalui Jam Kuasa, dihubunginya Gempa. Untungnya langsung tersambung.

"Taufan!" Sosok hologram mini Gempa di permukaan jam canggih itu, langsung berseru sebelum Taufan sempat bicara apa-apa. "Kamu ke mana saja?! Aku cemas, tahu! Hali juga nggak ada. Apa dia bersamamu? Kalian nggak berantem lagi, 'kan? Aku baru saja mau menghubungi lewat Jam Kuasa. Habis, ponsel kalian nggak aktif"

"Gempa!" Taufan terpaksa memotong ucapan panjang lebar adiknya. "Aku dan Hali butuh bantuan! Cepatlah ke sini!"

"Hah? Kenapa? Ada apa?"

"Yaya benar. Ini semua ulah Adu Du! Dan sekarang dia menyandera Hali untuk ditukar dengan Ochobot dan resep rahasia Tok Aba!"

"Apa?!"

"Nggak ada waktu untuk menjelaskan! Pokoknya kami butuh bantuan!" Taufan terdiam sejenak, seolah terpikir sesuatu. "Eh ... Tapi kamu jangan datang sendirian. Adu Du sudah meng-upgrade Robot Mukalakus jadi lebih kuat daripada yang dulu."

"Oke. Aku mengerti. Kalian sekarang ada di mana?"

"Kami di-"

Ucapan Taufan terputus. Gambar hologram Gempa mendadak mengalami gangguan, sebelum akhirnya lenyap sama sekali.

"Gempa? Gempa!"

Taufan mencoba menghubungi sang adik sekali lagi. Kali ini tidak tersambung.

"Aneh. Kenapa nggak bisa?"

Taufan masih mencoba sampai beberapa saat kemudian, sebelum akhirnya menyerah. Kemudian, ia teringat, Jam Kuasa pemberian Ochobot ini juga bisa digunakan untuk melacak posisi sang pemakainya. Seperti GPS**.

Menyadari hal itu membuat Taufan sedikit lebih tenang. Ia hanya perlu berusaha semampunya. Paling tidak, mengulur waktu. Gempa pasti akan segera menyusul ke tempat itu. Yang penting sekarang, dia harus menemukan keberadaan Halilintar terlebih dahulu!



Berjalan sendirian menyusuri hutan lebat mungkin takkan pernah menjadi hal yang menyenangkan bagi Taufan. Ada beberapa alasan kenapa ia tidak menggunakan hoverboard saja. Salah satunya, ia berencana untuk diam-diam menemukan dan—kalau bisa—menyelinap ke dalam pesawat angkasa Adu Du. Setelah itu, mungkin dia bisa membebaskan Halilintar, juga secara diam-diam.

Jika menggunakan hoverboard, maka kemungkinan keberadaannya akan terlihat oleh musuh, jadi lebih besar. Belum lagi, posisinya akan lebih rentan di tempat terbuka. Musuh bisa saja menyerangnya diam-diam dari tempat tersembunyi. Dan tentu saja, Taufan tak ingin ambil resiko dihadang oleh Mukalakus. Kesempatannya untuk menyelamatkan Halilintar bisa-bisa hilang sama sekali.

Barat. Itulah arah yang ditempuh Taufan sejak tadi. Sebelum jatuh, ia memang melihat kapal angkasa Adu Du pergi ke haluan itu. Walau ada kemungkinan pesawat itu berganti arah. Taufan hanya bisa berharap, dia tidak akan terlalu kehilangan jejak.

"Hah? Itu, 'kan-"

Masih cukup jauh dari posisinya, tiba-tiba Taufan melihat kepala robot raksasa hijau di antara lebatnya pepohonan. Benar di arah barat. Dengan lebih hati-hati, pemuda itu terus mendekat. Semakin dekat, ia semakin berusaha bergerak sambil menyembunyikan diri di antara pohon-pohon.

Hingga akhirnya, Taufan tiba di lokasi perhentian kapal angkasa dan Mukalakus. Sialnya, Adu Du memilih tempat lapang yang hanya dihampari rerumputan. Akan sulit baginya mendekat tanpa terlihat.

Haruskah ia mengambil resiko itu? Tetapi musuh—dan Halilintar—sudah begitu dekat. Tidak mungkin juga ia akan mundur sekarang, 'kan?

"Hei! Percuma kau sembunyi di situ! Aku tahu kau mengikuti kami sejak tadi!"

Taufan yang masih bingung, sangat terkejut saat tiba-tiba terdengar suara menegurnya. Suara Adu Du, yang diteruskan lewat pengeras suara. Dilihatnya pula, Robot Mukalakus bergerak menempatkan diri di depan pesawat angkasa. Bersiaga tepat menghadap ke arahnya. Sosok Halilintar sudah tidak kelihatan. Taufan menduga, kakaknya sudah dipindahkan ke dalam pesawat angkasa.

"Huh! Ketahuan, ya?" Taufan bergumam sendiri.

Ia lantas keluar dari persembunyiannya di belakang sebatang pohon besar. Dengan tatapan terfokus pada Mukalakus, diam-diam ia bersiaga untuk sebuah pertarungan.

"Berani sekali kau mengabaikan ancamanku!" Sosok hologram Adu Du mendadak muncul di hadapan Taufan, dalam ukuran aslinya. Sepertinya diproyeksikan dari Robot Mukalakus. "Kau tak sayang pada kakakmu, hah?"

Tampilan hologram mendadak berganti dengan sosok Halilintar. Ia tampak tertunduk lemas dalam posisi berdiri, sementara badannya terikat oleh semacam lempeng baja ke dinding berbahan sama. Kedua tangan dan kakinya pun terbelenggu lempengan baja berukuran lebih kecil. Dan yang mengkhawatirkan, dia sama sekali tidak bergerak. Sepertinya pingsan.

"Hali?!" Taufan berseru cemas. Saat itulah, gambar hologram kembali menampilkan Adu Du.

"Hmm ... Harus kuapakan dia?" kata Adu Du dengan senyum miring di bibir.

"Jangan ganggu dia!" sentak Taufan.

"Hmph! Salahmu sendiri tidak mengikuti perintahku!" Adu Du menatap Taufan dengan ekspresi licik. "Tapi tidak apa-apa. Aku masih bisa menghubungi Gempa, atau Ochobot sendiri, untuk mendapatkan apa yang aku mau! Setelah itu, kalian semua akan kulenyapkan! Huahahahaha ..."

Taufan terdiam dengan tangan terkepal.

"Dan kau! Kau akan jadi yang pertama. Bersiaplah!" Nada ancaman terdengar jelas dari kata-kata Adu Du selanjutnya. "Robot Mukalakus! Hapuskan dia dari muka bumi ini!"

Hologram Adu Du lenyap. Nyaris tanpa jeda, Mukalakus menerjang ke arah Taufan sambil melepaskan pukulan. Taufan masih tenang-tenang saja. Ditahannya serangan itu dengan perisai elemen angin miliknya. Ia tahu, dulu Mukalakus bisa dikalahkan berkat kerjasamanya dengan Halilintar dan Gempa. Belum lagi, Mukalakus sudah bertambah kuat. Mungkin dirinya takkan bisa menang sendirian, tetapi yang telah berubah bukan hanya Mukalakus saja.

"Aku juga ... sudah lebih kuat!"

Dahulu Perisai Taufan bisa dihancurkan oleh Mukalakus. Tak mau hal yang sama terulang, Taufan menambah tenaga putaran perisai anginnya, sehingga mampu membuat lawan terdorong mundur. Pemuda itu menyambung serangan secepat mungkin, mengincar bagian dada si robot hijau.

"Bola Taufan!"

Kena telak! Pijakan Mukalakus yang belum stabil akibat dorongan perisai angin, membuat serangan kedua Taufan tak terelakkan. Mukalakus terpental dalam kondisi berputar, hingga beberapa meter dari tanah. Namun, tak lama, robot hijau itu mampu menstabilkan diri. Melayang di udara. Dia tampak bersiap untuk balas menyerang, tetapi sosok Taufan telah menghilang dari jangkauan pandangnya.

"Cakhra Udara!"

Rupanya Taufan sudah bergerak cepat ke belakang Mukalakus dengan hoverboard miliknya. Lantas melemparkan serangan angin yang jauh lebih kuat berbentuk cakram. Dari satu Cakhra Udara, membelah menjadi dua, empat, delapan sekaligus, menyerang satu sasaran tak bergerak!

"Hehe ... Rasakan!"

Satu per satu serangan Taufan menghantam Mukalakus. Pemuda itu sudah yakin targetnya akan jatuh ke bumi, tetapi tidak. Robot hijau itu masih bergeming melayang di angkasa. Malah mengeluarkan persenjataan tambahannya, menembakkan dua misil ke arah Taufan!

Sang pengendali angin mengelak jauh ke samping. Mudah saja, tetapi ternyata yang mengejarnya itu bukanlah misil biasa. Keduanya berbelok arah, lalu memelesat mengejar target!

"Apa?!"

Taufan terbang menukik ke atas, dan kedua misil tetap bergerak mengikutinya. Untuk beberapa saat, terjadi kejar-kejaran di udara. Sampai kemudian, Taufan mengubah haluan lurus ke bawah. Terjun bebas dengan kecepatan tinggi, lantas berbelok tiba-tiba sejajar dengan tanah. Ternyata, tepat di bawah Taufan tadi ada Mukalakus, dan kedua misil terus melaju ke arah si robot hijau!

DHUAR!!

Ledakan terjadi. Asapnya menutupi pandangan sejenak. Namun, alangkah terkejutnya Taufan saat asap menipis hingga menghilang. Sosok hijau raksasa itu sudah tak ada di tempat semula!

"Hah?!"

Tiba-tiba saja, Taufan merasakan bahaya dari belakang. Ia berbalik secepat mungkin, tapi tetap terlambat. Tahu-tahu sebuah pukulan keras menghantamnya, hingga tubuhnya terhempas kembali ke bumi. Hoverboard juga hancur berkeping-keping.

"Aakh ... Sakit ..."

Taufan bangkit kembali, tahu pertempuran masih belum selesai. Ia terkesiap saat Mukalakus sudah ada lagi di depannya, langsung melayangkan satu pukulan ekstra.

Taufan yang tak sempat menghindar, terlempar keras ke belakang. Tubuhnya terhempas kasar di tanah, dan tidak berhenti sampai terseret beberapa meter. Pemuda itu merintih kesakitan. Berusaha bangkit, meski dengan tubuh penuh luka. Masih bisa, tetapi tidak cukup fokus untuk menghindari kepalan Mukalakus yang lagi-lagi mengincarnya!

"Aaargh!"

BRAK!

Tubuh Taufan kembali terlempar ke belakang, setelah menerima pukulan keras itu. Dan baru terhenti ketika punggungnya beradu dengan sebatang pohon. Kemudian, tubuh itu ambruk ke tanah.

Taufan berbaring telentang dengan raut wajah menahan sakit. Pakaiannya sudah kotor dan sobek-sobek kecil di sana-sini. Topinya terlepas, dan kini tergeletak di tanah, beberapa jengkal darinya. Memperlihatkan helaian rambut putih di antara warna hitam, di bagian yang menyentuh dahi sebelah kanan. Pemuda itu masih mencoba bangkit dengan napas tersengal. Namun, kali ini tidak bisa.

Sementara, Mukalakus masih saja memburu targetnya, menaati perintah Adu Du untuk melenyapkan musuh di hadapan. Dalam waktu singkat, ia sudah berdiri di dekat Taufan. Tangan kanan robot itu terulur ke arah sang pengendali angin. Lantas, tiba-tiba tangan beserta kelima jarinya melesak ke dalam, digantikan sesuatu—logam—yang tajam dan runcing menyerupai pedang pendek.

Taufan terkesiap, berusaha bangkit tanpa hasil. Dan pada saat itulah, tangan kanan Mukalakus kembali bergerak ke arahnya. Tusukan yang begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga Taufan tak sempat melakukan apa pun untuk melindungi diri. Detik berikutnya, logam tajam itu telah menembus tubuhnya!

"AAARGH!?"

Taufan hanya bisa berteriak kesakitan saat senjata tajam Mukalakus bersarang di perut sebelah kirinya. Robot itu langsung menarik pedang pendeknya kembali, lantas mundur sambil mengganti tangan kanannya kembali ke tangan biasa. Sampai lama, robot hijau itu tak bergerak. Seolah sedang menganalisa, apakah perlu melanjutkan serangan atau tidak.

Sementara itu, Taufan meringkuk kesakitan dengan mata terpejam rapat. Tangan kanannya menekan luka di perut yang masih mengeluarkan darah, merembes ke jaketnya yang kini ternoda warna merah pekat. Rasa sakit yang amat sangat merenggut napasnya, tetapi pemuda itu mencoba bertahan.

Musuh masih ada di depannya!

Dua-tiga detik berikutnya, mendadak Mukalakus bergerak lagi. Seolah bisa merasakan semangat juang Taufan yang belum juga padam. Kali ini, sang robot hijau mengeluarkan misil, bersiap untuk menembak. Taufan yang melihat itu, berusaha bangkit, tak ingin mati konyol. Sayangnya, luka di perut itu cukup parah untuk melumpuhkan tubuhnya. Belum lagi, rasa sakit yang perlahan merampas kesadarannya.

Taufan kembali tergeletak tak berdaya di tanah. Napasnya semakin berat didera kesakitan. Matanya yang menatap Mukalakus semakin kabur. Roket-roket berdaya ledak tinggi mulai ditembakkan ke arahnya. Taufan tak ingin menyerah, tak mau semuanya berakhir seperti ini. Namun, tubuhnya berkata lain.

Aah ... Sampai di sini sajakah ...?

"TAUFAN!"

Sebuah seruan menarik kesadaran Taufan kembali. Kedua matanya membulat sesaat, demi mendengar namanya yang dipanggil oleh seseorang yang sangat diharapkannya.

Dengungan listrik dan kilatan petir merah menyertai kedatangan sosok serba merah-hitam. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri memunggungi Taufan. Langsung menghadapi Robot Mukalakus.

"Pelindung Halilintar!"

Kubah energi yang diciptakan Halilintar, melindungi dirinya dan Taufan dari misil-misil Mukalakus dengan sempurna. Tidak berhenti sampai di situ, ia pun mengumpulkan energi dalam jumlah besar di seluruh tubuhnya.

"Beraninya ..." Tubuh Halilintar bergetar menahan amarah, dengan kedua tangan terkepal erat. "BERANINYA KAU MELUKAI ADIKKU!!"

Tepat ketika misil terakhir hancur menabrak kubah pelindung ciptaannya, Halilintar memunculkan tombak di tangan. Nyaris tanpa jeda, ia memelesat secepat kilat ke arah Mukalakus.

Hanya sampai di situ Taufan masih bisa melihat semuanya dengan cukup jelas. Kemudian, kesadarannya kembali memudar dengan cepat. Pandangannya mengabur, lantas menggelap. Beserta semua suara yang menghilang dari pendengarannya.



" ... Hei! Bangunlah! Kumohon ... buka matamu!"

Suara itu kembali menarik Taufan dari kegelapan. Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri. Yang jelas, pemuda itu akhirnya membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram, seiring kesadaran yang belum penuh. Namun, ia bisa merasakan kembali lewat panca inderanya. Termasuk kehangatan yang kini menyelimuti tubuhnya.

Sepasang iris safir itu menatap sayu ke arah seseorang yang kini berada begitu dekat. Seseorang yang sangat dirindukannya. Yang selama ini terasa jauh, walaupun dia dekat. Halilintar, yang sekarang merengkuh tubuh sang adik di dalam pelukannya.

Halilintar tersentak ketika menyadari Taufan membuka mata. Taufan melihat sang kakak menatapnya panik. Wajah itu-yang biasanya hampir selalu garang-terlihat seperti sudah mau menangis, tetapi masih berusaha menahan air mata. Taufan tertegun seketika. Saat itulah, tiba-tiba ia merasa telah salah besar. Tentang Halilintar, dan tentang hubungan mereka selama ini.

Taufan mencoba bicara, tetapi kata-katanya langsung hilang ditelan rintih kesakitan. Halilintar tersentak. Namun, sebelum ia sempat berbuat apa pun, tiba-tiba terdengar suara gerakan logam yang sangat besar.

Grak ... Grak ...

Halilintar menoleh cepat ke sumber suara. Dia menggeretakkan rahang ketika melihat Mukalakus mulai bergerak lagi. Padahal dari seluruh badan besinya masih tampak sisa-sisa kilatan listrik merah. Tatapan Halilintar menajam, dengan satu tekad membara di matanya. Lantas ditatapnya Taufan sekali lagi.

"Aku akan segera mengalahkannya. Setelah itu, kita pulang ke Pulau Rintis." Halilintar berkata penuh keyakinan. "Bertahanlah sebentar."

Halilintar membaringkan tubuh Taufan ke tanah dengan hati-hati. Ia sendiri segera berdiri, lalu melangkah ke hadapan robot hijau yang sudah bangkit kembali.

"Tombak Halilintar! Gerakan Kilat!"

Taufan hanya menatap sayu saat tubuh Halilintar memelesat, menyongsong pertempuran kembali. Matanya berkaca-kaca, menyadari dirinya sudah tak mungkin bisa membantu. Padahal kakaknya sedang mempertaruhkan nyawa. Pandangannya sudah sangat kabur sekarang. Kepalanya terasa berputar, sementara rasa sakit terus menyiksa tubuhnya.

"... Ha ... li ..."

Taufan hanya mampu berbisik lirih. Napasnya tinggal satu-dua. Hingga akhirnya, kegelapan kembali mendatanginya. Kali ini, Taufan sudah terlalu sakit dan lemah untuk melawan. Mungkin memang sudah saatnya untuk menyerah.

Dan kemudian, dunianya menjadi gelap.

Senyap.


oO)-----------------♦-----------------(Oo

Benarkah yang kudengar? Hali memanggil namaku lagi. Ini bukan mimpi, 'kan? Ah, biarlah kalau ternyata mimpi. Aku ingin tertidur selamanya di dalam mimpi ini.

Hali ... maaf. Aku baru sadar, selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri. Sampai-sampai nggak bisa melihat penderitaan Hali. Gempa juga menderita. Dan itu semua salahku. Hahaha ... Aku ini memang payah. Aku bukan kakak yang baik, dan nggak bisa juga jadi adik yang baik.

Maafkan aku ...

Aku sayang kalian ... Gempa ... Hali ...

oO)-----------------♦-----------------(Oo


Bersambung ...

Layaknya Cahaya Kecil; Heidy S.C. 2017©

BoBoiBoy; Animonsta Studios 2011-2016©

====================================================

Keterangan:

* AI: Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan, adalah kemampuan program komputer atau mesin untuk berpikir dan belajar secara mandiri, tanpa dikendalikan oleh manusia.

** GPS: Global Positioning System, adalah sistem yang didesain untuk membantu navigasi di Bumi, baik di darat, laut, maupun udara.

====================================================

Author's Corner


Halooo ... Jumpa lagi dengan Heidy di sini~! \(^o^)

Arc Taufan selesai dengan bapernya ... TTATT

Maafkan kalau mendadak agak kental angst-nya (Heidy keluar aslinya, nih). Maafkan juga harus berdarah-darah begini. Tapi aku sudah berusaha menahan diri, supaya adegannya nggak ekstrem-ekstrem amat. X) *serius*

Dan chapter ini juga lumayan adegan aksinya. Aku agak lama menulis pertarungan Taufan vs Mukalakus. Bingung juga, gimana caranya Taufan melawannya sendirian? Haha ... Semoga tidak mengecewakan.

Oya, dalam fic ini ada dua peristiwa penting di masa lalu yang erat kaitannya dengan hubungan Halilintar dan Taufan di masa sekarang. Satu, yang diceritain di Prolog (debut Halilintar kalau di serialnya, dengan beberapa perubahan). Dua, yang disinggung di chapter ini (debut Taufan di serialnya).

Sebelum peristiwa pertama, diceritakan Halilintar sempat melindungi Taufan sehingga dia sendiri yang tertangkap Adu Du. Jangan bingung ya, ini memang hanya versi fic ini, alias nggak ada di cerita aslinya. Kalau peristiwa satunya, kira-kira alurnya sama dengan yang asli. Halilintar sempat bertarung dengan Taufan yang lepas kontrol. Jujur, aku sejak dulu kepikiran, kenapa Halilintar bisa kalah? Kenapaa?! (Nggak terima, nyahahaha ...) Jadilah seperti ini di fic.

Lalu, di akhir-akhir, aku nggak ingin ada terlalu banyak kata-kata lagi di antara Taufan dan Hali. Jadi, berakhirlah seperti ini. Kalau di antara keluarga, kadang seperti itu, 'kan? 'Baikan tanpa kata-kata', kuharap cukup terasa feel-nya. >__<

Yawdah. Ntar kepanjangan ngobrolnya, hahaha ... XD *plak*

Sampai jumpa di chapter selanjutnya~! ^_^


Solo, 26 Agustus 2017

Heidy S.C.

====================================================

Mulmed:

Lagu "Bersama Bintang" punya grup band Drive, yang kurasa pas sama suasana arc Taufan ini. TT^TT *baper*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top