Taufan: Nama Yang Engkau Sebut (2/3)
Sesak.
Taufan merasakan ketakutan yang amat sangat, melumpuhkannya. Ia nyaris tak bisa bernapas. Kegelapan mengelilinginya. Sampai dia sadar bahwa kedua matanya tengah terpejam. Terasa begitu berat, tetapi dipaksakannya membuka mata.
Sosok berpenampilan serba merah-hitam itu ada di sana. Begitu dekat di hadapannya. Sepasang iris merah delima menatapnya dengan pandangan yang seolah membekukan. Sementara, tangan kanan sosok yang sangat dikenal Taufan itu terulur ke arahnya. Ke lehernya.
Halilintar.
Halilintar sedang mencekiknya.
Eh?
Tunggu ... Kenapa sosok Halilintar begitu kecil? Dan Taufan juga baru menyadari bahwa dirinya pun sama. Dia seperti terperangkap di dalam tubuhnya sendiri yang masih berusia sebelas tahun.
Ah ... Begitu rupanya. Ini mimpi. Setelah sekian lama, Taufan melihat mimpi ini lagi. Refleksi dari masa lalu yang paling membekas di dalam ingatannya, dengan cara yang sangat tidak menyenangkan. Kenangan buruk yang ingin dilupakannya, tetapi tidak pernah bisa.
"Hali ... ingatlah aku ..."
Taufan mendengar suara kanak-kanak itu terucap lirih dari bibirnya sendiri. Bergetar, seperti seluruh tubuhnya. Tentu saja. Inilah alasan rasa takut yang menderanya sejak tadi. Padahal Halilintar tidak benar-benar mencekiknya. Cengkeraman di leher itu hanya lemah. Yang membuat Taufan merasa sesak adalah ketakutannya sendiri. Karena ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Serangan petir merah menyetrumnya tanpa ampun!
Seperti yang sudah-sudah, Taufan hanya bisa berteriak kesakitan. Sungguhpun ini hanya mimpi. Rasa sakit itu seolah nyata, persis seperti yang dirasakannya lima tahun silam. Entah sudah berapa kali Taufan harus mengulangi kejadian ini di dalam tidurnya. Dia sudah tidak menghitungnya lagi. Terlalu sering.
Sakit.
Sesak.
Kalau boleh memohon sesuatu, Taufan ingin siksaan ini dihentikan sekarang juga. Sudah cukup. Dia tidak ingin mengingatnya lagi.
Dia tidak ingin membenci Halilintar.
Seolah mengabulkan jeritan hati Taufan, dunia mimpi itu perlahan runtuh. Kegelapan kembali merayap mendekat. Menelan semua warna. Menelan sosok Halilintar, bahkan juga Taufan.
Menelan segalanya.
"Aaargh—!"
Taufan mendapati dirinya terduduk di atas ranjang, di dalam kamarnya sendiri. Tersengal-sengal, gemetar, dengan tubuh basah oleh keringat. Butuh setengah menit penuh sampai pemuda itu mulai tenang. Cukup tenang untuk menyadari sesuatu yang aneh.
Siapa yang berteriak tadi?
Meskipun suara itu mirip—kalau tidak boleh dibilang sama—dengan dirinya, Taufan cukup yakin kalau itu bukan suaranya. Bukan dia yang tadi berteriak. Bahkan sejak pertama kali ia mendapatkan mimpi buruk itu lima tahun lalu, tak pernah sekali pun dirinya terbangun sambil berteriak. Karena itulah, sebagian besar dari malam-malam saat ia terganggu oleh mimpi itu, hanya menjadi rahasianya sendiri.
Suara pintu terbuka terdengar jelas. Asalnya dari kamar sebelah. Taufan melirik jam dinding di atas meja belajar. Pantas, belum lagi jam tiga dini hari. Suara langkah-langkah cepat menyusul, diikuti suara pintu terbuka sekali lagi. Taufan berpikir cepat. Halilintar terbangun gara-gara mimpi buruk, dan Gempa ikut terbangun, lalu mengecek ke kamarnya. Biasanya, itulah yang mungkin terjadi di saat-saat seperti ini.
Bisa-bisanya ia dan Halilintar terbangun karena mimpi buruk di waktu yang sama. Taufan terkekeh sendiri. Pelan, sinis. Selama ini, ia mengira-ngira bahwa mimpi buruk yang menghantui kakaknya adalah kejadian lima tahun lalu. Sama seperti mimpi buruk yang dilihatnya lagi dan lagi. Halilintar yang 'menyakiti' dan Taufan yang 'disakiti', sama-sama mengalami trauma berkepanjangan.
Ironis, bukan?
Taufan membaringkan dirinya kembali ke kasur. Ia sudah merasa lebih tenang, tetapi tubuhnya masih gemetaran. Tidak bisa. Meskipun khawatir pada Halilintar, dia tak bisa keluar dengan kondisi begini. Gempa hanya akan cemas dua kali lipat, dan Taufan tidak mau itu.
Payah!
Karena itulah, Taufan benci dengan dirinya yang selemah ini. Percuma saja ia selalu tersenyum, tertawa. Menyembunyikan kesedihan dan rasa sakit di balik topeng keceriaan. Tiap kali mimpi buruk itu menghantam dirinya, Taufan sadar sesadar-sadarnya, akan satu hal yang menyesakkan.
Dia masih bocah lemah yang sama seperti waktu itu.
Hari Jumat yang kelabu. Mendung sudah menggayuti nyaris seantero Pulau Rintis sejak pagi, tak mau pergi. Meski begitu, hujan belum juga turun. Hanya cuaca dingin yang memeluk setiap insan dengan setia, tak peduli waktu terus merambat ke siang hari.
"... Fan? Taufan? Kamu dengerin aku, nggak?"
Taufan tersentak ketika suara lembut itu sampai ke pendengarannya. Sejenak, ia terdiam menatap sosok berkerudung merah jambu di hadapannya.
"Fan? Heeei ... Kamu masih sadar, 'kan?" gadis itu kembali bicara. Masih berusaha bercanda rupanya, meskipun wajahnya diliputi cemas.
"Eh ... Yaya," akhirnya Taufan bicara. "Sorry ... Kamu tadi bilang sesuatu?"
Yaya menghela napas pelan. "Aku mau minta tolong taruh kardus itu di atas lemari."
Taufan mengikuti arah yang ditunjukkan Yaya. Di dekat pintu ruangan OSIS ada kardus berukuran sedang.
"Oke, Yaya."
Tanpa banyak bicara lagi, Taufan beranjak mendekati kardus itu, lantas mencoba mengangkatnya dengan kedua tangan. Ternyata tak seberat dugaannya.
"Apa isinya, nih?" Taufan bertanya sambil meletakkan benda itu ke tempat yang diminta. Agak tinggi memang, hingga Taufan harus sedikit berjinjit. Pantas saja Yaya meminta bantuannya—
Eh, tunggu dulu. Bukannya Yaya punya kuasa gravitasi, ya? Harusnya, kalau cuma begini mudah saja baginya, 'kan?
"Ooh ... Cuma sisa-sisa kertas warna, sama alat-alat semacam gunting, lem, 'gitu deh."
"Ah, aku tahu! Yang untuk bikin hiasan-hiasan kemarin, 'kan?" Taufan kembali menghadap ke arah Yaya. "Tapi ... kalau cuma angkat kayak gini, harusnya kamu bisa sendiri, 'kan—?"
"Apa? Kamu tega ya, suruh perempuan angkat-angkat barang berat!"
"Nggg ..." Taufan menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Sorry ... Cuma bercanda, hehe ..."
Taufan tertawa garing. Apalah Yaya ini? Lagipula, apanya yang 'barang berat'? Untuk ukuran perempuan pun yang tadi itu bukan pekerjaan sulit. Apalagi untuk Yaya. Perempuan memang susah dimengerti.
Saat Taufan masih berbingung ria, mendadak Yaya tertawa kecil. Karuan saja pemuda berjaket dan bertopi biru itu makin bingung.
"Maaf, maaf. Aku cuma ngerjain kamu aja, kok. Habisnya ... dari tadi kamu ngelamun terus, sih!"
Taufan melongo, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Yaya pun ikut tersenyum.
"Terbaik lah calon kakak ipar aku ini."
Kali ini ucapan Taufan membuat Yaya tersentak. Ia spontan tertunduk malu dengan wajah memerah. Dan semakin merah ketika Taufan masih saja menggodanya.
"Pantas saja Hali suka padamu ..."
"Ish! Taufan apaan, sih ..."
"Ooh ... Nggak pa-pa." Taufan nyengir dengan muka jahilnya. "Cuma ... kamu sendiri, 'kan, yang waktu itu minta tolong supaya bisa lebih dekat sama Hali? Dan aku sudah janji akan membantu dengan sepenuh hati."
Taufan menatap Yaya yang masih setengah tertunduk. Kehilangan kata-kata, mungkin. Taufan pun tertawa. Ternyata Yaya pemalu sekali untuk urusan seperti ini.
"Harusnya kamu senang dong, karena ternyata Hali juga menyukaimu."
Yaya mengangkat wajahnya, masih tersipu. "Me-Memangnya kamu tahu dari mana? Kalau ternyata keliru ... 'kan nanti aku yang malu ..."
Taufan tertawa. "Nggak bakalan keliru. Sudah aku pastikan sendiri, kok."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Taufan terdiam sendiri. Senyum mendadak terhapus dari wajahnya. Insiden di halaman belakang sekolah kemarin, kembali membayang.
"Hei!" Teguran Yaya mengagetkan Taufan. "Tuh, tuh ... Mukamu jadi seram lagi ..."
Taufan cuma cengengesan. 'Seram', katanya? Ha ha ... Lucu sekali, Yaya.
"Omong-omong ... Halilintar beneran sakit? Sampai nggak masuk sekolah—"
"Ciee ... Khawatir, ya?"
Yaya mendelik. Pertama, karena kalimatnya dipotong. Kedua, karena Taufan masih saja menggodanya.
"Fan! Aku serius," kata Yaya. "Kulihat kemarin dia baik-baik saja. Masa' tiba-tiba sakit?"
Taufan mengangkat bahu. "Kami juga baru tahu tadi pagi kalau dia sakit. Tahu-tahu demamnya sudah tinggi. Dia hampir saja jatuh pingsan waktu mau turun ke ruang makan untuk sarapan. Untung ada Gempa di dekatnya. Benar-benar, deh. Hobi banget bikin orang cemas."
Yaya tersenyum melihat Taufan yang bersungut-sungut sendiri. Meskipun kemarin bertengkar hebat, tetap saja mereka saudara sekandung. Siapa yang tidak cemas kalau saudaranya sakit atau terluka? Yaya memahami itu karena dia juga punya seorang adik.
"Apa senyum-senyum?" tegur Taufan.
"Nggak." Yaya masih menuntaskan senyumnya sedetik lagi. "Berarti ... kalian sudah baikan?"
Pertanyaan Yaya membuat Taufan tertegun. Ingatannya terbang kembali ke pagi hari tadi, tepatnya setelah sarapan bersama Gempa. Memang cuma berdua, karena Tok Aba—dibantu Ochobot—sibuk merawat Halilintar di lantai dua. Sebenarnya, ia dan Gempa juga ingin membantu, tetapi Tok Aba menyuruh mereka segera sarapan agar tidak terlambat masuk sekolah.
Begitulah. Intinya, niat Taufan semalam untuk segera berbaikan dengan Halilintar, masih harus tertunda.
"Taufan! Tuh 'kan ... melamun lagi," tegur Yaya. "Kemarin Gempa yang melamun di sekolah, terus pulangnya sakit. Hari ini Gempa sudah sehat, eh malah Halilintar yang sakit. Dan kamu yang melamun terus."
"Kami 'kan sehati," Taufan menyahut sekenanya, lalu tertawa kecil.
"Ish! Kamu ni!" Yaya mendelik. "Terus? Kamu belum jawab pertanyaanku."
Taufan mendesah pelan. "Belum sempat, Yaya. Mungkin nanti sepulang sekolah, aku akan coba bicara dengannya."
"Mau kubantu? Aku berencana menjenguk Halilintar setelah ini."
Taufan mengangkat sebelah alisnya. Ditatapnya Yaya penuh arti.
"Nggak usah, deh." Taufan akhirnya menggeleng pelan. "Kurasa aku harus bicara empat mata dengan Hali."
"Oh ... Oke."
"Eh, berarti ... kamu mau ke rumahku? Sama siapa?"
"Ya bareng kamu lah."
Taufan menatap Yaya sejenak. "Sorry, Yaya. Habis ini aku ada rapat di Klub Skateboard."
"Eeh? Yaah ... Masa' aku sendirian? Nggak enak, dong." Yaya mendesah kecewa. "Gempa katanya mau bantuin Ochobot di kedai Tok Aba, 'kan?"
"Nggak apa-apa lah," sahut Taufan. "Kan ada Tok Aba di rumah, jagain Hali."
Yaya terdiam, menimbang-nimbang.
"Ayolah, Yaya. Hali pasti senang kamu jenguk," Taufan masih coba membujuk. "Kalau bisa, sekalian bawakan apel hijau kesukaannya."
"Hmm ... Iya, deh."
Rapat Klub Skateboard ternyata berjalan lebih lama daripada perkiraan Taufan. Selain membahas perlombaan antarsekolah yang akan mereka ikuti, cukup banyak anggota baru yang mendaftarkan diri ke klub. Alhasil, mereka baru selesai selepas pukul empat sore.
Taufan mengeluarkan ponsel sambil berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dibukanya buku telepon, kemudian digulirnya ke sebuah nomor kontak yang diberi nama 'Adik Kecil'. Tak butuh waktu lama untuk tersambung, setelah Taufan menghubungi pemilik nomor itu.
"Halo, Gempa? Kamu masih di kedai?" Taufan bertanya tanpa basa-basi.
"Masih," suara di ujung telepon menyahut. "Ini baru mau tutup. Kenapa memangnya? Ada masalah di rumah? Eh ... Hali nggak kenapa-kenapa, 'kan?"
Taufan geleng-geleng kepala mendengar Gempa yang mendadak paranoid. "Aku masih di sekolah, kok. Ini baru mau pulang. Kukira kamu sudah di rumah."
"Belum." Taufan mengerutkan kening, merasa nada suara Gempa tiba-tiba berubah. "Di sini agak ... sibuk tadi."
"Gempa, ada masalah, ya?" tanya Taufan. "Jangan coba-coba menutupi sesuatu. Aku pasti tahu kalau kamu bohong."
"Mm ..." Suara Gempa masih terdengar ragu. "Itu ... Aku dan Ochobot baru sadar ... beberapa kaleng cokelat bubuk di kedai ada yang hilang."
"Hah? Kok bisa?"
"Sebenarnya ... Ochobot sudah merasa beberapa hari ini. Tapi dia pikir, mungkin cuma salah hitung. Akhir-akhir ini kedai ramai banget, sih."
"Hmm ... Ada pencuri cokelat? Aneh banget." Taufan diam sejenak. "Kok ... aku jadi teringat seseorang, ya ...?"
"Aku sebenarnya juga kepikiran seseorang. Tapi ... masa', sih?"
Taufan sudah sampai di depan gerbang sekolah. Ia berhenti sejenak, melanjutkan obrolan dengan sang adik.
"Adu Du," Taufan menyebut nama itu. Nadanya datar saja. "Dia 'kan, maksudmu?"
"Iya," jawaban Gempa terdengar masih ragu. "Tapi ... dia sudah menghilang sejak tiga tahun yang lalu. Apa mungkin dia kembali lagi?"
Taufan mendesah pelan. "Nggak ada gunanya menduga-duga, Gempa. Apa ada tanda-tanda tertentu dari si pencuri cokelat itu?"
"Nggak ada sama sekali. Makanya aku bingung."
"Ya udah, nanti kita bicarakan lagi di rumah."
"Oke. Aku segera pulang."
Taufan berjalan biasa saja ke rumah. Tidak naik hoverboard. Seiring langkah, dia sibuk berpikir, bagaimana harus bicara dengan Halilintar. Bagaimana caranya mereka bisa berbaikan. Dan tahu-tahu dirinya sudah sampai di depan rumah.
Kenapa cepat sekali! Begitulah Taufan merutuk dalam hati. Dia sama sekali belum dapat ide.
Haah ... Sudahlah. Bicara ya bicara saja!
Taufan mendesah pasrah, lantas masuk ke dalam rumah. Ia mengangkat alis sejenak ketika mendapati pintu rumah terbuka lebar. Ternyata, Yaya masih ada di situ. Sedang mengobrol dengan Gempa di ruang tamu.
"... Ini memang cuma pemikiranku, sih," Taufan mendengar Yaya berkata. "Tapi mungkin aja, 'kan? Apalagi, Adu Du pernah dua kali pakai ramuan emosi atau apalah itu."
"Ng ... Entahlah, Yaya." Gempa tampak berpikir-pikir, ketika dia akhirnya menyadari kedatangan Taufan. "Eh, dah pulang? Ucapin salam, kek."
Taufan nyengir sebentar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Gempa dan Yaya menyahut bersamaan. Sementara, Taufan duduk di sofa, bersebelahan dengan adiknya.
"Kalian lagi ngomongin apa?" tanya Taufan penasaran.
"Oh, itu," Gempa yang menyahut. "Yaya baru bercerita soal insiden 'Taufan ditampar Yaya'. Yang ternyata cuma gara-gara dia refleks menepuk nyamuk di pipimu."
Gempa tertawa kecil, memancing Yaya mendelik kepadanya.
Taufan mengerutkan kening. "Terus?"
"Aku baru ingat," lanjut Gempa. "Di hari yang sama, Hali juga merasa seperti digigit sesuatu di depan gerbang sekolah. Lalu, sepulang sekolah, tiba-tiba kalian berkelahi. Yaya pikir, mungkin ada hubungannya."
"Kamu bilang kayak nggak bisa mengendalikan emosi tiba-tiba, 'kan?" sambung Yaya. "Itu 'kan sama seperti waktu kita semua terkena Pistol Emosi Y. Atau saat kamu makan biskuit aku yang terkontaminasi Cairan Emosi X."
Taufan mengerutkan kening sekali lagi. Kalau dipikir-pikir benar juga, sih.
"Sebenarnya ... aku juga merasa digigit sesuatu malam sebelumnya. Itu ... Waktu kita bertiga terbangun tengah malam." Gempa menatap Taufan penuh arti. "Habis itu, aku merasa ... entahlah ... bad mood. Aku nggak bisa tidur sampai menjelang dini hari. Terus, waktu kamu dan Hali berkelahi, aku juga hampir-hampir nggak bisa mengendalikan emosi. Dan berkata seperti itu."
Gempa menunduk sejenak. "Maaf, Taufan. Aku nggak bermaksud begitu."
Taufan tersenyum penuh pengertian. "Nggak. Kamu nggak salah, Gempa. Memang aku dan Hali yang keterlaluan."
Gempa balas tersenyum, terlihat lega.
"Jadi ... menurut kalian gimana?" Yaya bertanya.
"Apa pun mungkin terjadi." Gempa mengangkat bahu. "Tapi ... kemungkinannya cukup tinggi, kalau yang kamu lihat waktu itu benar-benar Robot Hamba punya Adu Du."
"Robot Hamba?" Taufan mengerutkan kening.
"Iya. Itu, lho ... Robot kecil warna hijau, bentuknya kotak," jelas Yaya. "Aku sekilas melihatnya pas mau ke kedai Tok Aba beberapa hari lalu. Tapi waktu kukejar, nggak ketemu. Kupikir waktu itu salah lihat, tapi ..."
Yaya menatap Taufan dan Gempa. Ketiganya terdiam.
"Mau dipikirkan sekarang juga percuma," kata Taufan tiba-tiba. "Yang jelas, kita perlu lebih waspada."
Gempa dan Yaya mengangguk kompak.
"Oh, iya. Hali gimana?" bertanya Taufan. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.
"Demamnya sudah turun," Gempa yang menjawab. "Dia masih istirahat di kamar. Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Ooh ... Ya udah. Kalau gitu, aku ke atas dulu."
Taufan masih berdiri mematung di depan pintu kamar Halilintar. Entah sudah berapa menit berlalu, tetapi pemuda itu masih belum bisa menenteramkan detak jantungnya. Tak beraturan, sama seperti isi kepalanya saat ini.
Desahan pelan terdengar, sebelum Taufan akhirnya mengetuk pintu. Terdengar jawaban dari dalam, langsung menyuruh masuk tanpa bertanya. Taufan pun meraih pegangan pintu. Dia menarik napas dalam-dalam, baru membuka pintu perlahan.
Halilintar tampak sedang santai, setengah berbaring di kasur. Ia tengah asyik membaca sebuah buku, sepertinya novel. Taufan tersenyum sekilas. Maklum dengan kebiasaan kakaknya yang suka tenggelam dalam bacaan. Sampai-sampai tidak menoleh untuk sekedar melihat siapa yang masuk ke kamarnya.
Tok. Tok.
Taufan mengetuk sekali lagi, pelan saja. Sedangkan ia masih berdiri di ambang pintu. Kali ini Halilintar mengalihkan pandang dari buku yang sedang dibacanya. Pemuda itu tampak kaget saat melihat Taufan.
"Aku boleh masuk, 'kan?"
Meskipun bertanya begitu, Taufan melangkah masuk juga tanpa menunggu jawaban. Mengabaikan Halilintar yang mengernyit samar, lantas mengalihkan pandang sambil menutup bukunya.
"Mau apa kau?" Halilintar bertanya—dingin—saat Taufan sudah berdiri di dekat kaki tempat tidur.
"Melihat keadaanmu," jawab Taufan enteng. "Aku khawatir, tahu."
Halilintar tidak menyahut.
"Hei, Hali," tiba-tiba Taufan berkata dengan nada serius. "Aku mau bicara."
Tatapan mata Halilintar menajam, masih enggan melihat ke arah saudaranya. "Nggak ada yang perlu dibicarakan—"
"Ada!" Taufan menyela dengan nada tegas. "Kita harus bicara. Nggak bisa begini terus."
Halilintar menggeretakkan rahang. Ekspresinya menggelap.
"Dengar," katanya pelan, tertahan. "Aku nggak mau berdebat denganmu. Keluarlah. Aku ingin istirahat."
"Hali—"
"KELUAR!"
Srak!
Taufan terkejut saat sang kakak tiba-tiba melemparkan buku ke arahnya. Lebih terkejut lagi ketika bertemu pandang dengan sepasang iris merah delima yang diselimuti kemarahan. Namun, pemuda penyuka biru itu mencoba untuk tetap tenang. Dia mengendalikan angin untuk menahan buku milik Halilintar sebelum sempat mengenainya. Angin bergerak lembut, lantas membawa buku itu ke tangan Taufan dengan selamat. Ia pun lebih mendekat sampai ke sisi kakaknya, kemudian mengembalikan buku itu seolah tidak terjadi apa-apa.
"Jangan dilempar-lempar," kata Taufan. "Nanti rusak."
Halilintar menerima buku yang cukup tebal itu, tanpa berucap sepatah kata pun. Sementara Taufan sempat melirik sesuatu yang menarik di atas meja kecil di samping ranjang. Beberapa buah apel hijau di dalam keranjang kecil, yang diyakininya pemberian Yaya.
"Wah, ada apel!" Taufan tersenyum jahil. "Boleh minta satu?"
Halilintar berdecak spontan, kelihatan sekali merasa terganggu. Sementara Taufan benar-benar mengambil sebuah apel tanpa izin. Mata sang pengendali petir menatap apel di tangan Taufan dengan tidak rela, tetapi dia tidak berkomentar tentang itu.
"Apa kau ke sini cuma mau menggangguku?" sentak Halilintar. "Cepat katakan, kau mau bicara apa? Setelah itu, cepat pergi dari sini!"
Taufan tertawa kecil.
"Iya, iya. Jangan galak begitu, dong." Taufan menarik napas sejenak, kemudian ekspresinya berubah serius. "Aku ingin kita baikan."
Satu detik, dua detik, tiga detik. Hening.
"Hah?"
"Apa kata-kataku kurang jelas?" Taufan mendesah pelan. "Hali ... sebenarnya aku bingung, apa yang salah di antara kita? Tapi, aku juga bisa merasakannya. Untuk mengembalikan hubungan kita seperti dulu ... tidak semudah itu."
Halilintar masih diam, sementara Taufan menatapnya dalam-dalam.
"Karena itulah," Taufan melanjutkan ucapannya, "aku harap, kita bisa bicara berdua di tempat yang tenang. Dari hati ke hati. Jadi ... aku akan menunggumu di bukit, besok jam 10 pagi."
Taufan beranjak begitu saja setelah pernyataan sepihak itu. Halilintar baru tersentak ketika sang adik sudah sangat dekat ke pintu.
"Hei! Aku belum bilang setuju!" serunya. "Jangan seenaknya!"
Taufan hanya tersenyum samar, terlihat sedikit sendu.
"Pokoknya, kutunggu sampai kau datang."
Kemudian, Taufan keluar dan menutup pintu perlahan.
Hari Sabtu yang cerah, berkebalikan dengan hari sebelumnya. Kebetulan, hari ini juga hari libur nasional. Taufan sudah duduk manis di dahan pohon yang kemarin diduduki Halilintar. Dia juga memandang ke arah yang sama dengan sang kakak. Hanya saja, saat ini matahari belum memerah di ujung cakrawala barat.
Sudah lewat 30 menit dari waktu pertemuan yang dijanjikan. Dan Halilintar belum juga datang. Walaupun memang hanya perjanjian sepihak.
Taufan tersentak pelan ketika mendengar dengungan listrik samar di belakangnya. Ia menoleh, dan mendapati sosok serba merah-hitam mendadak sudah berdiri di sana. Sepasang iris merah delima menatapnya tajam, yang disambut Taufan dengan sebuah senyum lega.
"Hali! Kau datang!" Taufan berseru ceria sambil melompat turun dari dahan pohon. Dihampirinya Halilintar cepat-cepat, seolah takut sang kakak tiba-tiba berubah pikiran dan pergi.
Halilintar mendengus pelan. "Aku cuma kasihan kalau kau terus menunggu orang yang nggak akan datang."
"Eh?"
"Pulanglah." Nada suara Halilintar masih dingin seperti biasa. "Aku sudah bilang, 'kan? Tidak ada yang perlu dibicarakan."
Taufan mengerutkan kening.
"Nggak!" katanya keras kepala. "Kebencianmu padaku itu nggak wajar. Aku mau tahu alasannya!"
"Kau ini—!" Halilintar menyahut kesal. "Aku sudah mengatakan semuanya dua hari yang lalu. Di halaman belakang sekolah. Apa perlu kuulangi lagi?"
Taufan menggeleng pelan. "Kau mengada-ada."
Halilintar mengernyit samar, tetapi tak berkomentar.
"Apa alasan seperti itu cukup untuk membenci saudaramu sendiri?" lanjut Taufan. "Pasti ada sesuatu yang lain. Katakanlah, Hali ... semua yang mengganjal di hatimu. Aku ingin mendengarnya ... meskipun mungkin akan menyakitkan."
Halilintar masih terdiam hingga beberapa detik. Taufan tidak bisa membaca ekspresi maupun tatapan mata sang kakak. Terlalu gelap, sekaligus misterius.
"Kau benar-benar berisik."
Taufan tersentak ketika Halilintar tiba-tiba membalikkan badan. Refleks, dicengkeramnya pergelangan tangan kanan sang kakak yang kelihatannya sudah berniat pergi dengan Gerakan Kilat.
"Lepaskan!" Halilintar berkata penuh tekanan.
Taufan merasakan aura gelap yang menyelimuti kakaknya. Dia nyaris mundur secara naluriah, kalau saja dirinya tidak bertekad untuk menyelesaikan semuanya hari ini juga.
"Hali ... aku sudah janji pada Gempa, tidak akan berkelahi lagi denganmu." Mendadak Taufan sadar betapa detak jantungnya menguat saat ini. "Kalau ... Kalau kau memang marah padaku, marahlah. Pukul aku kalau perlu. Aku nggak akan melawan. Tapi, aku nggak akan melepaskanmu lagi. Tidak sebelum masalah kita selesai!"
Halilintar menggeram pelan. Ia mengentakkan tangan kanannya agar terlepas dari Taufan. Namun, cekalan adiknya itu terlalu erat.
"Aku bilang, lepaskan!" Halilintar menyentak kasar.
Taufan hanya menggeleng.
Kekeraskepalaan Taufan membuat Halilintar naik pitam. Ia mengangkat kepalan tangan kirinya, seperti bersiap untuk memukul. Taufan terkesiap kaget, tetapi masih nekat tak mau melepaskan cekalannya. Ia pun akhirnya memejamkan mata rapat-rapat. Namun, sampai lama, pemuda itu tak juga merasakan pukulan atau apa pun di tubuhnya.
"Kenapa?" Terdengar Halilintar berucap lirih. Kali ini, suaranya tak lagi dingin, malah terdengar lelah. "Aku cuma ingin satu hal. Kau ... jangan dekat-dekat denganku!"
Taufan membuka mata. Ia tertegun, saat mendapati raut wajah serta sorot mata yang berbeda dari kakaknya. Ekspresi terluka yang tidak dipahaminya.
"Hali ..." Sejenak, Taufan merasa kehilangan kata-kata. "Benar kau menyembunyikan sesuatu? Kumohon, bicaralah. Kalau kau diam saja ... aku nggak ngerti."
Halilintar terdiam lama. Dia sudah berhenti melakukan perlawanan, tetapi Taufan masih memegangi tangannya. Tak mau ambil resiko, kalau-kalau sang kakak mendadak 'kabur' tanpa menjelaskan apa pun. Lagi.
"Aku ..."
Kata-kata Halilintar terputus. Taufan yang melihat dilema di mata kakaknya, menunggu dengan sabar.
"Aku—"
Ucapan Halilintar kembali terputus. Namun, kali ini ada sesuatu yang lain. Tiba-tiba ia menyentakkan tangannya dari cekalan sang adik. Begitu mendadak, sehingga Taufan yang kaget, tak sengaja melepaskannya.
Meski begitu, Halilintar tidak lantas pergi. Ia malah ganti mencekal pergelangan tangan kiri Taufan, kemudian menariknya ke belakang. Ia sendiri melangkah maju, sehingga posisinya sekarang berdiri membelakangi Taufan. Lengan kanannya terentang ke samping dengan sikap melindungi.
"Pelindung Halilintar!"
Semua terjadi begitu cepat. Ketika Taufan masih kebingungan, tahu-tahu kubah petir merah yang melingkupi dirinya dan Halilintar, sudah digempur dari berbagai arah. Samar-samar Taufan melihat sesuatu seperti misil menyerbu ke arah mereka bertubi-tubi. Ledakan demi ledakan terjadi di berbagai bagian kubah pelindung itu. Hingga akhirnya, kubah energi itu berhasil dihancurkan!
"Hoverboard Taufan!"
"Gerakan Kilat!"
Hampir bersamaan, Taufan dan Halilintar berhasil menghindari dua-tiga misil yang tersisa, dengan kecepatan gerak masing-masing. Taufan yang tadi bergerak ke arah berlawanan dengan Halilintar, segera terbang mendekati sang kakak. Menempatkan diri di sampingnya, masih melayang bersama hoverboard bergradasi biru. Di hadapan kakak-beradik itu, kini berdiri gagah, sebuah robot besar berwarna dominan hijau. Yang tentunya, sangat mereka kenal.
"Robot Mukalakus?!" keduanya berseru bersamaan.
Tunggu! Kalau ada benda itu, berarti ...?!
Taufan dan Halilintar tak sempat berpikir lebih jauh. Robot di depan mereka sudah bergerak lagi. Keduanya pun sepakat dalam diam untuk berpencar, lalu menyerang bersamaan dari arah yang berbeda.
"Pedang Halilintar! Gerakan Kilat!"
"Bebola Taufan!"
Taufan memilih menyerang dari jarak menengah. Sambil terbang ke sana kemari, ia melemparkan bola-bola angin yang kekuatannya tak bisa diremehkan. Sayang, semuanya berhasil dihindari. Sampai-sampai Taufan bingung, sejak kapan Robot Mukalakus bisa bergerak segesit itu?
Sementara, Halilintar memilih serangan frontal. Dengan kecepatan geraknya yang luar biasa, ditebasnya si robot hijau dari berbagai arah, menggunakan pedang kembar di tangan. Namun, semua serangannya seolah tak berarti.
"Apa? Seranganku tidak mempan ...?!" Halilintar berhenti sejenak, mengatur napas.
"Huwaa—!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Taufan. Karena serangan Halilintar berhenti, musuh jadi punya kesempatan untuk memusatkan serangannya kepada sang pengendali angin. Kepalan tangan besi terayun deras, nyaris saja mengenai Taufan. Untunglah, dia masih bisa menghindar.
Taufan memilih terbang berputar ke belakang Mukalakus, lalu kembali melemparkan bola-bola angin. Saat itulah, Halilintar melihat celah. Tak terduga, ia melemparkan kedua pedangnya. Mukalakus yang diincar, tampaknya tak sempat menghindar. Halilintar menyeringai samar. Namun, setelah itu terjadi hal yang tak diharapkannya.
Kedua pedang ditangkap begitu saja oleh Mukalakus. Halilintar terkesiap. Taufan pun tak kalah kagetnya. Bagaimana bisa, robot itu sama sekali tak terpengaruh listrik dari Pedang Halilintar? Mukalakus malah melemparkan pedang di tangan kanannya mengincar Taufan. Satu pedang lagi di tangan kiri, dilemparkan kembali ke arah pemiliknya.
Tepat sasaran!
"Aaaaargh—!"
Taufan terhempas ke bumi, lantas tergeletak menelungkup di tanah. Seluruh tubuhnya seolah lumpuh, sekaligus merasakan sakit yang tajam. Hoverboard miliknya tergolek tak jauh dari tubuhnya. Keadaan Halilintar pun tak jauh berbeda, setelah harus merasakan serangan elemennya sendiri.
Berseberangan dengan Taufan, Halilintar berusaha bangkit. Percuma. Tubuhnya kesemutan, sama sekali tak bisa digerakkan. Namun, dengan posisinya sekarang, ia bisa melihat kondisi adiknya dengan jelas. Saat itulah, kedua matanya terbelalak.
Taufan sudah bangkit berdiri, walau tidak tegak. Namun, ia tak mampu bergerak lebih jauh. Celakanya, Mukalakus lebih dekat kepadanya, dan langsung mengincar dirinya. Tangan kanan dari besi itu bergerak pasti ke arahnya.
Bergeraklah!
Taufan merutuk dalam hati, tetapi kakinya seolah terpaku ke bumi. Tangan Mukalakus sudah hampir mencapainya.
"Gerakan Kilat!"
Taufan membeku. Tiba-tiba saja Halilintar ada di sana, berdiri di hadapannya. Menjadi penghalang di antara dirinya dan musuh. Kejadiannya sangat cepat. Halilintar menjangkaukan sebelah tangannya ke depan. Lantas didorongnya tubuh Taufan ke belakang, hingga jatuh terduduk. Dengan demikian, Taufan selamat. Dan tahu-tahu, tangan besi raksasa itu sudah menggenggam tubuh Halilintar dengan kuatnya!
"Aaakh—!"
"HALI!"
Bersambung ...
Layaknya Cahaya Kecil; Heidy S.C. 2017©
BoBoiBoy; Animonsta Studio 2011-2016©
====================================================
Author's Corner
Halooo~! Jumpa lagi dengan Heidy di sini. \(^o^)
Mencoba membuat adegan interaksi antara Yaya dan Taufan sehari-hari. Nggak kalah menarik, 'kan, sama pas Yaya ngerawat Gempa di Chapter 2? ^__^
Nah, nah ... Akhirnya Hali dan Taufan nggak jadi baikan~ XD *dihajar massa*
Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus kelanjutannya, yah~! Bye, bye~ :")
Solo, 19 Agustus 2017
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top