Halilintar: Layaknya Cahaya Kecil (2/3)
Dug!
"Uukh ... Hh ... hh ... hh ..."
Halilintar baru saja terhempas ke sebatang pohon, setelah menahan serangan dengan pedangnya. Segera, tubuhnya merosot turun, hingga terduduk bersandar. Dengan napas berat, ia mencoba bangkit kembali. Namun, percuma.
Ah ... Pedangnya patah lagi.
Sepasang iris merah delima menatap senjata andalannya yang sudah tak berbentuk. Bukan cuma patah, benda itu sudah jadi berkeping-keping. Teronggok tak berguna di tanah.
Sama seperti pemiliknya.
Halilintar menggeretakkan rahang. Menggunakan kedua tangan sebagai tumpuan, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan sedikit usaha ekstra, akhirnya ia mampu berdiri, walau tidak tegak. Lantas maju selangkah.
"... Pedang ... Halilintar ..."
Alih-alih sepasang seperti yang diniatkan, hanya sebilah pedang yang tercipta di tangan kanan Halilintar. Digenggamnya senjata itu erat, sembari menguatkan tekad.
"Gerakan Ki—"
Seruan itu terhenti. Seluruh gerakan Halilintar juga terhenti. Tubuhnya mendadak limbung, lalu roboh ke tanah. Tertelungkup. Sementara, pedangnya terjatuh sampai beberapa jengkal di depan.
Saat itulah, mata Halilintar menangkap Jam Kuasa di tangan kanannya yang bermaksud meraih pedang. Sontak, ia teringat benda itu juga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Lantas ia merutuki kebodohannya sendiri, kenapa tidak terpikir untuk meminta bantuan?
"Gempa ..."
Halilintar mencoba menghubungi adik bungsunya. Namun, hanya terlihat garis-garis statis. Sama sekali tak bisa terhubung.
"Apa ... Kenapa ...?" pemuda itu menggeretakkan rahang. Akhirnya ia menyerah setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil. Satu harapan kecil kembali padam.
Lagi, Halilintar mencoba memaksakan tubuhnya yang letih untuk bergerak. Akan tetapi, kali ini benar-benar tidak bisa. Ia hanya mampu mengangkat kepala sedikit. Saat itulah, matanya malah menangkap sosok Mukalakus yang mulai mengabaikannya. Kemudian, beralih ke arah lain.
Halilintar tersentak. Robot hijau itu mulai berjalan perlahan ke satu haluan yang pasti. Ke tempat Taufan!
"Uukh ... Tidak ... Jangan ..."
Berusaha keras untuk bangkit kembali, Halilintar harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya sudah mencapai batas. Ketakutan mencengkeram hatinya, menyesakkan napasnya. Sekaligus menguatkan lagi tekadnya.
Gemetar, tangan kanannya menjangkau ke depan, meraih pedangnya. Begitu benda itu sudah ada di genggaman, Halilintar menolakkan tubuhnya ke atas. Terus, hingga ia mampu berdiri kembali. Dicobanya menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan kekuatan sekali lagi.
"Gerakan Kilat!"
Halilintar bergerak ke belakang Mukalakus. Arah yang berseberangan dengan posisi Taufan. Diperhatikannya, sejak beberapa menit belakangan, gerakan robot hijau itu seperti melambat. Mungkin saja, energinya juga sudah mulai menipis. Walau tak bisa menang, Halilintar mulai optimis dirinya mungkin masih bisa melakukan sesuatu. Paling tidak, dia bisa mencoba membuat Mukalakus kehabisan energi.
"Bola Kilat!"
Dari jarak sekian meter, Halilintar menciptakan bola petir merah di tangan kirinya yang bebas. Lantas dilemparkannya ke punggung Mukalakus. Robot itu berhenti berjalan, lalu menoleh lambat ke belakang.
"HEI! ROBOT JELEK!" Halilintar berteriak. Ditunggunya sampai Mukalakus berbalik ke arahnya. "SINI!"
Robot raksasa itu tiba-tiba memelesat cepat ke depan, sambil bersiap melepaskan tinju. Alih-alih melawan, Halilintar bergerak secepat kilat ke belakang. Mukalakus mengejar lagi, dan Halilintar tetap menghindar. Beberapa kali terus seperti itu.
Hingga tiba-tiba Mukalakus menembakkan laser dari kepalanya di bagian dahi. Tepat mengincar Halilintar yang baru saja muncul kembali sosoknya setelah bergerak cepat.
Pemuda itu masih beruntung, tembakan laser meleset ke tanah tepat di sisi kanannya. Namun, efek ledakan yang terjadi, tetap membuat tubuhnya terlempar.
Halilintar masih bisa mempertahankan keseimbangan, sehingga tak sampai roboh. Akan tetapi, Mukalakus sudah menyerbu ke arahnya dengan sebuah kepalan. Pemuda itu bermaksud menggunakan Gerakan Kilat untuk menghindar, tetapi terlambat. Pukulan raksasa menghantam tubuhnya. Cukup telak, hingga terlempar keras ke belakang.
Sembari menahan sakit, Halilintar berusaha bangkit. Tubuhnya benar-benar terasa berat sekarang. Otot-ototnya menjerit ketika digerakkan. Namun, ia tahu, dirinya tak boleh berhenti. Atau semuanya akan selesai! Baik untuknya, ataupun Taufan.
Benar saja. Ketika melihat ke depan, dilihatnya Mukalakus sudah mempersiapkan beberapa misil. Tampaknya, robot itu melihat Halilintar sebagai penghalang bagi tugasnya untuk melenyapkan Taufan. Penghalang yang harus dihancurkan supaya tugas itu berhasil.
Kedua mata Halilintar berkaca-kaca. Tahu maut sudah di depan mata. Dan dirinya sudah tidak punya tenaga lagi untuk berjuang. Pedangnya masih tergenggam di tangan kanan, tetapi pada akhirnya ia tak mampu bangkit. Halilintar mulai berpikir, inilah akhirnya. Hanya satu penyesalannya, tidak mampu melindungi Taufan.
"Maafkan aku ..."
Halilintar berbisik lirih, bergetar. Kemudian dipejamkannya mata. Menanti takdir yang siap menjemput. Sementara telinganya menangkap suara misil yang ditembakkan.
"Tanah Pelindung!"
Eh?
Seiring suara ledakan, Halilintar membuka mata perlahan. Bisa dirasakannya tanah bergetar, tetapi dirinya masih utuh. Dan di hadapannya kini, sesosok tubuh berdiri tegak membelakanginya. Dengan pakaian yang didominasi warna hitam serta topi berwarna senada yang dipakai terbalik. Kedua tangannya terbalut sarung tangan dari batuan magma hitam, yang selalu dipakainya ketika bertempur.
"Hali! Kamu nggak apa-apa?!" pemuda yang baru datang itu berseru. Roket-roket peledak Mukalakus masih menggempur dinding elemen tanah yang tercipta di hadapannya.
"Gempa ...?"
Halilintar berusaha bangkit sekali lagi, tetapi akhirnya hanya mampu berlutut.
"Halilintar!"
Dua suara memasuki pendengaran Halilintar. Ia menoleh ke kiri, lalu menemukan sosok Yaya dan Ochobot yang terbang menghampirinya.
"Kalian ..." Kelegaan mulai memenuhi dada Halilintar. Harapannya tumbuh kembali.
"Akhirnya kami menemukanmu!" seru Yaya.
"Taufan menghubungi Gempa beberapa waktu lalu," sambung Ochobot. "Sinyalnya berasal dari pulau ini, tapi aku tak bisa melacak posisi tepatnya. Sepertinya ada yang melakukan jamming* di seluruh Pulau Terapung."
"Karena itulah, kami lama menemukanmu," kata Yaya lagi. "Kami harus menyusuri tempat luas ini secara manual."
Halilintar mencerna semua informasi dengan cepat. Ada banyak hal yang ingin dikatakannya, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. Pemuda itu menatap Ochobot, yang ia tahu memiliki kemampuan teleportasi. Asal ada robot kuning mungil itu, Taufan bisa diselamatkan!
"Ochobot, tolong bawa Taufan ke rumah sakit," katanya. "Sekarang!"
"Eh?"
"Dia ada di sana!" Halilintar menunjuk ke arah yang berseberangan, cukup jauh dari mereka.
Yaya—juga Ochobot—tampak kaget ketika melihat kondisi Taufan yang tak sadarkan diri. "Taufan kenapa—?"
"Cepatlah! Dia terluka parah!" Halilintar memotong. "Yaya, titip adikku. Biar aku dan Gempa yang mengalihkan perhatian Mukalakus."
"Baiklah." Yaya barusan juga seperti ingin bicara banyak, tetapi ia segera pergi bersama Ochobot.
Sementara itu, ledakan yang menggempur pertahanan Gempa akhirnya berhenti.
"Hali, kumpulkan dulu tenagamu," tiba-tiba Gempa berkata, mengejutkan sang kakak. "Aku maju duluan!"
Sebelum Halilintar sempat bereaksi, Gempa berlari ke depan hingga berhadap-hadapan dengan si robot hijau raksasa.
"Golem Tanah!"
Gempa memanggil raksasa batu ciptaannya. Lantas pasang kuda-kuda siap bertempur, layaknya petinju. Sang golem pun melakukan gerakan yang sama persis. Mukalakus menyerang duluan dengan sebuah pukulan. Ditangkis dan dibalas oleh golem milik Gempa, sehingga keduanya lalu beradu tinju.
Tanpa disadari Gempa, mata Mukalakus mendadak terfokus kepada sesuatu jauh di belakangnya. Lantas, di sela-sela pergulatannya dengan si golem tanah, robot itu mendadak menembakkan lasernya!
Gempa yang terkejut, masih sempat mendorong badan besi Mukalakus sedikit ke kiri. Dalam sepersekian detik sebelumnya, dia telah menyadari arah serangan Mukalakus tadi adalah di mana Taufan berada.
"Yaya! Ochobot!"
Halilintar yang meneriakkan kedua nama itu. Dilihatnya, jalur tembakan laser yang meleset, ternyata malah memelesat tepat ke arah mereka. Beruntung, Yaya cukup sigap. Tahu-tahu, ia sudah terbang ke atas dengan membawa Ochobot di pelukannya. Tembakan laser pun akhirnya hanya mengenai tanah kosong.
Namun, krisis belum berakhir sampai di situ. Yaya tak menyadari, ada sosok besar tiba-tiba sudah terbang melayang di belakangnya. Ialah Mega Probe—berpenumpang Adu Du—yang langsung merebut Ochobot dari tangan gadis berhijab itu. Yaya terkesiap, lantas berbalik. Hanya untuk menerima sebuah pukulan telak yang menjatuhkannya ke bumi!
"Yaya!"
Halilintar berlari secepat kilat, dan berhasil menahan tubuh Yaya sebelum benar-benar menabrak tanah. Namun, Adu Du dan Mega Probe telah pergi dengan membawa Ochobot. Hanya suara sayup-sayup Ochobot yang masih terdengar, meminta pertolongan. Halilintar menggeretakkan rahang, bersiap untuk mengejar.
"Halilintar!" Yaya berseru sebelum pemuda itu benar-benar berlari pergi. "Biar aku saja yang mengejar mereka. Kamu tetaplah di sini, bantu Gempa dan jaga Taufan."
"Tapi—"
"Percayakan padaku!" Yaya memotong kalimat Halilintar. Dalam sedetik singkat, iris ruby dan hazel bertemu, lantas saling sepakat untuk berbagi tugas. Detik berikutnya, Yaya sudah terbang memelesat mengejar Ochobot.
Sementara itu, Gempa sendirian beradu pukulan melawan Mukalakus, melalui golem miliknya. Sang pengendali tanah masih kesulitan mengimbangi robot raksasa itu. Namun, ia menyadari, gerakan Mukalakus melambat setelah melepaskan tembakan laser.
DHUAG! DHUAG!
Dua pukulan keras menghantam golem tanah, yang juga berdampak pada Gempa. Keduanya terdorong mundur. Masih berusaha bertahan, tetapi Mukalakus kembali menyarangkan pukulan ketiga yang jauh lebih keras!
Golem tanah Gempa hancur, tak mampu menahan momentum** tumbukan. Belum cukup sampai di situ, Mukalakus menyambung dengan satu tinju lagi, kali ini mengincar Gempa.
DHUAG!
Tinju raksasa beradu dengan sarung tangan Gempa. Membuat pemuda itu langsung terlempar ke belakang.
"Gerakan Kilat!"
Gempa hanya sempat mendengar seruan itu. Dan tahu-tahu, sesuatu yang hangat dan lembut sudah menahan punggungnya. Tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari bahwa Halilintar sudah berdiri tepat di belakangnya.
"Bertahanlah, Gempa!" kata Halilintar, sementara matanya terus menatap waspada ke arah musuh. "Gerakan robot itu terus melambat. Aku rasa, energinya semakin menipis."
Gempa menegakkan tubuh kembali. Kedua iris keemasannya pun tak melepaskan fokus dari musuh. Saat itulah, ia melihat Mukalakus seperti bersiap melepaskan tembakan laser lagi.
Baik Gempa maupun Halilintar sama-sama menyadari, target tembakan itu adalah Taufan. Gempa segera berlari, lantas menempatkan diri di jalur tembakan.
"Golem Kristal!"
Kali ini, Gempa memanggil makhluk raksasa yang terbuat dari semacam kristal kehijauan. Lebih kuat daripada Golem Tanah, membuat Gempa percaya diri menggunakan kedua lengan makhluk itu untuk menahan tembakan laser.
"Uuukh! Kenapa ... dia terus-menerus mengincar Taufan?!" Gempa masih berusaha menahan tembakan laser yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Tadi Adu Du bersama Probe, 'kan? Lalu siapa yang mengendarai Mukalakus?"
"Nggak ada. Dia menggunakan AI," sahut Halilintar. "Adu Du memberi perintah padanya untuk ... melenyapkan Taufan. Dia nggak akan berhenti sampai perintah itu berhasil dilaksanakan."
Gempa mengeratkan kepalan tangannya yang berbalut batuan hitam. "Kalau begitu, kita buat dia berhenti bergerak!"
Halilintar mengangguk sepakat. Ia lalu memanggil satu pedang petir merah lagi, melengkapi sebilah yang sejak tadi masih digenggamnya di tangan kanan.
"Hujan Halilintar!" sang penguasa petir berseru.
Disatukannya kedua pedang, lantas dilemparkannya jauh-jauh ke langit. Tepat di atas Mukalakus. Angkasa menggelap, seiring mendung yang mendadak bergulung. Suara bergemuruh mengiringi kilat merah yang mulai menari-nari di awan. Kemudian sesuatu turun ke bumi. Bukan air hujan, melainkan ratusan Pedang Halilintar.
Mukalakus yang masih 'adu kuat' dengan Golem Kristal milik Gempa, tidak sempat menghindar. Alih-alih, ia menghentikan tembakan laser. Lantas memusatkan tenaga untuk membentuk perisai energi berbentuk setengah kubah, melingkupi tubuhnya dari atas kepala.
Sementara itu, Gempa pun bersiap. Ia menunggu sampai Hujan Halilintar mereda, baru mulai bergerak lagi mendekati musuh. Saat serangan Halilintar itu berhenti, golemnya telah sampai tepat di depan Mukalakus, dan langsung melepaskan pukulan!
Mukalakus sukses terlempar ke belakang hingga terhempas di tanah. Halilintar sudah bersedia di dekat situ. Ia melompat ke atas tubuh Mukalakus dengan tombak di tangan. Ditancapkannya senjata elemen itu ke celah bagian kokpit, lantas dialirkannya energi listrik berkekuatan luar biasa.
Sebagai penutup, Golem Kristal mendekat, lalu melompat sedikit sebagai ancang-ancang. Halilintar menyingkir ke sisi Gempa dengan Gerakan Kilat. Tepat waktu sebelum tinju Golem Kristal menghantam tubuh robot hijau itu dengan telak dan keras!
BRAK!
Golem Kristal mundur selangkah. Gempa—bersama Halilintar—menatap waspada ke arah musuh. Robot hijau raksasa itu masih bergerak lambat, terpatah-patah. Sebagian tubuh besinya telah hancur berkat pukulan keras Golem Kristal. Begitu pun, masih tampak kilatan-kilatan kecil listrik merah di beberapa bagiannya. Hanya beberapa detik, Mukalakus akhirnya berhenti bergerak.
"Apa ... kita menang?" Gempa bertanya tak yakin.
Halilintar mengangguk pelan. "Kurasa."
Keduanya masih diam bersiaga sampai semenit kemudian. Saat yakin musuh benar-benar sudah kalah, Gempa baru merasa aman untuk melepaskan sarung tangannya, lantas mengembalikannya ke tanah. Begitu pula dengan golem miliknya.
Sementara itu, Halilintar yang berdiri di samping sang adik pun melenyapkan tombak elemen petir di tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap bahaya benar-benar sudah lewat. Namun, baru dua detik berselang, pandangannya mengabur tiba-tiba.
"Hali?!"
BRUK.
Gempa sangat terkejut ketika melihat Halilintar tiba-tiba limbung. Untunglah, posisinya sangat dekat, sehingga masih sempat menahan tubuh sang kakak sebelum benar-benar roboh ke tanah. Pemuda itu duduk bersimpuh, sementara Halilintar tak sadarkan diri di pelukannya.
"Hali?! Hali, bangun! Kamu kenapa?!"
Gempa yang panik, mencoba menyadarkan Halilintar, tetapi sia-sia. Baru kemudian, ia mencoba memeriksa detak jantung serta kondisi kakak sulungnya dengan lebih teliti. Dari situ dia menyadari, helaan napas dan denyut jantung Halilintar semakin tenang. Seperti tertidur.
Pasti dia kelelahan.
Pemikiran itu membuat Gempa lebih tenang. Dia lalu melirik jauh ke belakang, tempat di mana Taufan masih terbaring pingsan. Lalu sepasang iris keemasannya kembali menatap Halilintar di pelukannya.
"Taufan ... Hali ...," pemuda itu berbisik dengan mata berkaca-kaca. "Bertahanlah ..."
Gempa berusaha menguatkan hati, meskipun saat ini dirinya dilanda kecemasan luar biasa. Pemuda itu bermaksud membawa Halilintar ke dekat Taufan. Namun, belum sempat ia melakukannya, Halilintar sudah terbangun kembali.
"Hali ...?" Gempa memanggil pelan ketika kakaknya membuka mata. "Syukurlah ... kamu sudah sadar ..."
"Gempa ..." Halilintar berusaha duduk. Gempa membantunya. "Aku ... kenapa?"
"Mungkin kamu kecapekan," sahut Gempa.
Halilintar tidak menyahut lagi. Namun, kemudian, tiba-tiba ia tersentak.
"Taufan!"
Mengabaikan tubuhnya yang masih terasa sakit dan lelah, Halilintar bergegas bangkit. Matanya menemukan keberadaan Taufan dalam sekejap. Berlarilah ia hingga sampai di dekat sang adik.
Bruk.
Halilintar menjatuhkan diri di sisi kanan Taufan, membiarkan tubuhnya jatuh bersimpuh. Gempa pun mengikuti Halilintar, lantas ikut duduk di samping kiri kakak keduanya. Saat itulah, ia baru melihat kondisi Taufan dari dekat. Dadanya sontak berdesir tajam ketika menyadari jaket Taufan ternoda rembesan darah yang telah mengering.
Sementara itu, Halilintar berusaha menguatkan diri. Dengan tangan bergetar samar, disingkapkannya pakaian Taufan sedikit, guna memeriksa luka di perut sang adik. Bekas rembesan darah di perban juga sudah mengering. Setidaknya Halilintar bisa sedikit menarik napas lega.
"Pendarahannya sudah berhenti," Halilintar berkata untuk menenangkan Gempa, sekaligus menenangkan dirinya sendiri.
Gempa mengangguk pelan, masih terlihat cemas. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil di wajah Taufan. Semakin jelas, hingga diiringi rintihan pelan. Halilintar pun menyadari hal yang sama. Ia lalu mengangkat tubuh Taufan perlahan, menyandarkannya ke dalam pelukan. Sementara, Gempa menggenggam lembut tangan kiri kakak keduanya itu.
Kedua mata Taufan terbuka pelan-pelan. Iris safir itu menangkap wajah-wajah familier yang menatapnya cemas.
"Gem ... pa ...," pemuda itu berucap lirih, masih tampak menahan sakit.
"Taufan," Gempa berkata lembut. Dirasakannya Taufan balas menggenggam tangannya, meskipun lemah. "Aku di sini."
Taufan hanya tersenyum tipis, lantas mengalihkan pandang kepada saudaranya yang satu lagi.
"Taufan ...," Halilintar hanya mampu mengucapkan satu nama itu, sebelum tenggorokannya tercekat. Padahal banyak sekali yang ingin dikatakannya. Namun, pada saat yang sama, ia merasa kata-kata penyesalannya takkan berarti apa-apa saat ini.
"Ha ... li ..." Taufan menatap kakaknya sambil tertawa lemah. "Kukira ... aku bermimpi ... Hali ... memanggil ... namaku ... lagi ... Uukh—?!"
Taufan merintih tiba-tiba dengan mata terpejam rapat. Napasnya pun kembali tersengal.
"Taufan!" Gempa berseru cemas.
"Taufan!" Halilintar pun tak kalah khawatirnya. "Sudahlah ... jangan bicara lagi. Simpan tenagamu ..."
Sekali lagi, Taufan membuka matanya yang menyorot sayu. Kata-katanya tak terucap, tertelan kesakitan. Akan tetapi, ia tetap memaksakan diri untuk bicara. Seolah takut setelah ini takkan ada kesempatan lain lagi.
"Maafkan ... aku ..." Lirih sekali kalimat singkat Taufan, tetapi Halilintar dan Gempa bisa mendengarnya dengan jelas.
"Bodoh ... Kenapa minta maaf?" Halilintar sudah hampir menangis, tetapi mati-matian ditahannya. Tidak. Taufan tidak boleh melihatnya lemah di saat seperti ini. "Aku ... Akulah ... yang harusnya minta maaf ..."
Taufan hanya diam menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang dipikirkannya. Namun, kemudian, pemuda itu tersenyum. Tipis dan tulus. Sambil terus memandang Halilintar, kedua mata Taufan perlahan terpejam.
"Taufan?" Halilintar memanggil lirih dengan suara bergetar. Namun, sang adik tidak merespon. "Hei ... Buka matamu ... Jangan bercanda! Taufan?!"
Tubuh itu bergeming di dalam pelukan Halilintar. Wajahnya tampak begitu pias, tetapi damai. Seolah sudah tidak merasakan kesakitan lagi.
"Ini nggak lucu, Taufan ... Taufan!" Halilintar kembali berseru sia-sia.
Kemudian, dengan tangan bergetar, diperiksanya embusan napas dari bawah hidung Taufan. Pemuda itu agak panik ketika tak merasakan apa pun. Ia lalu beralih memeriksa denyut jantung sang adik. Dan saat itulah, hawa dingin entah dari mana menjalari tubuhnya.
Tidak ada detak sama sekali.
Sementara itu, Gempa yang sejak tadi terus menggenggam tangan kiri Taufan, sudah lebih dulu berinisiatif memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan sang kakak. Sama seperti Halilintar, pemuda itu langsung dihantam kenyataan pahit yang begitu menyesakkan. Ia menatap Halilintar setengah kosong, hanya untuk menemui ekspresi menyayat hati.
Halilintar tampak begitu terpukul. Meski begitu ia tak mau menyerah. Dibaringkannya tubuh Taufan ke tanah yang terlapis rerumputan. Lalu, terus mengusahakan apa pun yang ia bisa. Napas buatan, CPR***, semuanya. Meskipun rasanya seperti berusaha memeluk angin. Semenit lewat tanpa hasil, tetapi Halilintar tidak berhenti.
"... Sudah ..." Gempa tak mampu menahan kesedihannya lagi. Air matanya mulai jatuh, dan semakin deras. "Hali ... Sudah ... Taufan sudah nggak ada ..."
Halilintar masih menekan-nekankan kedua telapak tangannya ke dada sang adik. Tak putus harapan bila hela napas dan detak jantung itu akan kembali.
"Taufan ... kau bilang ingin baikan denganku, 'kan? Pembicaraan kita belum selesai ..." Halilintar berusaha menahan getaran di dalam suaranya. "Kumohon ... kembalilah!"
Di sisi kiri Taufan, Gempa terisak pelan. Jujur, beberapa saat sebelumnya, ia juga masih berharap Taufan akan membuka matanya kembali. Namun, ia tahu, cepat atau lambat dirinya harus berdamai dengan kenyataan. Begitu pula Halilintar. Dan Gempa takut, sekarang ini kakak sulungnya sedang menyakiti diri sendiri.
"Sudah ... cukup ..." Gempa menunduk dalam-dalam. Tangan Taufan yang digenggamnya masih terasa hangat. Akan tetapi, dia tahu, itu tidak akan lama lagi. "Hali ... sudah ... Kasihan Taufan ..."
Halilintar tersentak. Segala gerakannya terhenti demi mendengar tangisan Gempa. Pemuda itu merasa hampa. Dadanya sesak, berat. Dipandangnya wajah Taufan dengan tatapan nanar.
"Kenapa ... Taufan ..." Halilintar meratap lemah. Kedua tangannya masih di atas jantung Taufan yang tanpa denyut. Mengepal perlahan, gemetar. Sebelum ia memukulkan kepalan kanannya. Pelan saja.
" ... Nggak ... Ini nggak mungkin ... Nggak mungkin ... Taufan ..."
Ratapan Halilintar semakin pilu. Ia menunduk dalam-dalam. Dipanggilnya nama Taufan berkali-kali. Dalam keputusasaannya, tanpa sadar pemuda itu kembali memukulkan kepalan tangan kanannya ke dada kiri Taufan, disertai kilatan kecil listrik merah.
Sia-sia.
Halilintar tahu, dia sudah kehilangan hal yang paling berharga di dalam hidupnya. Yang takkan kembali lagi, meski sedalam apa pun ia meratap dan menyesal. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan sekarang Halilintar baru benar-benar paham kalimat itu, dengan cara yang sangat menyakitkan.
Seandainya ...
Seandainya dia tidak mengabaikan Taufan. Andai saja dia tidak menolak anak itu, yang mati-matian berusaha mendekatinya. Kalau saja dia tidak menyakiti Taufan dengan sengaja, hanya untuk membuatnya menjauh.
Kenapa ...?
Kenapa semua yang terlintas di benaknya saat ini adalah kesedihan Taufan? Wajahnya yang kecewa. Matanya yang selalu menahan tangis. Bibirnya yang dihiasi senyum terpaksa.
Sungguh, Halilintar merasa dirinya benar-benar kakak yang jahat. Sangat jahat.
Apa karena itu, Tuhan menghukumnya? Apakah itu sebabnya, Yang Maha Kuasa mengambil adik yang telah disia-siakannya? Ya ... Mungkin sekarang Taufan sudah lebih bahagia di sana, tidak lagi harus meladeni kakak yang tidak becus dan egois seperti dirinya.
Tapi ... kenapa sakit sekali rasanya?
Dalam detik-detik singkat itu, hati dan pikiran Halilintar dipenuhi kepedihan yang menyesakkan. Sedangkan dia tak bisa menangis. Dia berpikir dirinya tidak punya hak untuk menangis. Akan tetapi, rasa sesak itu sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Dadanya sakit. Rasanya seperti mau meledak.
Kemudian, walau tahu akan sia-sia, Halilintar meneriakkan semua beban itu ke langit.
"AAAAAAAAAARGH—!"
====================================================
Keterangan:
* jamming, adalah interferensi terhadap sinyal radio atau radar dengan tujuan mengganggu komunikasi jarak jauh atau penginderaan wilayah tertentu
** momentum (dalam fisika), adalah besaran yang berkaitan dengan benda yang besarnya sama dengan hasil kali (darab) massa benda yang bergerak itu dan kecepatan geraknya
*** CPR atau Cardiopulmonary resuscitation atau resusitasi jantung paru, adalah prosedur darurat dengan mengkombinasikan penekanan pada bagian dada, sering dibarengi dengan pemberian napas buatan, bertujuan mengembalikan sirkulasi darah dan jalan udara di dalam tubuh.
Biasanya, napas buatan diberikan jika napas telah terhenti selama 10 detik. Sama halnya dengan CPR, diberikan apabila nadi di bagian leher sudah tidak terasa lagi denyutnya dalam 10 detik. CPR dapat pula disertai kejutan listrik ringan, dengan tujuan menstimulasi/memicu denyut jantung.
Mulmed:
Lagu "Berhenti Berharap" milik grup band Sheila On 7, yang menemaniku saat menulis arc Halilintar. Anggaplah BGM. Baper Ya Gusti~! TTATT
====================================================
Author's Corner
Halooo~! Apa kabar, semuanya? Sehat-sehat, 'kan? \(^o^)
Sebelumnya, Heidy mau minta maaf karena Sabtu lalu LCK gagal update, gara-gara author-nya sakit. *bow*
Nah! Sabtu ini alhamdulillah bisa update lagi. Masih di arc Halilintar, yang juga merupakan arc terakhir. Nulis arc Halilintar, jujur, berasa beraat banget. Seperti yang kalian lihat, Halilintar di sini sangat self-blaming alias suka menyalahkan diri sendiri. Ditambah sifat pendiamnya, jadi stress sendiri.
Sebenarnya, ada cerita di balik itu. Ingat pas BoBoiBoy kena Pistol Emosi Y di musim 2? Waktu menghadapi keadaan yang nggak menguntungkan, lantas berpecah tiga, mereka jadi pesimistis. Tanah cenderung 'menyalahkan' keadaan, Angin 'menyalahkan' orang lain, dan Petir 'menyalahkan' diri sendiri. Sedikit banyak, sifat Gempa, Taufan, dan Halilintar di LCK ini, ambil referensi dari situ.
Oke deh, cukup obrolannya sebelum Author's Note ini tambah panjang. :-p *plak*
Btw~pembaca sadar nggak sih, kalau tadi belum ada tulisan 'Bersambung ...'? Hehe ... Silakan lanjut dikit di bawah~ (uuh ... nggak tega saya sama Taufan) TTATT
Solo, 16 September 2017
Heidy S.C.
====================================================
Teriakan Halilintar masih terngiang di telinga Gempa, bahkan ketika sang kakak sudah tertunduk membisu. Andai Gempa bisa melihat wajah yang tersembunyi di balik topi itu, dia akan melihat ekspresi yang belum pernah disaksikannya. Kedua mata yang nyaris kosong. Wajah yang tersiksa duka. Ditambah tubuh yang lesu, seolah separuh nyawanya telah hilang di udara.
Sementara, Gempa sendiri tak mampu menghentikan isak tangis. Sebagaimana air mata yang tak mau berhenti mengalir. Dia memang mendorong Halilintar untuk menerima kenyataan, seperti yang dibisikkannya berkali-kali kepada hatinya sendiri. Namun, nyatanya, sampai detik ini pun, ia masih merasa semuanya seperti mimpi buruk. Mimpi yang akan hilang bila dirinya terbangun.
Set.
Di tengah detik-detik memilukan itu, Gempa mendadak tersentak. Tangannya yang sejak tadi masih menggenggam tangan Taufan, tiba-tiba merasakan gerakan samar dari jemari sang kakak. Ia pun cepat-cepat menatap wajah Taufan, tetapi tak ada yang berubah. Tangannya pun tak merasakan gerakan apa pun lagi.
Penasaran, dicobanya memeriksa pergelangan tangan kiri Taufan, dengan harap-harap cemas. Sampai beberapa detik, pemuda itu tak merasakan apa-apa. Kemudian, ada yang bergerak, meski hanya satu denyutan lemah.
"Hali—"
Seruan Gempa terhenti sejenak ketika matanya malah menangkap sesuatu yang lain. Tangan kanan Halilintar yang terkepal gemetar di atas dada kiri Taufan, satu-dua kali diselimuti percikan kecil listrik merah.
Gempa menyadari Halilintar sama sekali tak merespon. Masih dengan dada berdebar-debar, ia meraih bahu kakak sulungnya, lantas diguncangkannya sedikit.
"Hali!" serunya dengan mata yang kembali berbinar oleh harapan kecil. Kali ini Halilintar bereaksi, lalu mengangkat wajah perlahan. "Hali! Tanganmu—"
Halilintar mengikuti tatapan Gempa yang mengarah ke dada kiri Taufan. Ia tersentak pelan saat melihat kilatan kecil di tangannya. Diangkatnya tangan yang masih gemetaran itu. Dikepalkannya lebih erat hingga kilatan listrik merah menghilang.
"Hali! Tadi jari Taufan bergerak!" Seruan Gempa membuat Halilintar kembali tersentak. "Waktu kuperiksa, nadinya berdenyut lagi!"
Mata Halilintar yang tadinya kosong, kembali bercahaya, walau masih suram. Cepat-cepat diperiksanya pembuluh nadi di leher Taufan, untuk membuktikan kata-kata Gempa. Dia harus menunggu beberapa detik, sampai akhirnya bisa merasakan denyut kehidupan di sana.
"Ta-Taufan?" Halilintar mencoba memanggil penuh harap. "Taufan ... Kau bisa dengar suaraku?"
Tidak ada respon. Namun, jemari Halilintar yang sejak tadi masih merasai nadi sang adik, menyadari bahwa sedikit demi sedikit denyut itu menguat.
"Aku ... Aku akan cari Ochobot dan Yaya!"
Tiba-tiba Gempa bangkit. Dia sudah mau beranjak pergi, tetapi Halilintar menahannya.
"Tunggu, Gempa! Kamu mau cari ke mana?"
Gempa menggeleng dengan raut wajah tak yakin. "Ke mana saja."
"Jangan gegabah!" Sekali lagi, Halilintar menahan langkah adiknya. "Tenanglah dulu. Bisa berbahaya kalau kita semakin terpencar lebih dari ini."
"Tapi ..."
Gempa yang hendak membantah, langsung menyadari kebenaran kata-kata kakaknya. Ia pun menarik napas, mencoba menenangkan diri. Lantas terpikir untuk mencoba sistem komunikasi Jam Kuasa sekali lagi.
Halilintar hanya diam memerhatikan. Dari gerak-gerik adik bungsunya, sepertinya usaha kali ini pun tidak berhasil.
"Masih gangguan," ujar Gempa sambil menghela napas kecewa.
"Kalau begitu, biar aku yang mencari mereka. Aku bisa bergerak lebih cepat." Halilintar menambahkan kalimat terakhir tadi karena Gempa tampaknya akan membantah. "Kamu tetap di sini. Jaga Taufan—"
"Halilintar! Gempa!"
Baru saja Halilintar hendak berdiri, seruan itu tiba-tiba terdengar. Suara Yaya dan Ochobot! Halilintar dan Gempa menoleh. Tampak Yaya terbang mendekat sambil memeluk Ochobot.
"Yaya! Ochobot! Kalian baik-baik saja?" tanya Halilintar ketika Yaya mendarat ringan di dekat mereka.
"Iya," Yaya menyahut singkat sambil melepaskan Ochobot. "Siapa tadi yang berteriak? Ada apa?"
Halilintar dan Gempa saling pandang sejenak, menyadari yang dimaksud Yaya pastilah teriakan Halilintar yang menyangka sudah kehilangan Taufan untuk selamanya.
"Nggak ada apa-apa," sahut Halilintar akhirnya. Pemuda itu lantas menatap robot kuning mungil yang barusan melayang ke sisi Taufan. "Ochobot, kita harus ke rumah sakit sekarang."
"Baiklah, aku mengerti."
Ochobot terbang menjauh sedikit. Hanya dalam beberapa detik, ia sudah membuka sebuah portal teleportasi.
"Aku sudah mengatur koordinatnya, tepat di depan Rumah Sakit Pulau Rintis," jelas Ochobot.
Halilintar memandang Gempa. Keduanya mengangguk pelan, bersiap untuk membawa Taufan.
"Ayo!"
Bersambung ...
Layaknya Cahaya Kecil; Heidy S.C. 2017©
BoBoiBoy; Animonsta Studios 2011-2016©
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top