Gempa: Yang Melindungi, Yang Dilindungi (1/2)

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Aku Gempa, bungsu dari tiga bersaudara. Kami terlahir kembar, dan sedari kecil telah mendapatkan anugerah Kuasa Elemen. Yah, sebagian kisah 'kepahlawanan' kami sudah diketahui orang-orang, khususnya para penduduk Pulau Rintis. Kami sudah terbiasa dengan itu.

Hanya saja ....

oO)-----------------♦-----------------(Oo


"Huwaaa ...!"

Teriakan itu membangunkan Gempa dari tidurnya di tengah malam buta. Suara teriakan yang begitu familier, membuat pemilik kekuatan elemen tanah itu segera bangkit dari ranjangnya. Setengah berlari, ia keluar dari kamar, menuju sumber suara. Sempat pula ia melewati kamar lain yang pintunya setengah terbuka, tepat di sebelah kamarnya sendiri. Kamar Taufan. Sepertinya Taufan pun mendengar teriakan tadi, lalu pergi ke tempat asal suara.

Gempa tiba di kamar berikutnya. Kamar paling ujung, di dekat tangga yang menuju lantai satu rumah ini. Sesuai dugaannya, Taufan sudah sampai lebih dulu. Namun, dilihatnya Taufan hanya berdiri diam, tampak ragu.

Beberapa langkah di hadapan Gempa, sosok itu duduk di ranjang dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya menumpu ke paha, terkepal. Gemetar, sama seperti seluruh tubuhnya saat ini. Napasnya pun tersengal. Baru saja Gempa berpikir untuk mendekat, Taufan sudah mendahuluinya.

"Hali?" Taufan memanggil pemuda yang berparas sama dengannya itu—yang juga sama persis dengan Gempa—pelan saja. "Halilintar? Kamu baik-baik aja?"

Gempa ikut mendekat ke sisi ranjang. Dilihatnya, Halilintar sempat tersentak kecil, sebelum akhirnya menyadari kehadiran orang lain di kamarnya.

"Mimpi buruk lagi?" tanya Taufan, sembari duduk di tepi tempat tidur.

Halilintar mengusap wajahnya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Seolah mencari ketenangan di tengah kekalutan.

"Sorry ... kalian jadi terbangun, ya?" ucapnya lirih.

Baik Gempa maupun Taufan bisa menangkap getaran samar dalam suara saudara mereka. Keduanya hanya saling pandang tanpa berkomentar.

"Kenapa aku ini?" Halilintar mendengus pelan, sinis. "Padahal sudah hampir lima tahun berlalu. Tapi setiap kali mendekati tanggal itu ... tetap saja ... aku ..."

Ucapan itu terputus. Halilintar kembali mengepalkan tangannya. Masih tampak gemetaran. Taufan yang melihat itu, refleks mengulurkan tangan. Namun, begitu ia menyentuh tangan Halilintar, pemuda itu tersentak dan langsung menepisnya.

"Jangan sentuh aku!" desis Halilintar. Dia mendongak, masih sempat bertatapan dengan sepasang bola mata biru milik Taufan yang berkaca-kaca. Masih sempat melihat ekspresi terluka di wajahnya. Namun, ketika detik bergulir, Taufan sudah mengganti ekspresi itu dengan sebuah senyuman.

"Sorry," Taufan berkata dengan nada tanpa beban. "Ya sudah, kalau begitu aku balik ke kamar. Kamu tidur lagi aja. Kamu juga, Gempa. Ini masih tengah malam, lho."

Dengan langkah ringan, Taufan beranjak. Meninggalkan Halilintar yang menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Hanya sekejap. Setelah itu, Halilintar menghela napas, lalu beralih menatap Gempa.

"Aku nggak apa-apa, 'kok," katanya.

Sama sekali tidak meyakinkan di telinga Gempa. Getaran itu jelas-jelas masih ada di dalam suara Halilintar. Alih-alih pergi, Gempa malah duduk di tepi ranjang. Digenggamnya tangan sang kakak dengan hangat. Meskipun sempat kaget, kali ini Halilintar tidak menolaknya.

"Boleh aku di sini sebentar?" pinta Gempa sambil tersenyum. "Hanya sampai kamu tertidur."

Halilintar menatap mata beriris keemasan yang selalu menyorot tulus, milik adik bungsunya itu. Bagaimana ia bisa menolaknya?

"Baiklah."



Kurang lebih setelah 15 menit lewat, barulah Gempa bisa meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega. Namun, setelah menutup pintu kamar, ia tersentak. Dilihatnya, Taufan duduk bersandar ke dinding di luar kamar Halilintar, tepat di samping pintu. Kakak keduanya itu tampak menyembunyikan wajah di antara kedua lengan yang memeluk lutut.

Nyaris tanpa suara, Gempa ikut berlutut di samping Taufan. Sama sekali tak ada respon. Gempa pun meraih bahu si penyuka warna biru itu. Lantas diguncangnya perlahan.

"Taufan?" Gempa coba memanggil. "Taufan, bangun."

Tak sampai 10 detik, akhirnya Taufan mengangkat kepalanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, dengan tatapan terarah kepada Gempa.

"Jangan tidur di sini," kata Gempa lagi. "Nanti kamu sakit."

"Gimana Hali?" satu pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut Taufan.

"Dia sudah tidur," jawab Gempa. "Ayo, balik ke kamarmu!"

Gempa berdiri sambil mengulurkan tangan. Taufan menyambutnya, lalu mengikuti tarikan tangan sang adik, hingga dirinya berdiri tegak. Baiklah, tidak benar-benar tegak. Gempa nyaris tertawa ketika membimbing Taufan yang terhuyung-huyung setengah mengantuk, supaya bisa kembali ke kamarnya sendiri dengan selamat. Sungguh pun kamar itu hanya beberapa langkah lagi jaraknya.

BRUK.

Taufan langsung menjatuhkan diri ke kasurnya. Sementara Gempa mengambil selimut yang entah kenapa terjatuh di lantai.

"Taufan, ini seli—"

Kata-kata Gempa terputus. Dilihatnya, kedua mata Taufan sudah terpejam. Napasnya tampak tenang, sementara tubuhnya terbaring miring dengan memeluk guling.

"Cepet banget," Gempa bergumam, tak pelak merasa geli.

Dengan hati-hati, Gempa menyelimuti Taufan yang sudah bertualang ke alam mimpi. Udaranya dingin juga malam ini. Begitu pikirnya, sembari beranjak. Kembali ke kamarnya.



Gempa meregangkan tubuh sejenak. Masih duduk saja di tepi ranjangnya sendiri. Di kamarnya sendiri. Bentuk dan ukuran kamar itu nyaris sama dengan kamar Halilintar maupun Taufan. Hanya saja, mereka mendekorasi kamar masing-masing sesuka hati.

Kamar Halilintar—selain dindingnya yang dicat gading—didominasi oleh warna merah dan hitam. Dua warna favorit sang empunya kamar. Dari perabot sampai seprei dan selimutnya. Kontras dengan kamar Taufan yang didominasi putih dan biru. Walaupun dindingnya sama-sama terulas warna gading.

Sama seperti kamar kakak-kakaknya, untuk cat dinding, Gempa memilih warna senada. Selebihnya, ia menata kamar dengan kombinasi warna cokelat keemasan dan sedikit hitam. Ia juga suka menambahkan merah di sana-sini untuk mencerahkan suasana. Kalau ada yang sama dari kamar mereka bertiga, maka itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan sepakbola. Dan juga ... sebuah foto.

TREK.

Foto berpigura kayu itu berpindah ke tangan Gempa dari posisinya semula di atas meja. Tepatnya, meja kecil di samping ranjang. Di situ juga ada lampu meja yang selalu dinyalakan Gempa menjelang tidur, menggantikan cahaya lampu kamarnya yang benderang. Satu lagi kebiasaannya yang sama dengan kedua kakaknya.

Gempa menghela napas. Iris hazel-nya bergerak menyapu sosok-sosok di dalam foto itu satu-persatu. Paling kiri, Halilintar kecil dengan jaket dan topi hitam-merah berlogo petir favoritnya. Anak itu tampak bersedekap. Tidak mau menatap kamera. Sama sekali tak mau tersenyum. Di tengah, ada Taufan kecil dengan jaket dan topi biru-putih bersimbol elemen angin. Entah apa maksudnya, dia mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi sambil tertawa. Paling kanan adalah Gempa kecil, dengan jaket dan topi cokelat-kuning-hitam, plus logo elemen tanah khasnya. Dibandingkan pose kedua kakaknya yang 'aneh-aneh', Gempa tampak paling normal dengan satu senyum cerah di wajah.

Lalu, di belakang mereka ada sang kakek, Tok Aba. Beliau tampak tersenyum lembut. Tangan kanannya menyentuh bahu kanan Halilintar, sedangkan tangan kirinya ditempatkan pada bahu kiri Gempa. Tak jauh di samping kiri Tok Aba, tampak melayang tenang, robot bulat kecil berlengan dan berwarna kuning, dengan layar biru yang berfungsi sebagai mata. Dialah Ochobot, Sfera Kuasa yang telah memberikan kekuatan elemental kepada ketiga bersaudara itu.

Nyaris tanpa sadar, Gempa tertawa kecil. Masih jelas di dalam ingatannya, foto itu diambil sekitar lima tahun silam. Tak lama setelah ia memperoleh kekuatan sejatinya sebagai penguasa elemen tanah. Orang-orang di sekitar mereka menyebutnya 'kekuatan tingkat dua'. Yang pertama kali mampu membangkitkan kekuatan itu adalah Halilintar. Kemudian, disusul Taufan. Lalu, Gempa yang terakhir.

Waktu itu kami masih baik-baik saja.

Tiba-tiba pikiran itu mengisi benak Gempa. Seketika, senyum terhapus dari bibirnya. Perih menyanyat hati tatkala sudut terpencil nuraninya membisikkan, mungkin juga tidak. Sebentuk rindu merayapi kalbu. Dengan cepat mencengkeram, menyesakkan dada. Gempa menarik napas dalam-dalam, berharap menemukan kelegaan.

Namun, percuma.



Gadis berkerudung merah jambu itu mengetuk pintu rumah Tok Aba sambil mengucapkan salam dengan sopan. Tak perlu menunggu lama, terdengar jawaban dari dalam rumah. Lalu, seseorang membuka pintu.

"Gempa, selamat pagi!" sang gadis menyapa sambil tersenyum ramah.

Di hadapannya, Gempa balas tersenyum. "Pagi, Yaya."

Yaya—gadis berkerudung itu—mengintip sejenak ke dalam rumah. "Kok sepi?"

"Atok dan Ochobot sudah berangkat ke kedai," jawab Gempa. "Aku dan yang lain lagi sarapan."

"Oh ... Sorry, aku ganggu, ya?" Yaya menampakkan raut menyesal di wajahnya. "Kayaknya aku kepagian, deh. He he he ..."

Tawa riang Yaya terhenti. Dilihatnya Gempa menutupi mulutnya dengan tangan kanan, lalu menguap tertahan. "Tumben kamu masih ngantuk. Semalam habis begadang?"

"Mm? Nggak, sih ... Cuma agak susah tidur."

Mulut Yaya spontan membentuk huruf "O". Meskipun begitu, ia sempat melihat mendung di wajah Gempa. Hanya sekejap. Lama berteman dengan Gempa dan kedua saudaranya, membuat Yaya mengerti bahwa ada sesuatu yang lain. Entah apa. Yang jelas, gadis itu juga paham, Gempa tidak ingin membicarakannya.

"Oh, ya ... Taufan mana, nih?" Yaya bertanya. "Kita 'dah janjian."

"Sebentar, aku panggilkan."

Gempa membiarkan pintu depan itu tetap terbuka, lalu kembali ke dalam rumah. Baru dua-tiga langkah, ia melihat sesuatu meluncur cepat dari ujung teratas anak tangga di lantai dua. Langsung ke arahnya!

"Taufan! Jangan pakai hoverboard di dalam rumah!" Gempa memprotes dengan nada penuh tekanan.

Taufan baru saja mengendarai angin dengan hoverboard bergradasi biru kesayangannya. Lalu mendarat mulus tepat di samping Gempa. Bukannya menyesal sudah membuat adiknya yang penyabar sampai marah-marah, Taufan malah tertawa.

"Sorry, buru-buru, nih!" Taufan menenteng hoverboard-nya di tangan kanan, sembari menghampiri Yaya. "Duluan, ya! Ayo, Yaya!"

Taufan langsung beranjak. Gempa cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakaknya. Untung masih ada Yaya yang ingat untuk mengucapkan salam dan berpamitan dengan sopan, sebelum pergi menyusul Taufan.

Tanpa disadari siapa pun, bersamaan dengan semua keributan kecil itu, Halilintar juga berada tak jauh dari sana. Tadinya ia sedang naik ke lantai dua, tetapi kemudian terhenti di tengah-tengah. Bola matanya yang semerah batu delima terpaku kepada sosok Yaya, yang sebentar kemudian sudah tak tampak lagi.

"Hali? Sudah selesai sarapannya?"

Halilintar tersentak. Tahu-tahu Gempa sudah berjalan mendekati tangga, dan ia terlambat menyadarinya.

"Hm," sang penguasa elemen petir menyahut. "Aku mau ambil tas di kamar. Mau kuambilkan punyamu sekalian?"

"Boleh," Gempa menerima tawaran sang kakak dengan senang hati. "Aku mau beresin meja makan dulu. Nanti kita berangkat bareng ke sekolah, 'kan?"

"Iya."



Berangkat sekolah berdua saja dengan Halilintar mungkin bukan ide yang bagus. Kalau ada Taufan, setidaknya suasana akan lebih ceria. Walaupun sudah hafal sifat Halilintar di luar kepala, tetap saja Gempa bingung bagaimana harus memulai pembicaraan.

Gempa ingin mengobrol. Jarak sekolah mereka memang tidak jauh-jauh amat, tapi masa' iya harus diam-diaman sepanjang perjalanan? Apalagi ada hal yang saat ini sangat mengganggu pikiran Gempa. Bagaimanapun juga, ia harus menanyakannya kalau tidak mau terus kepikiran!

"Apa sih, Gempa?" tiba-tiba Halilintar memecah kesunyian setelah sempat menghela napas.

"Eh? Apanya?" kaget Gempa.

Halilintar menatap adiknya sejenak, sementara mereka terus menyusuri jalan menuju sekolah. "Kalau ada yang mau diomongin, bilang aja."

"Ng ... Nggak, 'kok." Gempa menunduk satu-dua detik, lalu kembali fokus ke jalanan di depan. "Hali ... Taufan itu ... barengan sama Yaya karena tugas. Yaya Wakil Ketua OSIS, dan Taufan ditunjuk jadi perwakilan kelas untuk bantuin Yaya. Buat event hari jadi sekolah kita. Tinggal dua bulan lagi, 'kan?"

Alis Halilintar terangkat sejenak. "Aku tahu."

"Terus ... kenapa kamu cemburu?"

"Hah?" Halilintar cepat berpaling ke arah Gempa, yang pada saat itu juga sedang menengok ke arahnya. "Siapa yang cemburu?"

"Aku lihat, 'kok. Tatapan mata kamu ke Yaya tadi aneh."

"Kamu salah lihat."

Ingin sekali Gempa membantah lagi bantahan Halilintar yang terlalu cepat terlontar itu. Namun, ia menahan diri. Percuma mendesak Halilintar, mengingat dia baru saja menyangkal sampai dua kali. Meskipun begitu, Gempa spontan teringat kejadian singkat di rumah tadi. Yah ... Halilintar memang nyaris selalu punya 'aura menakutkan' yang menyelimuti dirinya. Tapi Gempa bisa tahu ketika sang kakak benar-benar merasa tidak senang atas sesuatu.

"Hali ... Kamu suka Yaya?"

Gempa baru menyadari kalimatnya sendiri ketika sudah telanjur terucap. Sunyi yang hadir setelah itu, membuatnya merasakan ketegangan mendadak.

"Anu ... Maksudku ... kalau memang suka, sebaiknya kamu terus terang ke Yaya." Gempa tidak berani menoleh untuk melihat raut wajah Halilintar saat ini. Diamnya sang kakak sudah cukup horor baginya. "Menurutku begitu sih, tapi ... itu terserah padamu. Sorry, aku nggak bermaksud ikut cam—"

SET.

Gempa terdiam ketika merasakan tekanan ringan di bagian atas kepalanya. Ia menoleh dan mendapati tangan Halilintar tengah terulur, mengacak topinya sampai berantakan.

"Kamu mikirnya kejauhan, Gempa."

Halilintar tersenyum sangat samar, lalu mempercepat langkah. Di belakangnya, Gempa membenahi topinya kembali, baru kemudian menyusul sang kakak.



PLAK!

"Kenapa, Hali?" Gempa bertanya heran ketika melihat Halilintar tiba-tiba menepuk bagian belakang lehernya sendiri.

"Nggak tahu, nih. Kayak ada yang gigit ..."

"Hm? Mana, lihat! Jangan-jangan serangga berbahaya ..."

Halilintar menyingkirkan tangan kanannya dari belakang leher. Dibiarkannya Gempa memeriksa bagian itu dengan cermat.

"Nggak ada bekas gigitan, bentol, atau ruam," kata Gempa kemudian.

"Sudahlah. Paling-paling semut atau nyamuk."

Halilintar mengangkat bahu. Ia pun meneruskan langkah ke gerbang sekolah mereka yang tinggal beberapa langkah lagi. Gempa segera menyusul. Papan nama sekolah sempat tertangkap oleh matanya. Sepertinya baru saja dicat ulang. Tulisan hitam "Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Rintis" terpampang jelas dengan dasar putih bersih.

Tak butuh waktu lama, Gempa dan saudaranya sampai di kelas mereka. Kelas X-A. Saat menaruh tas sekolah di mejanya, dia mendengar percakapan menarik dari meja di depannya.

"Eeh ...? Serius? Taufan ditampar sama Yaya?"

"Beneran! Masa' aku bohong?"

"Salah lihat, mungkin?"

"Enggak, 'kok! Serius!"

Gempa duduk di bangkunya dengan kening berkerut. Saking serunya bergosip, dua siswa di depan tampaknya tak menyadari kehadiran dirinya.

"Hei! Pagi-pagi 'dah ngegosip!" tegur Gempa.

"Huwaa ... Gempa! Sejak kapan kamu di situ?!" Salah satu siswa nyaris terlonjak kaget.

"Sejak tadi, 'kok."

"Ini bukan gosip! Emangnya kami biang gosip kayak cewek-cewek? Aku ini saksi mata, tahu!" siswa satu lagi menyahut sembari menepuk dada.

Gempa menaikkan sebelah alisnya. Mau tak mau jadi penasaran juga. "Kapan dan di mana kejadiannya?"

"Barusan, di depan gerbang sekolah!" siswa yang mengaku sebagai 'saksi mata' itu bicara dengan antusias. Tanpa sadar, beberapa murid ikut mendekat. Bahkan bergabung ke dalam percakapan.

"Gempa, memangnya mereka pacaran?"

"Iya, nih. Sejak kapan?"

"Kok nggak bilang-bilang?"

Gempa menemukan tahu-tahu belasan pasang mata menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Aku nggak tahu apa-apa. Sungguh. Taufan nggak pernah bilang apa-apa. Yaya juga." Gempa memandang berkeliling. "Mungkin ini semua cuma salah sangka ..."

"Eeeeeh ... Gempa! Kamu pasti berkomplot nyembunyiin sesuatu, 'kan?"

Seberapa kuat pun Gempa menyangkal, teman-teman sekelasnya tetap tak percaya. Terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Gempa sampai bingung bagaimana harus menjawabnya.

"Berisik!"

Tiba-tiba suara Halilintar terdengar, membekukan nyaris semua teman sekelasnya yang telanjur membuat keributan kecil itu. Semua mata seolah tersihir memandang ke arahnya. Lantas terintimidasi oleh sorot netra ruby yang seolah bisa memotong mereka hidup-hidup. Sungguh pun Halilintar tidak pernah punya maksud begitu.

"Kalau segitu penasarannya, tanyakan langsung sana ke orangnya. Jangan bikin gaduh di sini!"

Mungkin Gempa harus berterima kasih kepada Halilintar yang sukses membuat teman-teman sekelas mereka membubarkan diri satu per satu. Yah ... walaupun suasana jadi sedikit canggung setelah itu. Halilintar sendiri kelihatan tidak peduli, sementara Gempa cuma bisa tertawa kering dengan ekspresi ragu.

Jam dinding menunjukkan waktu masuk kelas tinggal 5 menit lagi. Diam-diam Gempa melirik ke arah Halilintar, yang duduk berseberangan meja dengan dirinya. Membatin, apa benar dia tidak peduli? Entah soal 'ditampar' tadi, atau soal dugaan bahwa Taufan dan Yaya berpacaran. Sejujurnya, Gempa tidak yakin berita—atau gosip—itu benar. Akan tetapi, tetap saja ... apa yang tidak mungkin di dunia ini?



Gempa masih tinggal sendirian di dalam kelas karena harus mengikuti pelajaran tambahan matematika. Agak memalukan, ia seorang yang gagal di ujian mendadak yang diadakan gurunya tadi. Yaya mendapat nilai sempurna seperti biasa. Halilintar secara mengejutkan berhasil lolos dengan nilai cukup bagus. Tepatnya 75. Bahkan Taufan juga 'aman' walau dengan nilai mepet. Dan nilai Gempa merah, sampai-sampai ia tak ingin mengingat berapa tepatnya.

Kalau dalam keadaan biasa, Gempa cukup yakin, bisa mendapatkan hasil yang lebih baik daripada Halilintar. Namun, entah mengapa, rasanya hari ini dirinya sulit sekali untuk fokus. Mungkin gara-gara semalam tidak bisa tidur sampai menjelang subuh.

"Gempa, sudah selesai?"

Gempa nyaris tersentak ketika ibu guru matematika berkacamata itu tiba-tiba menegurnya.

"Iya, sudah, Cikgu," jawab Gempa, sembari menyerahkan kertas jawaban ujian ulangannya kepada sang guru paruh baya itu.

"Sepertinya hari ini kamu sering melamun," guru itu melanjutkan. "Cikgu perhatikan sejak jam pelajaran matematika tadi juga seperti itu."

Gempa hanya menunduk.

"Kamu sakit?" Pertanyaan ini membuat Gempa spontan menggeleng. "Atau sedang ada masalah di rumah?"

Kali ini Gempa terdiam dua-tiga detik. "Maafkan saya, Cikgu. Lain kali tidak akan terulang."

Sang guru tersenyum lembut penuh pengertian. "Ya sudah. Kamu boleh pulang. Hasil ujiannya akan Cikgu berikan besok."



"Gempa!"

Seruan itu menghentikan langkah Gempa yang masih setengah perjalanan menuju gerbang. Ia berbalik, dan mendapati Yaya sedang berlari ke arahnya. Pemuda beriris keemasan itu mengerutkan kening, demi melihat Yaya yang tidak datang dari dalam gedung sekolah, melainkan dari arah halaman samping.

"Yaya? Ada apa?" tanya Gempa begitu gadis berhijab merah muda itu sampai di dekatnya. "Kamu 'kok kayak panik gitu?"

"Gawat! Gawat banget, Gempa ...!"

"Hei, tenang dulu, oke? Coba tarik napas ... terus bilang, ada apa?"

Yaya mengikuti kata-kata Gempa. Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Mulut gadis itu sudah mulai terbuka untuk menghantarkan berita yang dibawanya. Namun, mendadak terhenti. Gempa semakin heran ketika melihat sepasang iris cokelat itu berkaca-kaca, seolah pemiliknya sedang menahan kata-kata yang sulit untuk disampaikan.

"Yaya—"

"Gempa," Yaya menyela, akhirnya punya keberanian untuk bicara. "Halilintar dan Taufan ... Mereka ...!"


Bersambung ...

Layaknya Cahaya Kecil; Heidy S.C. 2017©

BoBoiBoy; Animonsta Studios 2011-2016©

====================================================

Author's Corner


Hai, BoBoiBoy-Lovers~! Siapa penggemar Gempa di siniii? \(^o^)

Dua bagian pertama akan berpusat pada Gempa. Tapi tetap ditulis pakai sudut pandang orang ketiga. Kalau yang di awal itu, anggaplah Gempa lagi curhat. :3 *plok*

Mmm ... Seperti yang kubilang di Prolog, karakter di sini ngikutin dari BoBoiBoy lama. Meskipun timeline-nya kira-kira 5 tahun setelah kejadian debutnya Halilintar. Sekali lagi, lupakan Galaxy. Lagipula, sampai fanfic ini ditulis, kuasa tingkat dua BoBoiBoy belum muncul di Galaxy. ._.

Anyway~bab pertama ini drama banget nggak, sih? Ha ha ha ... XD

Maafkan daku kalau enggak ada action-nya sama sekali. Belum. Nanti pasti ada, 'kok. Tungguin aja, yah~

Sampai jumpa di bab berikutnya~! :3


Solo, 22 Juli 2017

Heidy S.C.


* Mulmed:
Fanart BoBoiBoy Gempa by Aruella.

Link:

http://www.imgrum.org/media/1241419856406777180_1443583970

Kalian juga bisa kunjungi Instagram dan DevianArt Aruella untuk melihat gambar-gambarnya yang luar biasa indaaah~! >///<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top