Epilog

"Hei ... Hali!"

"Hm?"

"Haalii ..."

"Hmmm?"

"Hali, Hali, Haliii ..."

"Apa, Taufan?!"

Halilintar akhirnya mengalihkan perhatian dari segala pekerjaan, demi menghentikan sang adik yang sejak tadi terus mengganggunya. Padahal dia sedang fokus menghias cokelat panas dalam cangkir, berusaha supaya bisa semirip mungkin dengan minuman cokelat panas istimewa kedai Tok Aba. Bukan hal yang mudah bagi Halilintar, dan sejauh ini dia baru berhasil menyelesaikan cangkir kedua.

"Sebaiknya kau punya alasan yang bagus untuk menggangguku!" Halilintar menatap galak, tetapi tak digubris oleh sang adik.

"Itu ... Cokelatnya belum dikasih gula," kata Taufan sambil cengar-cengir. "Aku lupa."

Halilintar terdiam, tampak kaget. Untuk beberapa detik dia tidak bereaksi. Sampai akhirnya sepasang mata beriris merah delima itu melebar.

"KENAPA BARU BILANG SEKARANG?! AAARGH—!"

"Salah sendiri," Taufan tetap santai menghadapi kakaknya yang marah-marah, "dari tadi kupanggil nggak nyahut—"

"Aku sudah menyahut!" Halilintar memandang adiknya dengan tatapan menuntut.

"Apaan? Cuma 'hmm' gitu," kata Taufan. "Panggil namaku, dong ..."

"Iikh—!"

Serius ... saat ini, detik ini juga, Halilintar ingin sekali menjitak kepala adiknya keras-keras. Biar otaknya agak bener sedikit. Tapi melihat Taufan yang kemudian tersenyum lebar, hatinya langsung luluh. Sampai beberapa waktu lalu, senyum Taufan yang dilihatnya tidak pernah secerah ini. Setulus ini. Senyum yang benar-benar dari hatinya.

Mana mungkin Halilintar tega membuat senyum itu terhapus?

"Terus gimana sekarang ... Taufan?" Halilintar mendesah lelah, setengah mengeluh. "Aku sudah telanjur menghiasnya."

"Ya udah, buang aja bagian atasnya. Tambahin gula, aduk, baru dihias lagi. Gampang, 'kan?"

Gampang dari Hongkong?!

Halilintar benar-benar harus menahan diri supaya tidak mengamuk sekarang.

"Oke ... Terus, gulanya mana?"

Taufan tersentak kecil, lalu celingukan. Diedarkannya pandang ke tikar yang terhampar rapi di rerumputan. Sudah jelas tidak ada di sana. Dipandangnya meja lipat kecil tempat Halilintar berkutat dengan cokelat panas sejak tadi. Hanya ada termos berisi cokelat panas—tanpa gula, beberapa cangkir dan sendok, juga bahan-bahan untuk membuat topping.

Taufan kembali memandang sang kakak, dengan senyum lebar andalannya. "Lupa, nggak kubawa."

Baiklah. Lupakan yang tadi. Anak ini benar-benar harus dijitak!

"Halii ... Jangan serem-serem gitu dong, mukanya." Taufan masih cengengesan. "Lagian ... topping yang kamu bikin itu berantakan, tahu! Udah, bikin ulang aja—Huwaa!"

Listrik berkilat-kilat tercipta di tangan Halilintar dalam bentuk petir kecil. Warnanya—tidak seperti biasa—kuning menyala. Barusan sudah langsung dilempar ke arah Taufan, yang bisa menghindar dengan gesit. Petir kecil berikutnya sudah siap menyusul.

"Hali, apaan, sih! Bahaya!" seru Taufan dengan nada memprotes, sebelum pusat perhatiannya teralih kepada hal lain. "Tumben ngeluarin Keris Petir lagi. Masih bisa, ternyata, ya ...?"

Ya iyalah, bisa pakai banget! Selama ini pun, Halilintar tidak pernah mengeluarkan jurus itu lagi hanya karena kekuatan serangnya terlalu lemah. Tidak akan terlalu berguna—khususnya—di dalam pertempuran.

"Apa?" Halilintar menyahut ketus, masih marah rupanya. Tapi kemudian, ia malah melenyapkan kembali satu Keris Petir yang masih ada di tangan. "Kau lebih suka kulempari Bola Kilat?"

"Nggak, makasih." Taufan tertawa garing. "Lagian, Keris Petir lebih cocok sama bajumu sekarang."

Halilintar memutar bola matanya mendengar kalimat asal sang adik. Tapi, gara-gara ucapan itu, dia jadi terpikir lagi soal baju baru yang sedang dikenakannya. Untuk 'acara istimewa' hari ini, dia dan adik-adiknya sengaja mengenakan sesuatu yang berbeda. Taufan yang membelinya, sebagai 'hadiah' untuk merayakan hari ini.

"Apa ini?"

"Hadiah dariku. Kalian pakai ya, buat acara nanti!"

"Tapi—"

"Iya, iya, tahu. Sengaja kupilihkan warna-warna yang lebih cerah buat kamu dan Gempa. Habis, warna pakaian kalian selama ini gelap-gelap terus, sih! Biar lebih ceria, gitu ... hehehe ..."

"... Terserah kamulah, Taufan."

Begitulah percakapan kecil antara Halilintar dan Taufan pagi tadi, ketika mereka masih heboh mempersiapkan acara 'piknik' di tempat ini. Bukit kecil kesayangan mereka ini. Akhirnya Halilintar menerima baju serba kuning terang pemberian Taufan—termasuk topi—yang sekarang dipakainya. Penampilan yang bisa dibilang 'kembaran' dengan pilihan Taufan untuk dirinya sendiri, kecuali warnanya yang serba biru.

"Kalian belum selesai juga di sini?"

Halilintar dan Taufan mendadak dikejutkan oleh suara yang sangat familier. Suara siapa lagi kalau bukan Gempa? Dia baru saja datang membawa keranjang bambu, yang mereka tahu berisi makanan. Sama seperti kedua saudaranya, Gempa juga mengenakan pakaian senada, tetapi berwarna cokelat terang.

Satu hal yang disukai Halilintar dari pakaian baru ini, yaitu lambang elemen yang sengaja dipesan khusus oleh Taufan sejak beberapa hari sebelumnya. Ia juga menyukai aksesoris-aksesoris pelengkap pakaiannya. Ada ikat pinggang, merah untuknya, hitam untuk Gempa, dan putih untuk Taufan. Juga armband, hitam untuknya, merah untuk Gempa, dan biru muda untuk Taufan. Halilintar bahkan sangat menyukai armband miliknya yang dihiasi logo elemen petir, agak berbeda dengan armband polos milik Taufan dan Gempa. Terlihat keren.

Apa itu cara Taufan untuk menyenangkan hati sang kakak? Bisa jadi.

Ada lagi. Untuk bawahan, Taufan sepertinya sengaja memilih celana jeans kelabu yang sama persis untuk mereka bertiga. Entah kenapa, Halilintar justru sangat menyukai ide itu. Rasanya seperti menegaskan, bahwa mereka memang sangat berbeda, tetapi tetap satu.

Yah ... Intinya, di antara ketiga bersaudara, Halilintar—harus—mengakui, selera fashion Taufan memang yang paling bagus. Dan dia puas dengan pilihan anak itu.

"Gempaa ... Hali tuh, galak banget sama akuu ..."

Ucapan Taufan yang sengaja dimanja-manjakan membuat Halilintar memutar bola matanya lagi.

"Kakakmu, tuh!" Halilintar ikut mengeluh pada adik bungsunya. "Harusnya dia yang bertanggung jawab membuat cokelat panas, dan aku yang menghiasnya. Tapi malah nggak dikasih gula sama dia. Baru bilang waktu sudah aku kasih topping, lagi! Ngeselin, 'kan?"

"Ya sudah," Gempa berkata dengan tenang sambil meletakkan keranjang bambu di atas tikar. "Kan bisa diperbaiki. Aku bawa gulanya, kok."

Gempa mengeluarkan toples kaca kecil berisi gula pasir. Lantas meletakkannya di atas meja kecil. Saat itulah, Halilintar dan Taufan baru menyadari kehadiran seorang lagi, yang sejak tadi berada di belakang Gempa. Ialah seorang gadis berhijab yang penampilannya selalu didominasi warna merah muda.

"Oh! Hai, Yaya!" sapa Taufan dengan senyum cerianya. "Aku senang kamu jadi ikut!"

"Sebenarnya ... aku nggak enak mengganggu acara pribadi kalian." Yaya terlihat sedikit canggung. "Tapi, waktu aku masih bingung, tiba-tiba Gempa menjemputku. Jadi ..."

Yaya tak melanjutkan ucapannya. Sementara Taufan malah tertawa.

"Iyaa ... Gempa jemput kamu ... itu karena Hali yang suruh." Taufan menatap kakak sulungnya dengan tatapan jahil. "Hali pengin banget ada kamu di sini—"

"TAUFAN!"

"Aduh!"

Taufan agak terkejut ketika Halilintar tiba-tiba meninju pelan lengan kiri atasnya. Terasa sedikit kejutan listrik. Tapi kemudian Taufan tertawa, bersamaan dengan Halilintar yang mengalihkan pandang dengan wajah merah. Reaksi spontan Halilintar tadi justru mempertegas bahwa ucapan Taufan benar adanya.

"Sudah, sudah," Gempa menengahi. Setengahnya dia merasa kasihan kepada Yaya yang juga terlihat sangat salah tingkah, dengan wajah tertunduk merona. "Kalian ini main-main terus. Malu, tahu ... ada Yaya."

Sambil bicara, Gempa mulai mengeluarkan isi keranjang bambu yang berukuran cukup besar itu. Perhatian pun teralihkan. Yaya, Taufan, dan Halilintar akhirnya ikut menata isi keranjang di atas tikar.

"Waah ... Gempa! Ini semua kamu yang buat?" Taufan memandangi makanan yang tergelar di hadapannya dengan mata berbinar.

Memang, Gempa berangkat belakangan untuk mempersiapkan makanan lebih dulu di rumah. Namun, kedua saudaranya tak menyangka akan mendapatkan sajian seperti ini.

Sandwich berisi sayuran segar dan daging, chicken nugget dengan saus tomat, pie stroberi mini, dan masih ada dua jenis makanan kecil berhias indah yang entah apa namanya.

"Nggak kebanyakan ini?" tanya Halilintar.

"Kan masing-masing kubuat pas untuk empat orang," kata Gempa. "Ah, ditambah satu untuk Tok Aba di rumah."

"Iya ... tapi macamnya banyak banget, Gempa ..."

"Hehehe ..." Gempa tertawa kecil menanggapi perkataan kakak sulungnya. "Sorry ... habisnya ... aku keterusan mencoba beberapa resep dari buku resep pemberianmu. Semua resepnya menarik, sih ..."

Halilintar tersenyum samar. Sepemikiran dengan Taufan, dia juga ingin memberi sesuatu untuk kedua adiknya. Untuk Gempa, kemarin ia menghadiahkan sebuah buku resep makanan kecil rumahan, yang ia tahu sang adik sangat menginginkannya. Halilintar sangat senang ketika Gempa terlihat gembira menerima hadiahnya waktu itu.

"Hali, makasih! Aku memang pengin banget buku resep ini!"

"Hm."

"Aku nggak dikasih hadiah, nih?"

"Hm? Untuk Taufan ... nih, tadi aku sekalian beli di toko buku. Paket latihan soal-soal matematika kelas X SMA, lengkap."

"Eeeeeh? Kok malah buku soal, siiih ...?"

"Nilaimu anjlok, tahu!"

"Kan aku habis sakiit ..."

"Makanya, kubelikan ini. Biar kamu banyak latihan soal."

"Gempaa ... Hali jahat!"

Halilintar kembali tersenyum tipis ketika mengingat Taufan yang sempat uring-uringan waktu itu. Tapi tak lama kemudian, anak itu masuk ke kamarnya dan langsung menemukan kejutan di sana. Halilintar masih ingat, saat itu Taufan turun lagi menemuinya yang masih di ruang keluarga bersama Gempa. Anak itu langsung memeluk Halilintar karena begitu bahagianya dengan 'hadiah sebenarnya' dari sang kakak.

Sebuah skateboard baru yang sudah lama diidamkannya.

Halilintar tahu, skateboard yang biasa dipakai Taufan untuk kegiatan klub sudah usang. Dia juga tahu, Taufan sedang menabung untuk membeli yang baru. Harusnya uang tabungan itu sudah cukup. Tapi Taufan menunda untuk membelinya, karena ada barang lain yang diinginkannya. Halilintar menduga, 'barang lain' itu adalah ketiga pakaian baru untuknya, Gempa, dan Taufan sendiri.

"Nah! Semua makanan ini hadiah dariku untuk kalian," kata Gempa kemudian sambil tersenyum, disambut tiga ucapan terima kasih yang membuat senyum itu semakin cerah.

"Oke. Kalau begitu, kuurus dulu cokelat panasnya."

Halilintar mendekati meja kecil. Dua cangkir cokelat yang sudah telanjur dibuatnya itu masih panas. Sang pemilik iris merah delima menghela napas, masih tak rela harus 'menghancurkan' lagi hasil karyanya.

"Yang dua ini buatku saja." Tiba-tiba Taufan sudah ada di seberang meja. Didekatkannya kedua cangkir ke arahnya. "Kamu bikin tiga lagi aja buat kamu, Gempa, dan Yaya."

Taufan mengambil sebuah sendok, lalu mengambil gula dari toples. Satu sendok penuh gula langsung dimasukkannya begitu saja ke masing-masing cangkir. Lantas diaduknya salah satu cangkir dengan santai, walaupun itu berarti merusak topping-nya.

"Nanti kalau sudah masuk ke perut juga bakal hancur," pemuda beriris safir itu berkata asal ketika mendapati Halilintar memandanginya. Diikuti satu senyum lebar. Lalu, dengan cueknya, Taufan membawa kedua cangkir cokelat yang sudah diklaim sebagai miliknya, ke dekat tempat duduknya di atas tikar.



"Aku baru tahu lho, ada surga kecil seindah ini di Pulau Rintis!" Yaya berkata sambil meminum cokelat panasnya sedikit. Dia dan si kembar tiga sudah duduk santai di atas tikar, terlindung teduhnya pepohonan, serta dikelilingi makanan dan minuman. "Tapi aku agak bingung juga waktu tiba-tiba diundang ke acara piknik kalian."

Yaya diam sejenak sambil mengulas senyum hangat. "Peringatan hari 'perkenalan' dengan Pulau Rintis, ya ... Ada-ada aja sih, kalian."

Halilintar, Taufan, dan Gempa saling melempar pandang. Masing-masing tersenyum dengan cara khas masing-masing.

"Ini hari yang penting buat kami," kata Taufan. "Dulu kami juga sempat merayakannya beberapa kali. Sampai kejadian lima tahun yang lalu ..."

Taufan tidak melanjutkan kata-katanya, menyadari pembicaraan memasuki wilayah yang sensitif. Benar saja, dilihatnya raut wajah Halilintar menggelap.

"Tapi ... beneran, nih ... aku nggak ganggu?" Yaya berkata lagi, mengalihkan suasana yang berubah jadi agak canggung tadi.

"Nggak, lah!" Taufan kembali memamerkan senyum lebarnya. "Kan sudah kubilang, Hali seneng banget kamu ikut."

Taufan hanya cengar-cengir saat Halilintar mendelik padanya.

"Aku dan Taufan juga senang ada kamu di sini, Yaya," sambung Gempa. "Eh, ini malah ngobrol aja. Ayo dong, sambil dicoba makanannya."

Pembicaraan pun kembali mengalir di tengah-tengah acara piknik menyenangkan yang penuh makanan enak itu. Taufan sempat menyinggung kejadian dua minggu lalu di Pulau Terapung. Sejak dirinya berada di rumah sakit, baik Halilintar maupun Gempa sama sekali tidak membicarakannya. Mungkin mereka masih trauma, entahlah.

Bukannya Taufan senang membicarakan kejadian yang nyaris merenggut nyawanya itu. Dia hanya penasaran. Sebagian kejadian setelah dirinya tak sadarkan diri saat itu, sudah didengarnya dari Gempa. Dia memilih tidak bertanya kepada Halilintar, karena dia tahu, semua yang terjadi di pulau itu telah membuat kakaknya sangat terpukul.

Tapi, dia berpikir, sekarang adalah saat yang tepat untuk mencoba melawan trauma itu. Karena sekarang, semuanya sudah baik-baik saja, bukan?

"Omong-omong, gimana caranya kamu waktu itu bisa menyelamatkan Ochobot, Yaya?" Ini juga salah satu hal yang sangat menggelitik rasa ingin tahu Taufan. "Kamu bisa mengalahkan Mega Probe dan Adu Du sendirian? Hebat!"

Yaya hanya tersenyum. Pada akhirnya ia tidak menjelaskan apa-apa, selain bahwa Ochobot sedikit membantunya dengan kuasa teleportasi. Obrolan setelah itu beralih ke hal-hal ringan dan canda tawa. Penuh kegembiraan dan kehangatan.



Waktu terasa mengalir cepat sore ini. Tahu-tahu satu jam lebih telah berlalu. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Yang jelas, Gempa sangat senang, semua hasil masakannya dipuji enak. Tak ada yang tersisa.

"Hei! Kita foto-foto, yuk!" Tiba-tiba Taufan sudah menyiapkan sebuah kamera digital. "Yaya! Ayo, kita cari lokasi yang bagus! Biar Hali dan Gempa yang beres-beres."

"Taufan!"

Taufan sudah menarik Yaya menjauh, menghindari kekesalan Halilintar.

"Dasar anak itu!"

Meskipun bersungut-sungut, Halilintar turun tangan juga membantu Gempa membereskan tikar, peralatan makan, dan yang lainnya.

"Taufan kelihatannya senang sekali," komentar Gempa. "Sepertinya dia sudah sehat, ya?"

Halilintar mendengus kecil. "Tapi sifat jahilnya makin parah!"

Gempa tertawa. "Dan dia jadi manja padamu. Rasanya, dia senang sekali setiap mendengar namanya dipanggil olehmu."

"Ya ... gara-gara itu dia jadi terus-terusan menggangguku!"

Meskipun berkata begitu, sorot mata Halilintar melembut. Bibirnya bahkan dihiasi satu senyum tipis. Kali ini Gempa tidak berkomentar. Sampai acara beres-beres selesai, dan Taufan tiba-tiba berlari menghampiri mereka.

"Dah selesai beres-beresnya?" Taufan tersenyum sangat cerah, hampir mencurigakan. "Hali! Dipanggil Yaya, tuh!"

Halilintar mengerutkan kening. Ditatapnya Taufan dengan curiga. "Ada apa?"

"Mana kutahu?" Taufan mengangkat bahu. "Eh, tapi ... kalau mau nembak Yaya, ini momen yang pas, lho!"

Halilintar merona spontan.

"Kamu belum pacaran, 'kan, sama Yaya?" kata Taufan lagi.

"Kamu pikir, Yaya mau diajak pacaran?" Halilintar balik bertanya. Wajahnya masih tampak merah.

"Benar juga, ya ..." Taufan tampak berpikir sejenak. "Paling-paling langsung ngajak nikah. Minimal ta'aruf—"

"Taufan!"

Entah sudah berapa kali hari ini Halilintar menyerukan nama itu dengan nada jengkel. Sementara yang bersangkutan malah tertawa. Kali ini bahkan Gempa juga ikut tertawa kecil.

"Udah, sana!" Taufan berkata kemudian. "Nanti Yaya ngambek, lho!"

Dengan hati masih bertanya-tanya, Halilintar pergi juga menghampiri Yaya yang sedang berdiri di bawah pohon rindang. Gadis itu tampak cantik, tengah memandang kalem ke laut lepas.

"Hehe ..."

Entah memikirkan apa, Taufan mengarahkan kameranya ke Halilintar dan Yaya yang tengah berbincang.

"Taufan, tadi kamu iseng, ya?" Gempa bertanya ketika melihat Halilintar dan Yaya tampak kebingungan. "Yaya nggak manggil Hali, 'kan?"

"Hehehe ... Yaya memang nggak manggil. Tapi, kali ini aku nggak iseng. Beneran, deh."

Diikuti Gempa, Taufan mendekat ke tempat kakaknya. Masih sambil mengarahkan lensa kameranya ke depan.

"Hali! Yaya!"

Taufan berseru tiba-tiba. Ketika sang kakak dan Yaya menoleh, dia segera mengabadikan momen itu dengan kameranya.

"Kamu ngapain?" Yaya bertanya ketika Taufan mendekat bersama Gempa. Gadis itu tampak malu-malu.

"Tenang aja, Yaya," sahut Taufan. "Nanti kukirim file-nya. Biar bisa dicetak, terus dipajang di kamar."

Digoda seperti itu, Yaya kembali merona. Halilintar juga tampak mengalihkan pandang, menatap lautan yang seolah tak bertepi.

"Aku mau kita semua foto bersama," kata Taufan tiba-tiba. "Tapi siapa yang motret, dong?"

"Sudah, biar aku saja." Yaya mengambil alih kamera dari tangan Taufan, lalu bergerak menjauh sedikit. "Ayo, kalian bertiga! Latar lautnya bagus banget, lho!"

Taufan berdiri di antara Halilintar dan Gempa. Dengan arahan Yaya, tiga bersaudara itu mengambil posisi dengan sudut pandang terbaik menurutnya.

"Oke! Aku hitung sampai tiga, ya?"

"Hei, Hali," Taufan berkata ketika Yaya di kejauhan mulai memberi aba-aba. "Kalau difoto itu senyum!"

"Berisik!"

"Satu ..."

Tanggapan Halilintar membuat Taufan cemberut sedetik, lantas merangkul kedua saudaranya tiba-tiba sambil tersenyum lebar.

"Dua ..."

Walaupun kaget, Gempa tetap tersenyum. Halilintar pun akhirnya ikut tersenyum ketika melihat wajah cerah kedua adiknya. Masih senyum tipis, tapi juga terlihat lembut.

"Tiga!"

Mata kamera menangkap ketiga sosok itu dalam senyum masing-masing. Mengabadikannya ke dalam sebuah potret yang tampaknya akan menjadi favorit Halilintar, Taufan, dan Gempa. Sebuah potret berharga, yang dalam waktu lama akan mendapat tempat istimewa di rumah dan di hati mereka.

Sebagai satu kenangan terbaik.



oO)-----------------♦-----------------(Oo

Taufan yang periang. Gempa yang tenang. Mereka adalah harta paling berharga di dalam hidupku. Bodohnya aku, kenapa bisa terpikir untuk menjauhi mereka. Bukan hanya menyakiti diri sendiri, aku juga menyakiti mereka. Saudara-saudaraku, yang harusnya kulindungi meskipun nyawa taruhannya.

Mulai sekarang, aku tidak akan pernah melepaskan tangan mereka lagi. Sekarang, besok, dan selamanya.

-Halilintar-

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Rasanya semua seperti mimpi. Entah mimpi indah atau mimpi buruk, aku nggak tahu, sih. Mungkin keduanya. Yang jelas, sekarang aku sangat bahagia! Aku, Hali, dan Gempa, sudah kembali seperti dulu lagi.

Kurasa sekarang Hali sedang membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Tapi ... aku juga bodoh. Mengasihani diri sendiri, padahal Hali juga terluka. Gempa juga. Dia yang selalu ingin melindungi kami, entah bagaimana perasaannya. Mungkin Hali dan aku memang bukan kakak yang baik, ya ... Hahahaha ...

Tapi ... Hali, Gempa ... Aku sangat menyayangi kalian. Aku akan selalu ada untuk kalian.

-Taufan-

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Merepotkan.

Hali dan Taufan itu kakakku, tapi sepertinya aku yang harus selalu menjaga mereka berdua. Hali itu sensitif, pemarah, tapi aku tahu, kalau ada keadaan bahaya, dialah yang akan pertama datang menolong. Taufan selalu tersenyum, menularkan keceriaannya padaku, tapi aku tahu, dia lebih suka memendam kesedihannya sendiri daripada membebani orang lain.

Ya, sudahlah.

Yang penting, sekarang kami sudah kembali seperti dulu lagi. Aku senang, Hali dan Taufan sudah berbaikan. Senyum mereka adalah harta terindah yang takkan kutukar dengan apa pun juga. Pasti ... akan kulindungi dengan segenap jiwaku!

-Gempa-

oO)-----------------♦-----------------(Oo



T A M A T



Layaknya Cahaya Kecil; Heidy S.C. 2017©

BoBoiBoy; Animonsta Studios 2011-2016©

====================================================

Author's Corner


Halooo~! \(^o^)

Masih ketemu lagi dengan saya di Epilog yang kurang berfaedah~hahaha ... ^_^;

Terima kasih buat pembaca yang sudah baca, vote, dan kasih komentar untuk cerita drama aksi haru biru ini. Apalagi yang sampai masukin ke Reading List segala. Pokoknya, thanks a lot buat semua pembaca tanpa terkecuali. Luv you all~ ^_^

Lalu ... entah kenapa malah jadi ngomongin fashion. Aku iseeeng~ahahah ... Jadi, bayangin aja HaliTauGem remaja memakai kostum Petir, Angin, dan Tanah di BoBoiBoy Galaxy. Eeh ... Apa? Hint ke sekuel? Ada nggak, yaa ... Hmm ... pikir-pikir dulu, deh. Mungkin nanti kalau HaliTauGem dah muncul di Galaxy (?), hehehe ... :3

Dah yaa ... beneran tamat niy~

Sampai jumpa lagi di karya-karya lain~! \(^o^)


Solo, 30 September 2017

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top