II
"kau yakin benar-benar akan masuk kerja hari ini.?"
Roya meremas roti tawar yang jadi menu sarapan tetapnya, selain murah juga mengenyangkan, perlahan dia membalas tatapan Rama.
"Aku meninggalkan tas berisi dompet dan Hp ku si sana.
Mau tidak mau aku harus kerja."
"Kau yakin itu dia.?"
Rama hati-hati agar tidak menyebut nama bajingan yang membuat kakaknya jadi sosok yang berbeda, bukan lagi Roya yang ceria dan penuh gairah.
Semalam saat pulang, dia menemukan Roya duduk diam dalam gelap, tidak bicara. tatapan kosong dan tubuh berkeringat.
Rama tau ada yang tidak beres, dia hanya bisa membantu membawa Roya ke tempat tidur, menyelimuti dan bersenandung kecil hingga dini hari sampai Roya tertidur.
Roya menggeleng.
"Aku tidak tau.. sudah lama kan.. empat tahun.."
Keningnya berkerut.
"Atau lima tahun.. atau kapan itu.. "
Rama menelan ludah.
"Lima tahun." Desahnya.
"Apa akhir-akhir ini kau memikirkan semuanya lagi.?"
Roya mengeleng.
"Tidak.. aku tidak mau.. aku takut." Bisiknya lirih menunduk dalam memejamkan mata berusaha mengusir suara-suara yang terus mengeluarkan hinaan padanya.
Dia menutup kedua telinga dengan telapak tangannya saat suara tangisan bayi terdengar.
"Tidak.!" Lirih Roya.
Rama berdiri, langsung memeluk bahu Roya.
"Sudah berlalu. Dia tidak mungkin kembali.
Dia tidak akan bisa menyakitimu lagi."
Roya balas memeluk pinggang Rama.
Meski lebih muda darinya dua tahun tapi Rama jauh lebih besar darinya.
Rama satu-satunya keluarga Roya di dunia ini, meski sebenarnya mereka tidak punya hubungan darah tapi hubungan mereka lebih dekat dari saudara kandung.
Saat Roya berumur delapan tahun ayahnya menikah dengan mama Rama dan sejak itu mereka dibesarkan layaknya saudara, mendapatkan kasih sayang yang sama dan adil.
Rama mungkin terkenal sebagai bandit kampung karena emosinya yang suka meledak dan tindakannya yang diambil tanpa memikirkan konsekuensinya.
Rama tidak punya pekerjaan tetap, setelah mama Rama meninggal maka urusan uang semuanya jadi tugas Roya.
Rama bukan orang jahat meski terkadang dia membuat Roya repot menyelesaikan masalah yang dibuatnya serta membuat kepala Roya sakit memikirkan perangainya yang masih seperti bocah.
"Rama.." Roya berdehem.
"Aku ingin pergi."
Rama sudah menduganya.
Setiap kali ada sesuatu yang membuat Roya mengingat masalalu maka Roya akan melarikan diri, mau tak mau Rama akan mengikuti menjaganya dari belakang.
"Kemana.?"
"Kemana saja." Roya menekan keningnya ke dada Rama.
"Pergi yang jauh, memulai yang baru lagi."
Rama mengusap kepala Roya.
"Aku sih ikut saja selama kau masih mau memberiku tempat berteduh dan pengisi perut."
Jawabnya ringan, jelas main-main saja.
Roya tersenyum.
"Sebulan lagi ulangtahunku. Belikan aku kado dan kue, cari uang sendiri. Setahun sekali kau harus mentraktirku."
Rama tersenyum.
"Akan kupikirkan" jawabnya, padahal sebenarnya dia sudah menyiapkan uangnya, menunggu hari itu datang.
"Kalau begitu kita pergi setelah ulang tahunku saja."
Roya melepas pelukannya pada Rama, lalu berdiri mengemas apa yang diatas meja.
"Aku akan mengajukan pengunduran diri. Kontraknya tinggal satu bulan lagi, tapi aku harap perusahaan bisa memberikan kebijakan."
Rama mengangguk, berati mereka sudah tinggal di sini selama dua tahun.
Dia betah begitu juga kelihatannya dengan Roya tapi apa mau dikata.
"Apa mau aku temani.?"
Rama menawarkan diri.
Roya menggeleng.
"Tidak" lagipula belum tentu apa yang dilihat dan apa yang dipikirkannya benar.
"Kalaupun benar itu dia." Roya menelan ludah.
"Memang kenapa, dia tidak bisa menyakitiku lagi. Kami tidak punya hubungan apapun.
Lagipula belum tentu dia ingat padaku, mengenaliku.
Aku juga tidak takut padanya."
Itu bohong tapi Rama tetap tersenyum melihat setitik semangat yang Roya tunjukkan setelah beberapa tahun berlalu.
"Bagus ini baru Roya ku."
Ditepuknya bahu Roya.
"Apapun yang terjadi aku pasti mendukungmu."
Rama mengulurkan tangannya.
"Tapi aku tidak punya tenaga jika tidak merokok dan sekarang aku tidak punya uang membeli rokok."
Roya memutar matanya, meraup ke dalam saku celananya, memberi selembar uang berwarna biru pada Rama.
"Beli makan siang sendiri, untuk makan malam aku akan membawanya saat pulang nanti."
Rama tersenyum, mencium uang itu lalu menyimpan dalam sakunya.
"Kau yang terbaik." Diciumnya puncak kepala Roya.
"Aku janji di tempat baru nanti, aku akan mencari kerja tetap. Menghasilkan uang hingga kau tidak perlu bekerja keras lagi."
Roya mengangguk dan tidak mengatakan apapun setelah mendengar janji keseratus kali yang Rama ucapkan tapi tidak pernah terlaksana dengan benar.
Rama begitu pembosan, tidak bisa diperintah dan emosian jadi tidak pernah bertahan dengan satu pekerjaan.
"Aku pergi dulu, ingat jangan bikin masalah."
Pesannya sebelum keluar dari rumah.
Roya menarik napas, berbalik melihat rumah kontrakannya yang kecil dan tua tapi hangat dan nyaman meski ada beberapa atap yang bocor tapi secara keseluruhan tidak mengganggu.
Sayang juga untuk meninggalkannya tapi saat Roya mulai gelisah dia harus segera pergi.
Dia tidak boleh sakit lagi, sekarang tidak ada mama atau ayah jadi dia harus menjaga diri dan Rama.
Dia berjalan ke tempat kerjanya yang memakan waktu lima belas menit.
Saat melihat gedung di mana Firma hukum itu berjalan Roya menarik napas panjang, berharap jantungnya bisa berdetak normal, kalau secepat ini dia bisa saja kena serangan jantung.
Tapak tangan Roya mulai berkeringat.
"Itu hanya mimpi. Ilusi." Bisiknya saat memasuki gerbang.
"Jalani hidupmu jangan biarkan dia terus menghancurkannya."
"Roya.!"
Roya berhenti, terlalu lelah untuk berbasa-basi dengan Subhan tapi mau tak mau tetap berbalik dan memaksakan sebaris senyum.
"Ini ambillah." Subhan langsung menyodorkan kantong plastik di tangannya pada Roya.
"Kakakku mengirim kue ulangtahun untukku, terlalu besar jadj aku tidak bisa menghabiskan sendiri."
Roya bukan bodoh atau buta. Dia tau setiap alasan adalah bohong.
Entah Subhan menyukainya atau hanya ingin menaklukkannya, yang jelas Roya tidak menyukai keduanya.
Dia tidak mau terlibat hubungan dengan laki-laki manapun di dunia ini kecuali Rama.
Selama ini dia sudah berusaha menjaga jarak tapi Subhan benar-benar tidak mengerti atau memilih masa bodoh.
Roya mengulurkan tangannya, mengambil kantong plastik itu.
"Terimakasih." Ucapnya menunduk tidak pernah mau membalas tatapan Subhan atau siapapun yang kemungkinan diam-diam sedang menilai dan menghinanya di dalam hati mereka.
Tidak perlu mengatakan apapun toh beberapa lama lagi Roya akan mengemas barang-barangnya dan pergi dari tempat ini.
"Roya.!" Sekali lagi Roya yang sudah sampai di pintu belakang gedung, berhenti dan berbalik.
"Apa yang terjadj padamu kemarin. Kenapa kau pergi begitu saja.?
Semua orang bingung dan membicarakan sikapmu yang lebih aneh dari biasanya.!"
Alis Roya menyatu melihat Katy sekretaris bos besar Berdiri di depannya.
"Maaf.!" Roya tidak tau bagaimana menjelaskannya.
Lidahnya juga sangat terbiasa mengucapkan permintaan Maaf.
Katy mengibaskan tangannya.
"Lupakan saja." Dia mendekati Roya saat dia akan menyentuh lengan Roya, wanita itu membelalak kaget karena Roya langsung mundur, menghindar dengan raut cemas.
"Aku jalan kaki, banyak debu yang menempel, sedikig kotor."
Roya merapikan rambutnya, menghindari tatapan Katy yang seperti sedang membaca pikirannya.
Tak mau membuat masalah lagi, Roya berbalik menarik pintu dan masuk ke dalam, meninggal Katy yang terpaku melihat sikap Canggung dan kikuknya.
"Rasanya tidak sopan sekali kau meninggalkanku begitu saja padahal aku sudah menunggumu selama setengah jam."
Katy masuk menyusul Roya yang sedang menscan jarinya untuk daftar absen.
Roya berbalik melihat Katy yang cantik bak bintang film dengan tubuh bak model.
"Ada apa.?" Tanyanya langsung.
Hari ini dia harus menyerahkan pengunduran dirinya, berharap bisa langsung disetujui.
"Ikut denganku." Jawab Katy segera.
"Semalam hanya kau yang ke lantai atas, jadi ada yang harus ditanyakan padamu."
Roya mengeleng, matanya langsung membesar.
"Aku bukan pencuri dan aku bukan penipu."
Dengan defensif dia langsung mempertahankan diri.
"Siapa yang menuduhmu mencuri dan menipu.?"
Alis Katy naik, tangannya terlipat di depan dada.
"Aku memintamu ikut denganku karena ada yang ingin bicara denganmu."
Lutut Roya langsung lemah, dia terhuyung ke dinding.
"Silas.." bisiknya terbayang apa yang dilihatnya di lantai atas kemarin.
Mata Katy membesar.
"Darimana kau tau kalau bos besar lah yang ingin bicara padamu.?"
Roya mengeleng panik.
"Aku tidak mengambil apapun darinya. Aku tidak sengaja melihatnya.
Aku akan segera mengundurkan diri, tidak muncul di hadapannya lagi."
Roya berlari meninggalkan Katy yang tak mengerti apa yang sedang terjadi padanya.
Tergesa-gesa Roya berlari ke arah komputer satu-satunya di basemen, mulai mengetik surat pengunduran dirinya.
Dia melihat tasnya yang masih di tempat yang sama setelah di tinggalkannya semalam.
Dengan cepat dia melipat surat tersebut, masuk ke dalam Lift untuk diserahkan ke HRD.
***************************
(21012024) PYK
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top