9 | Rasa Aman
Kondisi Cakra dan Ratna paska menenggak minuman memabukkan seumpama memasuki area abu-abu: tidak terjaga, tetapi juga tidak tertidur. Kelakuan para peminum saat kesadarannya berada di ambang batas terlihat bervariasi. Dalam perihal ini, perangai Cakra dan Ratna sangatlah bertolak belakang.
Bulan dan bintang menemani percakapan mereka yang bergulir santai. Tidak ada yang ditutupi. Efek antidepresan dari bir terpompa kuat. Itu sebabnya Ratna seakan tak punya rasa malu ketika mengeluh banyak musibah berdatangan di hidupnya. Sisi Ratna yang butuh perlindungan mencuat, seolah-olah memang menunggu waktu dan teman bicara yang tepat.
Urat malu Ratna mulai menegang saat dia terisak kecil. Puncaknya terjadi saat Ratna berdiri dan berlalu ke kamar.
Cakra sempat tak paham. Namun, pria itu segera balik badan ketika sekonyong-konyong Ratna melepas satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya. Cakra mengingatkan, tetapi Ratna menulikan telinga.
Ratna mengerang pelan ketika kelingking kakinya terantuk pinggiran dipan. Rintihan Ratna mengundang rasa penasaran Cakra. Diam-diam Cakra mencuri tatap. Sekat transparan antara ruang tengah dan kamar tidur tak mampu melindungi punggung berkulit pucat yang menggoda.
"Mana, sih, jepit rambutnya?" Ratna jarang menggerutu. Sekalinya begitu justru terdengar lucu.
Cakra mendengus. Dagunya bertopang pada sebelah tangan. Gerakan ceroboh Ratna yang sempoyongan lebih menggairahkan daripada goyangan para penari striptis. Kini secara terangan-terangan Cakra melahap pemandangan di depan mata. Toh, dia sudah memberi peringatan pada Ratna sebelumnya.
Dengan hanya memakai selapis kain tipis yang menutupi area segitiga di bawah pusar, Ratna meraba-raba isi laci meja rias. Benda yang dicarinya muncul. Jemari Ratna meraup rambut panjangnya menjadi satu, menggulungnya tinggi, lantas menyematkan jepitan supaya gelungannya tetap berada di tempat.
Cakra kesusahan menarik napas melihat aksi Ratna. Buah dada Ratna menggantung sempurna, begitu polos tanpa helaian rambut menghalangi. Tanpa sadar Cakra mengira-ngira volumenya. Benak pria itu bertanya, apakah besarnya akan pas di telapak tangan?
Cakra menjadi sedikit sinting. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu ke teman sendiri. Alkohol laknat itu rupanya berhasil mengaburkan keawasan Cakra.
Sayang sekali Ratna tidak berlama-lama membiarkan tubuhnya polos. Dia mulai mengenakan kaus tipis kedodoran dan celana pendek selutut. Cakra mengira Ratna akan kembali bergabung bersamanya di ruang tengah setelah berganti pakaian. Akan tetapi, Ratna justru mematikan lampu kamar dan melemparkan diri ke kasur.
Cakra dibiarkan menganggur. Erangan pelan lolos dari sepasang bibirnya. Ratna padahal tidak bermaksud menggoda, tetapi Cakra justru terlena. Sesuatu di antara pahanya mulai memberontak.
Ingat, Cak. Dia teman. Teman nggak ada yang tidur bareng! Cakra membatin. Dia menggeleng sambil memukul-mukul pipi supaya sadar.
Demi menghalau naluri hewani, Cakra berusaha fokus dengan benda-benda di sekitar. Bungkus makanan ringan dan kaleng-kaleng bir kosong tercecer di atas meja. Kabel di area TV malang melintang. Di sudut ruangan, kardus-kardus bekas menumpuk tak terurus.
Cakra melonggarkan ikatan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja hingga siku. Pada dasarnya Cakra suka beres-beres perabotan rumah. Namun, gejalanya makin menjadi-jadi saat mabuk. Seakan tidak ingat sedang berada di mana, Cakra menyulap hunian Ratna menjadi tempat yang benar-benar baru. Lebih banyak permukaan lantai yang terlihat setelah satu setengah jam lamanya Cakra menata, bahkan menyapu ruangan.
Kebiasaan mabuk Cakra dan Ratna benar-benar saling melengkapi. Si wanita suka kelepasan membuat kekacauan, sedangkan si pria justru hobi membereskannya. Selain mengurus ruang tengah dan dapur, kamar pun tak luput dari perhatian. Cakra memunguti pakaian Ratna dan memasukkannya ke keranjang baju kotor.
"Bersih," ucap Cakra puas sambil melayangkan pandangan menyeluruh. Dia terduduk di pinggir tempat tidur. "Capek."
Punggung Cakra menyentuh permukaan kasur. Dia tumbang karena kelelahan. Pembuluh darah di pelipisnya berdenyut parah.
Sebab ingin mencari kenyamanan dari empuknya tumpukan kapuk, Cakra merangkak naik. Kasur Ratna cukup besar untuk ditiduri dua orang tanpa perlu merasa sesak. Di bawah pengaruh alkohol, Cakra berani bersikap kurang ajar untuk menumpang tidur di kasur yang sama dengan Ratna.
Lagi-lagi Cakra ambruk, kali ini kepalanya mendarat di bantal. Pandangan Cakra perlahan menjernih setelah beberapa kali mengerjap. Dia menoleh dan mendapati Ratna berbaring memunggunginya.
"Cantik," ucapnya dengan kedua sudut bibir melengkung ke atas.
Cakra makin irit bicara, tetapi batinnya justru kian berisik. Apa yang dipuji Cakra sebenarnya adalah siluet sepasang tulang selangka Ratna yang menonjol. Dia menelusuri ke atas dan menemukan leher ramping nan jenjang. Cakra tergoda untuk menyembunyikan wajahnya di ceruk itu. Namun, kepalanya seakan ditindih batu besar, terlalu berat untuk dipindahkan.
Sebelum impuls Cakra makin menggila, Ratna menyembunyikan lekuk tubuhnya dengan berbaring menghadap si pria. Wajahnya berpaling, jadi saling berhadapan dengan Cakra.
"Kasihan."
Satu kata ditarik sebagai kesimpulan atas guratan lelah di wajah wanita itu. Ingatan Cakra hinggap pada bayangan Ratna yang menangis meratap beberapa saat lalu. Lagi-lagi Cakra melihat refleksi diri di dalam relung hati Ratna yang tak terjamah. Mereka sama-sama menyedihkan.
Tangan Cakra bergerak dengan sendirinya. Dia ingin menghapus jejak air mata yang mengering di pipi tirus Ratna. Namun, Ratna menepis. Sambil meracau, Ratna membalik tubuh kembali membelakangi Cakra.
Ibu jari Cakra malah mendarat di atas jaringan parut sepanjang dua ruas jari di bahu Ratna yang terbuka. Elusan Cakra begitu pelan dan hati-hati. Karena terdorong oleh rasa kasihan, Cakra beringsut mendekat. Dia menenggelamkan wajah di punggung sempit Ratna, lantas tangannya melingkar longgar di pinggang si wanita.
Hari ini Ratna terlihat benar-benar polos di mata Cakra, dalam arti harfiah dan kiasan. Cakra makin jatuh untuknya. Kalau diperbolehkan, Cakra ingin melindungi Ratna.
Gelombang iba dan panas tubuh Ratna yang mengalir padanya membuat Cakra terbuai. Kelopak matanya menutup perlahan. Cakra pun tertidur sambil memeluk Ratna.
***
Sial! Cakra ketiduran sampai dini hari. Setelah efek mabuknya menghilang, Cakra bergegas mencari ponsel. Benar saja. Puluhan telepon dan pesan masuk dari Citra terabaikan sejak semalam.
Hati Cakra tercubit jika meninggalkan Ratna begitu saja, padahal Cakra telah mengambil kesempatan untuk memeluknya. Alhasil, Cakra menyampirkan selimut guna melindungi tubuh ringkih Ratna dari udara dingin.
Sebelum benar-benar bangkit dari pembaringan, Cakra sempat berhenti beberapa detik sekadar untuk mengamati wajah damai Ratna. Untungnya, Cakra bisa menahan diri supaya tidak lancang menjatuhkan kecupan di kening. Cakra anti mencium wanita tanpa persetujuan.
Cakra berhasil melalui hari tanpa memikirkan Ratna. Pria itu mempersiapkan kebutuhan sekolah putranya seperti biasa. Dia juga sibuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai rutinitas. Perbedaan dari hari-hari biasa adalah pukul empat sore Ratna mengajak Cakra bertemu di lobi gedung kantor.
Sungguh sebuah keajaiban. Ratna mencari Cakra terlebih dulu untuk membicarakan hal-hal personal.
"Semalam nggak ada sesuatu yang terjadi, kan?"
"Kita tidur bareng," sahut Cakra jujur.
Ratna membeliak. Tangannya terangkat menutupi muka.
"Cuma tidur bareng," ujar Cakra memberi penekanan pada kata pertama.
Ratna menghela napas lega. Meski memalukan, setidaknya itu masih lebih baik. Ratna akan sangat merasa bersalah seandainya mereka memang benar-benar bercinta, tetapi dia sama sekali tidak mengingatnya.
"Aku ngomong apa aja sama kamu?" Tensi percakapan meninggi. Kerutan di dahi Ratna terbentuk selagi menunggu jawaban.
"Banyak. Mau aku kasih tahu?" Cakra tersenyum tipis melihat anggukan Ratna. Entah kenapa wanita itu terlihat imut di matanya. "Kamu cerita tentang Haiyan dan masa-masa kuliah kalian. Terus, kamu curhat tentang mantan suami kamu yang kelakuannya mirip dajal. Kamu juga mengeluh tentang fitnah yang bikin kamu memutuskan mundur dari profesi advokat. Ditambah, ada kejadian stalking itu. Kamu makin tergerak untuk meninggalkan kehidupan lama dan membangun kehidupan baru." Mata Cakra berbinar jenaka, kemudian melanjutkan kata-kata, "Kamu juga kagum sama aku yang tiba-tiba datang kayak superhero."
"Benar?" Ratna sampai menelengkan kepala.
Cakra terkekeh. "Yang terakhir itu bercanda."
Tepukan pelan di bahu Cakra membuat suasana menjadi lebih santai. Ratna tidak terlalu kaku lagi. Dalam hati Cakra bersyukur bisa menahan bibirnya supaya tidak membongkar kebiasaan buruk Ratna saat mabuk.
"Hari ini kosong? Mau ketemu Raga lagi?" Cakra menawarkan kesempatan. "Waktu makan malam kemarin kalian akrab ngobrol soal sambal. Raga pasti senang ketemu kamu."
"Cakra," Ratna mendesah pelan, "itu, kan, sebelum ada pesan aneh masuk. Aku nggak mau ketemu Raga lagi kalau itu bisa bikin dia berada dalam bahaya."
Cakra kecewa. Dia jadi tak punya kesempatan untuk kembali dekat dengan Ratna.
"Makasih ya, Cak. Semalam tidur aku benar-benar nyenyak. Mungkin ada pengaruh karena aku habis minum. Tapi, bisa jadi itu juga karena akhirnya aku punya teman cerita."
Senyum itu lagi. Ratna sedang membuat jarak. Kalau bisa, Cakra ingin membuat Ratna mabuk supaya tetap nyaman tanpa perlu berlindung di balik perisai rapuhnya.
"Na, jangan pergi!" Cakra segera angkat bicara sebelum Ratna berhasil merangkai kata-kata perpisahan lain. "Kalau kamu menghilang cuma gara-gara ini, aku bakal cari kamu sampai ke pelosok negeri sekalipun. Kamu butuh bantuan, Na. Aku bisa bantu."
"Nggak perlu, Cak. Aku–"
"Aku peduli kamu sama besarnya dengan aku peduli pada diri aku sendiri."
Sejak semalam kalimat itu berubah menjadi mantra ampuh untuk meluluhkan hati Ratna. Ratna berhasil dibuat diam. Kali ini juga sama. Cakra menangkapnya sebagai sebuah kesempatan.
"Intinya, aku peduli sama kamu. Jadi, kamu nggak boleh dorong aku supaya nggak terlibat lebih jauh." Cakra menarik napas panjang sebelum menandaskan kalimatnya. "Na, izinkan aku jaga kamu dari dekat."
Ratna terpaku. Dia tidak pernah merasa seaman ini sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top