61 | Hukum Kesetiaan + GA

Siapa yang nungguin dari tadi pagi? 🫣
Karena ini bab terakhir, jadwal up-nya agak spesial lah ya 🤭

Well, happy reading, pals! 🤗

***

Udara sejuk tak cukup kuat untuk menerbangkan rasa gugup. Keteduhan yang dibawa nyiur melambai gagal menenangkan degup jantung Cakra. Pipi pria itu memanas melihat Ratna yang telah mengganti pakaian putih-putih untuk akad nikah sejam lalu dengan kebaya berwarna kuning gading. Cakra agak salah tingkah membalas senyum manis Ratna, bahkan dia hampir lupa menyodorkan lengan kanannya untuk Ratna raih.

"Aku gugup," kata Cakra bisik-bisik. "Kamu cantik banget. Bikin pangling."

"Yang jadi cantik bukan cuma aku. Kamu juga jadi ganteng banget."

Cakra kegirangan mendengar pujian itu. "Kamu gugup, nggak? Ini, kan, pernikahan kedua kamu."

"Apa ada alasan untuk nggak gugup? Sejak empat bulan lalu aku selalu gugup, terutama setelah kita memutuskan menunda pernikahan supaya nggak terkesan buru-buru."

Meski tidak janjian, ingatan Ratna dan Cakra sama-sama terlempar ke momen pertemuan keluarga yang terasa menyesakkan. Keputusan Ratna dan Cakra untuk menunda pernikahan membuat para orang tua mengadakan rapat dadakan. Menunggu suasana mendingin memang keputusan yang tepat, terutama demi menghindari desas-desus bahwa Ratna sengaja bersenang-senang usai menjebloskan mantan suami ke penjara. Meskipun memang sudah sewajarnya Ratna mereguk jerih payah terlepas dari masa lalu, tidak ada salahnya mengambil langkah yang lebih berhati-hati.

Akan tetapi, menunggu suasana mendingin tidak memiliki patokan waktu yang jelas. Maka dari itu, Ratna dan Cakra mendapat batas toleransi menunda pernikahan cuma setengah tahun. Lewat dari itu, mau tidak mau, mereka harus menikah. Sebagai pesan tambahan, para orang tua mengimbau supaya Ratna dan Cakra tidak memiliki anak sebelum menikah.

Dalam batas toleransi tersebut, Ratna membereskan sisa-sisa kekacauan. Sesuai dugaan, pihak Dewa mengajukan banding, yang untungnya tidak banyak berhasil. Ratna yang nama baiknya telah bersih memilih tidak kembali berpraktik sebagai pengacara. Dia bergabung dengan tim legal Kartono Group dan menepati janji membawa Hana menjadi pemilik kursi kosong yang ditinggalkan Dewa. Secara legal, Hana berhak atas kursi itu, dan tidak satu pun dewan direksi menentang.

Cakra masih menjadi anak kesayangan Pak Salim. Sesekali Cakra pergi memancing bersama Pak Salim, sedangkan di akhir minggu yang lain Cakra menyambangi rumah Ratna untuk bermain catur bersama calon mertuanya. Dengan kepribadian Cakra yang mudah membaur, mudah baginya mengambil hati para orang tua. Cakra bahkan menjadi perantara perkenalan antara Pak Salim dan ayah Ratna.

Pada bulan ketiga, Ratna duluan yang meminta menikah. Dia membawa lembaran hasil pemeriksaan kesehatan dan sudah berkonsultasi ke dokter kandungan. Ratna siap hamil, dan agak khawatir bila terlalu lama menunggu usianya akan terlalu tua untuk mengandung. Maka, rapat persiapan pernikahan dimulai, bahkan sebelum menyentuh batas maksimal waktu yang para tetua berikan.

Lamunan Ratna dan Cakra buyar oleh suara MC yang membuka acara dengan guyonan. Setelah beberapa patah kata, gending Jawa terdengar. Ratna dan Cakra bergandengan tangan membelah lautan kursi para tamu. Di belakang pasangan pengantin, Raga, orang tua Cakra, dan orang tua Ratna menyusul secara berurutan. Tepuk tangan dan sorakan merebak. Tamu yang datang di pesta taman itu tidak banyak, tetapi suasana tetap terasa meriah.

Setelah melewati prosesi pemberian hormat pada orang tua, kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan. Namun, Cakra dan Ratna tidak punya banyak waktu untuk bersantai. Mereka kembali berdiri untuk sesi bersalaman-salaman dengan para tamu.

"Hana, makasih sudah datang," kata Ratna nyaris menangis. Dia cuma mengundang Hana sebagai temannya demi menghindari gosip tak mengenakkan dan omongan membanding-bandingkan soal pernikahan pertamanya yang diadakan besar-besaran. Setelah cipika-cipiki, Ratna mengusap perut Hana. "Makan yang banyak biar keponakanku nggak kelaparan."

"Sip! Aku sudah dapat izin buat makan banyak." Hana melempar candaan yang berhasil membuat Ratna kembali tersenyum. Hana beralih bersalaman dengan Cakra. Kali ini dia bicara setengah berbisik, "Sekarang sudah sah kalau mau bikin Ratna hamil. Aku nggak bakal lihat kamu sebagai penjahat kelamin lagi."

"Nggak patah hati, nih?"

Hana mencibir. "Jangan bahas itu! Masa jahiliah banget aku pernah naksir kamu." Hana mengusap perut buncitnya. "Ya Tuhan, tolong jauhkan anak hamba dari cowok sejenis ini. Amin."

"Sial." Tak ayal, Cakra tertawa.

Cakra dan Ratna terus tersenyum saat bersalaman. Tak lupa mereka berterima kasih pada orang-orang yang mendoakan kelanggengan hubungan mereka. Sebagai orang yang pernah gagal dalam pernikahan, doa seperti itu adalah doa yang paling Cakra dan Ratna butuhkan.

"Selamat, Bu Ratna," kata Doni ramah, tetapi tidak meninggalkan kesan profesionalitas dalam panggilannya. Meski tidak ada kasus yang mengikat mereka, serta hari ini Doni hadir sebagai teman Cakra, panggilan itu sepertinya tidak akan luntur dari ingatan dan lidahnya. "Doa yang terbaik untuk hubungan Bu Ratna dan Pak Cakra."

"Terima kasih, Pak Doni."

Cakra menyeringai. "Pak, pak, palamu. Santai aja, Don."

Doni gantian menyalami Cakra. "Selamat, Cak. Please, jadikan ini yang terakhir. Gue nggak punya uang lebih buat terus-terusan datang ke acara nikahan lo."

"Sembarangan banget omonganmu. Tapi, makasih buat doanya. Ini benaran yang terakhir, kok." Cakra bertanya seraya menyalami gadis yang membersamai Doni. "Ceweknya Doni? Kenapa kamu mau sama orang kaku kayak dia?"

"Dia bukan cewek gue, tapi bayi. Gue kondangan sambil ngasuh bayi."

"Sembarangan banget, Kak Doni," balas si gadis yang kebayanya sangat serasi dengan jas kekinian Doni. Dia ganti menatap Cakra. "Aku Arin, teman kondangan Kak Doni karena dia betah banget jadi jomlo. Aku sering dengar soal Kak Cakra dari mulut Kak Doni. Selamat, ya, Kak. Semoga pernikahannya langgeng."

"Kak Cakra." Cakra meniru sambil mengulum senyum. "Aku berasa balik muda."

Doni segera menarik lengan Arin untuk bersembunyi di balik tubuh jangkungnya. Dia menyipitkan mata, memberi tatapan penuh peringatan pada sahabatnya. "Nggak usah genit. Lo lagi nikah, cok!"

"Kalem. Kalem," balas Cakra tanpa keseriusan barang sepersen pun.

Antrean panjang para tamu akhirnya berkurang, kemudian habis. Ratna dan Cakra bisa duduk sejenak. Raga yang mulai bosan ikut duduk di pelaminan, di antara ayah dan ibunya. Entah ke mana penutup kepala anak itu, yang jelas rambut Raga sudah acak-acakan saat meminta berbaring di pangkuan Ratna.

"Masih ada tamu. Kamu ke Budhe aja, tuh! Main sama Lintang," usir Cakra.

"Bosan, Yah."

"Main sama Om Doni, gimana?" Cakra menunjuk Doni yang terlihat sedang mengambil es krim untuk kesekian kalinya. "Om Doni punya pacar. Sana, samperin!"

Raga bangun malas-malasan. Dia sekali lagi memeluk Ratna, sebelum turun panggung untuk menghampiri Doni.

"Kamu yakin itu pacarnya Doni?" Ratna menyenggol lengan suaminya.

"Cepat atau lambat bakal jadi pacar, sih, kayaknya. Dia selama ini belum pernah bawa cewek ke depanku, takut diembat, mungkin. Kalau sekarang berani, berarti dia percaya diri cewek itu cuma mau lihat dia. Nggak meleng."

"Oh, sedangkan kamu bisa meleng dari aku?"

Cakra tertawa. "Pertanyaan macam apa itu? Adanya aku gugup banget lihat kamu. Nggak sabar mau pretelin apa yang kamu pakai sekarang biar aku makin deg-degan."

"Sssttt!" Ratna membekap mulut Cakra. "Dirty jokes kamu disimpan dulu, dong! Bahaya kalau ada yang dengar."

Cakra mencium telapak tangan Ratna, membuat wanita itu segera menarik diri. Akan tetapi, Cakra gesit sekali meraih pinggangnya. Dia mengedikkan dagu pada cahaya kemerahan di ufuk barat. Matahari mulai terbenam yang menandakan pesta sebentar lagi berakhir. Untuk beberapa menit, Cakra ingin menikmati pemandangan seolah-olah hanya ada mereka berdua di muka bumi.

"Kita terlalu sibuk sampai nggak pernah lihat sunset bareng," ucap Cakra tanpa nada bercanda. "Baju kamu sekarang hampir seterang sinar matahari, sama-sama cantik."

"Aku kira aku yang paling cantik."

"Iya," balas Cakra, masih tetap menatap langit, "terutama kalau tanpa baju."

"Dasar mesum!"

Cakra menerima cubitan Ratna di pinggang dengan suka cita. Dia gemar sekali bercanda, apalagi menggoda Ratna. Mungkin karena ini pernikahan kedua masing-masing dari mereka, atau mungkin juga karena tidak banyak tamu undangan yang tersebar di delapan arah mata angin, atau mungkin karena tidak ada ekspektasi berlebihan dari keluarga, panggung pelaminan tidak terlalu menakutkan bagi Cakra dan Ratna. Mereka memang gugup berdiri bersebelahan sebagai suami istri, tetapi itu jenis gugup yang menyenangkan untuk dinikmati pelan-pelan sambil tersenyum dan tertawa.

"Mataharinya panas banget, ya?" Cakra mengambil sapu tangan berwarna biru muda dari saku, kemudian mengelap peluh di dahi dan pelipis Ratna dengan hati-hati. "Kita nggak pernah berubah. Aku selalu sedia sapu tangan sebelum kamu keringatan."

"Memang iya?"

"Iya. Di depan kantor pengadilan agama, tepatnya di halaman depan, waktu kamu benjol kena timpuk sepatu bapak-bapak yang ngamuk diceraikan istrinya tanpa pemberitahuan, aku kasih kamu sapu tangan."

Ratna menutup mulut dengan sebelah tangan. "Kamu ingat sedetail itu?"

"Itu bayangan yang selalu aku ulang-ulang tiap pergi ke kantor pengadilan agama, apalagi kamu tiba-tiba menghilang begitu saja nggak ada kabar. Kamu curang, Sayang. Kamu bikin aku khawatir sampai akhirnya jatuh cinta."

Seandainya benar-benar tidak ada orang lain, Ratna pasti berani mengecup pipi Cakra lebih dulu. Sehabis ini dia harus menyiapkan hadiah terindah. Cakra sudah begitu sabar menunggunya, membantunya tanpa pamrih, dan menariknya untuk jatuh cinta.

Jalan cerita cinta mereka memang tidak seperti pasangan pada umumnya. Mereka adalah orang asing yang disatukan oleh momen perpisahan bernama perceraian. Salah satunya kemudian dibuat jatuh oleh rasa kasihan. Tidak ada yang tahu apakah cinta hadir lebih dulu daripada nafsu atau sebaliknya, yang paling jelas ialah untuk menghalau keraguan mereka memulai dari tahap bernama masa percobaan. Mulai dari situ, perjalanan mereka untuk mengesahkan hubungan malah terasa lebih berat.

Tidak ada kitab undang-undang yang mengatur persoalan jatuh cinta dan kesetiaan. Tidak ada pasal yang menuntut bagaimana layaknya kesetiaan pasangan diuji. Cakra dan Ratna seperti membuat pakem tersendiri. Bila diberi kesempatan untuk menuliskan kisah cinta yang absurd ini ke dalam sebuah buku, mungkin buku itu akan Ratna beri judul Law of Devotion, Hukum Kesetiaan, karena sejak awal Cakra dan Ratna telah mengabdikan diri pada hubungan yang mengikat keduanya; mulai dari hubungan pengacara-klien, antar teman, kekasih, dan kini menjadi suami istri.

***

THE END

***

Kebersamaan kita selama 61 hari berakhir di sini 🥲

Terima kasih buat kamu yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, meninggalkan vote dan komen, memberi kritik dan saran perbaikan, serta menikmati cerita ini hingga tamat. Ada salam sayang dari keluarga Cakra sebagai kado perpisahan 💚💚💚

Eh, tapi jangan sedih. Karena habis ini, aku sudah siapin booklet berisi extra chapter yang membahas kehidupan Cakra-Ratna setelah menikah. Intip dulu blurb-nya, deh 😍

Kalau prenuptial agreement, pasti sudah banyak yang tahu, ya? Nah, selain nyusun prenup, Cakra dan Ratna juga bikin pregnancy contract, lho. Hayo, kamu tahu itu apaan? 😁

Btw, aku pernah bilang, kan, bakal ada hadiah untuk pembaca setia?

So ... ini saatnya untuk GA-time! 🎉

Ada kupon potongan harga untuk menikmati "Pregnancy Contract" di KaryaKarsa 🥰

Potongan kupon diskonnya lumayan banget, kan? 🤤

Syaratnya mudah banget. Kamu tinggal baca dan kasih review 😍

Tunjukkan usaha terniatmu untuk memenangkan give away!

S

emoga kamu jadi pembaca yang beruntung itu! 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top