60 | Kapan Menikah?
" ... menurut putusan hakim, terdakwa mendapat hukuman penjara lima belas tahun ...."
Ratna mengerang tertahan saat TV di hadapannya tiba-tiba mati. Berita inilah yang Ratna tunggu-tunggu, hari di mana akhirnya Dewa tidak bisa berkutik karena mukanya tercoreng. Berbagai surat kabar dan pemberitaan di televisi menyematkan namanya dengan sesuatu yang tidak baik. Tidak hanya itu, berbagai tabloid daring khusus bisnis berlomba-lomba menghapus namanya dari daftar "Pebisnis Berpengaruh".
Dewa pernah melucuti keberanian Ratna. Akan tetapi, kini Ratna berhasil merebut miliknya yang paling berharga: harga diri.
"Bukannya persiapan, malah leha-leha di depan TV," kata Cakra sambil meletakkan remote TV jauh dari jangkauan Ratna. "Ini hari bersejarah untuk hubungan kita, Sayang. Mohon kerja samanya."
Ratna tersenyum manis. Bukannya melakukan persiapan seperti apa yang Cakra pinta, Ratna malah mengangkat kedua kakinya melintang di atas sofa. Betisnya yang terbuka bersilangan, seakan mengundang Cakra untuk menyentuhnya. Kain bathrobe sama sekali tidak menyembunyikan apa yang seharusnya disembunyikan. Lebih-lebih, Ratna kini melemparkan tatapan yang mengatakan yang bisa diartikan sebagai "kalau berani, lawan aku".
Cakra mengangkat alis, "Senyum seksi kamu nggak mempan, Sayang."
"Kalau yang ini?" Ratna menggunakan telapak kaki untuk menggoda Cakra yang berdiri di sebelahnya. "Mempan, kan?"
"Nakal." Cakra mengangkat kaki Ratna untuk tidak bermain-main dengan karet celananya, atau mengusap dadanya yang sedang tidak memakai apa-apa. Pria itu maju, berlutut dengan sebelah kakinya, membuat Ratna mau tak mau mengangkang. Tubuh Cakra memayungi Ratna dari hujan sinar lampu, tetapi tidak ada tanda-tanda akan berbuat lebih jauh. "Aku nggak punya alasan yang bagus kalau kita sampai terlambat datang ke acara keluarga."
"Alasan? Bilang saja aku capek setelah sidang dari pagi sampai siang."
"Bukannya capek gara-gara habis having sex sama aku?"
"Kalau itu, aku nggak capek." Ratna mengedipkan sebelah mata, membuat Cakra tertawa. "Tapi, kalau kamu capek, ya mau bagaimana. Bilang aja sendiri ke ayahku kalau kamu capek, terus ketiduran."
Cakra mengecup kening Ratna, kemudian duduk dengan benar. "Cari mati namanya. Sudah pernah kebobolan, bisa-bisanya main belakang lagi sebelum nikah."
Kaki Ratna mengatup. Sebagai gantinya, dia beranjak untuk naik ke pangkuan Cakra dalam posisi miring. Ratna menyandarkan kepalanya, serta mengalungkan lengan di leher kekasihnya. Selama beberapa saat, mereka cuma diam, tidak terlihat akan berkemas atau bercinta.
Persidangan tadi pagi memang berlangsung alot. Itu bukan persidangan pertama, tetapi keramaian yang ditimbulkan sama saja seperti ketika nama Dewa mencuat pertama kali. Di sidang ini, akhirnya keluar putusan dari hakim. Lima belas tahun adalah hukuman yang cukup berat untuk membayar semua perbuatan Dewa, tetapi tidak kunjung membuat Ratna tenang.
Maka dari itu, Ratna keluar dari ruang persidangan dengan muka kusut. Dia tahu, pihak lawan pasti akan mengajukan banding. Membayangkannya saja membuat Ratna mual. Ratna butuh pelarian dan dia menginginkan alkohol. Cakra yang tahu langsung menggagalkan rencana Ratna. Daripada mabuk minuman keras, Cakra menawarkan jenis mabuk yang lain, mabuk cinta.
Akhirnya mereka menuju kamar hotel Ratna, sama sekali melupakan pertemuan keluarga untuk membahas pesta pernikahan. Kebelet bercinta ternyata lebih tidak menyenangkan daripada kebelet buang air. Keduanya hampir menjadi kelinci yang doyan bercinta di mana saja. Begitu pintu kamar tertutup, gairah mereka meledak. Hasrat terpendam selama beberapa minggu hasil dari bertemu tapi tak saling menyentuh tumpah dalam dua puluh menit yang terasa terlalu singkat.
"Lagi mikirin apa?" Cakra mengusap kerutan di dahi Ratna. "Muka kamu kusut lagi kayak tadi. Apa servis dari aku kurang?"
"Lagi mikirin gimana caranya biar masa tahanan Dewa nggak berkurang."
"Pintar banget bikin aku cemburu. Di saat begini kamu masih aja mikirin cowok lain, bukannya aku." Cakra mengecup kepala Ratna lama sekali sebagai ganti pelototan yang dia dapatkan. "Percayakan pada Doni, dia hebat. Percayakan juga sama ayah kamu. Beliau pasti bisa bantu."
Ratna menangkup pipi Cakra, membuat mereka bertatapan. "Gimana ceritanya, sih, tiba-tiba kamu dekat sama ayah aku? Kamu masih belum cerita, lho. Waktu itu aku mau tanya, tapi Raga keburu ngompol dan kita semua panik."
"Kamu masih ingat kejadian Raga lupa bawa stik es krim untuk kelas prakarya?"
Ratna mengangguk. Dia mengubah posisi duduk supaya lebih nyaman. Kini mereka jadi berhadapan, dengan Ratna tetap duduk di pangkuan Cakra, menekuk kaki ke belakang. Posisi ini sungguhan menggoda, lebih-lebih sepasang tulang selangka Ratna yang indah terpampang di depan mata Cakra.
Supaya pikirannya tidak ke mana-mana, Cakra memilih memandang paras rupawan Ratna. "Di situ aku sadar, aku sudah terlalu bergantung sama kamu. Aku lalai dengan tugas-tugas Raga yang selama beberapa bulan belakangan selalu kamu pegang. Aku sama Raga kayaknya nggak bisa hidup tanpa kamu, kamu sudah jadi potongan puzzle yang nggak bisa dilepas dari rangkaian." Cakra melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ratna. "Akhirnya aku bikin janji temu dengan ayah kamu hari itu juga, yang ajaibnya langsung dibalas untuk segera ketemu. Aku makan siang bareng ayah kamu sambil sedikit-sedikit membahas soal kasus dan keadaan kamu. Kami belum selesai diskusi ketika tiba-tiba Doni telepon aku, kasih kabar soal kamu."
"Doni dapat kabar dari bodyguard aku," Ratna berulang kali mengangguk, "dan sampai sekarang aku belum ucapin terima kasih ke orang itu."
"Kamu sudah titip ke Hana."
"Betul." Ratna mengulum senyum. "Terima kasih sudah berusaha untuk dekat sama ayah aku. Sekarang giliran aku berusaha dekat sama orang tua kamu." Senyumnya hilang, berganti menjadi ringisan. "Maksudnya, berusaha dekat lagi sama orang tua kamu, untuk kedua kalinya. Ya ampun, kalau orang tua kamu tahu aku berusaha godain kamu biar kita nggak jadi pertemuan, kayaknya namaku bakal dicoret permanen dari daftar mantu."
Cakra membiarkan Ratna turun dari pangkuannya. Tidak apa, mereka masih punya banyak hari lain untuk bercinta.
"Sekarang aku punya masalah baru." Cakra mengamati kekasihnya yang sedang sibuk memilih gaun dari lemari. "Kamu punya baju, sedangkan kemejaku tadi sudah kusut. Aku nggak tahu harus pakai apa."
"Pakai lagi aja. Tutupin pakai jas."
"Sayang, kamu lupa, ya? Saking nggak sabarnya, kamu bikin kancing kemejaku tercecer nggak tahu ke mana. Kemeja itu terlalu parah untuk dipakai ulang."
Ratna merona, tangannya berhenti bergerak. "Biar aku minta tolong ke asisten Hana untuk bawakan baju baru buat kamu."
"Nanti Hana jadi tahu kalau kita habis–"
"Aku bakal bilang, aku yang mau," potong Ratna sambil manyun. Dia menahan dongkol saat menemukan senyum jahil di muka kekasihnya. "Citra kamu di hadapan Hana dan Pak Salim bakal bersih lagi. Kamu bukan penjahat kelamin. Kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Puas?"
"Aye aye, Baby."
***
Cakra dan Ratna tiba di restoran tepat waktu, meski ternyata para orang tua sudah tiba lebih dulu. Pasangan itu tampak sangat serasi dengan nuansa hitam dan merah. Cakra sepertinya harus berterima kasih karena Ratna barbar sekali merobek kemejanya. Alhasil, Cakra bisa menyesuaikan diri dengan pakaian pilihan Ratna.
"Lho, ada Raga?" Ratna terkejut. Dia pikir pertemuan malam ini hanya dihadiri para orang dewasa.
"Aku ikut Oma dan Opa, terus mau ketemu sama Kakek dan Nenek." Raga melayangkan tatapan ke seberang meja, pada ayah dan ibu Ratna.
Ratna bingung, sama bingungnya dengan ayah dan ibunya. Sejak kapan Raga menyematkan panggilan itu pada orang tua Ratna? Sebelum bertanya terang-terangan, Ratna merasakan hangat telapak tangan Cakra di punggungnya, seakan menyuruh Ratna segera duduk di kursi yang telah tersedia.
Hari itu makan malam berlangsung dengan sangat tenang. Tidak ada obrolan berarti kecuali cerita Raga soal hasil karyanya yang mendapat nilai buruk, tentu saja karena kelalaiannya membawa stik es krim. Ratna melirik pada orang tuanya, yang secara menakjubkan membiarkan Raga terus bicara. Ayah dan ibu Ratna termasuk orang tua yang disiplin dan menjunjung tinggi tata krama, sedangkan makan sambil mengobrol adalah dosa bagi mereka.
Ratna tidak mengerti mengapa mereka membiarkan hal itu, terutama ayahnya. Sejak kejadian Raga ketakutan sampai mengompol, Ratna bisa merasakan perubahan drastis tersebut. Ayahnya bahkan berinisiatif meminta orang kepercayaannya untuk mencarikan Raga baju ganti. Apakah hati orang tua Ratna melembut begitu saja dengan kehadiran bocah yang kelakuannya tidak bisa diprediksi?
"Jadi, kapan kalian mau menikah?"
Cakra yang sedang membantu Raga makan puding dan Ratna yang sedang menyingkirkan piring kosong dari hadapan Raga serentak berhenti bergerak. Keduanya tahu pertanyaan ayah Ratna tertuju pada mereka. Meskipun pernah menentang hubungan Ratna dan Cakra, pria itu terkesan tidak sabar untuk segera membuat upacara pernikahan.
"Iya, kapan kalian mau menikah?" Singgih ikut bertanya dan mendesak.
Sambil menyimpan potongan puding di pipi dalam, seperti tupai, Raga membeo dan menambahi. "Ayah dan Ibu kapan mau menikah? Kalau sudah menikah, kita bisa tinggal bareng-bareng lagi."
Baik Cakra maupun Ratna menyisir tatapan para penghuni meja. Tidak terlihat penentangan dari siapa pun. Di balik punggung kursi Raga yang berada di antara mereka, Cakra dan Ratna berpegangan tangan. Mereka sudah menyiapkan jawaban yang mantap dalam perjalanan ke mari karena tahu topik ini pasti akan dibahas.
"Kami akan menikah ...." Cakra melirik Ratna, seperti memberi kode supaya wanita itu yang melanjutkan.
Remasan tangan Cakra memberi Ratna kekuatan untuk menjawab, " ... setelah situasi mendingin."
Terdengar desahan kecewa di sana dan sini. Itu bukan kabar baik, lebih-lebih mereka tahu permasalahan Ratna tidak mudah dilupakan khalayak. Lagi-lagi para tetua harus menunggu, dan Raga yang belum paham cuma bisa celingukan membaca raut muka opa dan oma, serta kakek dan neneknya.
"Jadi," Raga berhenti mengunyah, "Ayah dan Ibu nggak bakal cepat-cepat menikah?"
Ratna tersenyum tipis, sedangkan Cakra memilih tidak menjawab. Ini keputusan mereka berdua, yang sayangnya membuat banyak pihak terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top