59 | Perlawanan Ratna

"Ibu kenapa tinggal di hotel, sih? Kenapa Ibu nggak pulang ke rumah Ayah?"

Ratna melenggang santai di balik punggung Raga yang merajuk. Lucu sekali anak itu. Mulutnya terus mengeluarkan protes, tetapi kakinya tetap bergerak memasuki lobi gedung tempat Ratna menginap.

"Nanti Oma sama Opa marah," balas Ratna sambil menahan tawa.

"Kenapa marah? Ibu sudah jadi ibu aku. Kita keluarga. Keluarga tinggal di tempat yang sama."

Ratna pernah bertanya pada Raga, mengapa Raga sangat menyukainya sampai-sampai berdoa supaya Ratna menjadi ibunya. Raga menjawab dengan kepercayaan diri tingkat tinggi bahwa cuma Ratna yang tidak menganggapnya sebagai anak-anak. Awalnya Ratna tidak memahami maksud di balik jawaban itu. Namun, setelah mengamati pola interaksi Raga dengan orang dewasa lainnya, Ratna tiba pada satu kesimpulan. Cuma Ratna yang menerima, tanpa meremehkan, logika-logika ala Raga yang terkadang terkesan lebih dewasa dari logika anak-anak usia sebaya.

Baru sekarang ini Ratna terjebak pada logika yang Raga lontarkan. Keluarga memang biasanya tinggal di tempat yang sama. Masalahnya, dulu mereka pernah tinggal bersama meskipun bukan keluarga. Rumit sekali. Satu-satunya obat dari segala kesalahpahaman ini ialah pernikahan dan pengukuhan hubungan keluarga secara hukum.

Ratna lantas meraih tangan Raga dan menariknya lembut menuju deretan lift. "Sebentar lagi kita bakal tinggal bersama kayak dulu. Raga bisa tunggu sampai upcara pernikahan selesai, kan?"

"Benar?"

"Iya. Tante nggak pernah ingkar janji."

Raga mengangguk. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka dan Raga masuk mendahului Ratna. "Ibu nggak pernah bohong. Aku percaya."

Suasana hati Raga langsung membaik. Anak itu mengayunkan tautan tangannya dengan Ratna ke depan dan ke belakang. Mereka beralih membicarakan menu yang akan mereka pesan sambil menunggu Cakra tiba.

Keceriaan Raga terhenti saat tiba-tiba Ratna menghentikan ayunan tangan mereka. Mereka sudah tiba di depan pintu kamar Ratna. "Kenapa, Ibu?"

Dari luar pintu itu terlihat terkunci. Akan tetapi, cahaya di tulisan "Don't disturb" yang sengaja Ratna nyalakan sebelum pergi menjemput Raga kini mati. Benar-benar mencurigakan. Tidak mungkin Ratna berterus terang pada Raga bahwa ada kemungkinan seseorang menunggu di dalam kamarnya.

"Ibu?"

"Sssttt!" Ratna menempelkan jari telunjuk di depan bibir, kemudian menggeleng.

Denting lift di kejauhan menyadarkan Ratna. Sesuai dugaan, meskipun bunyi sepatunya tak terdengar, pria muda yang dia temui di warung bubur ayam muncul dari ujung lorong. Ratna secara terang-terangan menyuruhnya mendekat.

"Tolong jaga anak ini," kata Ratna sambil mendorong Raga supaya menyingkir dari depan pintu kamarnya.

Dengan berani, Ratna membuka pintu kamar. Dia sudah memasang kuda-kuda, siapa tahu ada orang yang bersembunyi di balik pintu dan siap menerjangnya. Namun, ternyata orang kurang ajar itu tidak perlu repot-repot bersembunyi. Dia malahan sedang duduk di sofa yang langsung terlihat dari pintu masuk, sambil memainkan sebuah botol minuman keras.

"Dewa." Ratna berdecak. Bukan hal aneh lagi orang itu mampu menemukan tempat persembunyian Ratna, bahkan sampai masuk ke ruang pribadinya.

Dewa tidak terlihat senang. Tatapannya awas betul, seperti tak terkalahkan di bawah pengaruh alkohol. Meskipun masih mengenakan kemeja kantoran, kedua lengannya sudah digulung hingga siku dan dasinya mengendur dengan kancing teratas terbuka. Jambangnya dibiarkan tumbuh tak terawat.

Ratna bergidik jijik membayangkan dirinya pernah terjerat dimiliki suami beraura maskulin, dominan, tetapi suka main tangan. Apa bagusnya? Jauh lebih bagus Cakra yang memilih memakai kaus dalam dan kolor saja ketimbang membuat kemeja dan celana kainnya kusut.

"Kamu menang, Ratna. Tetapi, kamu bermain kotor." Dewa meneguk minuman tanpa mengalihkan tatapan dari wanita yang enggan melangkah lebih jauh dari pintu masuk. "Aku pernah bilang, jangan sentuh perusahaanku."

Ratna menyilangkan tangan di depan dada. "Itu perusahaan ayahmu. Lalu, yang menyentuhnya bukan saya, tapi Hana."

"Kamu bekerja sama dengan Hana."

"Saya yakin kamu nggak pernah mengira adik kecilmu itu memiliki pikiran licik untuk menurunkan kamu menggunakan kasus ini."

"Hana tidak licik. Kamu yang mengotori pikirannya." Dewa meletakkan botol di kaki kursi. Siku-siku tangannya menumpu di lutut. Tubuh bagian atasnya condong ke depan. "Kamu cuma rubah kecil yang suka mengganggu pikiran orang-orang. Kamu memanfaatkan cinta kekanakan Haiyan untuk lepas dari aku. Kamu merayu laki-laki lain demi dapat tempat tinggal dan teman tidur. Sekarang, kamu memberi pengaruh buruk pada Hana untuk menyingkirkan aku dari perusahaan."

Kedua tangan Ratna mengepal. "Itu semua terjadi karena kamu. Jangan salahkan orang lain!"

"Dan kamu nggak tahu betapa tersiksanya aku jatuh cinta sama kamu!" balas Dewa tak kalah keras. Dalam langkah-langkah lebar, pria itu menghampiri Ratna, kemudian menarik tangannya hingga punggung Ratna membentur pintu lemari. "Kamu. Milik. Aku. Sampai dunia kiamat hubungan kita bakal begitu."

"Kita sudah bercerai." Demi apa pun, Ratna tidak akan kalah dalam peperangan basa-basi konyol ini.

"Aku nggak pernah datang ke sidang perceraian itu."

Ratna tersenyum miring. "Sayang sekali. Saya punya pengacara hebat yang bisa membuat pernikahan kita berakhir. Maaf, hukum tidak selalu memihak kamu."

"Berengsek!"

Kepalan Dewa menghantam kayu tepat di sebelah pelipis Ratna. Alih-alih segera menghindar, Ratna justru sama sekali tidak mengedipkan mata. Keberaniannya bertumbuh, seiring rasa bencinya pada Dewa yang membesar. Dia tidak akan menangis karena rasa sakit seperti dulu. Bila ada yang perlu ditangisi, Ratna memilih menangisi dirinya yang dulu, yang sama sekali tidak berkutik demi melindungi citra diri dan keluarga.

Persetan dengan citra. Ratna tidak bisa hidup tenang menggunakan citra palsu begitu.

Ratna membalas ucapan Dewa sambil memasang senyum miring di wajah. "Dewa, kamu nggak pantas menyematkan kata cinta di dalam hubungan kita. Kamu nggak tahu apa-apa soal cinta. Semua yang kamu rasakan ke aku itu bullshit. Kalau cinta, kamu nggak akan mau lihat aku menderita, termasuk menderita karena aku terpaksa bertahan di samping kamu."

"Ibu!" Raga berteriak dari luar. Teriakan dan debum keras dari arah kamar membuatnya ketakutan.

"Anak itu." Dewa menyeringai. Pandangannya menggelap. "Ya, anak itu. Dia yang bikin kamu pergi dari aku."

Ratna buru-buru mencekal lengan Dewa supaya tidak menghampiri Raga. Sayang, perlawanan Ratna tidak ada apa-apa dibanding Dewa yang kesetanan. "Dia nggak ada sangkut pautnya sama hubungan kita," teriak Ratna.

"Kamu menyentuh perusahaanku, maka aku menyentuh anak itu."

Ratna tidak punya pilihan lain. Sebelum Dewa mencapai tempat Raga, dia melayangkan tendangan ke punggung Dewa. Perlakuannya sukses membuat Dewa terhuyung, tetapi tidak sampai terjerembab. Napas Ratna tercekat kala Dewa memberi tatapan mematikan.

Tatapan itu sama seperti yang Dewa berikan pada Ratna saat memperkosanya di ruang keluarga. Tubuh Ratna sontak membeku. Setiap gambaran tendangan dan pukulan yang sudah dia perhitungkan dalam kepala luntur begitu saja.

Dalam sepersekian sekon, Dewa berhasil memiting tangan Ratna ke balik punggung. Dengan tubuhnya yang lebih kekar dan jangkung, Dewa memepet Ratna, membuat pipi Ratna merasakan dinginnya dinding lorong hotel.

"Berani melawan kamu, hah? Wanita gila!"

Telinga Ratna berdenging. Dasar Dewa sinting, untuk apa memaki dan berteriak di kuping orang? Bicara dengan suara biasa saja sudah cukup. Ratna berusaha membebaskan diri, lebih-lebih keadaannya yang menyedihkan ini membuat Raga yang melihatnya menangis meraung-raung.

Ratna ingin menyumpahi orang yang dia tugaskan untuk menjaga Raga, tetapi bantuan itu segera datang. Si pria penjaga ternyata bersembunyi di sisi lain lorong. Begitu kesempatan datang, pukulan tangan terbukanya yang menyasar tengkuk efektif melumpuhkan Dewa. Ratna terbebas, jatuh terduduk, dan langsung terbatuk-batuk.

"Sisanya biar saya bereskan, Bu," katanya sambil menyatukan tangan Dewa di balik punggung.

Ratna mengangguk patah-patah. Ratna menjadi saksi bagaimana penolongnya mengikat pergelangan tangan Dewa menggunakan cable ties. Gerakannya ringkas dan cepat, seakan sudah ribuan kali dia melakukan hal serupa.

"Ibu," panggil Raga yang masih menangis. "Ibu, jangan mati!"

Perhatian Ratna beralih. Wanita itu merangkak karena lutut-lututnya masih lemas. Dia meraih Raga, memeluk dan menenangkannya. Dia biarkan Raga menangis di pangkuannya, hingga tiba-tiba serombongan orang datang ke tempat itu.

Barisan depan terdiri dari polisi tanpa seragam. Mereka meringkus Dewa yang masih tak sadarkan diri. Di belakang rombongan itu, Ratna melihat Doni, Cakra, dan ... ayahnya.

Ratna tercengang. Ini benar-benar di luar prediksi. Bagaimana Cakra dan ayahnya bisa datang bersamaan, bahkan berdiri bersisian seperti teman lama?

"Ratna, Raga," Cakra segera berlutut di depan Ratna dan Raga yang masih terduduk, "kalian nggak apa-apa?"

Ratna berusaha keras berdiri, mengabaikan lutut-lututnya yang hampir menyerah lagi. Sambil berpegangan di dinding, Ratna beradu tatap dengan sang ayah. "Ayah ngapain di sini?"

"Hari ini aku ada meeting sama orang penting, Na. Beliau ini orang pentingnya." Cakra ikut berdiri di sebelah Ratna. "Waktu Doni kasih kabar kalau kamu dan Raga dalam bahaya, kami langsung menyusul ke sini."

"Bu Ratna." Doni menyela di pertemuan keluarga itu. "Ada beberapa hal yang harus kita siapkan. Kepolisian pasti akan meminta keterangan Bu Ratna sebagai saksi peristiwa tadi."

Informasi yang berdatangan terlalu cepat dan banyak. Ratna belum selesai berbincang dengan ayahnya, kemudian Cakra berbicara, dan Doni menodongnya dengan persoalan lain. Ketika Ratna mengedarkan pandangan mencari-cari penolongnya supaya ikut datang sebagai saksi, ternyata orang itu sudah keburu menghilang entah ke mana. Kalau begini, Ratna terpaksa menjadi satu-satunya saksi mata.

"Ayah, Ibu." Isakan Raga berhasil menyita perhatian Cakra dan Ratna. Di antara orang-orang dewasa, anak itu terlihat enggan berdiri.

"Ada apa, Raga? Kamu sakit?" Ratna berlutut di hadapan Raga. Dia mengabaikan sorot aneh di mata ayahnya.

Raga menggeleng, tetapi tangisnya makin membanjir. "Ayah sama Ibu jangan marahin aku. Aku ... ngompol."

***

Maaf, Raga. Di mata author, kamu tetaplah anak kecil 😭

Btw, peran Raga penting banget di cerita ini. Dia datang sebagai sosok anak yang Ratna idam-idamkan, jadi alasan pendorong supaya Cakra mulai serius cari istri, jadi perekat hubungan Cakra-Ratna (dan dua kubu keluarga), plus jadi saksi dalam penyelesaian hukum (karena dia bukan bocil biasa) 😁

Peran tambahannya: jadi penggembira suasana. Ups 🫣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top