57 | Menuju Babak Akhir
"Ibu!" Raga berlari dan langsung mengalungkan lengan di pinggang Ratna. "Ibu kenapa nggak pulang ke rumah?"
Ratna meringis kala menyadari dia belum layak mendapat sambutan seperti ini dari Raga. Dia bahkan sengaja mengabaikan pertanyaan tersebut dan segera mengajak Raga untuk menemui Doni. Raga malah bertingkah manja, membuat Ratna tidak tega menolak permintaannya untuk bergandengan. Ratna harus tebal muka karena dari balik punggungnya terasa tatapan panas orang tua Cakra yang ikut datang mengantar Raga.
"Om Doni!" Sapaan Raga menghentikan kegiatan Doni yang sedang bercakap-cakap dengan tim penyidik. "Om Doni kalau kerja nggak rajin. Masa sudah dua kali minta bantuan aku?"
Doni terkekeh, tetapi tetap menyapa balik anak itu dengan mengacak-acak rambutnya. "Enak aja. Om panggil kamu justru karena rajin kerja." Doni mengalihkan perhatiannya pada Ratna. "Ayahnya Raga mana?"
"Cakra ada kerjaan, nanti menyusul. Tadi Raga diantar sama oma dan opanya." Ratna melempar pandangan ke arah pintu, di mana orang tua Cakra cuma berani melongok.
Bahasa tubuh Doni langsung melunak. Pria itu menarik senyum lebar dan bersahabat. "Halo, Om, Tante!"
Ratna menatap iri kedekatan Doni dengan orang tua Cakra. Ratna mengetahui Doni dan Cakra sudah berteman sejak lama. Tentu pemandangan di depannya ini bukanlah hal baru. Akan tetapi, menilik bagaimana perbedaan kehangatan yang orang tua Cakra tunjukkan pada Doni dan Ratna, tetap saja hati Ratna panas. Sepertinya Aster dan Singgih masih belum bisa memaafkan kesalahan Ratna dan Cakra.
"Saya bakal jaga Raga, Om, Tante." Doni mengangguk-angguk hormat. Laki-laki itu kemudian menatap Ratna penuh arti. "Bu Ratna juga tenang aja. Raga aman bersama saya."
Itu adalah kalimat pengusiran secara halus. Pada proses pengambilan kesaksian, Ratna tak diperbolehkan mendampingi Raga demi menjaga objektivitas. Lebih-lebih, Raga cukup tenang dan tak membutuhkan pendampingan khusus. Setelah berpamitan pada Raga yang sejak tadi sudah duduk menghadap meja pemeriksaan, Ratna pun bergabung dengan orang tua Cakra di luar ruangan.
"Ini ada sari kurma beberapa botol," ucap Aster begitu Ratna duduk. Nenek Raga itu meletakkan tas plastik di sebuah kursi yang sepertinya sengaja Ratna biarkan kosong sebagai batas perdamaian. "Saya dengar dari Cakra, kamu pingsan di ruang sidang karena pendarahan. Muka kamu juga masih pucat."
Ratna refleks mengusap pipi. Dia memang baru keluar dari rumah sakit tadi pagi. Setelah menitipkan barang-barang pada asisten Hana yang menjemputnya, Ratna bergegas berangkat ke kantor polisi. Hidupnya terlalu sibuk untuk mengambil jatah istirahat lagi.
"Terima kasih, Tante." Ratna kikuk sekali saat menerima pemberian Aster.
Ratna tidak pernah bermanis-manis. Dulu hubungannya dengan mertua tidak terlalu dekat. Kecuali pembicaraan soal pekerjaan dan percakapan rencana punya anak, Ratna tidak ingat apa yang pernah mereka bahas. Mereka saling menanyakan kabar pun jarang-jarang, terkesan basa-basi formalitas bila bertemu.
Karena tidak ada pengalaman, Ratna tidak tahu harus berkata apa. Jadi, beberapa menit berikutnya dia melalui keheningan. Orang tua Cakra bahkan juga diam, tidak seperti yang Ratna ketahui bagaimana keduanya sangat suka bicara.
Suasana yang mencekik berakhir bersama kehadiran Cakra. Pria itu menyalami tangan mama dan papanya dengan takzim, kemudian duduk di sebelah Ratna, tepat di tempat Aster tadi meletakkan buah tangan untuk Ratna.
"Itu apa?" tanya Cakra setengah berbisik pada Ratna. Dia menunjuk bungkusan yang berada di pangkuan kekasihnya.
"Sari kurma dari Tante Aster."
"Tante Aster?" Cakra menoleh ke sisi lain, di mana ibunya duduk. "Mama kasih sari kurma untuk Ratna?" tanyanya dengan nada riang.
"Cuma sebagai bentuk tanggung jawab." Singgih menyela kesempatan istrinya bicara. Pria itu melirik Ratna sekilas dengan raut muka datar. "Ratna pendarahan karena ulah kamu. Cuma ini yang bisa Papa lakukan biar kamu nggak kena tuntutan hukum. Ayahnya hakim," ucap Singgih sambil mengedikkan dagu.
Cakra mulai berang. "Ratna nggak mungkin–"
"Cak." Ratna menggeleng seraya memegang lengan kekasihnya sebagai bahasa isyarat untuk diam.
Aster meletakkan telapak tangannya di lengan Cakra yang lain. "Mumpung ada Ratna, Mama sekalian tanya. Kalian mau nikah kapan?"
"Persiapannya harus dari sekarang." Lagi-lagi Singgih yang menyahut. "Lebih cepat, lebih baik, daripada ada kejadian kayak kemarin lagi."
"Ratna masih pemulihan," kata Cakra urun pendapat.
"Kalian sengaja biar nggak menikah, ya?" Aster tampak mau menangis. "Cakra, Mama nggak pernah ajarin kamu jadi anak yang nggak bertanggung jawab. Mama mau kamu nikahin Ratna secepatnya."
Cakra saja kebingungan, lebih-lebih Ratna. Sebelum mereka menjadi pusat tontonan orang-orang di kantor polisi, Cakra segera menampik dugaan ibunya. Penjelasan Cakra terlalu belepotan, soal bagaimana rumitnya kasus kali ini, pemulihan Ratna, menghubungi keluarga Ratna, dan lain-lain. Untunglah Doni tiba-tiba keluar ruangan dan meminta tisu.
"Kenapa butuh tisu?" tanya Cakra.
"Raga jawab pertanyaan sambil mainan pulpen. Eh, bocor. Tintanya ke mana-mana."
"Saya ada ini," kata Ratna sambil mengeluarkan sehelai sapu tangan biru muda. "Pakai ini dulu nggak apa-apa, kan, Cak?" Belum sempat Cakra menjawab, Ratna keburu masuk ruangan untuk membersihkan kekacauan yang Raga perbuat.
"Itu bukannya sapu tangan Raga sejak bayi?" Aster yang tidak jadi menangis spontan bertanya.
"Iya, Ma." Cakra mengusapkan keringat dingin di telapak tangannya ke celana. "Setelah Ratna tinggal bareng aku, urusan Raga lebih banyak jatuh ke tangannya. Aku ambil pekerjaan rumah yang dia nggak bisa."
Cakra memperhatikan kedua orang tuanya bertukar pandangan. Pasti ada sesuatu. Dia ingin bertanya, tetapi urung saat menyadari keduanya tak lagi membahas pernikahan. Cakra menahan benaknya yang hampir mati penasaran sampai sesi pemeriksaan Raga selesai dan kedua orang tuanya pulang.
Pria itu bertekad. Sebisa mungkin topik ini tidak dibahas lagi, setidaknya sampai Ratna benar-benar siap.
***
Ada klausul khusus pada kontrak yang mengikat hubungan profesional antara Ratna dan Hana, yaitu Ratna dilarang bekerja selain untuk kepentingan Hana. Maka dari itu, satu hal lain yang harus Ratna urus begitu keluar dari rumah sakit adalah menyerahkan surat pengunduran dirinya ke kantor. Walaupun sejak jauh hari Ratna telah mengirim surel, pernyataan bertanda tangan inilah yang secara legal akan menghapus namanya dari daftar pegawai.
"Kamu yakin mau ke sana sekarang?" tanya Cakra sambil memakai sabuk pengaman.
"Lebih cepat, lebih baik. Aku nggak mau bayar penalti besar ke Hana."
"Bukan itu masalahnya." Cakra mengulur waktu, tidak buru-buru mengganti persneling dan melajukan kendaraan. "Di sana kemungkinan besar masih ada Andre. Kamu bakal ketemu Andre di luar ruang sidang. Kondisi kamu juga masih lemah begini karena baru keluar rumah sakit. Apa kamu benaran sanggup?"
"Kalau gitu," Ratna menyentuh lutut Cakra, "kamu bisa temenin aku?"
Cakra mengulum senyum dan batal mengomel. "With my pleasure."
Ratna menarik tangan. Wanita itu duduk bersandar, menikmati suasana jalanan kota Surabaya yang sebenarnya begitu-begitu saja. Ratna hampir terlelap saat tiba-tiba Cakra melempar pertanyaan.
"Kapan surat penangkapan Andre keluar?" Cakra bertanya tanpa menoleh. "Hari ini Doni baru ambil pernyataan Raga. Berarti kira-kira besok atau lusa, ya?"
"Hari ini. Paling lambat nanti sore."
"Secepat itu?" pekik Cakra.
"Nggak ada yang nggak mungkin kalau kita sudah pakai nama Kartono dan nama ayahku," balas Ratna. Dia menurunkan sandaran kursi sebagai isyarat ingin beristirahat. "Maaf, Cak. Bisa tolong bangunin aku setelah sampai? Aku harus nabung energi biar nanti puas lihat pertunjukan seru."
"Pertunjukan seru apa?"
"Penangkapan Andre," jawab Ratna sambil menyamankan diri. "Di kantor," lanjutnya santai.
Cakra meringis, kemudian melirik Ratna. "Apa nggak berlebihan?"
"Tangkapan kita yang sebenarnya lebih dari itu. Andre cuma umpan. Kalau mau menangkap Dewa, umpannya memang harus dilebih-lebihkan." Ratna menepuk bahu kekasihnya dua kali untuk menenangkan. "Nanti kamu bakal duduk di kursi VIP dan jadi yang paling depan menyaksikan itu semua. Makanya aku ajak kamu ke kantorku sekalian."
Cakra menelan ludah susah payah. Kombinasi pekerjaan Ratna dan Doni sungguh luar biasa. Mereka sama-sama tak mengenal belas kasihan. Ratna dan Doni pasti berniat memojokkan Andre, membuatnya malu, merampas rasa bangganya karena selama ini berhasil memainkan peran muka dua, supaya orang itu tak punya pilihan selain membawa nama Dewa dalam kesaksiannya.
Rencana yang mengagumkan. Namun, rencana tidak bisa seratus persen menentukan hasil akhir. Rencana Ratna nyaris sempurna, terutama saat berhadapan langsung dengan bos besar di pertandingan babak terakhir.
***
Author's note:
Hai, hai! Aku mau kasih tahu kalau "Come Back Home" minggu depan sudah TAMAT di Cabaca 😍
Buat yang penasaran sama kisah Haiyan-Naya yang hampir bercerai dan bagaimana peran Cakra-Ratna di kehidupan mereka, bisa, yuk, baca sekarang 😁
Fyi, aku suka bagi-bagi bonus ke pembaca. Buat kamu yang memberi dukungan dengan buka bab "Come Back Home", kamu berhak klaim dua bonus book, lho! Keterangan lebih lanjut lihat di Instagram (cerita.pingumerah) atau Twitter (pingumerah) 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top