55 | Ibu
Cakra menyesal harus menyaksikan Ratna terpuruk seperti ini. Usai berteriak dan bermaksud mengusir Cakra dari kamarnya, Ratna justru kembali limbung. Tenaganya habis untuk menahan rasa sakit. Tanpa memerlukan suntikan obat penenang, dengan sendirinya Ratna mengunci bibir dan mengerem laju air mata.
"Operasi, ya, Na," kata Cakra sambil mengusap lengan Ratna.
"Siapa kamu? Kamu nggak berhak sama anak ini. Kamu bukan ayahnya."
"Aku yakin, yang tidur sama kamu cuma aku. Anak itu anak aku juga."
Ratna menyingkirkan tangan Cakra dari lengannya. "Setelah tuduhan kamu malam itu, sekarang kamu bisa bilang begini? Bilang kalau aku cuma tidur sama kamu? Kamu lupa kalau malam itu kamu nuduh aku selingkuh sama Haiyan?"
"Aku nggak bilang gitu!" Cakra segera menekan nada bicaranya ketika sadar emosinya mulai tersulut. "Aku ... minta maaf. Kepercayaanku ke kamu memang berkurang karena tiba-tiba pesan ajakan bertemu dari Haiyan muncul di ponsel kamu. Tapi, Na, aku sama sekali nggak menuduh kamu selingkuh. Merusak kepercayaan nggak selalu hasil akhirnya berupa perselingkuhan. Aku cuma minta satu hal dari kamu, nggak berhubungan dengan Haiyan secara langsung, tapi kamu nggak bisa lakuin. Kamu tahu kalau aku benci sama orang yang suka ingkar janji, kan? Itu bikin aku teringat sama kelakuan mantan istriku, Na. Aku marah karena itu."
Ratna memutar tubuh hingga membelakangi Cakra. "Pulang, Cak. Aku mau istirahat."
Sebab lama tidak ada penyangkalan yang terdengar, Ratna pun mulai penasaran. Saat menoleh kembali, rupanya Cakra sudah tidak duduk di kursi di sebelah kasur. Pria itu malah sedang melucuti kemeja dari tubuhnya.
"Kamu mau ngapain? Ini di rumah sakit!" kata Ratna dengan suara dikeraskan.
"Aku nggak suka bikin kemejaku kusut. Daripada tiduran pakai kemeja, mending pakai singlet."
Ratna merasa deja vu. Dia pernah melihat Cakra begini, yaitu ketika Cakra kukuh ingin menemani Ratna tinggal di apartemen yang menurutnya tak aman. Saat itu pun Ratna dan Cakra sedang berselisih paham, meski tidak separah saat ini.
"Majuan dikit," ucap Cakra sambil menepuk-nepuk pinggang Ratna.
"Cakra!" Ratna pening lagi, tetapi bukan karena alasan medis. "Masa satu kasur berdua? Kalau kasurnya ambruk bagaimana? Ini properti rumah sakit."
"Aku ganti rugi. Sekarang, kamu majuan dikit. Mau aku peluk."
Permintaan Cakra sungguh kekanakan. Namun, Ratna tak pernah bertahan lama menolak sentuhan pria itu. Biar masih ada perasaan dongkol, Ratna membiarkan Cakra berbaring sambil memeluk pinggangnya dari belakang. Ratna diam saja ketika Cakra menghujani kepalanya dengan ciuman.
Ratna berpikir beberapa saat, kemudian melempar pertanyaan penting. "Cak, hubungan kita selama ini cuma terbatas pada ketertarikan fisik. Kamu nggak perlu segininya sama aku."
"Kenapa kamu menganggap hubungan kita terbatas pada itu?"
"Aku baru sadar. Selama ini nggak pernah ada kata 'cinta' yang terucap di antara puluhan ciuman dan hubungan badan yang sudah kita lakukan."
Cakra berhenti mengusap perut Ratna. "Oh, ya?"
"Jadi, Cak. Kamu nggak perlu terbebani dengan kehadiran aku. Setelah semua kasus ini selesai, aku bakal putus hubungan dari kamu dan Raga. Kamu bisa melanjutkan kehidupan bersama wanita pilihanmu yang lain."
"Kamu lupa kalau kita sama-sama pernah saling menghancurkan?" Cakra menempelkan kening di belakang kepala Ratna. Dia menghirup banyak-banyak wangi sampo Ratna yang sebelumnya tak pernah dia sangka akan membuat serindu ini.
"Bersama atau tanpa kamu pun, aku sudah hancur." Ratna membuang napas panjang. Setetes air mata meluncur membasahi bantal. "Selain aku, nggak ada yang mengapresiasi kehadiran kandunganku. Alasannya banyak. Bahayalah, merenggut jiwalah. Kalau aku juga memperlakukannya sama seperti orang lain, bukannya aku sungguhan bakal hancur?"
"Sayang, lihat aku!"
Sentakan tangan Cakra memaksa Ratna berpaling. Tatapan mereka bertemu. Berbeda dengan pandangan Ratna yang kabur oleh air mata, mata Cakra masih jernih. Sejernih pikirannya dan kesadarannya menanggapi masalah pelik yang satu ini.
"Sebelum kamu menginginkan anak ini, kamu pernah menginginkan aku. Kamu bolak-balik dorong aku untuk mundur karena memperhatikan keselamatanku. Kamu bahkan membuat kontrak dengan Hana dan Kartono Group demi kepentinganku. Kamu baru tahu kehadiran anak ini sekarang, sebelum-sebelumnya aku dan Raga yang hadir di hidup kamu." Suara Cakra mulai pecah saat melanjutkan. "Nggak bisakah kamu melepas obsesi terhadap kehamilan demi kesehatan kamu sendiri?"
"Kamu nggak ngerti keinginanku, Cakra!"
"Aku paham, Sayang." Cakra mengguncang pelan bahu Ratna. "Makanya, lepaskan kandungan kamu yang sekarang. Setelah kamu pulih, aku bakal kasih kamu anak lagi, sesuai keinginan kamu."
"Nggak mungkin. Kehamilanku sekarang datang sebagai keajaiban setelah sekian lama."
"Dan bukan berarti kamu nggak bisa hamil lagi melalui usaha. Kita nggak semata-mata bergantung pada keajaiban." Jemari Cakra mengusap kening Ratna, kemudian turun ke pipi. "Aku mau kamu sehat dulu. Setelah kamu sehat, ayo kita ikut program kehamilan supaya bisa punya anak."
***
Ratna baru saja kehilangan calon bayinya. Harusnya dia merasa sakit akibat luka sayat di tubuh. Akan tetapi, Ratna seakan mati rasa pada rangsang nyeri, atau mungkin sesungguhnya dia telah mati di meja operasi.
Ini sesuatu yang buruk. Kemarin dia menangis dan menentang permintaan semua orang untuk menggugurkan kandungan. Ratna berusaha mencari berbagai literatur. Meski tidak memahami bahasa medis, dia terus membaca semalaman. Sayangnya, hingga pagi dia tidak menemukan dasar ilmiah yang mendukung permintaannya.
Persoalan kesehatan sungguh berbeda dari persoalan hukum. Untuk urusan nyawa, manusia tidak bisa bernegosiasi dengan Tuhan.
Akhirnya, Ratna pasrah saja ketika Cakra meminta pada dokter untuk melakukan operasi darurat, tepat ketika kondisi Ratna anjlok secara tiba-tiba. Itu hal terakhir yang Ratna ingat sebelum keawasannya menipis. Ratna sempat berpikir dirinya gagal mempertahankan kesadaran karena mengantuk usai bergadang, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah Ratna mengalami pendarahan hebat di bagian dalam tubuhnya.
"Ibu."
Ratna mendongak. Di dalam ruang gelap ini tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Dia juga tidak pernah dipanggil seperti itu sebelumnya. Namun, dia sangat yakin suara barusan tertuju padanya seorang.
"Ibu, bangun!"
Ratna merasakan sesuatu di bawah kakinya. Ada gempa. Ruang gelap di sekitarnya terasa bergoyang.
"Ibu!"
Pada panggilan ketiga, tubuh Ratna seolah ditarik menuju cahaya terang. Apakah dia telah dipanggil ke surga? Apakah ini saatnya dia menemui bakal bayinya yang sudah lebih dulu tiba di sana?
Akan tetapi, guncangan itu terasa keras. Kini perasaannya terlalu nyata, tidak mengambang seperti di ruang gelap tadi. Panggilan untuknya kian ribut. Ketika membuka mata, Ratna menemukan pelaku yang dari tadi memanggil sambil mendorong-dorong kaki Ratna supaya terjaga.
"Raga, nggak boleh ganggu orang yang sedang istirahat!"
Kemampuan melihat Ratna belum sepenuhnya kembali. Namun, dia bisa menangkap bayangan seseorang tiba di sebelah kasur. Orang itu berdiri bersisian dengan seorang lain yang sudah lebih dulu berada di sisi Ratna.
"Ibu nggak bangun-bangun, Ayah. Aku mau ngecek kalau ibu benaran nggak kenapa-kenapa!"
Raga, ayah, dan ... ibu? Kesadaran Ratna seakan dipaksa kembali karena kebingungan dengan kombinasi baru. Dia tidak terbiasa akan hal itu, lebih terbiasa dengan kombinasi Raga-ayah-tante.
"Raga," panggil Ratna lirih.
Cekcok ayah dan anak terhenti. Raga menanggapi panggilan Ratna dengan riang. Anak itu mendorong kursi, menjadikannya pijakan, lantas tak segan berbaring sambil memeluk Ratna dari samping. Cakra pun segera mendekat dan berdiri di sisi lain kasur Ratna.
"Sakit." Ratna mengeluhkan hasil kerja reseptor nyeri yang mulai pulih. Tangannya yang dipasangi jarum infus tersenggol Raga. Meski mengeluh, wanita itu tetap tersenyum. "Berarti aku belum mati," lanjutnya tersenyum tipis.
"Ibu jangan mati!" pekik Raga dengan muka memucat.
Candaan satire khas Ratna memang harus disaring sesuai rating usia. Cakra sampai turun tangan untuk menenangkan Raga. Anak itu meminta pada sang ayah untuk memanggilkan dokter.
"Nggak perlu. Tante nggak apa-apa," ucap Ratna sambil terkekeh. Dia menggeleng pada Cakra. "Tapi, kenapa tiba-tiba Raga panggil Tante pakai sebutan Ibu?"
Raga tidak langsung menjawab. Dia malah memeluk erat Ratna, bermanja-manja pada wanita yang tidak dia temui sejak lama. Tugas memberi penjelasan jatuh ke tangan Cakra.
"Aku yang minta. Toh, nggak ada bedanya mau dipanggil ibu nanti atau sekarang. Kamu bakal jadi ibunya Raga."
"Kenapa?" Ratna masih heran. Dia memang sudah kembali berbicara dengan Cakra, tetapi itu untuk membahas kondisi kesehatan, bukan masa depan mereka. Ratna pun belum mengiakan ajakan Cakra untuk mengikuti program kehamilan bersama.
"Ibu." Raga memutus ketegangan sebelum memuncak. "Ibu nggak boleh sedih. Biarin aja adik bayi ke surga duluan. Biar aku yang gantiin jadi bayinya Ibu."
"Raga, tapi–" Ratna berhenti bicara saat melihat gelengan Cakra. Wanita itu menghela napas, kemudian menepuk-nepuk punggung Raga. "Iya, Raga bayinya Ibu sekarang."
Raga yang biasanya sok dewasa dan tak mau disamakan dengan anak-anak, tiba-tiba berakting seperti bayi. Anak itu terus meringkuk di sisi Ratna. Cakra benar-benar dia singkirkan ketika sudah ada Ratna di depannya. Kehadiran Raga sesungguhnya membantu Cakra dan Ratna. Celotehan anak itu soal jam tangan mampu mencairkan suasana.
Ketika keadaan sudah mulai melenakan dan membuat semua pihak nyaman, segerombolan tamu istimewa datang menjenguk. Cakra dan Ratna kewalahan. Pasalnya, tidak ada yang tahu bahwa Ratna sakit dan baru saja menjalani operasi, kecuali Cakra, Raga, dan Hana. Bagaimana bisa orang tua mereka tahu?
"Ratna, Ayah mau bicara."
"Cakra, kamu ikut Papa."
Entah bagaimana kelanjutan hubungan mereka setelah ini. Orang tua Ratna maupun Cakra sama sekali tak menampilkan senyuman atau ucapan bela sungkawa. Jelas sekali, tidak ada yang menyukai fakta bahwa Ratna hamil di luar nikah.
***
Ciaaa, Cakra kena omel gara-gara bikin anak orang hamil di luar nikah dua kali. DUA KALI 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top