54 | Setengah Gila
"Apa? Ratna hamil?"
Hana menepukkan selembar kertas di tangannya kuat-kuat ke dada Cakra. "Lihat saja sendiri kalau nggak percaya."
Cakra bergegas membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Namun, makin lama senyumnya meredup. Kehamilan yang dia bayangkan akan membawa kabar gembira untuk semua orang, nyatanya adalah bom waktu yang membahayakan keselamatan Ratna. Dari saran dokter yang tertera, Ratna harus menjalani operasi sesegera mungkin.
"Pasti keluargaku bakal heboh, nih, kalau tahu Ratna bisa hamil." Hana tidak menyadari perubahan ekspresi Cakra. Dia asyik berandai-andai sendiri. "Semua orang mengira Ratna mandul. Tapi, Ratna terbukti bisa hamil. Berarti Ratna nggak mandul."
"Di mana Ratna sekarang?"
Hana menatap Cakra sekilas, kemudian malah duduk santai menyilangkan kaki. "Dilihat dari reaksi panik kamu kayak sekarang, kemungkinan besar kamu ayah si bayi. Benar?"
"Hana, aku perlu ketemu Ratna."
Cakra mati-matian menahan dongkol. Dia sudah lama tidak bertemu Hana, tetapi rupanya kelakuan ala drama queen itu masih awet. Seandainya tidak perlu memperhatikan nama baik dan kemungkinan skandal yang mencuat akibat langsung membopong Ratna sejak di ruang sidang, sudah pasti Cakra tidak perlu melewati barikade keamanan bernama Hana. Dia akan membabi buta mengurus Ratna sendiri, tidak serta merta menuruti perintah Hana untuk enyah.
Di mata Cakra, Hana seperti anjing penjaga Ratna. Dia terlihat santai, tetapi mencekam dan mengancam tiap Cakra berusaha mendekati si tuan.
"Ternyata hubungan kalian sudah sejauh itu. Kukira baru tunangan biasa."
Benar, kan? Hana justru mengulur waktu dengan memberi ucapan-ucapan penghakiman. Cakra bisa merasakan kalimat sindiran itu cenderung terarah padanya seorang, padahal hubungan ini berjalan karena ada dua orang di dalamnya.
Cakra lantas duduk di sebelah Hana. "Apa maumu?"
"Nggak mau apa-apa, tuh. Kebelet nyindir aja." Hana mengangkat bahu, kemudian menggeleng pelan sambil berdecak. "Ternyata kamu nggak sebaik dan se-gentle yang aku pikir. Syukurlah aku nggak ngebet nikah sama kamu."
Cakra meremas lutut-lututnya demi menahan tangannya tidak melayang menggebrak punggung kursi Hana. "Hubungan aku dan Ratna bukan urusanmu."
"No, no, no. Ratna budakku. Sudah sewajarnya aku tahu dan mengkhawatirkan dia."
"Budak?" Cakra mendengus. "Ada-ada aja bercandaan kalian."
"Aku serius. Demi menyelesaikan kasus yang berlarut-larut ini, dia datang dan minta tolong ke aku. Sebagai bayarannya, dia bertekuk lutut dan mau menandatangani kontrak kerja untuk aku."
Cakra mulai tertarik. Dia tidak menangkap guratan bercanda di wajah lawan bicaranya. "Kontrak kerja apaan?"
"Sebagai ganti bantuan-bantuan yang aku dan papa kasih, Ratna bakal bantu Kartono Group. Dia juga punya tugas untuk mendorong aku naik menggantikan posisi Mas Dewa."
"Mas Dewa?" Cakra kian bingung. "Tunggu, tunggu! Kamu tiba-tiba dekat sama Ratna aja sudah mencurigakan. Ini kenapa bawa-bawa nama Dewa segala?"
"Lho, kamu belum tahu? Keluarga papaku kerabat jauh keluarga Mas Dewa. Kami punya bisnis keluarga yang dikelola bersama. Sejak Ratna masih jadi istri Mas Dewa, aku sudah kenal sama dia."
Cakra terbengong-bengong mendengar asal-usul perkenalan Ratna dan Hana. Pikirannya membumbung pada peristiwa ketika mengenalkan Ratna pada Pak Salim. Seketika Cakra merasa bodoh karena pada saat itu dia sama sekali tidak menyadari kode yang menyiratkan bahwa Ratna dan Pak Salim pernah bertemu sebelumnya, tidak sebatas sebagai klien dan pengacara.
"Untuk orang-orang seperti kami, pernikahan adalah alat politik. Kalau ada cinta, itu bonus," ujar Hana mengakhiri penjelasan.
"Nggak separah itu. Buktinya Pak Salim dan istrinya nggak begitu," balas Cakra tak mudah percaya.
"Itu karena mereka sudah dapat bonusnya. Memang kamu nggak sadar waktu papa konsul perceraian ke kamu? Kekhawatiran apa yang membuatnya buru-buru mencari pengacara di saat istrinya minta cerai?" Hana tersenyum tipis melihat Cakra termenung. "Pembagian harta, klausul perjanjian dagang baru, dan segala hal yang sekiranya bisa diambil menggunakan jalur hukum. Itu yang papa pikirkan lebih dulu daripada usaha menyelamatkan pernikahannya. Baru setelah kamu menyarankan papa dan mama untuk pergi konsul ke psikolog perkawinan, di situ mereka berdua tahu bagaimana caranya jatuh cinta. Jadi, ya ... papa dan mama suka sama kepolosan kamu saat itu."
"Aku nggak polos," balas Cakra. Namun, ada sebagian hatinya yang setuju. Dia lantas mengubur wajahnya yang memerah di telapak tangan.
"Ya, kamu polos," kata Hana bermaksud mengejek dan menggoda Cakra. "Mungkin kamu nggak polos-polos amat untuk urusan ranjang, buktinya Ratna sampai hamil, tuh. Kamu polosnya dalam memaknai kehidupan. Mungkin karena pekerjaan kamu lebih sering melibatkan pembelaan terhadap orang-orang lemah dalam rumah tangga, perasaan kamu jadi terlalu lembek dan ... terlalu bocah." Hana mengangkat bahu. "Sejujurnya, kamu terlalu naif. Kalau nggak naif, nggak mungkin kamu menolak ajakan menikah dari aku cuma demi menuruti keinginan bocah usia enam tahun?"
"Bocah itu anakku. Aku cari pasangan untuk membangun rumah tangga dan membesarkan anak, bukan hubungan politik seperti yang kamu bilang tadi."
"That's it. Kamu polos!"
Cakra menghela napas. Tidak ada gunanya berdebat sekarang. "Kamar rawat Ratna di mana? Aku perlu ketemu dia."
"Ratna lagi istirahat. Jangan diganggu!"
"Aku nggak ganggu." Cakra memberi tatapan tajam yang mampu membuat lawan bicaranya berhenti mengoceh. "Cepat kasih tahu!"
"Baiklah." Hana terlalu mudah menyerah, seakan perlawanannya tadi sengaja dilakukan cuma sebagai bahan olok-olokan Cakra. "Tapi, kayak yang tadi aku bilang. Orang-orang kayak kami terbiasa nggak mementingkan cinta di atas segalanya. Gara-gara Ratna sudah cicipin cinta dari kamu, dia jadi lemah begitu. Well, kamu yang bikin Ratna lemah. Bagi orang kayak kamu, jatuh cinta terasa wajar. Tapi, bagi Ratna, dia rela menjual sisa hidupnya demi cinta yang nggak seberapa."
"Nggak usah bertele-tele."
Hana memutar bola mata, kemudian berdiri. "Ayo, aku antar! Persiapkan diri. Kamu bakal ketemu Ratna yang posisinya sedang terpuruk. Mungkin dia sekarang sudah setengah gila."
"Gila?" Cakra segera menyamai langkah Hana. "Kenapa gila?"
"Karena dia berniat mempertahankan kandungan yang nggak mungkin hidup. Kehamilan di luar rahim itu nggak normal. Tapi, dia nggak mau dioperasi. Bukannya itu gila?"
Cakra mengumpat dalam hati. Kini dia baru menyadari arti kehadiran anak begitu besar bagi Ratna. Selama sepuluh tahun lebih Ratna merasakan kegagalan sebagai seorang wanita karena tak kunjung mengandung. Namun, ketika sekarang akhirnya sel telur Ratna berhasil dibuahi, kandungannya justru harus segera dilenyapkan. Pencapaian Ratna hancur dalam hitungan detik.
Dengan perlahan, Cakra menekan gagang pintu kamar rawat Ratna. Dia sudah siap melihat gambaran kapal pecah, yaitu barang-barang bergelimpangan, karena membayangkan Ratna yang stres memilih mengacak-acak kamar. Namun, ternyata kamar itu rapi dan bersih. Cuma ada suara tangis tertahan yang agak mengganggu pendengaran.
"Aku tunggu di luar," kata Hana seraya mendorong bahu Cakra supaya maju. "Pilih apa saja yang mau kamu bicarakan. Kondisi Ratna lagi nggak baik untuk diajak memikirkan semuanya sekarang juga."
Tanpa berpikir dua kali, Cakra mengangguk. Dia melewati pintu masuk, lantas bersembunyi di balik tembok lorong sebelum menyaksikan area ranjang sambil mempersiapkan diri. Ada banyak sekali hal yang harus Cakra dan Ratna bicarakan, lebih-lebih pertemuan terakhir mereka tidak meninggalkan kesan menyenangkan. Akan tetapi, sebagai pasangan yang baik, Cakra segera mengingatkan diri bahwa kesehatan Ratna harus lebih diutamakan ketimbang pemenuhan ego akan rasa penasaran pribadi.
"Ratna?" panggil Cakra lembut. "Aku masuk, ya," lanjutnya meminta izin.
"Berhenti!"
Langkah Cakra langsung berhenti, seperti apa yang Ratna perintahkan. Cakra menatap Ratna dengan pandangan nanar karena wanita itu menolaknya mendekat. Dengan rambut panjangnya yang tak karuan, Ratna menutup wajah sekaligus ekspresi terluka di sana. Cakra diam-diam mendesah. Mengapa di situasi seperti ini Ratna malu untuk terlihat lemah?
"Aku cuma mau temenin kamu," bujuk Cakra. "Aku tahu ini bukan hal yang gampang untuk dihadapi sendiri. Jadi, tolong kasih aku izin untuk bertanggung jawab sama kamu."
"Berhenti!" teriak Ratna histeris saat Cakra mulai mengambil langkah lagi. Isak tangisnya terdengar makin keras. "Ini ... ini bukan anak kamu. Ini anak aku. Kamu nggak bertanggung jawab apa-apa sama aku."
Cakra menelan ludah susah payah. Setengah gila, kata Hana. Cakra rasa, kini dirinya mulai ikut-ikutan hampir gila. Dia seketika menjadi bodoh dan tak tahu harus berbuat apa.
***
Yang kemarin nebak Ratna hamil, selamat! Kamu benar 😁
Vote dan komen, bolehlah, nih 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top