53 | Persidangan
Hari-hari tanpa Ratna berlangsung sangat lambat. Pada hari ketiga kepergian Ratna dari rumah, Cakra mengalah dan berusaha menghubunginya. Namun, suara operatorlah yang menjawab. Hingga berpuluh-puluh telepon kemudian, selalu begitu. Cakra lantas menarik kesimpulan, Ratna sungguhan membangun pembatas, meski seminggu telah lewat.
Kini Cakra menjadi satu-satunya penguasa kasur di kamar bawah. Dia mulai bosan mengamati eternit saja. Pria itu tak pernah sendirian di kasur luas ini. Bila sendirian pun, pasti itu cuma untuk menunggu Ratna beberapa menit. Tanpa Ratna, Cakra bingung harus berbuat apa.
Aku rasa hubungan kita sudah nggak ada gunanya lagi.
Kalimat itu masih terngiang-ngiang, bahkan ketika Cakra sedang menutup mata. Suara Ratna dan ekspresinya yang terluka membuat Cakra segera mengembalikan kesadaran. Cakra dipaksa berpikir. Apakah hubungan mereka sungguhan akan berakhir di sini? Karena hatinya terus terusik oleh gema kalimat yang sama, Cakra melepas cincin tunangan dan menyingkirkannya ke sudut terdalam saku celana. Namun, saat Cakra tak mengenakannya, jari manis tangan kiri malah gatal minta diisi.
Cakra jatuh dalam dilema. Dia rindu, tetapi masih marah. Dia ingin menyudahi, tetapi tak rela.
Cakra masih ingat benar bagaimana hubungan mereka yang tak jelas ini juga mempengaruhi hubungannya dengan Raga. Raga terkesan memendam dendam padanya. Meskipun Cakra sudah mengembalikan jam tangan pemberian Ratna, Raga tak pernah mengamini ajakan bermain Cakra. Sudah diiming-imingi mainan baru pun, Raga tetap mengabaikannya.
Denting ponsel membuat tubuh Cakra terlonjak. Dia buru-buru menyambar gawainya, dengan harapan bahwa yang menghubungi adalah Ratna. Namun, harapan tinggal harapan. Justru nama Doni yang terpampang di sana.
Doni:
Besok jangan sampai terlambat. Jangan mengacau juga. Persidangan ini sedang menjadi perhatian publik.
Dengan memercayai Doni sebagai pemimpin, satu per satu kasus akhirnya terangkai. Tiap bukti dari kasus KDRT, penguntitan, hingga penyerangan Cakra, dan percobaan penculikan Raga menunjukkan benang merah. Tak ayal, para awak media mulai mengincar bagai predator kelaparan, terutama setelah nama Dewa muncul ke khalayak. Cakra tentu tidak akan mengacaukan persidangan yang telah mereka siapkan dengan sepenuh tenaga.
Esok adalah jadwal persidangan untuk kasus Cakra dan Raga setelah pihak penyidik berhasil mengamankan tersangka. Namun, tidak mungkin orang-orang media melepas Cakra dan Raga begitu saja. Lebih-lebih, besok Ratna akan hadir sebagai saksi. Statusnya sebagai mantan istri Dewa, dan kasus KDRT-nya yang belum benar-benar tuntas, adalah pancingan yang baik.
Memikirkan Ratna membuat Cakra mengerang tertahan. Besok mereka akan bertemu setelah sekian lama. Apa yang harus dia lakukan?
***
"Jago juga," komentar Hana takjub. "Berasa di film-film. Ada pintu belakang begini biar kita bebas dari sorotan kamera."
Ratna tersenyum mendengar komentar polos itu. Mau bagaimana lagi, di persidangan kali ini sebisa mungkin mereka menghindari paparazi yang sudah pasti menanti di luar ruang sidang. Seandainya Hana tidak memaksa membersamai Ratna, bisa-bisa saja Ratna memasuki ruang sidang dari pintu depan.
"Kamu cukup nonton. Nggak usah buka mulut, apalagi menarik perhatian." Ratna mengedikkan dagu. "Lalu, lepas kacamata hitam kamu. Penampilan kamu sekarang justru terlalu mencolok."
Ratna dan Hana berjalan bersisian menuju ruang sidang. Mereka duduk bersama di kursi para pengunjung persidangan. Ratna melihat Doni yang telah mengenakan toga dan simare tampak sibuk mempersiapkan berkas-berkas. Di sebelah kirinya, Cakra duduk diam dengan kedua tangan terangkai di pangkuan. Tidak terlihat Raga di mana-mana, yang Ratna yakini kehadirannya akan diwakilkan secara utuh oleh kuasa hukum terpilih, yaitu Doni.
Majelis hakim akhirnya muncul dari arah pintu rahasia. Para hadir berdiri seraya memberikan hormat. Persidangan pun dimulai. Ada empat orang terdakwa yang hadir dalam persidangan. Menurut surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum, mereka semua terlibat dalam perkara penganiayaan dan penculikan berencana.
Pada acara pemeriksaan pokok perkara, Ratna mulai tidak fokus. Dia dapat mendengar suara Doni memaparkan berbagai barang bukti. Ratna juga bisa mendengar suara tegas Cakra ketika pria itu memberikan pernyataan sebagai saksi korban. Namun, setelah satu dengung panjang yang terdengar di telinga, Ratna mulai merasakan pening.
Ratna tidak mungkin demam panggung. Ruang persidangan sudah seperti wahana bermain baginya. Maka dari itu, Ratna kebingungan sendiri menghadapi reaksi tubuhnya yang tidak seperti biasa, terlebih mendekati gilirannya diperiksa.
"Kamu gugup?" Hana berbisik pada Ratna. "Muka kamu pucat banget. Keringat di dahi kamu sampai banjir. Aku bawa tisu, nih!"
"Makasih."
Ratna menerima pemberian Hana. Setelah mengatur napas, perasaannya sedikit membaik. Ratna sedang berusaha meredakan pening dan perasaan melilit di perutnya, ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
Begitu berdiri, Ratna dapat merasakan sorotan kamera langsung terarah padanya. Tidak hanya kamera, semua tatapan juga jatuh ke arahnya. Ratna sempat bertemu pandang dengan Cakra, tetapi segera mengalihkan pandangan pada Doni. Wanita itu tidak akan goyah dan mencampuradukkan permasalahan pribadinya di ruang sidang yang sakral ini. Ratna langsung menyiapkan diri saat mendengar aba-aba acara berikutnya.
"Saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, dan tidak lain dari yang sebenarnya," ucap Ratna dengan lantang dan lancar di naungan kitab suci yang diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya oleh juru sumpah.
Ratna memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dia dengar dan dia lihat terkait keadaan Raga setelah percobaan penculikan. Ratna menyampaikan secara jujur apa saja yang Raga katakan pada hari kejadian. Sebagai salah satu orang dewasa yang dekat dengan Raga, kesaksiannya tidak bisa diremehkan. Dengan demikian, kesaksian Ratna meningkatkan kredibilitas kesaksian Raga yang notabene masih anak-anak.
"Yang Mulia, izin menambahkan," ucap Ratna, tepat sebelum Majelis Hakim memintanya kembali ke tempat. "Saya pernah bertemu dengan terdakwa Saudara Irfan. Beberapa hari sebelum kasus penyerangan pada Saudara Cakra dan Saudara Raga terjadi, saya hampir menjadi korban di tempat kejadian yang sama. Saat itu Saudara Irfan, yang merupakan penumpang sebuah motor, menarik tali tas saya. Saya berhasil menghindar. Sebagai akibatnya, motor pelaku hilang keseimbangan dan berakhir menabrak kaca spion mobil."
Kasak-kusuk terdengar nyaring dari bangku para hadir. Ratna berhasil melempar umpan, sekaligus memintal benang penghubung dengan kasus lainnya. Setelah ini, perhatian publik pasti tidak akan mudah padam. Diam-diam Ratna menatap Doni, yang ternyata mengangguk kecil sebagai balasan. Selangkah lagi rencana mereka berhasil.
"Yang Mulia." Ratna kembali angkat bicara. "Mohon adili kasus yang menimpa Saudara Cakra dan Saudara Raga, bersamaan dengan kasus yang menimpa saya. Saya yakin kedua kasus ini berkaitan."
Kehebohan makin membesar. Ratna bisa menebak, kehebohan itu datang dari para awak media. Inilah yang mereka cari dari menghadiri persidangan. Benang merahnya telah terungkap, berita pun siap digoreng.
Sebelum suasana jadi tidak terkendali, Doni turun tangan. Doni dan seorang penasihat hukum pihak terdakwa bertemu di depan meja Majelis Hakim. Diskusi singkat dilakukan di sana hingga mencapai kata sepakat. Majelis Hakim menetapkan pemeriksaan terhadap terdakwa akan dilanjutkan pada minggu berikutnya. Dengan demikian, persidangan hari ini pun usai.
"Muka kamu pucat banget, padahal sudah nggak perlu berdiri di depan hakim." Hana lantas menyorongkan botol minum. "Minum. Aku nggak mau kamu pingsan di sini."
"Lebih baik kita segera pergi," kata Ratna. Alih-alih menerima botol pemberian Hana, wanita itu justru menyambar pergelangan tangan Hana. "Di sini bakal ramai banget. Aku bisa habis sama Om Salim kalau muka kamu sampai ikutan tersorot."
"Ratna, tunggu!"
Ratna terhuyung mundur. Cakra tiba-tiba saja sudah mencegat langkah dengan berdiri di hadapannya. Kalau begini, Ratna jadi tidak bisa pergi ke mana-mana.
"Kita perlu bicara," lanjut Cakra tak memedulikan tatapan penuh ingin tahu dari sosok wanita yang berdiri di sebelah Ratna.
"Nggak sekarang."
"Kita perlu bicara sekarang," desak Cakra, "dan, ya. Lebih baik kita tidak bicara di sini."
Akan tetapi, kejadian berikutnya justru membuat huru-hara. Bukannya mengikuti langkah Cakra, Ratna justru ambruk tak sadarkan diri. Pekikan terkejut Hana menyita perhatian semua orang yang tersisa di ruangan itu. Dalam sekejap tubuh Ratna dihujani flash kamera, yang langsung Cakra lindungi menggunakan punggungnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top