52 | Amunisi Perang
"Tumben banget Raga lebih nurut sama gue daripada sama lo."
Cakra mendesah pasrah. Ucapan Doni tidak berlebihan. Raga yang biasanya suka sekali adu mulut dengan Doni, hari ini malah langsung meninggalkan sisi Cakra demi terus bersama Doni. Sepertinya Cakra menjadi orang terakhir yang ingin Raga jadikan teman bermain.
"Lagi ngambek. Soalnya Ratna kabur dari rumah," jawab Cakra tanpa mengalihkan tatapan dari Raga yang duduk tenang di depan meja penyidik.
"Hah? Cewek lo kabur?"
Cakra melirik Doni sekilas. Reaksi yang tidak dibuat-buat itu membuat Cakra yakin bahwa temannya tidak tahu perihal kepergian Ratna. Besar kemungkinan Ratna minggat karena pertengkaran semalam, bukan karena kasus apa-apa.
"Lo sudah coba hubungi lagi?"
"Untuk apa?" Cakra membenamkan kedua tangan ke saku celana. "Tadi pagi aku ketemu Mbak Citra. Dia bilang, Ratna minta supaya pengawasan bodyguard untuk Raga diperketat. Ratna secara sukarela menawarkan bantuan dana untuk memperpanjang kontrak sewa jasa." Cakra mendengus. "Dia kira aku segitunya kekurangan sampai nggak bisa menjamin keamanan anakku sendiri?"
"Bu Ratna ada benarnya. Apa yang Raga ucapkan hari ini pasti akan menarik perhatian pihak lawan. Nggak ada salahnya berjaga-jaga, setidaknya sampai persidangan selesai nanti." Doni bertanya hati-hati. "Kalian lagi punya masalah? Jangan-jangan lo belum bicara ke Bu Ratna soal Raga yang diperiksa polisi hari ini? Wah, bakalan gawat buat rencana pernikahan kalian!"
Ketimbang memberi makan rasa penasaran Doni, Cakra justru meninggalkannya. Dia sendiri masih butuh waktu untuk mencerna kemarahan yang merentangkan jaraknya dengan Ratna. Cakra tak punya kuasa untuk memberi jawaban, terlebih karena dia pun tidak memiliki jawabannya.
Sementara itu di tempat lain, Ratna tengah menyiapkan amunisi berperang. Walau semalaman tidak beristirahat, wanita itu terlihat bugar dan tegar. Dia menghadapi pekerjaan yang tersaji di laptop, sambil sesekali melayangkan pandangan ke pintu masuk kafe. Penantian Ratna berakhir kala seorang wanita bertubuh semampai tiba di samping mejanya.
"Ada apa kamu manggil aku ke sini?"
Hana setelah menikah tampaknya jadi lebih pandai merawat diri. Dia berpakaian apik, tidak sembarangan memilih setelan yang terlampau santai. Meskipun dari dulu parasnya rupawan, olesan lipstick dan taburan bedak membuat wajahnya terlihat makin cantik berseri-seri.
"Aku tanya, malah dicuekin," kata Hana seraya menjatuhkan tas tangan ala Barbie ke atas meja. Wanita itu memanggil pelayan, memesan minuman tanpa repot-repot meminta buku menu, kemudian mengambil tempat duduk tepat di seberang Ratna. "For God sake, kamu mau ngomong apa, sih? Jangan bilang kamu bawa-bawa nama Cakra cuma sebagai pancingan."
"Tepat sekali!" Ratna melempar senyum mendapati pelototan wanita muda di hadapannya. "Kemarin aku sempat kaget waktu ketemu Om Salim. Beliau bilang, kamu hampir dijodohin sama Cakra."
"Papa sudah cerita. Pada akhirnya kamu, kan, yang jadi tunangannya?"
Ratna menyimpan senyum getir. "Omong-omong, kenapa kalian bisa dijodohin? Om Salim memangnya sesuka itu sama Cakra?"
"Seriusan kamu ajak aku ketemuan untuk membicarakan hal nggak penting begini?" Hana memutar mata. "Whatever lah! Aku anggap kamu lagi takut salah langkah pilih orang karena pernah gagal menikah sama Mas Dewa."
Ratna memajukan tubuh. "Jadi, bagaimana?"
"Papa memang suka banget sama Cakra. Tapi, nggak mungkin Papa yang sebucin itu sama Mama mau jodohin anak bungsunya ini begitu aja." Hana menutup muka bagian bawahnya dengan sebelah tangan. Setelah terbatuk-batuk salah tingkah, kemudian menurunkan tangan, terlihat warna merah muda di kedua pipinya. "Dibanding Papa, justru aku yang lebih suka sama Cakra. Aku yang awalnya minta dijodohkan. Papa nggak mungkin maksa aku nikah sama seseorang kalau aku nggak cinta."
"Kamu suka sama Cakra?" Ratna segera membungkam mulut dengan telapak tangan. "Maaf, bukan berarti buruk. Maksudnya, kok, kamu bisa suka sama Cakra?"
"Siapa yang nggak suka sama Cakra, coba?" Hana mengernyit, seakan baru melihat manusia berkulit hijau. "Cakra itu perhatian. Dia juga imut, kadang-kadang suka manja tanpa sebab. Ganteng juga, kan? Kalau kamu sudah lihat mata bobanya, dijamin bakal luluh, deh!"
"Kalau gitu, kenapa kamu nggak menikah sama Cakra aja?"
"Karena aku melakukan kesalahan. Begitu aku minta pernikahan, dia langsung bikin jarak. Anaknya Cakra juga kelihatan nggak suka sama aku, padahal aku sudah siap-siap bakal jadi ibu yang baik." Hana menghela napas. "Yah, setelah dipikir-pikir, aku kacau, sih. Aku nggak siap jadi ibu, ngapain sok-sokan siap demi menikah sama Cakra?"
Ratna memutus tatapan Hana lebih dulu. Dia tahu, Hana pasti akan menanyainya. Sebelum Hana sadar, Ratna langsung menyembunyikan tangan kiri di bawah meja.
"Kamu tanya begini karena tiba-tiba nggak siap buat menikah sama Cakra, ya?" Sekonyong-konyong Hana bertanya, mirip menuduh. "Atau masalah kamu sama kayak aku? Kamu nggak diterima anaknya Cakra?"
"Bukan, bukan. Raga baik, kok. Tadi aku malah baru dapat voice note dari dia, nanyain kabar."
"Terus?" Hana seakan mampu mengunci pergerakan Ratna menggunakan tatapan. "Kamu hilang kabar, bahkan nggak datang ke pernikahanku. Kamu pikir kamu bisa kabur gitu aja dari pertanyaanku ini?"
Ratna tertawa kecil, terdengar tidak ikhlas. Dia memang keterlaluan. Mentang-mentang Hana saudara jauh Dewa, Ratna memutus hubungan begitu saja setelah bercerai. Sebelum bertemu lagi dengan Hana, Ratna sesungguhnya sudah berpikir ulang. Terlalu riskan untuk mendekati Om Salim, tetapi tentu tidak begitu dengan Hana. Hana hanyalah orang kaya biasa, yang kebetulan memiliki ayah yang kekayaannya luar biasa.
"Oke, Hana. Jadi, begini." Ratna susah payah menahan diri untuk tidak tertawa. Pasalnya, Hana sungguhan memperhatikannya dengan seksama. Usai berdeham, Ratna segera merampungkan ucapan. "Kayak yang kamu tahu, aku akhirnya cerai dari Dewa."
"Ya." Hana mengangguk.
Ratna mengerutkan kening. "Kamu nggak mau tanya kenapa?"
"Nggak." Hana mengangkat bahu. "Kecuali kalau kamu mau cerita sendiri. Honestly, aku lebih penasaran sama hubungan kamu dan Cakra."
Ratna mengabaikan ucapan Hana. Ceritanya bermula dari kehidupan saat dia masih menikah dengan Dewa, berlanjut hingga ke masa sekarang. Meskipun raut muka Hana berubah-ubah sesuai bagian cerita, wanita itu sama sekali tak menghentikan uraian Ratna dengan bertanya. Bahasa tubuh Hana kian serius mendekati konflik cerita, yaitu perihal persidangan kasus KDRT Ratna dan Dewa.
"Papa aku tahu?"
Dari sekian banyak pertanyaan, Ratna justru mendapat yang satu itu. Pada titik ini, Ratna tersenyum lega. Hana sama sekali tidak terlihat berada di pihak Dewa, terdengar dari selipan nada khawatir pada kalimat tanyanya.
"Om Salim nggak tahu. Belum." Ratna menggenggam tangan Hana yang terulur di atas meja. "Hana, sebenarnya aku mau minta tolong ke kamu. Ini untuk keselamatan aku, Cakra, dan Raga. Kalau kamu memilih untuk berada di pihakku, aku bakal lanjut bercerita. Tapi, kalau kamu ragu, sepertinya ceritaku cukup sampai di sini saja."
"Ratna, posisiku kejepit." Hana bertopang dagu. "Perusahaan Papa dan perusahaan keluarganya Mas Dewa bersinggungan. Tanpa membantu kamu, sebenarnya sudah ada masalah internal. Aku kasih bocoran, deh. Mas Dewa sedang dapat peringatan, ancamannya adalah dilepas dari jajaran dewan direksi. Aku, sih, senang kalau seandainya dia bisa turun gitu aja. Tapi, kamu tahu sendiri. Mas Dewa pasti bakal melawan mati-matian untuk mempertahankan apa yang dia mau."
"Dengan kata lain, kalau kamu ikut campur urusanku, bisa aja kamu yang ditendang dari jajaran dewan direksi?"
Hana mengangguk. "Power aku nggak ada apa-apanya. Aku, nih, anak bawang yang baru ikut berlaga di permainan lapisan atas. Posisiku belum ajek."
"Tapi, Om Salim nggak gitu, kan?"
"Maksud kamu?"
Ratna menegakkan punggung. "Papa kamu punya kekuatan yang lebih besar dari Dewa."
Hana berdecak, lantas menyilangkan tangan di depan dada. "Kalau gitu, kamu minta langsung aja sama papaku."
"Please, bantuin aku, Hana. Aku tanpa keluargaku sama sekali nggak punya hal yang bisa ditawarkan ke Om Salim. Beda halnya kalau kamu mau turun tangan bantu aku buat bujuk papa kamu."
"Terus, apa yang bisa kamu tawarkan ke aku?"
"Aku bisa ...," Ratna menelan ludah susah payah, "... aku bisa serahkan sisa hidupku untuk mengabdi di Kartono Group. Setelah namaku bersih di persidangan, aku bisa bekerja lagi sebagai praktisi hukum. Aku ... aku ... aku siap melakukan hal-hal kotor untuk–"
Hana bertepuk tangan di depan muka Ratna. Embusan anginnya menyadarkan Ratna, membuat wanita itu mendongak.
"Cara main Kartono Group berbeda dari perusahaan keluarga Mas Dewa. Kami hire para kuasa hukum yang berpengalaman untuk mencari celah dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, bukan untuk menyalahi hukum sejak awal." Hana menelekan dagu di sebelah tangan. "Aku bisa usahakan untuk bicara sama papa. Sebagai gantinya, kamu harus bantu aku naik mendapatkan posisi Mas Dewa."
"Baik," jawab Ratna bersungguh-sungguh. Ratna yakin seratus persen dia bisa mengabulkan permintaan Hana. Kemampuan analisisnya di bidang hukum bisnis pasti belum menumpul.
Hana menyandarkan tubuh ke punggung kursi. "Sekarang, sebutkan permintaan kamu!"
"Pertama, tolong kirim penjaga untuk mengawasi Cakra dan Raga dari jauh. Jangan sampai Cakra dan Raga tahu, apalagi pihak Dewa tahu. Kedua, tolong pinjamkan ahli IT swasta untuk membantu proses penyelidikan di bidang cyberstalking. Aku rasa pihak kepolisian perlu dicurigai dan diawasi, mengingat progress-nya yang melambat. Ketiga ...."
"Ketiga?"
"Tolong atur jadwal pertemuan untuk aku dan ayahku." Ratna menunduk dalam-dalam. "Aku yang sekarang sama sekali nggak punya kekuasaan untuk bermain-main di bidang hukum. Aku butuh bantuannya, terutama untuk memberikan perlindungan yang pasti ke para saksi. Itu menjadi syarat dari ... salah satu saksi mata di kasus KDRT-ku."
Tanpa Hana ketahui, Ratna tengah menekan supaya suaranya tidak pecah. Dalam hati Ratna sesungguhnya sedang berperang, sekaligus menyalahkan diri karena tidak mampu berbuat apa-apa. Sampai akhir pun, dia membutuhkan bantuan keluarganya dan bantuan orang lain yang lebih berkuasa. Ratna baru menyadari, dirinya sangatlah kecil di dunia ini.
"Baik." Hana menimpali ringan. "Tiga permintaan untuk bayaran loyalitasmu seumur hidup ke aku dan ke Kartono Group." Wanita muda itu menghabiskan isi cangkirnya, sebelum kemudian angkat bicara. Aura bersahabatnya menghilang begitu saja. "Ratna Karissa, silakan tunggu panggilan dari kuasa hukum Keluarga Salim. Saya usahakan kontrak kerja kita tiba besok pagi di meja kerja kamu."
***
Cerita ini sudah mau berakhir, guys 🥲
Yuk, vote, comment, share! 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top