51 | Perpecahan
"Dari mana saja kamu?"
Ratna tersentak. Pelan-pelan dia memutar kepala ke arah ruangan tanpa penerangan. Bayangan orang duduk di kursi ruang tamu mulai tertangkap mata. Dari suaranya saat bertanya, Ratna tahu itu Cakra.
"Ngurus kasus," jawab Ratna singkat.
Sejujurnya, Ratna masih kesal pada Cakra. Sejak pagi tidak ada kabar sedikit pun darinya. Cakra juga tidak segera menghubungi Ratna saat mengamini permintaan Doni untuk menjadikan Raga sebagai saksi korban. Selain itu, apa-apaan reaksi Cakra tadi? Ratna seolah-olah menjadi tertuduh pelaku perselingkuhan. Alih-alih menanyakan melalui pesan, Cakra malah langsung menodong tanpa kalimat sapaan yang manis.
"Urus kasus atau ketemu Haiyan?"
Ratna melongo. Jangan-jangan Cakra sungguhan menganggapnya baru pulang dari menyeleweng? Dari mana Cakra tahu bahwa Ratna baru saja bertemu Haiyan?
"Bukan urusan kamu," balas Ratna seraya menekan sakelar. Oh, rasanya dia ingin menjahit mulutnya sendiri. Mengapa di saat seperti ini dirinya malah memercikkan minyak tanah ke api? Otak, hati, dan raganya sungguh tidak sinkron.
"Tentu saja bukan urusan aku, karena semua yang menyangkut Haiyan masuknya jadi urusan kamu." Cakra berdiri. Dalam langkah lambat yang tegas, pria itu berhasil memojokkan Ratna ke dinding. "Kenapa kamu masih berhubungan dengan Haiyan? Apa permintaanku dari awal nggak bisa kamu pahami?"
Ratna memejamkan mata. Dia tentu masih ingat dengan permintaan Cakra. Apa pun yang menyangkut Haiyan, harus melalui Cakra, meskipun itu terkait kasus. Dulu Ratna merasa biasa-biasa saja sebab memahami bahwa luka pengkhianat yang Cakra rasakan dari pasangan sebelumnya masih basah. Ratna bahkan pernah memasrahkan tugas meminta Haiyan datang sebagai saksi di persidangan kepada Cakra.
Namun, setelah Ratna berpikir ulang, rupanya perjanjian itu sangatlah konyol. Sampai kapan pun, Ratna berhak berhubungan dengan siapa saja, termasuk Haiyan. Cakra tidak perlu khawatir, lebih-lebih Ratna telah menyerahkan seluruh yang tersisa dari hidupnya pada Cakra. Apakah jaminan itu kurang besar? Mengapa Cakra terus menaruh curiga padanya?
"Sama saja, kan?" Ketika kembali membuka mata, Ratna memberikan sorot perlawanan. "Kamu kasih Doni izin untuk menggunakan kesaksian Raga sebagai bukti di persidangan. Kamu sama sekali nggak mau mendengarkan saranku. Apa kamu nggak khawatir kalau nantinya Raga bakal kenapa-kenapa? Lawan kita Dewa!"
"Aku tahu apa yang terbaik. Raga anakku."
Jantung Ratna tertikam. Orang lain boleh melemparkan fakta bahwa Ratna sama sekali tidak berhak atas Raga. Ratna bukan ibu kandungnya, juga belum menjadi orang tua sambungnya. Satu-satunya orang yang tidak boleh menganggap remeh posisi Ratna di samping Raga adalah Cakra. Akan tetapi, dengan entengnya Cakra baru saja melukai perasaan Ratna.
Ketika seseorang tengah emosi, di situlah kebenaran terungkap. Apa yang Cakra janjikan semalam adalah bualan belaka. Cakra terbukti tidak menganggap Ratna sebagai sosok yang penting dalam kehidupan Raga.
Impian Ratna untuk menjadi ibu hancur. Pernyataan Cakra barusan lebih menyakitkan ketimbang kumpulan caci-maki yang selama ini Ratna terima sepanjang hidup. Ratna tak mampu berkata-kata, cuma air matanya yang keluar sebagai balasan.
"Kenapa semua perempuan selalu menangis ketika melakukan kesalahan?" Cakra menyentak bahu Ratna. "Jangan pakai senjata yang sama! Aku nggak bakal luluh sama air mata gadungan."
Emosi Ratna meluap. Dalam sekejap, wanita itu melayangkan tamparan di pipi Cakra. "Berengsek!" maki Ratna, tepat di depan muka Cakra yang membatu.
Cakra lantas mendengus. "Kamu mau playing victim? Aku nggak nyangka, kamu ternyata serendah itu."
"Aku rasa hubungan kita sudah nggak ada gunanya lagi," kata Ratna. Dia menghapus lelehan air mata secara kasar, hingga tanpa sadar berlian dari cincin pertunangannya dengan Cakra menggores dan membentuk satu garis panjang di pipi kirinya. "Kamu sama sekali nggak percaya sama aku. Apa gunanya punya hubungan tanpa ada kepercayaan?"
"Kamu duluan yang merusak kepercayaanku. Diam-diam kamu masih berkirim pesan dengan Haiyan. Kenapa kamu sama sekali nggak cerita?"
"Kamu nggak tanya."
"Apa aku harus tanya dulu? Bukan seperti itu kesepakatannya, Ratna!"
Ratna mendorong bahu Cakra hingga pria itu tersingkir dari hadapannya. Hatinya terlalu sakit untuk berkata-kata. Lagi pula, tidak ada yang harus dibahas. Sampai kapan pun, memang tidak ada laki-laki yang bisa Ratna berikan kepercayaan lagi.
***
Ratna kabur dari rumah.
Cakra baru menyadarinya ketika pagi menjelang. Dia mengira Ratna hanya merajuk biasa dan memilih mengurung diri di kamar hingga waktu sarapan tiba. Namun, Raga yang Cakra utus untuk memanggil Ratna ke meja makan nyatanya kembali seorang diri. Raga bilang Ratna tidak ada di kamarnya.
Di situlah Cakra mulai mencium keanehan. Dia memeriksa seluruh penjuru rumah dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan Ratna. Kamarnya bersih, tidak meninggalkan jejak bahwa seorang wanita pernah tinggal di sana. Ratna datang membawa satu koper besar, semudah itu juga dia mengepaknya lagi dan hengkang tanpa pamit.
"Jadi, Tante Ratna di mana, Yah?" tanya Raga tanpa curiga. Sejak tadi Raga cuma mengekori ayahnya.
"Tante sudah berangkat kerja duluan." Cakra kemudian menggiring Raga untuk kembali ke meja makan. "Kamu makan yang banyak. Hari ini banyak hal yang harus kita lakukan. Kamu sudah siap buat kasih jawaban ke Pak Polisi, kan?"
Raga menarik sepiring nasi goreng mendekat. "Sudah, dong!"
"Oke. Bagus."
"Tapi, Yah." Raga berhenti memutar-mutar piring. "Habis dari kantor polisi, kita jalan-jalan sama Tante Ratna, yuk! Aku mau jalan ke mal."
"Harus sama Tante Ratna? Nggak sama Ayah aja?"
Dengan pipi menggembung berisi makanan, Raga menggeleng. Area di antara alisnya berkerut-kerut menampilkan ketidaksetujuan. "Aku mau beliin Tante Ratna hadiah, Ayah. Soalnya Tante sudah kasih aku dua hadiah, sepatu dan jam. Giliran aku yang kasih hadiah."
Cakra menelengkan kepala. "Tante Ratna kasih kamu jam? Bukannya sepatu?"
Raga langsung mengeluarkan sebuah jam tangan anak-anak dari saku. Modelnya kurang nyentrik, tetapi perpaduan warna merah dan hitam di bagian talinya sangat Raga sukai. Raga mengoceh macam-macam soal penemuan kadonya di meja belajar pagi ini. Dia juga bilang, dia baru akan memakai jam tangannya setelah membelikan jam yang serupa itu untuk sang tante.
"Tante nggak bohong sama aku. Kado ini keren banget, lebih keren daripada jam dari Pakdhe Arya," kata Raga polos.
Hati Cakra melunak. Dia tahu, kado kedua dari Ratna ini sama sekali tidak direncanakan. Itu adalah hadiah dadakan untuk menggantikan kiriman flashdisk sialan. Cakra pun tidak mengira bahwa Ratna sungguhan mengingat janjinya pada Raga.
"Pakdhe bakal sedih kalau dengar omongan kamu." Cakra mengusap kepala Raga. "Ya sudah. Kamu selesaikan sarapannya. Ayah mau persiapan."
"Tapi, nanti kita bisa jalan-jalan sama Tante Ratna, kan?" Raga menodong pertanyaan yang sama.
"Nggak bisa. Tante Ratna kerja. Sebagai gantinya, habis dari kantor polisi kita lanjut main aja sama Om Doni."
"Om Doni nggak seru." Raga mengeluh. "Aku maunya Tante Ratna, Ayah. Memang kenapa, sih, orang-orang dewasa kerja terus? Aku aja hari ini boleh nggak sekolah."
"Kamu hari ini nggak sekolah, tapi jadi superhero yang membantu menangkap penjahat. Sampai penjahatnya ketemu, kamu nggak bisa main-main di luar rumah terlalu sering."
"Ayah nggak asyik!" Raga membentak. Sendok di tangannya sampai terpelanting ke lantai. "Aku nggak salah apa-apa, kenapa aku yang susah? Kalau sama Tante Ratna, pasti aku tetap dibolehin main kayak biasa."
"Raga." Cakra menggeram rendah. "Ayah orang tua kamu. Kalau bicara sama Ayah, yang sopan."
"Tante Ratna juga bakal jadi ibu sambungku! Aku mau Tante Ratna!"
Perbuatan Cakra berikutnya sungguh di luar perhitungan. Ayah satu anak itu merampas hadiah arloji milik Raga yang tergeletak di sebelah piring. "Jam tangan ini Ayah sita sampai kamu bisa belajar dari kesalahan. Dan ... nggak ada Tante Ratna. Selama ini kita bisa hidup berdua, selamanya akan tetap berdua."
"Ayah jahat!"
Cakra bergeming. Dia menerima lemparan kepalan tangan dan tendangan kaki yang anaknya berikan. Raga bahkan melempar piring berisi makanannya sampai pecah berhamburan. Raga seolah lepas kendali karena kehilangan pawang.
Anak itu kehilangan Ratna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top