50 | Di Balik Punggung Masing-Masing

Halo! Ini author Pingumerah 😁 Boleh minta bantuan berpendapat di kolom komentar? Ini tentang rated scene. Lebih lanjut, kita bahas di bawah setelah baca 😉

***

Alarm bangun pagi yang paling Ratna sukai setelah tinggal bersama Cakra adalah suara ribut dari arah dapur, belum lagi bila saraf penghidunya dibelai aroma tumisan bawang. Ratna pasti akan langsung membuka mata, bergegas membersihkan diri, kemudian menyusul Cakra untuk bantu-bantu di dapur. Rutinitasnya terbentuk seperti itu.

Pagi ini pun Ratna inginnya begitu. Setelah meletakkan blazer dan tas kerja di meja makan, Ratna mengendap-endap ke belakang Cakra. Senyum Ratna terbit lebih awal sebelum mengeksekusi tindakan. Dia dapat membayangkan reaksi Cakra yang terkejut mendapat pelukan dari belakang. Biasanya Cakra cuma akan tersenyum dan membiarkan Ratna bergelayut manja selama beberapa saat hingga terdengar langkah Raga menuruni tangga dari lantai atas.

"Kamu ngapain?"

Ratna membeku. Ini tidak biasa. Respons Cakra sama sekali tidak bersahabat.

"Aku lagi masak. Minggir," lanjutnya.

"Kamu marah sama aku?" tanya Ratna.

Percakapan dihentikan oleh satu pihak. Hanya ada bunyi gesekan spatula dengan permukaan wajan, serta langkah kaki Cakra yang sibuk mondar-mandir menyiapkan makanan. Ratna lantas menyingkir. Wanita itu memilih duduk di kursi tinggi yang langsung menghadap ke area memasak.

Ratna dan Cakra tidak pernah bertengkar besar-besaran sebelumnya. Bila sudah ada hawa-hawa tak mengenakkan, pasti salah satunya mau mengalah. Pada situasi seperti pagi ini, biasanya Ratna-lah yang akan merendahkan ego. Namun, Ratna tidak begitu. Dia malah sengaja ikut-ikutan diam. Cakra dan Ratna baru kembali saling bicara saat Raga bergabung di ruang makan.

Akan tetapi, keheningan kembali menyapa setelah lambaian tangan mengantar kepergian Raga ke sekolah usai. Cakra dan Ratna berdiri diam bersisian. Mereka bahkan sempat mendapat tatapan kebingungan dari Citra di rumah seberang yang tengah mengantar kotak bekal suaminya ke mobil.

Karena Cakra tak kunjung membuka suara, akhirnya Ratna berpamitan pergi lebih dulu ke kantor menggunakan taksi. Mereka tidak berangkat bersama seperti biasa.

Sungguh-sungguh bukan hari yang biasa.

***

"Cakra sudah menghubungi?"

Gerakan mengetik Doni terhenti. Alih-alih terdengar khawatir, kliennya barusan bertanya dengan nada yang menuntut. Karena Cakra sungguhan tidak menghubunginya sejak kemarin, Doni pun menggeleng.

"Ada masalah apa, Bu Ratna?" tanya Doni untuk memperjelas situasi.

"Nggak apa-apa. Cuma ... saya kira Cakra bakalan marah setelah tahu apa yang Dewa dan saya bicarakan kemarin di akhir persidangan." Ratna mengibaskan tangan. "Tapi, ternyata Cakra belum hubungi Pak Doni. Berarti dia marah bukan karena masalah itu."

Ini sudah kesepuluh kalinya Ratna mengecek ponsel. Tidak ada kabar yang paling dia inginkan kecuali kabar dari Cakra. Mau itu cuma berupa pertanyaan remeh soal menu makan siang atau persoalan berat terkait kelanjutan sidang, Ratna pasti akan membacanya sedetik setelah pesan itu masuk. Namun, sejak tadi nyatanya Ratna hanya bolak-balik mengecek ponsel, tanpa terlibat intens dengan benda itu.

Sumber kemarahan Cakra kali ini pasti bukan hal kecil. Setelah mengingat kegiatan panas mereka semalam, Ratna jadi berpikir ekstra keras. Hal apa yang telah dia lewatkan? Apakah Cakra kesal karena Ratna jatuh tertidur lebih dulu? Seperti bukan Cakra saja.

"Bu Ratna?" Doni lantas berbuat lancang dengan menggoyangkan telapak tangannya di depan muka si wanita. "Bu Ratna? Permisi!"

Ratna tergagap. "Ya? Ada apa?"

"Terkait kamera CCTV, saya sudah menemukan titik terang. Dokumen-dokumen pendukung sedang tim saya siapkan. Saksi mata, yaitu orang yang memasang kamera di rumah Bu Ratna dulu, juga sudah mendapat perlindungan keamanan. Kemudian, terkait video di flashdisk yang Bu Ratna serahkan belum lama ini," Doni berhenti sejenak untuk menyerahkan sebundel dokumen hasil investigasi, "sesuai dugaan. Videonya sama persis dengan yang kita masukkan sebagai barang bukti. Sudah pasti sumbernya pun sama, yaitu kamera CCTV."

"Kalau begitu, apakah pihak Dewa dari awal tahu saya memasang CCTV di rumah?"

"Saya meragukannya." Doni lantas menyorongkan map berisi dokumen lain. "Saya justru menduga kebocoran terjadi dari sini."

Ratna membaca kalimat pertama dari dokumen. Dia langsung tahu bahwa dokumen yang sedang dia pegang merupakan salinan hasil olah forensik digital. Nomor seri gawai yang tertera menunjukkan benda yang diperiksa, yaitu ponsel lama Ratna. Dari beberapa uraian panjang, Ratna bisa menyimpulkan bahwa dugaan Doni sejak awal sangatlah benar. Ponsel Ratna kena sadap.

"Ada aplikasi yang mencurigakan. Saat berusaha membukanya, tim kami membutuhkan otoritas nomor pegawai. Karena khawatir kegiatan kami akan mencederai sebuah perusahaan, kami memilih menahan penyelidikan untuk sementara," kata Doni memberi penjelasan. Tangannya bergerak-gerak di atas laporan, menunjuk poin mana saja yang harus Ratna perhatikan. "Baru kali ini kami menemukan perangkat keamanan tingkat tinggi terpasang di aplikasi seperti ini."

Kening Ratna berkerut-kerut. Dia tidak begitu paham tahapan demi tahapan yang dijabarkan dalam dokumen. Namun, dia dapat mengenali lambang aplikasi yang Doni maksud. Ratna lantas mengeluarkan ponselnya, ponsel baru yang khusus dia gunakan untuk menyelesaikan urusan kantor, kemudian mencocokkan dengan lambang aplikasi di sana.

"Maaf, Pak Doni." Ratna menyela penjelasan Doni. Dia menyerahkan ponselnya. "Kalau begitu, bisa tolong periksa aplikasi yang terpasang di ponsel ini juga? Sepertinya, aplikasi yang digunakan sama, isinya bisa saja berbeda."

"Ini ponsel siapa?"

"Ponsel saya yang baru. Belum lama ini saya minta tolong orang IT untuk memasang aplikasi kantor. Masalahnya, di kantor saya, setiap progress tim memang harus dilaporkan melalui aplikasi. Jadi, saya nggak tahu apakah virusnya sengaja ditanam di aplikasi kantor atau bukan."

"Siapa yang memasang aplikasi ini di ponsel? Maksud saya, namanya." Doni memajukan posisi duduk. Mukanya berseri-seri, seperti siap menangkap hasil buruan di depan mata.

Ratna berusaha keras mengingat. Dalam seminggu ini dia bertemu dengan banyak orang. Asal menyebutkan nama sama saja membuat tuduhan tanpa dasar, dan Ratna bukanlah orang yang seceroboh itu.

"Tunggu sebentar," ujar Ratna sambil mengecek jadwal harian. "Saya beli HP baru di tanggal sekian, kemudian ... saya punya jadwal janji dengan orang dari IT di hari ini. Oh, saya bertemu dengan Andre, ketua tim IT. Saat itu kami melakukan pertemuan di ruang kerja saya, pasti ada rekaman CCTV yang menangkap momen pertemuannya. Asisten saya juga saat itu ada di ruangan. Pak Doni bisa menghubunginya supaya lebih pasti."

Doni mengangguk berkali-kali. Tampangnya seperti baru saja diberi iming-iming hadiah. Setelah memasukkan ponsel Ratna ke dalam sebuah kantung plastik bening dan menuliskan beberapa detail, pria itu kembali membalas tatapan Ratna.

"Kalau aplikasi ini terbukti memiliki properti yang sama, orang bernama Andre akan menjadi tersangka utama kita. Sampai hasil forensik keluar, saya mohon Bu Ratna untuk berhati-hati."

"Ya, saya paham."

"Ada satu hal lagi yang harus saya bahas." Doni mengambil dokumen dari tangan Ratna dan menggantikannya dengan dokumen lain. "Setelah menyelidiki lebih teliti, kami mencurigai orang-orang yang membobol apartemen Bu Ratna sama dengan orang-orang yang mencelakai Raga dan Pak Cakra. Sepertinya, kasus ini memang berhubungan. Tetapi, karena saat ini Bu Ratna sedang terlibat dalam pemeriksaan terkait kasus KDRT, biar kasus yang lain kami usut dari sisi yang lain."

"Sisi yang lain?" Ratna melirik tangan Doni yang terulur meraih sebotol air mineral.

"Ya, sisi Raga dan Pak Cakra." Doni membasahi kerongkongannya dulu sebelum lanjut bicara, "Sebagai bentuk antisipasi, dan saya juga tidak akan berbuat teledor, saya tidak akan langsung menggabungkan beberapa tindak pidana dalam satu persidangan. Toh, korbannya berbeda, perkaranya berbeda. Jadi, saya mohon pengertian Bu Ratna bila usaha yang kami kerahkan cenderung besar."

Usaha besar membutuhkan sumber daya yang besar. Sumber daya yang besar membutuhkan dana yang besar. Ratna tidak punya masalah dengan hal itu.

"Baiklah. Saya percaya sama Pak Doni." Ratna ikut-ikutan menyesap minuman. Mendiskusikan banyak hal bersama Doni ternyata cukup menguras tenaga dan napas. "Lalu, bagaimana? Apakah sudah ada perkembangan dari kasus percobaan penculikan Raga?"

"Besok siang kami menjadwalkan pemanggilan saksi korban ke kantor polisi."

"Saksi korban? Raga?" Ratna bertanya dengan tatapan tak percaya.

"Ya, Raga. Tadi pagi saya sudah menghubungi Pak Cakra. Izin dari wali telah kami dapatkan. Semoga saja acara besok berjalan lancar."

Tanpa sadar Ratna meremas-remas jari di pangkuan. Dia bukannya sama sekali tidak mengerti soal pemanggilan Raga sebagai saksi korban. Dia pernah terlibat diskusi alot bersama Cakra dan Doni. Perbedaan pendapat terjadi dan Ratna menjadi satu-satunya penentang. Karena Ratna bukanlah siapa-siapa bagi Raga, pendapatnya sama sekali tidak berarti.

Keputusan sebesar itu mengapa tidak Cakra bicarakan lagi dengan Ratna? Doni tadi bilang, izin dari Cakra baru keluar pagi ini. Apakah Cakra benar-benar berniat memperbesar pertengkaran Ratna dengan cara konyol seperti ini? Memikirkan kemungkinan itu saja, Ratna jadi pening. Ke mana perginya janji Cakra semalam untuk menjaga Cakra, Ratna, dan Raga dalam satu lingkaran bernama keluarga yang utuh?

"Bu Ratna nggak perlu khawatir," ucap Doni saat mendapati mimik Ratna yang tengah berpikir keras seraya menahan emosi. "Untuk urusan ini, biar saya diskusikan lebih lanjut dengan Pak Cakra. Saya juga akan menjaga Raga dengan sangat baik. Bu Ratna cukup fokus pada kasus KDRT dan persidangan minggu depan."

Mau tak mau, Ratna menghela napas panjang. "Apa lagi yang bisa saya bantu?"

"Bukankah tadi Bu Ratna memberi tahu saya bahwa semalam akhirnya Pak Haiyan menghubungi dan minta bertatap muka? Sebaiknya kita mulai dari sana. Atau ... Bu Ratna butuh saya dampingi dalam pertemuan itu?"

Ratna mengerang tertahan. Karena tingkah laku aneh Cakra, dia jadi melupakan hal yang benar-benar penting. Sore ini dia ada jadwal pertemuan, setelah sekian lama menunggu kabar dan kepastian dari Haiyan. Ratna bahkan belum menyiapkan alasan supaya Cakra tidak curiga mengapa dirinya pulang terlambat.

"Tidak perlu," jawab Ratna setelah menimbang-nimbang. "Dalam pertemuan nanti, Haiyan akan datang bersama istrinya. Biar saya lakukan pendekatan secara personal. Istri Haiyan kelihatannya tidak bisa diburu-buru." Ratna menatap arloji di pergelangan tangan. "Kalau begitu, pertemuan hari ini kita cukupkan sampai sini. Saya harus pergi sebelum terjebak macet. Oh, ya, saya sekali lagi minta tolong, Pak. Jangan sebut nama Haiyan di depan Cakra, termasuk memberi tahu pertemuan hari ini."

***

Kombo Ratna dan Doni nggak main-main kalau nyusun taktik buat persidangan, sampai kerja sama bareng di balik punggung Cakra 🙃

Yak, lanjut diskusi! Aku mau tanya beberapa hal:

1. Bagaimana rated scene yang aku tampilkan di novel ini? (kurang 🔥? pas? sesuai?)

2. Apakah menurut kamu porsi romance dan misterinya seimbang? Inginmu yang seperti apa?

3. Bagaimana kesan setelah membaca sampai sejauh ini (83% cerita)?

Fyi, rated scenes memang harus ada di novel ini untuk menunjukkan dinamina hubungan Cakra-Ratna dan bagaimana perkembangan karakter Ratna. Nggak mudah, lho, bagi orang-orang yang merupakan korban kekerasan seksual untuk membuka diri pada orang baru. Ini based on research 🥲

Sebenarnya aku mau bikin rated scenes yang lebih mendetail lagi untuk menggambarkan bagaimana Cakra handle Ratna dan bagaimana chemistry & trust di antara mereka terbentuk.

Aku juga lagi terlibat diskusi sama salah satu editor penyayang naskah untuk hal ini. Jadi, jawaban kalian akan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan 🥰

Last ... makasih, teman-teman! See you next morning! 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top