49 | Cita-Cita Pernikahan

Sejak tadi Cakra cuma mendapat pemandangan punggung polos kekasihnya. Sesekali jemari Cakra bergerak menyusuri bekas luka di punggung Ratna, sambil mengecupinya dengan perasaan terluka. Saat ini Ratna meringkuk membelakangi Cakra, terkesan enggan mengobrol sambil berpelukan seperti biasa. Cakra yang berusaha menghormati keinginan Ratna hanya menunggu hingga si wanita membuka percakapan lebih dulu.

"Aku mau minta maaf."

Cakra menghentikan ciumannya. Dengan kepala bertumpu pada tangan kanan, sedangkan tangan yang satunya dia gunakan untuk memeluk pinggang Ratna, Cakra berusaha membaca mimik muka Ratna dari samping.

"Seandainya aku biarin kamu bantu dari awal, pasti permasalahan ini nggak berlarut-larut," lanjut Ratna.

Cakra memberi kecupan di bahu Ratna, tepat di mana ada luka parut terlukis di sana. "Sudah takdir. Seandainya nggak jadi berlarut-larut seperti ini, mungkin selamanya hubungan kita bakal biasa-biasa saja."

Ratna menoleh. Hanya dari tatapannya, Cakra tahu apa yang Ratna inginkan. Cakra lantas merunduk, mencium lebih dulu dalam tempo lambat dan dalam.

Setelah beberapa saat, Ratna melepaskan diri. Dia mengusap pipi Cakra lembut sekali. "Aku nggak bisa ceritakan perjalanan sidang hari ini. Tapi, aku kasih izin supaya kamu bisa tanya ke Doni."

"Hasilnya buruk?"

Si wanita menghela napas berat. "Buruk banget."

"Baik. Aku nggak bakal tanya lagi. Aku nggak mau usahaku untuk menghibur kamu jadi sia-sia."

"Usaha apa?"

"Usaha ... ini." Cakra menggerakkan bola matanya, seakan menunjuk kondisi mereka yang sama-sama polos di balik selimut.

Ratna melongo, kemudian melengos. Dia akui, dia jadi sedikit gila. Bisa-bisanya Ratna duluan yang bergerak sangat agresif. Cakra bahkan tak diberikan kesempatan untuk memandu. Usai semuanya berakhir, jadilah Ratna sama sekali tak ingin membahasnya. Semoga saja apa yang dia lakukan barusan dapat mengobati harga diri Cakra yang Dewa pecundangi.

Ah, baru saja memikirkannya, Ratna sudah pening. Semoga saja Cakra tidak terlalu sakit hati saat mendengarnya nanti dari Doni.

"Jadi, yang kamu maksud dengan membutuhkan aku adalah untuk tidur bareng seperti ini?" Cakra justru makin semangat menggoda Ratna. "Mungkin kita setipe. Capek, sih, tapi aku dapat kekuatan tambahan setelah berhubungan badan."

"Kalau bareng orang lain juga sama?"

Cakra terkekeh. Main-main dia menusuk pipi Ratna dengan jari telunjuk. "Nggak usah cemburu. Aku cuma dapat kekuatan kalau tidurnya sama kamu."

Tanpa kentara, Ratna menghela napas panjang. Berat sekali hidupnya. Di satu sisi, dia sadar kehadirannya membawa bencana bagi keluarga Cakra. Namun, hatinya tak bisa memungkiri kebahagiaan dan rasa bangga yang melimpah saat mendengar pernyataan Cakra barusan.

Kira-kira sampai kapan situasi ini akan terus berlanjut? Ratna sudah mulai lelah dan hampir kehilangan kewarasan.

"Kamu tahu flashdisk isi barang bukti yang semalam kita lihat?" Ratna mengusap lengan Cakra yang masih betah memeluknya. "Aku rasa, dia kirim itu bukan sebagai alat untuk menakut-nakuti Raga. Dia cuma mau mengatakan bahwa barang bukti yang menurutku paling berharga, sama sekali nggak ada harganya. Ada orang lain yang tahu barang bukti itu, tentu bukan hal yang susah sampai pihak Dewa tahu. Nggak aneh kalau saat persidangan tadi pihak Dewa seperti sudah menyiapkan serangan balasan soal video itu."

"Mereka kayak gitu?"

Ratna berputar sambil menahan selimut di depan dada. Kini keduanya bicara sambil bertatapan. "Singkat cerita, mereka menciptakan kesan bahwa barang bukti itu tidak layak."

"Kurang ajar!"

"Santai." Ratna mengusap dada bidang kekasihnya. "Aku sudah bilang ke Doni untuk berusaha sekeras yang dia bisa. Nggak ada larangan lagi. Aku sudang nggak peduli apa pun, yang penting masalah ini cepat selesai dan kita bisa menikah dengan tenang."

Cakra tercenung. Sedetik kemudian, wajahnya benar-benar sudah berubah warna menjadi kemerahan. Tidak terbatas pada wajah, cuping telinga dan leher pun tertular. Ini semua akibat ulah jantungnya yang berdegup tak karuan. Ada perasaan hangat yang lama-kelamaan menjadi panas membara.

"Apa kamu sudah punya rencana untuk pernikahan kita nanti mau jadi seperti apa?" tanya Cakra. Dia menahan tangan kekasihnya untuk menetap di dada, seakan sedang memamerkan perasaan yang tergambar pada reaksi tubuh, tepatnya di dada bagian kiri.

"Pestanya?" Ratna bergumam dulu saat Cakra mengangguk. "Aku mau pesta pernikahan yang sederhana. Nggak perlu undang banyak orang. Aku mau menghabiskan banyak waktu sama kamu dan Raga setelahnya."

"Raga sudah besar. Dia pasti paham kalau ibu barunya mau berduaan aja sama ayahnya."

Ratna balik meledek. "Itu, sih, mau kamu."

Cakra tertawa kecil. Setelah memberikan beberapa kecupan yang membuat Ratna terkikik kegelian, Cakra kembali bertanya, "Apa cita-cita kamu di pernikahan ini?"

Itu sebuah pertanyaan sederhana, tetapi Ratna tak memiliki jawaban. Selama ini keluarganya memberikan doktrin yang kuat bahwa pernikahan harus memberikan keuntungan, entah itu dalam bentuk kekuatan, kekayaan, maupun jaminan kesejahteraan masa depan. Jadi, apa yang sedang dia cari dari menikahi Cakra?

Tanpa ikatan pernikahan, hubungan Ratna dan Cakra sudah sangat stabil. Tidak ada halangan berarti, kecuali rasa takut bahwa sewaktu-waktu orang tua Cakra bisa memergoki bahwa mereka telah tinggal bersama. Mengesahkan hubungan secara hukum pun tidak akan terlalu ada bedanya dengan yang sekarang. Pernikahan baru akan berguna bila mereka kelak memiliki anak. Namun, bukankah Ratna sungguhan mandul?

Dari pernikahannya yang lalu, Ratna sama sekali tidak pernah hamil. Setelah berulang kali berhubungan badan dengan Cakra, dan pada beberapa kesempatan mereka sama sekali tidak memakai pengaman, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Ratna adalah wanita subur. Sepertinya Ratna memang harus merasa puas akan memiliki satu anak saja, yaitu Raga, hingga akhir masa hidup.

"Malah melamun."

Sentilan ringan Cakra membangunkan Ratna dari lamunan singkatnya. Wanita itu lantas tersenyum getir. "Kamu dulu yang jawab, dong! Aku penasaran soal cita-cita kamu di pernikahan kita nanti. Kan, kamu duluan yang ajak aku nikah."

Cakra melarikan jemarinya di kulit kepala Ratna. Dia menyingkirkan helaian rambut dari keningnya, kemudian membawa kepalanya mendekat ke bibir. Ratna berkali-kali mencoba mendorong dada Cakra dengan alasan kepalanya berkeringat. Namun, pria itu tak tergoyahkan. Cakra justru mengubah posisi mereka, menjadi setengah menindih Ratna.

"Cita-cita terbesarku untuk menikahi kamu adalah membuat keluarga bahagia yang utuh," jawab Cakra penuh kesungguhan.

Ratna berhenti meronta. Dia justru bertanya pelan, "Keluarga ... yang utuh?"

"Aku iri sama mama dan papa, juga sama keluarga Mbak Citra." Cakra menggesekkan ujung hidungnya di ujung hidung Ratna. "Ini mungkin alasan yang sepele, tapi aku selalu mengharapkan punya pasangan yang bersedia berada di sampingku, dalam kondisi apa pun."

"Kayak mama dan papa, juga kayak Mbak Citra dan Mas Arya?"

"Ya, kayak mereka." Cakra tetap memberikan jawaban, biarpun ciumannya terus menjalar hingga bahu Ratna. "Mereka nggak jarang sering adu mulut, berselisih pendapat, marahan, bertengkar, tapi ... mereka tetap saling menginginkan. Mimpi mereka selalu bersama. Makanya, meskipun tidak menjadi keluarga yang sempurna, keluarga mereka selalu utuh. Nggak kayak keluarga kecilku yang dulu."

"Kalau gitu, cita-citaku juga sama. Asal kamu nggak memaksa dan meminta aku untuk menghasilkan anak, aku bersedia jadi pelengkap hidup kamu."

Cakra mengangkat wajah. "Maksudnya?"

Ratna berpaling, tak kuasa membalas tatapan Cakra. "Ya ... keluarga yang utuh. Cukup aku, kamu, dan Raga."

"Aku paham ketakutanmu dari pernikahan yang dulu, Sayang. Aku nggak mau membawa sesuatu yang buruk dari masa lalu ke dalam pernikahan kita." Cakra mengecup bibir Ratna, begitu ringan seperti hanya berupa usapan. "Soal anak, kekuasaan itu nggak ada di tangan manusia."

Ratna tersenyum. Kali ini dia bicara sambil menangkup pipi Cakra. "Aku juga paham ketakutan kamu. Aku bisa berjanji, eh– maksudnya, bersumpah. Aku nggak akan mengkhianati kamu. Sama sekali."

"Kalau begitu, lakukan," napas hangat Cakra membelai cuping telinga Ratna, "di upacara pernikahan kita nanti."

Lenguhan Ratna menjadi jawaban atas tantangan Cakra. Wanita itu mengerang tertahan saat usapan dan remasan Cakra di tubuhnya seolah berubah menjadi sebuah renggutan kejam pada kewarasannya yang tersisa. Ketika Cakra memasang posisi berlutut di antara kedua kakinya, Ratna langsung tahu malam ini belum berakhir. Mereka bersama-sama mencari kenikmatan sebagai obat dari rasa takut masing-masing, sekaligus harapan pada masa depan mereka.

Ratna keluar sebagai pihak yang kalah. Dia tertidur lebih dulu akibat kelelahan, meninggalkan Cakra yang masih berusaha keras mengatur napas. Cakra baru akan menyusul kekasihnya mencicipi mimpi, ketika sebuah suara mengganggu indra pendengaran.

Getaran itu berasal dari ponsel Ratna. Cakra meraihnya, berniat untuk mengganti jadi mode senyap supaya waktu istirahat mereka tidak terganggu. Namun, apa yang dia lihat di pop up notification membuat kelopak mata terbelalak seketika.

Cakra tak bisa mengendalikan diri. Dengan hati yang panas, pria itu memunguti potongan pakaian dari lantai, kemudian membiarkan sisi kasur yang satunya mendingin. Dia meninggalkan Ratna sendirian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top