47 | Kotak Hadiah
Hari ini adalah hari yang panjang, juga menyenangkan. Hasil pemeriksaan kaki Cakra menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Apa yang Cakra dan Ratna khawatirkan tidak terjadi, dan Ratna yakin setelah ini Cakra akan makin membandel.
Selain kabar dari dokter, Doni juga membawa kabar baik. Penyelidikan tindak KDRT Ratna berlanjut, bahkan mereka telah mendapat jadwal persidangan. Berawal dari penyelidikan kasus ini, mereka berharap kasus penguntitan akan lebih mudah terselesaikan. PR tambahan Doni untuk mengusut kasus percobaan penculikan Raga juga sudah diproses.
Doni sudah seperti pengacara khusus keluarga Cakra. Kasus yang melibatkan Ratna, Cakra, maupun Raga, dia kerjakan. Bisa dibayangkan betapa sibuknya Doni yang sekarang sedang panen pekerjaan.
Pulang dari kantor Doni, Ratna dan Cakra tidak punya waktu untuk kembali ke rumah terlebih dahulu. Mereka langsung pindah ke tempat tujuan berikutnya, yaitu memenuhi undangan makan malam keluarga Pak Salim. Cakra memperkenalkan Ratna sebagai tunangan, tanpa tahu sebenarnya Pak Salim merupakan saudara jauh mantan suami Ratna.
"Saya sama sekali tidak menyangka kita akan bertemu lagi di acara ini." Ucapan Pak Salim tertuju pada Ratna. "Sudah lama tidak bertemu, Ratna."
Ratna cuma tersenyum. Dia sudah menebak, keluarga Kartono yang Cakra maksud tadi siang adalah keluarga Kartono yang dia kenal. Dunia kalangan atas memang sesempit itu, hampir semuanya saling mengenal. Terang saja. Makin ke atas mendekati puncak, piramida makin mengerucut. Tidak banyak pilihan untuk mencari teman dan tidak ada ruang untuk menghindari kompetitor.
"Kamu sudah kenal sama Pak Salim?" Cakra bertanya, setengah terperangah.
"Kami pernah bekerja sama, waktu aku masih jadi pengacara," balas Ratna tanpa buru-buru membuka kedok. Ratna lantas memberi senyum pada Cakra supaya kekasihnya itu tidak meragukan jawabannya. "Kartono Group hire tempat kerjaku dulu."
"Ya, ya, ya." Pria tua yang masih tampak segar itu mengangguk-angguk tanpa henti. "Bisa dibilang, sebuah perusahaan tidak dapat bergerak tanpa sokongan firma hukum yang kuat. Terima kasih pada Ratna, perusahaan saya bisa bertahan sampai sekarang." Pak Salim menyesap isi gelasnya sesaat, tanpa memutus tatapan dari Ratna. "Sayang sekali Ratna mengundurkan diri. Saya jadi memercayakan tugas menjaga Kartono Group ke temannya."
"Ke temannya Ratna?" tanya Cakra lebih santai, sambil ikut-ikutan menyeruput kopi hitam.
"Ya. Namanya Haiyan Chandra Lateef."
Cakra mengernyit, sedangkan Ratna membuang muka. Nama Haiyan rasanya sangat haram disebut sebelum Cakra dan Ratna resmi menikah. Ratna segera menyetir pembicaraan ke arah lain, tepatnya menanyakan kabar Hana.
"Saya kirim undangan pernikahan Hana ke rumah kamu, yang datang malah cuma ayah dan ibu kamu," kata Pak Salim. "Padahal kalian berdua bisa datang bersama. Kamu dan Cakra. Saya pasti bakal lebih cepat tahu kabar hubungan kalian."
"Ada beberapa urusan, Pak Salim. Maaf jadi tidak bisa bertemu lebih cepat." Cakra yang menyahut.
"Saya bertemu dengan junior kamu. Laki-laki dan perempuan. Mereka menitipkan salam kamu untuk saya." Pak Salim tertawa sambil bergantian menatap Cakra dan Ratna. "Saya masih tidak menyangka. Kamu lebih suka sama Ratna daripada sama anak saya."
Cakra balas tertawa, meski tidak ada yang patut ditertawakan. "Ini cuma masalah kecocokan saja, Pak. Bukan apa-apa, tapi chemistry antara saya dan Ratna nggak ada yang bisa menandingi. Sama seperti chemistry antara Pak Salim dan istri."
"Kamu pintar sekali bicara, Cakra. Ibu sampai sekarang masih terngiang-ngiang sama nasihat kamu untuk bulan madu merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke-50. Kamu penyelamat hubungan kami, sekaligus penyelamat Kartono Group supaya tidak terpecah belah atas ancaman perceraian. Sayang sekali malam ini Ibu tidak bisa hadir." Pak Salim tampak salut saat membahasnya. "Yah, dengan siapa pun kamu berpasangan, saya akan memberi dukungan." Pria tua itu kemudian memberi tatapan lembut pada Ratna. "Ratna, kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja ke saya. Cakra sudah saya anggap anak. Berarti nantinya kamu juga menjadi anak saya."
Dukungan dari seorang Salim Kartono adalah sebuah pencapaian besar. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha Ratna sebagai mantan kuasa hukum perusahaan Pak Salim, maupun hubungan persaudaraan dari jalur pernikahan. Efek sebesar ini Ratna dapatkan atas kerja keras Cakra, yang pandai sekali mengambil hati klien, meski sudah di luar ranah pekerjaan.
Satu kosong, dengan kemenangan di tangan Cakra. Menurut Ratna, Cakra memang layak mendapat perhatian dan dukungan. Dia mengerjakan tugasnya sebagai pengacara dengan penuh tanggung jawab, sekaligus menjadi orang yang tak segan menaruh perhatian pada manusia lain. Dia sungguh berbeda dari Ratna yang terkesan dingin dan suka menarik batas.
***
"Tante, aku sudah boleh buka kadonya?"
Ratna baru tiba di rumah, tetapi Raga sudah menodongnya dengan pertanyaan. Wanita itu bahkan belum sempat menanyakan kabar Raga di sekolah dan bagaimana acara makan malam tadi di rumah Citra berlangsung. Insting keibuan Ratna muncul bersamaan perasaan bersalah karena hari ini dia tidak menghabiskan waktu bersama Raga sebanyak biasanya.
"Kamu mau lanjut buka kado ditemani Tante? Nggak sama Ayah lagi aja?" Cakra mengusap kepala putranya saat melewati untuk mengambil air minum di dapur.
"Bukan, bukan. Kado dari teman-teman dan Ayah sudah aku buka. Tinggal kado dari Tante Ratna."
Ratna mengempaskan diri di sofa. Sambil memijat betisnya yang pegal karena berjalan ke sana dan ke mari, Ratna menanggapi ucapan Raga. "Kado dari Tante nggak dibungkus. Malah tadi pagi langsung kamu pakai ke sekolah, kan?" ucapnya membahas hadiah berupa sepatu sekolah.
"Bukan yang itu, Tante. Yang satu lagi. Yang lebih kecil." Raga mengentakkan kakinya ke lantai sambil mengepalkan tangan. "Yang Tante titipin ke teman Tante itu, lho," lanjut Raga gemas karena Ratna tak kunjung mengerti maksudnya.
Cakra mengambil tempat duduk di sebelah Ratna. "Coba kamu sekarang ambil kadonya biar Tante Ratna nggak bingung."
Raga melesat menaiki tangga. Seruan Cakra yang menyuruhnya supaya tidak berlari diabaikan begitu saja. Ratna dan Cakra terus mengawasi. Ketika Raga kembali muncul di anak tangga teratas, Cakra langsung mengimbaunya turun dengan hati-hati, yang untungnya kali ini langsung dituruti.
"Ini, Tante," kata Raga agak terengah-engah. Anak itu melompat-lompat antusias. "Selama ini aku simpan baik-baik di laci meja belajar. Aku ingat banget, si om bilang aku cuma boleh buka kado ini di hari ulang tahun. Harusnya kemarin, tetapi kemarin Tante nggak pulang-pulang ke sini."
Ratna meringis. Dia tidak bisa mengucapkan alasannya pergi dengan jujur. Jadi, Ratna mulai mengembalikan pembahasan ke kado. "Raga bilang yang kasih kado ini temannya Tante? Raga ingat mukanya kayak apa?"
"Ingat. Si om masih muda, jalannya aneh."
Cakra menarik tangan putranya supaya duduk di antara dirinya dan Ratna. "Kapan Raga dapat kado ini?"
"Waktu aku doa dan minta ke Tuhan supaya Tante Ratna mau jadi ibu sambungku," jawab Raga dengan mudah. Ingatannya memang tajam. "Hari itu, aku juga lihat Tante Ratna jago banget nendangnya. Setelah lihat Tante, aku jadi semangat ekskul taekwondo. Aku mau jadi jagoan kayak Tante."
Ratna dan Cakra saling menatap sepanjang Raga mengoceh. Keduanya langsung awas. Pasalnya, itu adalah hari di mana teror yang lebih menyeramkan bermula. Setiap keterlibatan orang asing mungkin merupakan pertanda yang tak boleh dianggap remeh.
"Ayah!" Raga menyentak kotak kado miliknya dari tangan Cakra. "Ini kado punya aku. Kenapa Ayah yang mau buka?"
"Ayah periksa dulu."
"Ini punyaku!"
Ratna segera menengahi. "Raga, boleh kadonya Tante ambil lagi? Kado yang itu masih kurang. Nanti Tante kasih lagi ke Raga kalau sudah Tante tambahkan."
"Memang isinya apa, Tante?" Raga berhenti berteriak. Dia malah memberi pertanyaan, meski bibirnya masih mengerucut tampak tak senang.
"Ada, deh!" Ratna berusaha menghidupkan suasana dengan sedikit bercanda. "Makanya, Tante mau bikin kadonya lebih waw lagi, biar Raga makin senang pas lihatnya nanti."
Ragu-ragu Raga meletakkan kotak kado di telapak tangan Ratna. "Benar, ya? Tante nggak bakal bohong, kan?"
"Kapan, sih, Tante pernah bohong sama kamu?"
Cakra menepuk-nepuk punggung Raga, lantas mengajaknya berdiri. "Sudah malam, waktunya tidur. Malam ini Ayah yang antar Raga tidur." Setelah putranya berlalu lebih dulu, Cakra bicara pada kekasihnya dengan suara yang lebih pelan, "Tunggu aku. Kita buka bersama."
Menidurkan Raga bukanlah urusan yang susah. Cakra pergi tidak terlalu lama. Ketika kembali, Ratna telah menunggunya dengan tak sabar. Langsung saja mereka membukanya bersama, yang ternyata isi kotak itu adalah sebuah flashdisk. Ratna segera mengambil laptop, kemudian menancapkan flashdisk. Di dalamnya cuma ada satu file berbentuk video.
"Video? Untuk apa kasih video sebagai hadiah ulang tahun anak-anak?" Ratna bergumam panjang.
"Kita play dulu. Siapa tahu cuma video prank."
Cakra-lah yang menekan tombol segitiga. Menurut Cakra, sudut pengambilan gambarnya agak aneh sebagai rekaman prank biasa, lebih seperti sebuah kamera CCTV yang dipasang di langit-langit ruangan. Cakra masih tidak paham itu video apa, jadi dia malah memajukan wajah penuh perhatian. Baru ketika terlihat seorang pria menyeret seorang wanita dengan cara menjambak rambutnya, kemudian membuat tubuhnya terpelanting di sofa, Cakra merasakan teror yang begitu pekat.
Belum sampai lima detik video berputar, Cakra menekan tombol pause. Dia memeluk Ratna, menghindarkan tatapan wanita itu dari apa yang sedang ditayangkan. Cakra bisa merasakan tubuh Ratna bergetar di dalam pelukannya.
Sungguh sialan. Orang kurang ajar mana yang menjadikan video asusila sebagai hadiah ulang tahun anak-anak? Parahnya lagi, video itu adalah barang bukti yang selama ini Ratna simpan rapat-rapat.
***
Buktinya bocor, guys. Kira-kira apa risikonya, ya? 🤔
Btw, makasih buat kalian yang selalu support cerita ini dengan vote, comment, share. Aku senanggg 🥹🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top