46 | Kembali

"Selamat datang di kasur kita tercinta!"

Ratna menepuk punggung Cakra keras-keras. Seruan Cakra membuatnya malu. Dasar jahil! Tidak bisakah Cakra menyambut kedatangannya dengan tingkah biasa-biasa saja?

"Muka kamu merah. Mau, ya?" ledek Cakra makin menjadi-jadi.

"Cakra." Ratna memutar bola mata. Wanita itu memilih duduk di pinggir kasur. "Kamu parah banget, deh. Kayaknya cuma aku yang khawatir bakalan ketahuan sudah lama tinggal di sini."

Cakra duduk di sisi Ratna. "Kalau ketahuan, paling juga kita disuruh cepat-cepat menikah."

"Nggak segampang itu! Coba pikirkan. Aku bakal dianggap apa sama orang tua kamu."

Cakra berhenti bermain-main. Pria itu mengusap punggung Ratna naik dan turun, lantas memeluknya. "Maaf, aku kurang memperhatikan perasaan kamu."

"It's okay, yang penting sekarang sadar." Ratna balik mengusap punggung Cakra. "Dua malam aku tidur di luar, aku ketinggalan kabar apa aja, nih?"

"Raga hampir keceplosan bilang kamu tinggal di sini."

"Terus gimana?" Ratna langsung mendorong Cakra untuk membebaskan diri dari kungkungan kekasihnya.

Cakra tersenyum tipis. "Aman, kok. Aku langsung menyangkal. Aku bilang, kamu memang beberapa kali menginap di sini, sekalian untuk kerja bareng. Tapi semenjak aku pindah kamar ke bawah karena nggak bisa naik tangga, kamu jadi selalu pulang."

"Orang tua kamu percaya?"

Cakra mengangguk. "Mereka waktu menginap aku biarkan pakai kamarku yang di atas. Jadi, mereka sama sekali nggak lihat isi kamar bawah." Cakra menunjuk meja rias. "Mereka juga nggak tahu kalau banyak banget produk kecantikan wanita dipajang di sana."

Ratna menghela napas lega. "Untunglah," ucapnya singkat, kemudian beranjak.

"Nggak untung, Sayang. Aku kehilangan kamu selama dua malam. Dingin banget tidur sendirian."

"Alasan. Dulu-dulu memangnya nggak tidur sendiri?"

Tidak ada jawaban, bahkan meskipun itu dalam bentuk candaan. Ratna sontak melotot. Dia yang awalnya sedang mencari baju ganti di lemari, jadi kembali ke area kasur untuk berdiri tepat di depan kekasihnya.

Ratna bersedekap. "Cak?"

"Masa lalu, Sayang. Aku sudah tobat." Cakra mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. "Itu pun nggak pernah aku bawa ke rumah. Nggak pernah sama orang yang sama. Nggak pernah ciuman. Nggak pernah pakai perasaan. Selalu pakai pengaman. Selalu cari yang nggak murahan–"

"Cakra!"

"Ampun, Sayang!" Cakra berusaha melindungi diri dari pukulan Ratna. "Nggak sering, kok. Kalau pengin aja."

"Kalau pengin? Memang kamu pikir aku nggak tahu intensitas pengin kamu ukurannya seberapa?"

"Beda." Cakra berhasil menangkap pinggang Ratna, kemudian membanting tubuhnya pelan hingga jatuh memantul ke kasur. "Kamu itu candu, sedangkan cewek lain di luar sama sekali nggak ada rasanya. Posisi kamu jauh berbeda dari mereka, bahkan dari mantan istriku."

Ratna berpaling. Dia sama sekali tidak mau melihat Cakra, melirik pun enggan. Cakra akhirnya mengalah. Setelah menempelkan kecupan di ujung jemari tangan, yang kemudian dia tempelkan di kening Ratna, pria itu mengambil kruk dan berpamitan tidur di sofa ruang televisi. Mereka berdua terlalu lekat, sampai lupa bahwa setiap orang butuh waktu untuk sendirian.

Malam makin larut, dan sungguhan tidak ada tanda-tanda Cakra akan kembali ke kamar. Ratna yang awalnya menyangsikan keputusan Cakra, kini jadi meragukan asumsinya sendiri. Ternyata bukan Cakra yang tidak tahan tidur sendirian. Ratna butuh teman, terutama sekarang.

Saat membuka pintu kamar dan mengintip ke ruang tengah, rupanya lampu-lampu sudah padam. Tidak ada suara maupun pergerakan yang terasa. Ratna berjalan mengendap-endap. Benar saja. Dia menemukan Cakra sudah terlelap di sofa ruang TV. Keberadaan Ratna bahkan tidak mengusiknya.

Timbul perasaan ingin dimanja dari dalam hati. Dia tidak pernah dengan sengaja bertingkah imut. Maka dari itu, ketika Ratna memaksa berbaring di sofa yang sama, kemudian mengusapkan wajahnya di dada Cakra, si pria langsung terjaga dan kebingungan. Ratna seperti bukan Ratna, malah kayak anak kucing.

"Kamu mau tidur di sini?" tanya Cakra dengan suara agak serak. "Sudah nggak marah sama aku?"

"Mau tidur sama kamu."

Cakra bergumam panjang. Dia berkali-kali mengecup puncak kepala Ratna. Wangi sampo Ratna membelai indra penciumannya, begitu menenangkan. "Aku juga mau tidur sama kamu," balas Cakra seraya melingkarkan lengan ke punggung Ratna.

"Ya sudah. Ayo, pindah kamar!"

"Apa?" Cakra mengangkat alis. "Kamu bolehin aku tidur di kasur yang sama?"

Ratna mengangguk malu-malu. "Sekalian ngobrol. Ulang tahun Raga sudah lewat, saatnya obrolin hubungan kita."

***

Ratna berpikir selama ini dia sudah mengenal Cakra. Toh, dia sudah tahu kisah pernikahan Cakra yang lalu. Dia juga sudah tahu kebiasaan Cakra saat di ranjang. Namun, setiap manusia memang dilahirkan dengan kemampuan membaca cerita yang berlapis-lapis. Cakra versi sekarang dan masa lalu bisa saja berbeda, dan Ratna tak akan pernah bosan mendengar cerita yang versi mana saja.

Obrolan mereka semalam adalah buktinya. Cakra memang mengakui bahwa dia sering kali membayar wanita untuk menemani malamnya. Namun, hanya sebatas itu. Ratna tidak mengambil pusing. Bagi Ratna, apa yang Cakra lakukan sama buruknya dengan kenyataan bahwa Ratna pernah mau berniat mencuri hati pria yang merupakan suami dan ayah dari keluarga bahagia.

Sesi obrolan masa lalu ditutup dengan satu ciuman panjang, yang langsung Ratna hentikan sebelum berlanjut ke permainan yang lebih menegangkan seperti yang sudah-sudah. Mereka harus bangun pagi supaya tidak terlambat berangkat ke kantor. Selain itu, mereka juga harus menjaga stamina karena besok adalah jadwal check up Cakra. Ratna tidak mungkin menyodorkan Cakra yang kurang tidur kepada dokter.

"Kita terlalu sering ketemu di lobi kantor begini, apa orang-orang di kantor nggak ada yang sadar kalau kita punya hubungan?" tanya Ratna saat mereka berdua berdiri bersisian menunggu pesanan taksi daring.

"Ria sama Lanang kayaknya nggak tahu. Pak Dimas tahu, sih. Kan, aku yang kasih tahu sendiri." Cakra menoleh pada Ratna. "Orang kantor kamu tahu?"

"Nggak. Sejak dugaan kalau HP-ku benaran disadap, aku jadi makin selektif. Nggak sembarang hal aku bagi." Ratna tersentak di tempat. "Oh, ya! Aku sudah kasih tahu kamu, belum? Setelah nemenin kamu ke rumah sakit, aku ada jadwal ketemu sama Pak Doni."

"Aku boleh ikut?"

"Kamu nggak harus ketemu klien?" Ratna balik bertanya.

"Jadwal penting yang tersisa tinggal makan malam sama klien ...," Cakra berhenti sejenak, "hm, bagaimana kalau kamu ikut aku acara nanti malam? Pertemuan ini bukan untuk membicarakan pekerjaan, kayaknya. Jadi, aku mau ajak kamu."

"Pertemuan formal?"

"Nggak formal. Cuma ... beliau orang besar." Cakra tersenyum lebar. "Jadi, deal? Siang ini kamu ajak aku ketemu Doni. Habis itu aku ajak kamu ketemu klien."

"Memang bakal ada waktu untuk dandan? Kalau ketemu orang besar, berarti aku harus siap-siap, kan?"

"Pertemuannya di rumah makan biasa, kok. Nggak perlu pakai gaun segala." Cakra meraih ponsel dari saku jasnya. "Kalau kamu bersedia jadi teman makan malam aku, aku langsung minta izin ke beliau, nih."

"Kamu chat sendiri? Bukan ke sekretarisnya?"

Cakra tersenyum miring. "Aku sama beliau saking dekatnya bahkan bisa sleep call."

"Bercanda terus." Ratna menepuk lengan Cakra. "Boleh, deh. Aku jadi penasaran sama orangnya. Siapa, sih?"

"Pak Salim, pendiri Kartono Group. Saking percayanya beliau sama aku, dulu beliau pernah jodohin anaknya sama aku."

"Tunggu," Ratna mengerutkan kening, "Pak Salim? Berarti anak yang kamu maksud hampir jadi jodohmu itu Hana Salim Kartono?"

Cakra memberi tatapan menyelidik. "Kamu kenal sama Hana?"

Ratna memilih tidak menjawab. Dia malah menunjuk sebuah mobil yang terlihat mendekat. "Mobil kita sudah sampai. Ayo, naik!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top