45 | Ulang Tahun Raga
Tidak ada yang tahu kapan orang tua Cakra akan bertandang. Tahu-tahu sebuah Fortuner hitam sudah mengisi tempat di samping mobil Cakra yang selama beberapa hari ini tidak pernah keluar pekarangan rumah. Sama seperti pertemuan pertama Ratna dan mereka yang tak terduga, kali ini pun Ratna tidak ada persiapan.
Bagi Ratna, ini adalah bencana. Pertama, dia belum siap memperkenalkan diri sebagai tunangan Cakra. Orang tua Cakra bahkan tidak tahu kalau anaknya dan Ratna menjalin hubungan romantis. Kedua, kabar tentang penculikan Raga tentu tak dapat ditepis karena kondisi kaki Cakra yang masih belum benar-benar pulih. Sudah tentu orang tua Cakra bakalan terkejut mendengar kabar buruk yang selalu disimpan itu. Ketiga, Ratna sama sekali tidak menyiapkan jawaban jika mereka tahu bahwa selama ini Ratna dan Cakra sudah seperti pasangan kumpul kebo di luar sana!
"Relaks," kata Cakra sambil menepuk bahu Ratna. Mereka pulang bersama naik taksi. Jadi, pada awalnya Cakra sama terkejutnya dengan Ratna. "Kita akui hubungan kita. Aku yakin Papa dan Mama merestui."
"Barang-barang aku masih bertebaran di rumahmu, Cak!"
"Nggak ada yang aneh dari itu. Kamu sering berkunjung ke rumah pacar sendiri untuk bantuin aku yang kakinya lagi sakit." Cakra mengedipkan sebelah mata. "Tenang, Sayang. Apa, sih, yang seorang Cakra Dhananjaya nggak bisa lakukan?"
Ratna mendengus keras-keras. Namun, tetap saja dia mengambil tas Cakra dan membantu membawakan selagi kekasihnya itu menggerakkan kruk. Mereka berjalan bersisian menuju pintu depan.
"Papa dan Mama kayaknya ada di rumah depan," kata Cakra. Usai memutar kunci pintu, tatapannya beralih ke teras rumah kakaknya. "Mereka nggak punya kunci rumah aku, jadi nggak mungkin nunggu di sini."
"Apa lebih baik kita sapa mereka di sana? Biar mereka nggak perlu ke sini? Astaga, Cak! Mereka pasti bakal jantungan lihat pakaian dalam aku di jemuran rumah kamu!"
Alih-alih panik, Cakra justru tertawa. Dia membiarkan kekasihnya menyerbu masuk sambil mencak-mencak. Cakra sendiri batal pulang. Pria itu berniat menjemput Raga sekaligus menyapa orang tuanya sekarang.
Ketika Ratna bergabung di rumah Citra, hawa dingin benar-benar menusuk. Dia pikir kehadirannya tidak diharapkan. Namun, rupanya bukan itu permasalahan yang tengah dibahas. Orang tua Cakra sedang kesal karena bisa-bisanya Cakra menyembunyikan kemalangannya selama ini.
"Jarak dari Malang ke Surabaya nggak jauh. Mama bisa datang untuk bantu urus kamu dan Raga," kata Aster sambil tak henti-henti mengelap air mata. "Mama nggak bisa membayangkan seberapa menderitanya kalian berdua. Mulai hari ini Mama tinggal di rumah Cakra. Boleh, ya, Pa?"
"Berlebihan, Ma." Cakra segera menyahut sebelum ibunya mendapat pendukung. "Aku dan Raga baik-baik aja. Ada Mbak Citra juga, kok. Lagian aku sudah bisa pakai kruk, nggak harus ke mana-mana naik kursi roda." Cakra kemudian meraih tangan Ratna yang setelah mengucapkan salam memilih menutup mulut. "Ada Ratna, Ma, Pa. Dia sesekali datang untuk bantu aku dan Raga."
"Ratna cuma teman kamu. Nggak enak terus-terusan bikin teman repot."
Cakra tersenyum pada Ratna sebelum kembali menatap orang tuanya. "Aku dan Ratna pacaran, dan rencananya bakal bersama-sama jadi orang tua Raga."
"Orang tua Raga?" Aster sontak terkejut. Kelopak matanya melebar. "Kalian mau menikah?"
Ratna melukis senyum yang sama manisnya dengan senyum Cakra. "Dengan izin Om dan Tante, saya mau menikahi Cakra."
"Aku yang nikahin kamu, Ratna," balas Cakra tak mau kalah.
Suasana yang tadinya tegang, berangsur-angsur melunak. Canda tawa mulai menghiasi perkumpulan para orang dewasa. Kehadiran Ratna diterima, dan semakin dinantikan saat Raga menceritakan semua temannya senang mendapat kartu undangan ulang tahun yang dihias berdua olehnya dan Ratna.
***
Keberuntungan tidak selalu berpihak pada Cakra dan Ratna. Usai makan malam, Ratna terpaksa menyingkir ke hotel karena orang tua Cakra yang kukuh ingin membersamai si cucu sampai hari esok. Ratna bahkan tidak punya kesempatan untuk mengepak barang-barang dari kamarnya. Akan terasa aneh bila tiba-tiba Ratna menyeret koper, padahal ini bukanlah rumah Ratna.
Ratna terusir sampai keesokan harinya. Untunglah dia sempat membeli beberapa potong pakaian, jadi saat berangkat ke kantor tidak perlu mengenakan pakaian yang sama. Cakra yang ternyata menunggu di lobi gedung kantor pun berkali-kali mengucap maaf karena dia pun tak memprediksi keputusan orang tuanya untuk menginap.
Dengan segala keterbatasan dan rencana yang lebih matang, akhirnya Ratna memutuskan datang ke acara ulang tahun Raga sendiri. Berangkat bersama Cakra dan melibatkan diri terlalu jauh dengan orang tuanya akan membahayakan fakta yang sedang berusaha dia tutupi. Jadi, Ratna mengulur waktu dan baru tiba di tempat acara setelah pidato sambutan Cakra berakhir.
"Kamu Ratna, kan?"
Ratna menoleh ke sumber suara. Dia segera menyalami Singgih yang barusan menyapanya. Cakra memang lebih banyak mendapat warisan rupa fisik dari ibunya. Di sisi lain, untuk urusan menciptakan aura mencekam, sepertinya Cakra banyak belajar dari sang ayah.
"Iya, Om." Ratna menunjuk deretan kursi di bagian belakang ruangan, agak jauh dari tempat berkumpul anak-anak. "Mau duduk?"
Tidak ada yang membuka percakapan. Ratna memang bukan tipe orang yang banyak bicara. Begitu pula dengan Singgih. Keduanya seolah asyik mendengarkan anak-anak yang secara serentak menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Raga. Si artis hari ini pun ikutan bernyanyi sambil bertepuk tangan.
"Kamu suka anak-anak?" tanya Singgih. Rupanya dari tadi pria itu tengah menyusun keberanian untuk membuka percakapan.
"Suka, Om." Ratna berbinar-binar saat menjawab, "Mereka menggemaskan. Dari mereka, saya juga banyak belajar. Mereka sama sekali berbeda dengan orang dewasa."
"Saya dengar, pernikahan kamu sebelumnya cukup lama. Sepuluh tahun, ya? Apa kamu nggak kepikiran untuk punya anak dengan suami kamu dulu?"
Bagi orang yang baru berkenalan, kisah masa lalu Ratna memang mengundang banyak pertanyaan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Orang-orang pasti penasaran mengapa pernikahan itu akhirnya kandas, mengapa tidak punya anak, siapa yang memilih pergi, dan sebagainya. Dalam kasus ini, Ratna tentu memahami maksud Singgih. Singgih sedang menilainya.
"Tuhan mengirimi saya rezeki dalam bentuk yang lain, Om," jawab Ratna bijak.
Singgih mengangguk-angguk, tampak puas dengan jawaban Ratna. "Apakah kamu nggak masalah begitu menikah nanti bakal langsung punya anak sebesar Raga?"
"Raga anak yang baik dan pintar. Saya senang bisa menjadi salah satu orang yang mengenalnya."
"Kamu mungkin tidak masalah, bisa beda cerita sama keluarga kamu. Apa keluarga kamu bisa menerima?"
Ratna mengganti posisi duduk hingga sedikit menyerong menghadap Singgih. "Apa ada yang sedang mengganggu pikiran Om?"
Singgih lantas menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri sebagai bentuk penolakan. Namun, kerutan di kening tentu tak dapat berbohong. Matanya yang memancarkan kasih sayang seorang bapak dapat Ratna baca. Ratna akhirnya memahami kegundahan Singgih.
"Saya memang tidak mengenal banyak pria setelah bercerai. Saya bahkan awalnya tidak memikirkan pernikahan sama sekali. Tiba-tiba saja Cakra datang, menunjukkan pada saya bahwa hidup tidak selalu jahat. Di situ saya tahu, Cakra adalah orang yang tepat untuk saya." Ratna melempar pandangan pada kekasihnya yang sedang membantu Raga memotong kue di depan sana. "Di usia saya dan Cakra, membangun hubungan bukan lagi soal main-main. Kami melalui banyak hal bersama, berbagi ketakutan, dan berusaha mengerti kegagalan pernikahan masing-masing di masa lalu. Saya yakin kami bisa berjuang bersama."
"Apa keluarga kamu tahu kalau Cakra akan membawa anak dalam pernikahan kalian nantinya?"
Sungguh pertanyaan berat. Ratna bahkan sudah menganggap keluarganya tidak ada. Apa pun pendapat mereka soal Cakra, Ratna tidak akan peduli.
"Mungkin ini akan sedikit menyakitkan dan menyedihkan. Faktanya, keluarga saya sama sekali tidak peduli soal itu. Mereka memang pernah meminta saya untuk segera memiliki anak, tapi ... apa yang lebih mereka pikirkan adalah seperti apa pria yang akan saya nikahi nantinya."
"Dan?" Singgih tampak tertarik. "Menurutmu, bagaimana keluarga kamu akan melihat anak saya?"
Cakra memang tidak sehebat Dewa. Cakra tidak datang dari salah satu keluarga terpandang di tanah air. Namun, Cakra punya banyak relasi dan klien setia. Dengan kata lain, Cakra memiliki kekuatan yang didapat dari hasil kerja kerasnya selama ini. Bahasa kasarnya, Cakra cukup kredibel untuk bergabung di keluarga Ratna yang dingin dan cenderung memegang prinsip asas saling menguntungkan kedua belah pihak dalam hubungan pernikahan.
"Mereka akan menyukai Cakra," jawab Ratna tidak panjang lebar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top