43 | Cincin

Selamat datang pembaca dan followers baru! 😆 Setelah baca, tinggalkan jejak berupa vote dan komen, yuk!

***

Wanita benar-benar aneh. Cakra pikir Ratna sungguhan menyimpan dendam karena berani-beraninya Cakra memberi pertanyaan menyudutkan yang membuat Ratna malu di hadapan Doni. Ternyata, sikap Ratna yang keras langsung sirna setelah Doni pulang.

Cakra ingin menuntut penjelasan atas keputusan Ratna yang menurutnya terlalu tiba-tiba itu. Cakra khawatir Ratna sebatas bertindak impulsif. Namun, belum sempat Cakra melempar tanya, Raga keburu bangun dari tidur siangnya dan merecoki suasana rumah. Tidak ada tempat khusus untuk berdua.

Sekeras apa pun usaha Cakra untuk menciptakan momen berdua, selalu saja ada gangguan. Seperti saat ini. Cakra mengira hanya akan ada dirinya dan Ratna di dapur untuk memasak makan malam. Ternyata Raga menyusul dan duduk di meja makan, bergumul dengan tumpukan kartu undangan acara ulang tahun dan aneka stiker.

"Kalau ada yang protes kenapa nggak dapat undangan, Raga sudah tahu mau kasih jawaban apa?" tanya Ratna sambil menoleh ke arah Raga di sela kegiatan mengaduk isi panci.

"Aku hampir diculik. Ayah aku nggak bolehin undang orang banyak-banyak," jawab Raga terlalu jujur.

Ratna segera meralat. "Nggak perlu kasih tahu kalau kamu hampir diculik. Nanti malah teman-teman makin takut."

"Terus aku jawab apa?"

"Hmmm," Ratna memutar bola mata ke atas, "bilang aja ini acara terbatas. Tahun depan kamu bisa bikin pesta yang lebih besar."

"Benaran?" Raga memekik. Anak itu segera turun dari kursi untuk menghampiri sang ayah yang telaten sekali membersihkan serat kasar dari tumpukan buncis. "Ayah, benaran? Tahun depan aku bisa bikin pesta yang lebih besar?"

Cakra melirik Ratna, kemudian mengangguk dan memberikan senyuman pada putranya. "Iya."

Raga melompat-lompat kegirangan. Anak itu kembali ke tempat duduk dan mulai menempel satu per satu stiker nama ke kartu undangan. Semua teman sekelasnya dapat kesempatan untuk hadir di pesta ulang tahun Raga. Sebatas itu, tidak kurang dan tidak lebih, meski Raga pernah merengek karena dia punya banyak sekali teman dari kelas sebelah, angkatan lain, serta teman dari kegiatan ekstrakurikuler.

"Raga senang banget, ya?" Ratna mematikan kompor, kemudian melepas celemek. Bagiannya sudah selesai. "Memang kalau boleh bikin pesta besar, kamu mau bikin pesta yang kayak gimana?"

"Yang bisa undang banyak teman dan para orang tua," jawab Raga. Bahunya naik turun berulang-ulang, seperti sedang menari. "Aku mau pamer kalau aku bisa bikin pesta besar karena sudah punya ibu. Tante Ratna bakal jadi ibu aku, kan?"

Ratna tertawa canggung. Anak dan ayah sama saja, suka sekali memburu-buru keputusan.

"Kalau gitu, pas," sahut Cakra. "Tahun depan aja kamu pamer punya ibu baru. Tante Ratna baru bisa jadi ibu sambung kamu setelah pesta ulang tahun kamu tahun ini selesai."

"Oh, ya?"

"Iya."

"Cak," panggil Ratna seraya menggeleng. Dia lantas mengusap kepala Raga penuh kasih sayang. "Di acara ulang tahun Raga nanti, jangan bilang-bilang kalau Raga mau punya ibu sambung, ya. Bahaya. Sampai Ayah dan Tante menikah, informasi ini nggak boleh bocor."

Raga mendongak. "Rahasia?"

"Ya. Rahasia." Ratna menyodorkan janji jari kelingking, yang langsung Raga balas dengan sepenuh hati.

Sepanjang acara makan malam, Raga-lah yang mendominasi obrolan. Anak itu semangat sekali menyambut hari ulang tahunnya esok lusa. Tidak seperti Cakra yang diam-diam meminta maaf dalam hati.

Tahun-tahun sebelumnya, Cakra mengadakan pesta ulang tahun setiap akhir minggu, entah itu lebih dulu atau telat beberapa hari dari tanggal lahir Raga. Akan tetapi, tahun ini ada perbedaan. Cakra melaksanakannya tepat waktu. Mengadakan pesta di hari kerja juga merupakan salah satu strategi supaya tidak banyak yang datang. Semua sudah diperhitungkan.

Usai makan malam, Cakra membiarkan Ratna dan Raga bekerja sama menyelesaikan tugas menempel stiker nama. Semuanya sudah harus jadi malam ini, supaya esok hari bisa Raga berikan ke teman-teman. Sebab perasaan bersalah yang melingkupi hatinya, Cakra memilih agak menarik diri. Pria itu sibuk dengan gawainya, membaca laporan, sambil sesekali mengamati interaksi manis antara Raga dan Ratna.

"Sudah jam sembilan," ucap Ratna. Dia mengusap punggung Raga yang terlihat malas-malasan meletakkan kepala di meja. Suaranya tidak semenggelegar tadi. "Tidur, yuk! Kamu bolak-balik menguap, tuh."

"Ini belum selesai, Tante."

"Besok pagi kita lanjutkan bersama. Tinggal lima lagi, kok." Ratna menumpuk sisa kartu yang belum selesai dihias ke sisi meja. "Ayo, tidur! Daripada besok pada terlambat bangun."

Raga menurut pada ajakan kedua. Anak itu memberi ucapan selamat malam pada ayahnya, kemudian berlalu pergi ke lantai dua bersama Ratna. Sikapnya benar-benar natural. Raga sudah terbiasa dengan keberadaan Ratna yang bisa sewaktu-waktu menggantikan posisi Cakra.

Cakra termenung di meja makan sendirian. Dokumen yang terpampang di layar laptopnya jadi tidak terlihat menarik. Pikirannya selalu melayang pada Ratna, juga pada keinginannya untuk segera memperistri Ratna. Cakra terus berpikir, sampai sebuah tepukan di bahu menyadarkannya.

"Belum tidur?" sapa Ratna yang langsung berlalu mengambil segelas air mineral.

"Belum. Aku masih mikirin pembahasan tadi siang," jawab Cakra jujur. "Aku mau tahu satu hal. Apakah keputusan kamu tadi nggak bakal mengubah rencana kita untuk berkeluarga di masa depan?"

Pertanyaan itu membuat Ratna mendengkus geli. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Karena ... kayaknya tadi kamu bikin keputusan waktu lagi kesal sama aku."

"Terlalu percaya diri kamu, tuh," kilah Ratna. "Aku masuk duluan ke kamar. Kalau sudah selesai kerja, jangan lupa matikan lampu."

Susah sekali menebak-nebak isi pikiran wanita sepandai Ratna. Adanya malah nanti Cakra kepikiran sampai botak. Cakra lantas menyusul wanitanya ke kamar. Lagi-lagi Cakra meminta penjelasan gamblang, tetapi Ratna malah menyarankan pergi ke kamar mandi untuk persiapan tidur.

"Aku sudah sikat gigi, cuci muka, cuci kaki. Kamu nggak bisa menghindar lagi," kata Cakra sambil mendudukkan diri di pinggir kasur. Kruknya dia sandarkan ke dinding.

"Pintar. Kayak Raga."

"Sayang, aku lagi nggak mood main-main," balas Cakra. Dia mandiri sekali mengangkat kakinya yang masih terbebat perban.

"Kamu aja sering sama-samain aku sama Raga. Kotak bekal, pangku-pangkuan, terus ... apa lagi, ya?"

"Semua yang aku sayang berhak mendapat perlakuan spesial," potong Cakra sambil duduk bersandar ke kepala kasur. Pria itu menarik tangan Ratna, memintanya mendekat. "Ayo, ngobrol! Aku nggak mau tidur dalam keadaan pusing."

"Pusing apa lagi, sih, Cakra-ku Sayang?"

Cakra kontan menyipit. Mencurigakan. Tadi siang galak, malamnya manis. Jarang sekali Ratna tanpa diminta langsung mau memanggilnya dengan sebutan sayang.

Tawa Ratna bocor. Wanita itu mengecup pipi Cakra secepat kilat. "Susah, ya, punya hubungan sama orang yang mirip diri sendiri. Bawaannya curigaan terus."

"Mungkin kita mirip. Tapi, aku bisa mikir gini karena sudah kenal sama kamu, mengerti cara pikir kamu." Cakra mengusap bahu kekasihnya. "Sekarang, jelaskan! Kenapa kamu semudah itu mau lempar kasus KDRT ke Doni?"

"Biar profes–"

"Aku nggak terima jawaban yang itu."

"Sayang," Ratna menepuk pipi Cakra pelan, "alasanku memang itu. Kasus ini terlalu berat untuk kita berdua. Dulu aku bisa bersikap netral saat menunjukkan bukti video itu ke kamu, tanggapan kamu juga biasa aja. Dengan hubungan kita yang begini, apa kamu yakin kita bisa sama-sama netral? Aku bakal malu memperlihatkan sisi diri aku yang begitu ke kamu. Kamu juga mungkin bakal tersulut emosinya karena lihat kondisi aku yang mengenaskan begitu, lalu marah waktu berhadapan langsung dengan pelaku. Aku nggak mau lihat kamu hilang kontrol dan berakhir kena sanksi gara-gara mukul Dewa di depan hakim."

"Sayang, bukannya kamu nggak suka kalau ada orang lain yang tahu dan lihat bukti rekaman itu?" tanya Cakra penuh arti.

"Ya, aku nggak suka. Tapi, mau nggak mau harus bisa menerima." Ratna melempar pandangan ke depan, pada refleksi kebersamaan dengan Cakra di cermin meja rias. "Aku pernah kasih nasihat ke seseorang tentang pengorbanan, masa lalu, dan kasih sayang seorang ibu. Dari situ aku sadar." Ratna lantas menoleh pada kekasihnya. "Apa yang aku lakukan tadi siang adalah perwujudan dari ketiga tujuan itu. Nggak ada kemenangan tanpa pengorbanan. Nggak akan ada masa depan kalau nggak mau melepas masa lalu. Juga ...," Ratna mengusapkan ujung hidungnya di perpotongan leher Cakra, "ini aku lakukan demi masa depanku menjadi ibu Raga. Aku rela lakukan apa pun demi kenyaman kita bersama."

"Sayang." Cakra mendesah. "Kamu nggak perlu segitunya. Aku tahu kekhawatiran kamu soal–"

Ratna segera membekap mulut Cakra. "Kekhawatiran soal mukaku dan muka keluargaku? Aku sudah nggak peduli, Cak. Selama kamu dan Raga mau menerima aku, aku bakal lakukan apa pun. Keluargaku? Itu nggak penting. Mereka nggak ada di samping aku untuk menghadapi semua masalah ini."

Cakra melepaskan tangan Ratna dari mulutnya, lantas menanamkan kecupan di sana. Kecupan Cakra terlampau ringan hingga menghadirkan kepakan kupu-kupu yang menggelikan perut. Menggelikan, tetapi bikin ketagihan. Ratna bahkan berani menyodorkan bagian tubuhnya yang lain supaya mendapat kecupan serupa. Dalam sekejap, suasana memanas.

"Kamu benar-benar bikin aku mabuk, Sayang. Kamu manis banget," ucap Cakra dengan napas terengah-engah. "Setelah ini aku harus minta maaf sama dokter karena ada kemungkinan kakiku bakal makin lama sembuhnya."

"Sebentar." Ratna menyuruh Cakra untuk kembali duduk tanpa memberi tumpuan di kaki kiri. Wanita itu tidak malu-malu beringsut menduduki paha Cakra, sangat berbeda dengan beberapa malam lalu.

Cakra mulai tak sabar. Ratna seenak jidat duduk di atasnya, tetapi selalu menolak diapa-apakan. Cakra berusaha menunggu hingga Ratna selesai mengikat rambut, mempertontonkan bahu dan sepasang tulang selangka yang indah. Seolah-olah belum cukup, Ratna mengulur waktu dengan tiba-tiba pergi mengambil sesuatu di laci.

"Aku sudah boleh cium kamu lagi?" tanya Cakra saat Ratna kembali ke pangkuannya.

"Bentar. Kurang ini." Ratna menyematkan cincin di jari manis Cakra. "Kita gagal terus mau ke toko perhiasan bersama. Jadi, tadi sebelum pulang dari belanja aku mampir dulu. Karena sekarang hubungan kita sudah bukan lagi klien dan pengacara, aku mau kita pakai cincin ini. Bagus, kan?"

Cakra tersenyum lebar. Keinginan untuk mencium Ratna membesar. Dia menginginkan lebih. Masa bodoh dengan kesembuhan kakinya, malam ini Cakra ingin mengarungi kesenangan bersama Ratna dalam berbagai posisi.

***

Daripada menunda lebih lama lagi, Ratna keburu beli cincin duluan dong 😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top