42 | Lepas Tangan
Doni menggulung lengan kemeja sampai batas siku. Kacamata yang melorot sampai ke ujung batang hidung, dia betulkan posisinya. Jujur saja, kasus yang terlalu berlarut-larut ini membuat pria itu bagai kebakaran jenggot. Di balik raut wajah dinginnya, ada jiwa yang memberontak dan menolak kalah.
Dia sering menemui kasus yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Namun, kasus ini berbeda. Terlalu banyak faktor yang menggelitik benak Doni, yang seperti tengah mencemooh kemampuannya karena selalu jalan di tempat.
"Kita urut kejadiannya dari awal," kata Doni memutuskan permulaan pembahasan hari ini. "Pertama, Bu Ratna yang telah menikah kurang lebih sepuluh tahun mendapat perlakuan KDRT berat. Bu Ratna sudah berusaha meminta bantuan ke kepolisian, tetapi nggak ada hasil yang terlihat. Akhirnya, Bu Ratna menempuh jalur hukum meminta cerai dengan bantuan Cakra. Benar?"
Ratna dan Cakra sempat bertukar pandang, sebelum akhirnya mengiakan. Cakra pun meminta Doni melanjutkan penjabaran berikutnya.
"Tidak lama dari putusan perceraian keluar, Bu Ratna tersandung konflik di kantor dan mendapat teguran terkait pemalsuan bukti."
"Yang sebenarnya amat sangat tidak tepat," timpal Ratna.
"Ya, amat sangat tidak tepat." Doni menjentikkan jari. "Tapi, sukses membuat Bu Ratna terpukul mundur dan resign. Bu Ratna jadi powerless."
Tidak ada penyangkalan. Ratna yang tampak jenuh karena Doni terus membawa masalah ini meski menurutnya tidak berhubungan dengan kasus utama tampaknya sudah pasrah. Dia biarkan Doni menyambung titik-titik kasus yang ada.
Doni berbeda dari Cakra. Pria itu sangat gigih. Ratna tidak bisa sepenuhnya mengendalikan Doni.
"Lanjut ke kasus berikutnya," ujar Doni sambil meraih bundelan kasus paling tebal, kemudian menjatuhkannya ke meja hingga timbul bunyi debum yang nyaring. "Setelah Bu Ratna masuk ke kantor baru, muncul ancaman pesan teror. Pada awalnya, pesan datang dalam intensitas sering, tetapi isinya nggak terlalu mengancam. Tapi, semakin ke sini, pesannya semakin menyeramkan meskipun intensitas jarang."
"Sebelum itu," Cakra berputar hingga tubuhnya menghadap ke arah Ratna, "bisa jelaskan mengapa Bu Ratna baru menghubungi pengacara seminggu setelah pesan aneh itu sering masuk?"
Sebutan 'Bu' di depan namanya membuat Ratna yakin Cakra yang sedang dia hadapi bukanlah Cakra kekasihnya. Sengaja sekali Cakra meniru Doni dalam memanggil Ratna.
Ratna berusaha melepaskan perasaan pribadi dan menjawab, "Karena pesan itu bukan lagi tentang saya. Pesan itu mulai membawa-bawa nama orang lain di sekitar saya."
"Nama orang lain di sekitar Bu Ratna? Siapa?"
Ratna menelengkan kepala. "Keluarga Pak Haiyan, lebih tepatnya kedua anak kembar Pak Haiyan," jawab Ratna sambil bersandar di punggung kursi.
"Kenapa Bu Ratna memilih ganti pengacara?"
Doni mulai mencium hawa-hawa tidak mengenakkan di ruang tamu rumah ini. Panggungnya terkena sabotase. Doni lantas menepuk bahu sahabatnya dengan dokumen tebal. "Pertanyaan lo ngajak ribut banget! Bu Ratna–"
"Karena saya mau stay profesional." Jawaban Ratna memotong ucapan Doni.
"Kalau begitu, apakah dengan Pak Cakra selaku pengacara, Bu Ratna tidak bisa mempertahankan profesionalitas?"
"Cakra, setop!" ucap Doni sigap. Pria itu merentangkan tangan, meski sebenarnya tidak perlu. Ratna dan Cakra tidak mungkin bertengkar melibatkan baku hantam, Doni tahu. Akan tetapi, keadaan ini membuat posisi Doni semakin terjepit. "Ini bukan simulasi persidangan. Lo ada di pihak kita, Cak. Kenapa malah menyerang Bu Ratna?"
"Don, lanjutkan." Cakra seperti tidak mendengar cuap-cuap panjang lebar Doni barusan. Tatapannya tetap terpaku pada Ratna. "Dan untuk Bu Ratna, tolong pikirkan pertanyaan itu dan pertimbangkan jawabannya. Kita nggak tahu kartu apa saja yang pihak lawan pegang."
Ratna menggemeretakkan gigi. Kedua tangannya terkepal kaku di atas pangkuan. Wanita itu terlihat menarik napas panjang, sebelum akhirnya berdiri tiba-tiba. "Saya izin ke kamar mandi," ucapnya.
Selama beberapa detik, dua orang yang tersisa di ruang tamu diselimuti keheningan. Doni menunggu hingga Ratna benar-benar menghilang ke balik pintu baru berani menampar bahu sahabatnya. Doni kira Cakra dan Ratna adalah pasangan yang saling mengasihi. Asumsinya didukung dengan hasil observasi selama Cakra diperam di rumah sakit. Namun, apa yang baru saja dia lihat benar-benar berbeda.
"Cewek sendiri lo gituin? Kejam!" ujar Doni sambil menjatuhkan diri ke tempat duduk.
"Terpaksa," sahut Cakra sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Aku kenal Ratna. Dia nggak bakal tahan kalau dapat pertanyaan yang terkesan personal seperti tadi. Dengan kata lain, Ratna sama sekali nggak siap duduk di kursi sebagai saksi korban."
"Cara lo terlalu keras. Bayangkan posisi Bu Ratna. Pernikahan dan perceraiannya merenggut hidup dan mimpi dia. Maju salah, mundur kalah. Kalau lo memang sungguhan kenal Bu Ratna, lo nggak bakal sengaja menyerang titik lemahnya sekarang juga."
"Ini demi kebaikan semuanya, Don." Cakra mengusap wajah, terlihat sangat lelah. "Aku bisa maju untuk membantu membongkar lagi kasus KDRT yang lalu. Toh, Ratna nggak pernah menarik laporan. Dengan begitu, aku harus masuk ke ruang sidang, bakal ketemu dia. Kamu lihat reaksinya tadi? Apa jadinya kalau dia nggak tangguh menghadapi pertanyaan remeh macam itu? Bagaimana dia bisa menghadapi aku nanti?"
"KDRT berat termasuk ranah hukum pidana. Serahkan kasusnya ke gue. Lo bisa bujuk Bu Ratna supaya mau memindahkan semuanya ke gue."
Cakra mendesah keras. Tanpa kesaksian Haiyan, bukti terkuat yang dia punya untuk kasus ini adalah rekaman CCTV. Namun, Ratna bersikeras tak menggunakannya. Makin sedikit orang yang tahu, makin aman baginya. Membuka bukti pada Doni sekarang hanya akan menambah daftar luka Ratna, yang jelas-jelas belum siap membuka aib masa lalu untuk melangkah meraih berbagai pilihan hidup di masa depan.
"Cak?" Doni memanggil karena temannya itu malah asyik dengan dunianya sendiri. "Ada apa, sih? Apa yang lo dan Bu Ratna sembunyikan dari gue? Kalau nggak ingat posisi kalian sebagai teman, gue tentu bakalan menekan keras-keras. Prinsip gue dari dulu selalu sama. Nggak boleh ada rahasia di antara gue dan klien, kalau dia sungguhan mau dibantu."
"Sori."
"Kalau kalian berdua terus begini, sebaiknya kalian cari kuasa hukum lain."
Cakra melotot, tetapi malah mendapat pelototan balik dari Doni. Jika tidak sedang ada ketegangan di antara mereka, sudah pasti tawa keduanya berderai ribut. Namun, masalah ini tidak semudah itu. Masing-masing dari mereka membawa kepentingan individu.
"Pak Doni."
Kali ini Cakra dan Doni sama-sama tersentak. Entah Ratna yang memiliki kekuatan berjalan tanpa menimbulkan suasana, atau mereka berdua yang tidak awas, tiba-tiba saja wanita itu sudah kembali ke ruang tamu. Ratna duduk di tempat semula, di sebelah kursi roda Cakra terparkir, sambil membalas tatapan Doni.
Doni segera membenahi posisi duduk menjadi lebih tegap. "Ya, Bu Ratna?"
"Tolong buat surat perjanjian baru," kata Ratna. Caranya bicara tak pernah semantap ini. Sambil mengabaikan Cakra yang terus menatapnya dari samping, Ratna meletakkan ponselnya ke atas meja. Dia dorong benda itu hingga tiba tepat di depan Doni. "Mulai sekarang, Pak Doni menjadi kuasa hukum saya secara penuh. Baik untuk kasus cyberstalking, maupun untuk kasus KDRT."
"Na? Kamu yakin?" Cakra mencekal pergelangan tangan kekasihnya. Dia melirik Doni, sebelum akhirnya kembali fokus pada Ratna sambil memelankan suara hingga cuma Ratna yang bisa mendengar ucapannya. "Kamu nggak harus berbuat sejauh ini. Kehidupan kamu dipertaruhkan. Sayang, timku bisa handle."
Dengan tegas, Ratna melepas cekalan Cakra. "Kamu benar, Cak. Aku lemah dan nggak bisa stay profesional kalau sama kamu." Ratna memberi tatapan menantang. "Dan aku juga nggak yakin kamu bisa berpikir jernih menyelesaikan masalah hukum yang berkaitan dengan aku. Jadi, jalan tengahnya adalah meminta bantuan profesional."
Cakra mendesah. Rupanya Ratna mendengar obrolannya dengan Doni tadi. Wanita itu bahkan terus memberi penekanan pada kata profesional, yang mana menegaskan bahwa hubungan mereka sudah terlampau jauh untuk terlibat dalam penyelesaian kasus.
Doni batuk-batuk kecil, berusaha menghentikan kecanggungan perannya sebagai obat nyamuk di sini. "Baik, Bu Ratna. Kalau begitu, Bu Ratna bersedia ponsel ini dimasukkan ke tim forensik?"
"Ya," jawab Ratna tanpa mengalihkan tatapan dari Cakra. "Untuk surat-surat terkait legalitas pemindahan tanggung jawab penyelidikan, besok pagi akan saya urus ke HAD Law Firm. Mohon semua berkas terkait persidangan perceraian saya disiapkan. Tim Pak Doni bisa mengambilnya setelah dapat konfirmasi dari Tim Pak Cakra."
"Na, kita harus bicara." Cakra mengangkat sebelah tangan pada Doni supaya tidak menginterupsi. "Berdua aja."
Ratna menulikan pendengaran. Tak peduli sekeras apa Cakra meminta, dia tidak akan mengabulkan. Wanita itu lantas berdiri dan mengamati berkas-berkas tercecer yang Doni bawa ke mari.
"Pertemuan hari ini kita cukupkan," kata Ratna. "Kita diskusi lagi setelah urusan pemindahan tangan selesai."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top