41 | Tugas Seorang Ibu

"Silakan duduk. Saya nggak bisa lama-lama karena setelah ini mau jemput si kembar dan lanjut praktik di tempat lain."

Ratna menelan ludah kasar. Dia belum mengucap salam, tetapi langsung mendapat todongan seperti itu. Namun, Ratna mampu menguasai diri. Ratna segera menuruti keinginan wanita yang name tag dokternya masih menggantung di leher.

"Saya kira pertemuan ini dibuat oleh Haiyan," kata Ratna. Sejauh mata memandang, dia memang tidak menemukan pria itu sama sekali.

"Cukup saya yang datang karena hari ini titik berat pembahasan kita bukan di ranah hukum." Naya menatap cairan pekat di dalam cangkir sambil mengetukkan ujung jari ke permukaan meja. "Malam itu kamu minta suami saya supaya bersaksi atas kasus KDRT yang kamu alami dulu. Benar?"

Ratna mengangguk sekali. Wanita di hadapannya sangat to the point. "Benar," jawab Ratna.

"Maksud kamu bersaksi ... apakah suami saya sungguhan melihat kejadian saat kamu babak belur karena mantan suamimu?"

"Bukan seperti itu," jawab Ratna. Dia mengerti keresahan seperti apa yang tengah membayangi Naya. "Haiyan sama sekali tidak pernah bertamu ke rumah saya. Mengantar pun sebatas di depan gerbang. Haiyan menjadi saksi karena pada periode kejadian dialah satu-satunya teman yang saya bagi cerita menyedihkan ini. Dia juga sempat melihat lebam saat saya tanpa sengaja menggulung lengan pakaian. Sebagai tambahan, Haiyan adalah orang pertama yang datang ke IGD saat saya mengabari tidak bisa mengikuti pertemuan dengan klien karena kaki saya patah."

"Kenapa ...." Napas Naya tercekat. Dia menyesap teh melati untuk menenangkan diri. "Kenapa harus suami saya?"

"Saya tidak bisa memilih takdir."

"Kamu tahu dia sudah punya keluarga!"

Ratna mengedarkan pandangan ke sekitar. Seruan Naya barusan mengundang beberapa pasang mata melirik ke arah mereka. Ratna harus menyelesaikan percakapan ini sebelum perhatian para pengunjung kafe membesar.

"Kak Haiyan satu-satunya orang yang bisa saya percaya di kota ini. Kami cuma punya satu sama lain untuk membesarkan anak-anak. Mereka–"

"Naya," potong Ratna berwibawa. "Kalau kamu sungguhan peduli sama anak-anak kamu, kamu nggak bakal melarang Haiyan datang ke pertemuan hari ini. Ancaman itu nyata dan anak-anak kamu bisa terseret."

Naya tergugu-gugu. Saking bingungnya, Naya sampai cegukan.

"Saya nggak lagi bercanda, Naya. Saya sudah berbaik hati membuka pesan nyeleneh yang sebenarnya bersifat rahasia di hadapan kamu dan Haiyan tempo hari. Pelaku teror itu jelas-jelas mengetahui nama lengkap anak-anak kamu, alamat rumah, sampai alamat daycare." Tubuh bagian atas Ratna maju sampai sepertiga meja sendiri, terasa sekali mengintimidasi. "Saya peduli sama kalian, makanya saya memilih membuka pesan itu supaya kalian percaya. Kalau suami kamu tetap berdiri di batas aman dan nggak mau menjadi saksi sampai surat panggilan turun, silakan. Itu artinya keselamatan anak-anak kalian nggak lebih penting dari potongan masa lalu yang bukan apa-apa."

Ratna iba melihat Naya yang tiba-tiba tersedu-sedu. Wanita itu lebih muda darinya, bahkan lebih muda dari Haiyan. Ratna juga bisa membayangkan kesulitan Naya saat merantau ke kota lain dan berpisah dari sanak saudara demi mendukung karier suami. Ratna akui, dirinya memang bejat karena secara tidak langsung kedekatannya dengan Haiyan membuat percikan api di rumah tangga yang selalu harmonis.

Kasihan Naya. Masih muda, tetapi sudah memiliki luka yang begitu dalam, pikir Ratna.

"Kamu dan Haiyan adalah orang baik," ucap Ratna lebih lembut. "Saya selalu mengharapkan yang terbaik untuk hubungan kalian. Saya ... minta maaf ... karena kehidupan saya yang rumit ini menjadi terikat dengan kehidupan kalian yang damai."

Naya menarik kotak tisu mendekat. Keangkuhannya di awal pecah menjadi tetesan air mata yang mengalir makin deras. "Kamu nggak tahu betapa kerasnya saya berjuang untuk menjaga keutuhan rumah tangga."

Hati Ratna tersentil, tetapi dia langsung menguasai diri untuk tidak ikut-ikutan menangis. Dia tidak mau menganggap diri sendiri gagal karena pernah bercerai. Perceraiannya sangat membanggakan, dan Ratna sama sekali tidak menyesal atas keputusan itu.

Setelah jatuh, Ratna harus kembali bangkit meski tak utuh. Itu alasannya dia tega mendesak Naya sampai sebegininya.

"Rumah tangga saya memang sudah karam. Tapi, saya tahu hal yang lebih penting. Saya harus berjuang sampai titik darah penghabisan untuk melindungi orang-orang yang saya sayangi."

"Kak Haiyan?" Naya mengernyit tak percaya. "Jadi, kamu masih punya perasaan untuk suami saya sampai mau berjuang sekuat ini?"

Ratna menggeleng tegas. "Saya punya orang-orang tersendiri yang harus saya lindungi. Mereka adalah calon keluarga saya di masa depan."

"Kamu sudah punya pasangan?"

"Ya," jawab Ratna mantap. "Dan ucapan saya soal ancaman yang menghantui anak-anak kamu itu nyata, saya tidak membual. Buktinya tidak terbatas pada pesan masuk. Calon anak saya adalah bukti nyata." Ratna mengembuskan napas panjang. "Minggu lalu dia hampir diculik."

Naya tercekat. Air matanya berhenti mengalir, berganti dengan ekspresi ketakutan.

Kemampuan negosiasi Ratna rupanya belum sepenuhnya luntur setelah tidak berpraktik sebagai pengacara. Walaupun belum benar-benar mengantongi kerelaan Haiyan sebagai saksi, setidaknya reaksi Naya barusan merupakan pertanda baik. Ratna lantas mengeluarkan kartu nama dari dompet, kemudian mengangsurkan ke hadapan Naya.

"Ini nomor saya. Kamu bisa menghubungi saya, tanpa perlu bawa-bawa nama Haiyan." Ratna menikmati respons Naya yang secara perlahan menerima kartu namanya. "Mari kita selamatkan keluarga masing-masing. Saya rasa tidak ada satu pun ibu di dunia ini yang tidak mau berkorban untuk keselamatan anak-anaknya."

Setelah berkata seperti itu, Ratna langsung berpamitan. Naya tidak membalas, tetapi Ratna tidak mempermasalahkannya. Tugas Ratna di sini sudah selesai. Sisanya dia serahkan pada Tuhan dan kebaikan hati Naya selaku seorang ibu.

***

Dengan kedua tangan penuh bahan belanjaan, Ratna mendorong pintu rumah hingga terbuka lebar. Sejak Cakra sakit, sebagian besar tugas rumah tangga jatuh ke tangan Ratna. Meski hasilnya tidak sebaik ketika Cakra yang mengerjakan, Ratna selalu belajar dan kemampuannya meningkat sedikit demi sedikit.

Setelah meletakkan bawaan di meja dapur, Ratna berlalu ke ruang tengah. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas melihat Raga dan Cakra berbaring bersisian di sofa, sama-sama terlelap. Ratna mematikan televisi, kemudian bersimpuh di karpet untuk memandangi keduanya lebih lekat.

Gerakan sekitar membuat Cakra waspada. Pria itu mengangkat kepala. Suaranya sengau saat bertanya, "Kamu sudah pulang?"

Ratna menyuruh Cakra diam dengan gerakan tangan. Wanita itu kemudian menunjuk ke arah Raga.

Cakra mengangguk. Dia mengubah posisi menjadi duduk. "Doni mau datang ke sini," ucapnya lirih.

"Sekarang?"

"Sebentar lagi." Cakra mengangkat tubuh dari sofa dan berpindah ke kursi roda. "Dia bakal bawain kruk. Aku mau mulai latihan jalan biar bisa cepat kembali ke kantor. Bos besar nanyain."

"Apa nggak terlalu cepat? Sudah konsul ke dokter?"

"Sudah." Cakra berlalu ke area dapur. Begitu melihat tas belanjaan tergeletak begitu saja, Cakra gemas. Dia mulai mengeluarkan isinya dan menyusun ke dalam rak makanan. "Aku harus cepat pulih. Hari ulang tahun Raga ada di depan mata. Belum juga acara lamaran kita. Kalau bisa, aku nggak mau menunda lebih lama lagi."

"Kenapa buru-buru?"

"Biar si orang jahat makin kepanasan lihat kamu akhirnya menikah sama aku dan langsung punya anak, Raga."

Ratna terkekeh. Dia tahu Cakra hanya bercanda. Alasannya pasti jauh lebih besar daripada itu.

"Tadi antre belanjanya panjang, ya?" tanya Cakra. "Tumben lebih lama dari biasanya."

Posisi Ratna yang saat ini sedang membelakangi Cakra sangatlah menguntungkan. Dia jadi tidak perlu berbohong secara terang-terangan. "Aku mampir sebentar makan souffle pancake. Tiba-tiba jadi mau makan makanan manis."

"Aku sama Raga nggak dibeliin?"

Ratna menoleh, lantas tertawa. Cakra mode merajuk sangatlah kekanak-kanakan. "Nanti aku beliin. Jujur, saking enaknya jadi lupa."

"Oke." Cakra tidak ambil pusing. "Oh ya, Sayang. Setelah ini, aku bisa minta tolong siapkan camilan dan minuman? Aku sama Doni mau kerja di ruang tamu, kayaknya bakalan lama."

"Kamu sama Doni punya kasus yang harus dikerjakan bersama?" Ratna langsung paham hanya dari tatapan Cakra yang berubah sendu saat melihatnya. "Oh, kasusku. Kalau gitu, aku boleh ikut?"

"Boleh. Asalkan kamu bisa diajak kerjasama."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top