40 | Makna Hancur
Mengobrol. Itu adalah hal terakhir yang bisa Ratna lakukan saat Cakra tekun sekali menggarap tubuhnya. Keterbatasan Cakra untuk tidak menggerakkan kakinya malah membuat pria itu terlihat lebih bersemangat ketimbang hari biasa. Alih-alih mengobrol seperti tujuan awal Cakra, mulut keduanya terlalu sibuk untuk membuka topik.
"Sebentar, Cak." Ratna menekan bahu kekasihnya. Seharusnya dia punya kekuasaan yang lebih dalam permainan ini, tetapi dirinya cenderung ingin dikuasai. "Kamu sama sekali nggak bisa ganti posisi?"
"Kenapa?" Cakra justru balik bertanya.
"Aku kagok, nggak pernah di atas."
"Sama sekali?" Cakra terlihat terkejut saat mendapat jawaban berupa anggukan. "Yang dulu-dulu juga nggak pernah?" Cakra lantas mengumpat saat jawabannya masih sama.
Ratna mengerutkan dahi. Sejauh mereka bercinta, pembicaraan ini sama sekali tidak tercetus. Meskipun Ratna pernah secara terang-terangan menangis karena tidak bisa menerima penetrasi Cakra, Cakra seakan tidak mempermasalahkannya. Apakah fakta bahwa Ratna tidak pernah mengambil posisi bercinta di atas adalah kesalahan yang lebih besar ketimbang persoalan penetrasi?
"Kenapa? Aku salah, ya?"
Cakra menggeleng. "Ada dua tipe pria di dunia ini. Pertama, yang menggunakan seks untuk menunjukkan kekuasaan. Kedua, yang menggunakan seks sebagai bentuk kasih sayang."
"Apa bedanya?" Ratna tak paham. Baginya, semua pria sama saja. Mereka bercinta untuk mengejar kepuasan.
"Beda banget. Yang pertama itu egois, cuma mau enak sendiri. Kalau yang kedua, dia pasti berusaha biar sama-sama enak." Cakra mengusap pipi Ratna dengan buku-buku jari telunjuknya. "Untuk tahu yang mana yang enak, kamu harus coba banyak posisi."
"Harus?"
"Kalau sama aku, harus." Cakra mengedip genit. "Kamu harus mau coba-coba, biar lebih ekspresif. Dengan begitu, aku bakalan tahu mana yang kamu suka dan mana yang kamu nggak suka."
"Rumit, ya."
"Nggak serumit itu." Cakra mengedikkan dagu. "Tolong bantu lepasin bajuku. Biar kita bisa mulai."
Rupanya usia tidak berbanding lurus dengan pengalaman. Dalam urusan ranjang, Cakra mengajari Ratna banyak hal. Daripada merendahkan pengetahuan Ratna yang begitu-begitu saja, Cakra justru membimbingnya dengan sabar. Bila ada yang patut disalahkan, Cakra tentu tak segan mengacungkan jari telunjuknya pada mantan suami Ratna. Orang yang gagal membuat Ratna mencicipi surga dunia dalam sepuluh tahun pernikahan sudah pasti payah dan egois.
"Tapi, Cak. Bukannya kamu mau ajak aku ngobrol soal hubungan kita? Memang yang begini termasuk?" Ratna murni bertanya setelah Cakra menyuruhnya kembali duduk di pangkuan.
"Kepuasan di atas ranjang menentukan kadar kebahagiaan pasangan," balas Cakra sambil mengusap sisi-sisi luar paha Ratna, memberi isyarat supaya wanitanya membuka kaki lebih lebar. "Kalau mau, kamu boleh bandingkan pengalaman ranjang kamu ketika sedang main sama aku, terus ketika sedang main sama Dewa. Pikirkan mana yang lebih bikin kamu senang."
Area di antara alis Ratna berkerut. Namun, itu tidak berlangsung lama. Cakra kembali beraksi menanamkan kecupan di leher, tangannya juga tidak tinggal diam. Ratna hanya mampu mengerang tertahan merasakan permainan Cakra.
"Kamu yang gerak." Tiba-tiba saja Cakra memutus semua stimulus dan mengeluarkan perintah.
Ratna menggeleng. "Malu. Kamu lihatin aku gitu banget."
"Kamunya cantik, sih. Sayang malah kalau nggak dilihat."
Ratna menepuk dada Cakra hingga berbunyi. "Kamu kebanyakan godain aku. Ini sih, akal-akalan aja. Nyatanya kita sama sekali nggak bisa ngobrol."
"Kalau nggak bisa ngobrol, seenggaknya kamu jadi berhenti menangis." Cakra menyingkirkan helaian rambut Ratna yang masih setengah basah usai mandi dari salah satu sisi bahu. "Aku serius waktu bilang kita bakal hancur bersama malam ini."
"Maksudnya?"
Cakra tersenyum miring. "Nggak bakal aku jawab kalau kamu nggak gerak."
"Cakra!"
Pria itu tertawa. Akhirnya, dia bermurah hati untuk tidak terus-menerus menjahili Ratna. "Kalau kamu malu, hadap belakang aja. Pokoknya kamu yang gerak, Sayang. Kakiku masih sakit."
"Serius bisa?"
"Apa, sih, yang nggak bisa? Adanya malah kamu nggak bisa-bisa kalau nggak mau coba." Cakra merangkai kedua tangan ke belakang kepala. Kelakuannya berbanding terbalik dengan Ratna. Cakra terlihat sangat rileks. "Anggap aja aku nggak lihat. Kamu bebas cari kepuasan pakai tubuh aku. Aku kasih izin."
Ratna bukan lagi sekadar merona, darah yang mengaliri wajahnya seperti mendidih. Panas sekali. Bagaimana bisa Cakra mengeluarkan kalimat vulgar seperti itu sambil menampilkan senyum manis dan bersikap santai?
Panas yang Ratna rasakan tidak berhenti di satu tempat. Kelakuan Cakra menyulut keinginan wanita itu. Ratna tidak akan membiarkan dirinya kalah. Kalau Cakra memiliki definisi hancur tersendiri, Ratna pun bisa membuat arti yang baru. Malam ini Ratna berniat membuat mereka sama-sama hancur.
Berawal dari satu sesi, Ratna tak memberi jeda pada sesi berikutnya. Jiwa kompetisinya menggelegak. Ada setitik perasaan puas saat Ratna berhasil membuat Cakra ribut mendesahkan namanya. Titik itu meluas menjadi rasa nikmat yang menggunung saat akhirnya Cakra berhenti bermain pasif.
Si pria tidak lagi bersandar. Dia maju merengkuh punggung polos kekasihnya. Cakra menggigit pelan luka parut di bahu Ratna, kemudian meraih dagunya untuk menoleh ke belakang.
Kegiatan mereka tak berlangsung lama, tetapi benar-benar total. Keduanya ambruk berpelukan. Ketika Ratna tengah mengumpulkan kesadaran, saking nikmatnya, Cakra sudah lebih dulu menunggu. Pria itu siap menyambut Ratna dengan senyuman.
"Cantik," puji Cakra ketika Ratna membuka mata. "Padahal bukan hancur begini yang aku maksud, tapi ternyata kamu sukses bikin tulang-tulangku meleleh."
Ratna mendengus. Dia menarik lengan Cakra dan menjadikannya bantal. "Kalau gitu, apa yang kamu maksud dengan hancur?"
"Ini." Cakra memutar bola mata sebagai ganti gerakan tangan. "Semuanya."
"Aku masih nggak paham."
Cakra memulai dengan pertanyaan. "Bagaimana perasaan kamu setelah aku kasih kesempatan di atas. Puas?"
Ratna tak menjawab. Dia justru membenamkan wajah di ketiak Cakra. Mengapa Cakra bertanya? Bukankah tubuh Ratna yang menggelepar di tubuh Cakra adalah bukti nyata yang tak bisa didebat?
"Kamu diam, berarti kamu puas." Cakra terkekeh saat mendapat pelototan Ratna. "Terus, setelah ini apa kamu kepikiran mau main sama yang lain?"
"Gila kamu!"
"Aku cuma tanya." Cakra mengangkat bahu. "Pertanyaan berikutnya. Apa kamu bakal cium pria selain aku?"
"Aku nggak pernah lakuin apa yang kamu bilang sama sembarang orang."
Cakra tersenyum tipis. "Dulu kamu bisa balas ciumanku meskipun bilangnya nggak ada perasaan, tuh."
Ratna lantas terdiam. Ucapan Cakra benar. "Tapi, kan, akhirnya kita bersama. Dari ciuman itu, kita malah sudah melakukan macam-macam. Hubungan kita bisa sejauh ini, lho."
"Itu dia!" Cakra mengecup kening Ratna lama sekali, sebelum akhirnya mereka saling menatap lagi. "Kalau semua yang telah kita usahakan hilang, bukannya kamu bakal hancur?" Cakra mengusap pipi Ratna menggunakan ibu jari, berlanjut hingga ke sepasang bibir merahnya. "Kita yang sekarang ini, bukankah sudah cocok untuk bersama? Kita mengharapkan masa depan yang sama. Kamu tanpa aku bakal hancur, Sayang."
Bibir mereka bertemu, seakan tahu bahwa jawabannya hanya bisa ditunjukkan dengan tindakan. Itu bukan jenis ciuman yang menuntut, lebih ke arah meyakinkan.
Setelah beberapa saat, Cakra menjauhkan diri terlebih dahulu. "Oke. Aku mau buat pengakuan. Sebelum ketemu kamu, aku sama sekali nggak pernah cium bibir perempuan lain. Dan setelah cium kamu, aku sama sekali nggak kepikiran untuk cium siapa-siapa lagi. Aku bakal hancur kalau kamu tiba-tiba menjauh."
"Karena kehilangan ciuman?"
"Karena kehilangan kamu."
Ratna menangkup pipi Cakra. "Manis banget mulutnya si mantan playboy satu ini."
Cakra terkekeh. Dia bersemangat mengecupi seluruh bagian wajah kekasihnya. Sebagai sentuhan akhir, Cakra menggesekkan ujung hidungnya di ujung hidung Ratna. Mesra sekali.
"Jangan ragu lagi untuk punya hubungan sama aku," kata Cakra lembut. "Aku paham kenapa kamu terkesan maju-mundur terus. Tapi, tenang aja. Aku lebih memilih hancur ketika lagi sama kamu daripada hancur karena nggak sama kamu." Pria itu menelengkan kepala ke arah kaki kirinya yang tak banyak bergerak sejak awal. "Baru kakiku yang patah, bukan hatiku."
Ratna terkekeh. Ada-ada saja. Sebelum siapa pun bisa mematahkan rangka tubuh Cakra lebih jauh, sudah pasti Ratna akan bertindak.
"Bangun, Sayang," pinta Cakra memutus romantisme di antara mereka sambil mengangkat bahu Ratna dengan tangannya yang dijadikan bantal. "Bersih-bersih dulu sebelum tidur."
"Gara-gara kamu, aku jadi harus mandi lagi."
"Mandi yang sekarang, kan, ada temannya," balas Cakra sambil menaik-turunkan alis. "Lebih asyik kalau mandi berdua."
"Alasan." Ratna mengetuk main-main gipsum yang membungkus kaki kiri Cakra. "Bilang aja kamu belum bisa mandi sendiri."
***
Note: Update 40 bab tanpa jeda, wow! Sudah 2/3 jalan. Sejauh ini ceritanya gimana, guys? Semoga porsi "kerjaan" dan "asmara"-nya terasa berimbang biar nggak bikin bosan, ya 🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top