38 | Dokumen Penting
Cakra telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lampu ruangan sengaja diredupkan. Cakra yang awalnya ingin tetap terjaga, akhirnya menyerah pada efek obat yang membuat kelopak matanya terasa sangat berat.
Di samping kasur Cakra, Ratna menunggui sambil bersedekap. Mata Ratna memang tidak berhenti memandangi Cakra, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana.
Beberapa saat lalu polisi datang untuk mendapatkan kesaksian Cakra. Kalau Doni tidak membantu, aparat hukum pasti tak ada yang mau bertindak secekatan ini. Tidak seperti kasus KDRT Ratna yang hingga kini tak kunjung menemukan titik terang.
Ratna beruntung kekasihnya dikelilingi orang-orang baik seperti Doni dan Citra. Tanpa mereka berdua, kejadian hari ini pasti akan terasa sangat berat. Ratna bersyukur. Cakra tidak sendirian, lagi-lagi, tidak seperti dirinya.
Lamunan Ratna terhenti oleh dering ponsel di meja. Itu bukan ponselnya, juga bukan ponsel Cakra. Untuk sementara, Ratna dan Cakra bisa dihubungi hanya melalui ponsel Raga.
Doni:
Tracking sukses, tapi hasil zonk. HP lo ditemukan di pekarangan kosong. Nggak ada petunjuk lanjutan.
Ratna mendesah kecewa. Meskipun berhasil mendapatkan kamera pengawas di mobil Cakra lebih dulu, tetap saja penyelidikan lebih susah dilakukan karena tidak ada petunjuk ke mana arah sarang penjahat. Penelusuran melalui CCTV jalan juga tidak membuahkan hasil memuaskan. Entah sengaja memilih kabur lewat jalan kecil, atau dengan lihainya berganti pakaian dan pelat nomor motor, mereka hilang bagai uap.
Ratna berdiri dan mengecup kening Cakra. Ciumannya seringan kapas dan sehalus bulu angsa, sebisa mungkin tidak membuat Cakra terbangun. Wanita itu membawa ponsel dan berlalu keluar kamar. Dia harus menyusun strategi bersama Doni saat ini juga sebelum makin dibodoh-bodohi oleh dalang di balik kejahatan ini.
"Halo, Cak?"
"Ini Ratna," balas Ratna usai mengucap salam.
"Maaf, Bu Ratna."
Ratna duduk di kursi lorong ruangan VIP. "Saya baru ingat satu hal, Pak Doni. Saya pernah hampir jadi korban pencopetan di TKP yang sama. Saat itu, saya berhasil menghindar, tetapi spion mobil Cakra yang jadi korbannya." Ratna memijat kening. "Bisa tolong pastikan apakah di daerah sana memang sering terjadi penyerangan? Kalau korbannya hanya saya, Cakra, dan Raga, ada kemungkinan bahwa ini bukan penyerangan random."
"Pihak kepolisian sudah menetapkan kasus hari ini sebagai percobaan penculikan anak dan pencurian. Seandainya dugaan Bu Ratna benar, pelakunya bisa mendapat hukuman yang lebih berat lagi."
"Itu tujuan saya," balas Ratna dingin. "Saya mau pelaku mendapat balasan yang seberat-beratnya."
Ketika seorang ahli hukum sudah mengatakan balasan yang seberat-beratnya, alih-alih balasan yang setimpal, di situlah urat kesabarannya telah putus. Ratna tak masalah bila hanya kehidupannya yang diganggu. Namun, bila sampai kehidupan orang-orang yang dia sayang ikut kacau balau, Ratna tak segan menjadi orang bengis.
"Sebenarnya saya masih harus menghimpun lebih banyak keterangan, Bu Ratna." Terjadi keheningan sebelum terdengar helaan napas berat dari seberang. "Saya berusaha menghimpun saksi mata dari TKP, tetapi tidak banyak informasi yang saya dapatkan. Saya punya ide yang agak gila, yaitu menjadikan Raga sebagai saksi, terlebih dia juga merupakan korban. Dia memang masih anak-anak, tetapi dia anak yang cerdas. Dalam praktik pemeriksaan perkara pidana, anak dapat dijadikan sebagai saksi korban."
"Saya ragu." Ratna mengusap wajah lelah. "Raga belum pulih, Pak Doni. Tadi saja dia masih teriak-teriak dan menangis seperti itu. Dia trauma. Saya takut kondisinya memburuk, apalagi dia baru mau berusia tujuh tahun, kondisi mentalnya belum matang."
"Saya paham kekhawatiran Bu Ratna. Kami punya prosedur khusus menangani saksi di bawah umur. Biar nanti saya diskusikan dengan Pak Cakra sebagai wali sah Raga."
Hati Ratna mencelus. Ucapan Doni seakan mengingatkannya bahwa Ratna bukanlah siapa-siapa bagi Raga.
Ratna kembali ke ruangan Cakra setelah telepon berakhir. Terlepas dari beratnya beban pikiran, Ratna terhenyak di ambang pintu. Ada sesuatu yang lebih menakjubkan. Kekasihnya menangis tersedu-sedu. Untuk meyakinkan diri apakah Cakra sedang mengigau atau sudah bangun, Ratna memanggil namanya sambil berjalan mendekat.
Cakra membalas sambil mengusap air mata. "Aku kira kamu sudah pulang."
Ratna menggeleng pelan. "Ada yang sakit?"
"Nggak, nggak. Aku cuma mimpi buruk."
Para pria yang pernah Ratna kenal pasti tidak pernah mau menunjukkan sisi lemah. Air mata menunjukkan kelemahan, dan kelemahan dapat menjadi senjata bagi lawan. Namun, tidak begitu dengan Cakra. Pria itu memang berhenti menangis, tetapi dia tidak terlihat malu ketika Ratna memergokinya.
Ratna duduk, kemudian meraih tangan kiri Cakra. Kulit Cakra bersentuhan dengan pipi Ratna yang lembut. Mereka saling menatap. Dengan sendirinya, Cakra mulai bercerita.
"Aku kira aku kehilangan kamu dan Raga. Aku nggak siap kalau itu terjadi."
"Aku nggak pergi ke mana-mana," timpal Ratna.
Cakra tersenyum tipis. Ibu jari tangannya yang menangkup pipi Ratna bergerak ringan. Usapan lembut pria itu membuat Ratna memejam.
"Aku tahu kamu nggak bakal pergi," kata Cakra lagi. "Tapi, seandainya kamu pernah memikirkan sedikit pun mau menjauh dari aku karena satu masalah di hari ini, aku minta saat itu juga kamu kabarin aku. Aku bakal langsung datang dan kasih kamu seribu satu alasan untuk menetap."
"Aku pergi kalau kamu usir aja," balas Ratna berkelakar. "Lagian kamu ngomongnya begitu. Cukup kaki kamu aja yang patah. Akal sehat jangan."
Candaan khas Ratna mengocok perut Cakra. Setetes air mata sampai mengalir di pipinya. Cakra tidak salah saat membiarkan Ratna menemaninya malam ini. Obat terbaik yang bisa Cakra dapatkan adalah Ratna.
"Hari ini kita nggak jadi kencan," ujar Cakra tersenyum tipis. "Aku antara suka dan nggak suka. Nggak sukanya karena kita jadi nggak bisa lovey-dovey kayak orang pacaran kebanyakan. Sukanya karena kamu nggak ketiban sial gara-gara ada di samping aku."
"Kok, ngomongnya begitu? Aku sama sekali nggak merasa sial."
"Tapi, Ratna," Cakra menarik tangannya kembali ke depan perut, "kenapa kamu malah ketemu sama Doni?"
Ratna ingin sekali berbohong, tetapi kondisi Cakra yang mengenaskan membuat hati nuraninya tak tega. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Ratna memilih jujur. Dia menceritakan isi pesan teror yang hadir kembali setelah sekian lama tak muncul. Ratna juga memaparkan kemungkinan bahwa gawainya kena sadap hingga sekarang dia memilih mematikannya.
Semua Ratna ceritakan, kecuali satu. Ratna tak mungkin membuat suasana hati kekasihnya memanas karena menyebut nama Haiyan. Suasananya tidak tepat.
"Kenapa kamu nggak mau kasih HP ke Doni buat diperiksa sekalian?" tanya Cakra. "Bukannya kalau begitu kita jadi lebih tenang?"
"Nggak bisa, Cak. Ada dokumen penting di HP-ku. Kalau aku serahkan sebagai barang bukti, dokumen itu bakal terbongkar di pengadilan. Aku nggak bakal punya muka lagi untuk ketemu keluargaku."
Cakra memiringkan kepalanya. Matanya yang bulat jadi makin bulat. "Karena ayah kamu seorang hakim dan kakek kamu seorang profesor hukum?"
Ratna mendesah panjang. "Belum lagi paman, tante, saudara sepupu, bahkan ... keluarga mantan suamiku kayaknya bakal tahu."
"Sayang." Cakra meraih tangan Ratna dan meremasnya pelan. "Ini barang bukti tindak pidana yang bersifat kredensial."
"Barang bukti memang barang bukti, bakal tersimpan di ruangan yang tertutup. Tapi, dinding bisa bicara. Isi dari dokumen itu bisa menjadi rumor yang mencoreng nama baik keluargaku," Ratna memalingkan wajah, kemudian melanjutkan dengan suara pelan, "meskipun keluargaku juga sebenarnya nggak bersih-bersih amat."
"Yang kamu maksud, dokumen apa?"
Ratna membalas tatapan Cakra. Bibirnya bergetar saat menjawab, "Kamu sudah pernah lihat isinya meskipun nggak sampai selesai."
Cakra mengangkat alis. Cakra tak pernah membuka-buka ponsel Ratna. Hanya sekali dia pernah tanpa sengaja membaca notifikasi pesan masuk, dulu. Itu pun Cakra cuma melihat, tanpa menyentuh gawai secara langsung.
"Video penganiayaan yang dilakukan Dewa," kata Ratna membuka aib. Dia menutup wajah dengan kedua belah telapak tangan yang bergetar, lalu melanjutkan, "Di mana aku sama sekali nggak ada harganya sebagai manusia."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top