36 | Usaha Kedua
Langit telah benar-benar gelap. Bulan penuh menggantung bak penerangan. Namun, orang yang Ratna tunggu tak kunjung muncul. Berulang kali dia melirik arloji, memastikan bahwa dirinya tidak akan pulang terlambat dan membuat Cakra khawatir.
Setengah jam lalu Cakra mengirimi pesan berisi foto sedang makan bersama Raga. Ayah dan anak itu tampak senang. Foto yang disertai dengan sederet pesan berbunyi "dulu biasa makan berdua, sekarang jadi sepi kalau cuma berdua" sudah berulang kali Ratna pandangi. Dia menyesal melewatkan kesempatan makan bersama Cakra dan Raga, tetapi paham betul bahwa dirinya harus sedikit berkorban untuk keuntungan yang lebih besar di masa depan.
Ratna punya mimpi baru. Dia ingin bisa makan malam bersama keluarganya, Cakra dan Raga, tanpa perasaan waswas yang mengganggu.
"Itu mobil Pak Haiyan," ucap Doni seraya meletakkan roti sobek, menu makan malamnya, ke dashboard mobil. "Bu Ratna tunggu aba-aba saya di sini. Biar saya bicara dulu sama Pak Haiyan."
Ratna mengamati keadaan. Dia sengaja duduk di deretan kursi belakang. Sambil bersembunyi di balik jok, Ratna melihat Haiyan turun dari mobil dan menyalami Doni.
Pria itu masih sama seperti yang terakhir kali Ratna ingat. Muda, bersemangat, dan ramah. Bila diminta untuk menunjuk satu perbedaan, Ratna akan mengatakan bahwa wajah Haiyan terlihat lebih berseri-seri.
Setelah mengamati lebih teliti, Ratna tahu alasannya. Haiyan baru kembali dari jalan-jalan keluarga, terlihat dari keberadaan sosok wanita di kursi penumpang mobil Haiyan yang beberapa kali kedapatan menengok ke belakang seperti sedang bicara dengan seseorang. Mungkin dua orang, mengingat Haiyan memang memiliki putra kembar.
Usai menyapa Doni, Haiyan tampak berpamitan sejenak untuk membuka pintu pagar. Pria itu memasukkan mobilnya ke garasi. Tak berapa lama kemudian, Haiyan muncul lagi. Dari bahasa tubuhnya, Ratna menebak Haiyan mengajak Doni masuk ke rumah.
Dada Ratna berdebar-debar menunggu kode apa yang akan pengacaranya berikan. Tidak mungkin Doni membiarkannya menunggu di sini, sedangkan dirinya bertamu sendiri. Akhirnya apa yang Ratna nantikan tiba. Doni menoleh ke arah mobil, bertatapan langsung dengan Ratna sambil mengangguk kecil.
"Selamat malam, Haiyan," sapa Ratna. Senyumnya terukir sebatas sebagai pemenuhan aturan sopan santun. "Maaf, kalau aku datang tiba-tiba. Aku butuh bantuan kamu."
Haiyan mengernyitkan dahi dan alisnya. Benaknya mungkin meronta-ronta. Bukan begini informasi yang dia terima dari Doni.
"Pak Doni, dengan segala hormat saya menolak kunjungan malam ini," kata Haiyan tegas, formal, dan kaku. Wajah pria itu hanya terarah pada Doni, seolah keberadaan Ratna adalah angin lalu.
"Tolong kasih kami waktu untuk menjelaskan," pinta Doni. "Saya tidak bohong. Saya butuh bantuan Pak Haiyan untuk menangani kasus."
"Sepertinya ucapan saya tempo hari sudah jelas. Saya tidak ingin bersaksi apa-apa untuk kasus itu," kata Haiyan berat. Dia menghela napas panjang sambil mengusap tengkuk. Sesekali Haiyan melirik ke arah beranda rumahnya. "Pak Doni sudah paham alasannya. Saya nggak mau kembali ke masa lalu, meski yang dibutuhkan hanya kalimat berisi kesaksian. Asal Pak Doni tahu, minggu lalu sesi terakhir konseling saya dan istri. Di situ kami memutuskan untuk tetap bersama, dan hari ini kami sekeluarga baru saja pulang makan malam dari steak house untuk merayakan hubungan yang baru."
Ratna menerka-nerka. Sejujurnya, dia tidak tahu bagaimana kabar Haiyan setelah pria itu memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Dari kata 'konseling' dan 'hubungan yang baru', Ratna menebak Haiyan dan istrinya hampir saja berpisah.
Berpisah. Apakah mereka hampir bercerai karena istri Haiyan pernah memergoki kebersamaan Haiyan dan Ratna? Ratna seketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain, bahkan efeknya sampai sebesar itu.
"Haiyan, aku minta maaf," ucap Ratna sekonyong-konyong.
Perbuatan Ratna berikutnya membuat Doni dan Haiyan terperanjat. Tanpa malu, wanita itu berlutut. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Bu Ratna." Malah Doni yang kelabakan. "Bu Ratna, berdiri! Nggak enak kalau ada orang lihat." Doni terlihat gemas ingin menarik lengan Ratna, tetapi tangannya malah melayang-layang kehilangan arah.
Namun, Ratna mengabaikannya. Wanita itu terus berbicara.
"Aku minta maaf karena sudah bikin istri kamu kehilangan kepercayaan. Sebagai korban pengkhianatan, seharusnya aku tahu rasa sakit karena ditusuk dari belakang oleh orang yang sudah aku percayai." Ratna akhirnya mengangkat kepala hingga pandangannya bersirobok dengan milik Haiyan. "Kesalahanku mungkin nggak akan pernah istri kamu maafkan sampai akhir hayat. Tapi, izinkan aku berbuat lancang sekali lagi. Tanpa bantuan kamu, orang yang aku sayang bakal celaka."
Doni membuang wajah. Sia-sia saja pria jangkung itu meminta Ratna untuk berdiri. Ratna bergerak cepat dengan langsung mengutarakan kebutuhannya tanpa basa-basi. Di hadapannya, Haiyan malah mengerutkan kening. Doni merasa satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan Haiyan sudah sirna.
"Yana, tamunya kenapa nggak diajak masuk?" Naya berjalan mendekat. Langkah Naya memberat saat melihat wajah yang dia kenali tengah berlutut di depan suaminya.
Haiyan berdecak tanpa kentara sebelum berbalik dan memasang senyum. "Buna tunggu saja di dalam. Tamu Yana bakal langsung balik."
"Itu bukannya ...." Kalimat Naya menggantung. Wanita itu bergiliran memandangi Haiyan, Doni, dan tatapannya jatuh lebih lama pada Ratna yang betah sekali berlutut. "Kamu senior suami saya, kan? Namamu ... Ratna? Kenapa kamu duduk di situ dan bikin orang yang lihatnya nggak nyaman?"
Doni membuang keraguannya jauh-jauh. Tanpa memedulikan status kliennya sebagai kekasih Cakra, Doni langsung memegangi lengan Ratna dan memintanya berdiri. Masa bodoh bila Cakra protes karena Doni telah menyentuh pasangannya. Untungnya, kali ini Ratna menurut.
"Ini sudah malam, tapi kalian tetap ingin ketemu suami saya. Suami saya sempat bilang kalau temannya bakal datang untuk membahas pekerjaan." Naya menjatuhkan tatapan pada Doni. "Apakah betul?"
"Buna, mereka mau pulang. Urusan pekerjaan–"
"Apakah betul?" Naya mendesak Doni supaya bersuara. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.
"Betul, Bu." Doni mengambil alih kendali. "Pembahasannya masih sama seperti yang pernah saya sampaikan saat berkunjung bersama Pak Cakra. Pekerjaan itu juga melibatkan Bu Ratna. Bu Ratna adalah klien saya, dan saya membutuhkan bantuan Pak Haiyan dalam penyelesaian kasus."
"Kasus? Yana nggak pernah bilang apa-apa soal ini." Naya menoleh dari suaminya ke Doni. "Kasus apa yang bikin suami saya terlibat, bahkan bikin dia berlutut seperti tadi?" tanyanya sambil menunjuk Ratna lewat kerlingan.
"Kasus KDRT." Ratna menyambar jawaban.
Reaksi yang berbeda muncul ke permukaan. Doni mendesah pasrah. Haiyan berdecak dan memalingkan wajah ke mana pun asalkan tidak ada Ratna di lapang pandangnya. Naya menganga tak tahu harus menanggapi seperti apa.
Kesempatan itu Ratna gunakan untuk menarik simpati Naya. "Berawal dari kasus KDRT, saya akhirnya bercerai. Tapi, beberapa saat lalu saya mulai mendapat pesan yang mengganggu. Awalnya memang seperti pesan prank, tapi lama-kelamaan menjadi pesan teror berisi ancaman. Tempat tinggal saya juga sempat dibobol. Kalau kasus ini tidak segera tuntas, entah kerugian apa lagi yang terjadi di masa depan." Ratna menunjuk Haiyan dengan telapak tangan terbuka ke atas. "Suami kamu memegang peranan penting di sini. Saya sangat berharap Haiyan bersedia membantu menyelesaikan kasus."
Naya tampak goyah. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya wanita itu mengeluarkan titah. "Masuk dulu. Kita bicarakan di dalam."
***
Note: Siapa yang sudah baca cerita Haiyan-Naya versi terbaru? Ada benang merah, tuh! Kata kunci, "steak house" 😄
Vote & komen, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top