34 | Mantan Calon Istri

"Tante Ratna! Tante, bangun! Ayahku hilang!"

Gedoran di pintu mengusik alam mimpi Ratna. Samar-samar dia mengenali pemilik suara yang memanggilnya dengan nada tinggi.

Ratna berniat bangun ketika merasakan beban tambahan melintang di pinggangnya bergerak. Wanita itu menoleh ke belakang. Wajah damai Cakra yang sedang terlelap menyambutnya, sama sekali tidak terganggu suara berisik di balik pintu.

"Tante, Ayah hilang! Tante ada di dalam kamar?" Raga berseru sambil tak henti-henti mengetuk daun pintu terlalu bersemangat.

Ratna langsung terjaga. Tak ada waktu untuk meregangkan tubuh dan menguap dulu, apalagi mengagumi proporsi tulang pipi dan tulang hidung yang membuat wajah kekasihnya sangat tampan. Mata Ratna melebar horor seperti baru melihat hantu. Raga kehilangan sang ayah, sedangkan ayahnya ada di sini bersama Ratna sejak semalam! Ratna merasa jadi penculik Cakra.

"Cakra," panggil Ratna panik sambil menepuk-nepuk pipi kekasihnya lumayan bertenaga. "Cakra, ada Raga di depan kamarku. Dia cari kamu."

"Ngantuk." Cakra menjawab agak bergumam.

"Cakra." Ratna melenguh, menyadari usahanya gagal. Wanita itu akhirnya berganti strategi jadi membalas panggilan Raga. "Sebentar Raga. Tante keluar kamar."

"Mau ke mana?" Cakra merengek dengan suara sengau. Tangan Cakra memerangkap pinggang wanitanya supaya tidak beranjak dari kasur.

Bila tidak ada Raga di luar sana, dengan senang hati Ratna menjawab rengekan Cakra dengan tetap berbaring. Akan tetapi, Ratna tidak bisa melakukan itu sekarang. Dia tidak boleh bersikap kekanakan, jauh lebih kekanakan dari Raga yang mengkhawatirkan sang ayah.

"Ada Raga, Cak. Kalau kamu masih di atas kasurku dalam lima detik ke depan, Raga bakalan tahu ayahnya ternyata nggak sebaik itu."

"Jiancok!" Cakra tak sengaja mengumpat di depan Ratna. Pria itu langsung melek. "Aku ngumpet di kamar mandi."

Setelah memastikan Cakra telah aman tersembunyi di kamar mandi, Ratna baru berani membuka pintu. Dia pura-pura menguap. Raga tampaknya bisa sedikit lebih sabar menunggu hingga Ratna menyapanya duluan.

"Ayah nggak hilang," ucap Ratna. "Tadi ayah kamu izin ke Tante mau lari pagi. Mungkin sebentar lagi pulang. Raga ada yang mau Tante bantuin?"

"Aku mau mandi, tapi seragam sekolahnya belum siap. Aku bisa telat kalau nungguin Ayah, Tante." Raga mengeluh.

Ratna lantas kembali melongok ke dalam kamar, tepatnya pada jam dinding. Seketika wanita itu membelalak. Bisa-bisanya orang serumah terlambat bangun satu jam.

"Ayo, Tante bantu persiapan!" Ratna mengeraskan suara supaya Cakra bisa mendengarnya. "Kita ke lantai dua, ke kamar Raga. Nanti Raga kasih tahu Tante apa saja yang harus dipersiapkan, ya!"

"Persiapan sekolah sama Tante?" Raga tertawa. Anak itu melompat-lompat ribut. "Ayo, Tante! Buruan ke kamarku!"

Tingkah Raga menghadirkan senyum di wajah Ratna. Ratna tidak mengira bantuan kecil nan remeh seperti itu bisa membuat Raga berteriak antusias. Apa jadinya bila Raga tahu Ratna akan menjadi ibu sambungnya? Doa Raga, cepat atau lambat, akan menjadi kenyataan.

***

Cakra berjalan memasuki gedung perkantoran mendahului Ria dan Lanang. Dia membiarkan para juniornya berdebat soal pasal mana yang paling sesuai untuk perkara penelantaran anak, kasus yang baru-baru ini mampir ke meja Cakra. Berbeda dengan Ria dan Lanang yang getol sekali menyampaikan pendapat, Cakra justru tengah membayangkan apa yang akan dia lakukan saat jam pulang kantor tiba nanti.

Tadi pagi Cakra sudah mengatur janji. Agendanya hari ini ialah menjemput Ratna, mengajaknya pergi ke toko perhiasan untuk memilih cincin, kemudian makan malam romantis berdua. Cakra bahkan sudah mewanti-wanti putranya untuk sabar menunggu di rumah Citra hingga Cakra berhasil membawa Ratna pulang dengan status baru.

"Pak Cakra, menurut Bapak lebih tepat pendapat saya atau Mbak Ria?" Lanang yang putus asa karena argumennya terus bertabrakan dengan milik Ria mulai mencari pendukung. "Seharusnya– Wow! Berliannya guede banget, Pak!"

Cakra segera menarik ponsel hingga layarnya menghadap dada. Meski di dalam lift ini cuma ada mereka bertiga, seharusnya Cakra tetap waspada. "Ngapain kamu lihat-lihat HP saya?"

Pria yang lebih jangkung dari Cakra itu malah mengangkat jemari membentuk huruf V. "Nggak sengaja, Pak. Lagian, brightness HP Bapak juga bisa bikin dosa-dosa saya kinclong saking terangnya. Mata saya otomatis tertarik ke sana."

Ria menahan tawa. Diam-diam gadis itu menepuk lengan Lanang supaya berhenti menggoda Cakra.

Cakra menggeleng pelan sembari berdecak. Kelakuan anak magangnya ini memang acapkali membuat hati gondok. Karena tidak segalak pengacara senior lainnya, Cakra tak jarang mendapat ledekan dan godaan serupa tadi dari para junior.

"Cincin untuk siapa, Pak?" Lanang malah lebih tertarik pada pembahasan cincin. "Untuk ibu atau pasangan? Kalau untuk wanita berumur, modelnya yang tadi kurang ngejreng. Ibu-ibu biasanya suka yang warna-warni."

Sebelum menjawab, Cakra melirik Ria. "Ini untuk pasangan saya. Calon istri."

Sontak bibir Ria membulat. Intensitas tepukan Ria di lengan Lanang meningkat, bahkan Cakra sampai bisa melihatnya. Lanang yang tak tahu apa-apa cuma bisa mengaduh kesakitan. Senyum Cakra berubah menjadi tawa melihat kelakuan Ria dan Lanang.

"Ada apa? Saya ketinggalan gosip apa?" Lanang menatap Cakra dan Ria bergantian. "Pak Cakra mau menikah? Sama Mbak Ria?"

"Ngaco!" Ria menampik.

Pintu lift terbuka di lantai kantor mereka. Lagi-lagi Cakra mengambil langkah di depan. Ria dan Lanang masih berdebat, tetapi kali ini dengan topik yang berbeda. Mereka membahas hubungan Cakra bersama entah siapa tepat di balik punggung orangnya.

"Ria, hari ini sudah nggak ada appointment apa-apa lagi, kan?" tanya Cakra sebelum membuka pintu ruangannya.

Ria mengabaikan Lanang demi menghadap Cakra. "Ada undangan resepsi pernikahan dari Keluarga Pak Salim pukul enam malam nanti," jawabnya.

Jadwal undangan dan jadwal kegiatan Cakra bertubrukan. Di dunia kerja, undangan seperti ini bisa berarti besar untuk nasib karier Cakra. Menjaga hubungan baik dengan klien adalah keharusan, lebih-lebih yang mengundangnya adalah Keluarga Pak Salim, pemilik pusat perbelanjaan terbesar di kota ini.

"Bisa tolong kamu dan Lanang yang menggantikan?"

Untuk kedua kalinya dalam hari yang sama, Cakra membuat Ria terkejut. "Kenapa, Pak?"

"Kok, malah tanya kenapa?"

Ria mendekati Cakra. Lanang mengekori. Ketiganya seperti komplotan yang sedang diam-diam menyusun rencana besar. Mereka bicara sambil berbisik-bisik supaya tidak ada yang mencuri keseluruhan informasi.

"Ini Pak Salim, lho, Pak," kata Ria seakan mengingatkan Cakra bahwa klien besar tidak boleh diperlakukan sembarangan. "Masa yang datang malah saya dan ... anak bawang?"

Lanang mendelik. Namun, Ria tidak menggubris.

"Justru karena beliau adalah Pak Salim, saya bisa percaya sama kamu," balas Cakra sambil tersenyum. "Kamu sudah pernah bertemu dengan Pak Salim, dengan anaknya juga, bahkan keluarga besarnya. Bukan persoalan yang susah, kan, Ria?"

"Tapi, Pak–"

"Semakin lama kamu mendebat, waktu kamu untuk persiapan semakin berkurang." Cakra melirik Lanang yang dari tadi memaju-mundurkan bibirnya, mencemooh Ria. "Lanang, kamu jagain Ria, ya. Dandan yang cakep. Kalian berdua bawa nama baik saya."

Ria mengeluh. Tugas kali ini tampaknya lebih berat ketimbang harus mengarungi kota Surabaya dari ujung ke ujung untuk menyambangi klien.

"Biar saya kasih preambule dulu ke Pak Salim." Cakra menepuk bahu Ria dua kali, berusaha memberinya semangat. "Tolong sampaikan salam hormat saya. Kalau ada kesempatan, saya mau mengundang beliau makan malam bersama."

Itu adalah kalimat terakhir yang Cakra sampaikan pada Lanang dan Ria. Pesannya tersampaikan dengan baik ke Lanang. Namun, Lanang masih tak habis pikir mengapa Ria terkesan menghindari pertemuan malam ini.

"Kamu nggak tahu, sih, Nang," kata Ria sambil berlalu ke deretan meja junior associates.

"Makanya, kasih saya paham, Mbak."

Ria menarik Lanang supaya makin masuk ke dalam kubikelnya. Untungnya, kubikel Kyra di sebelah sedang kosong. Ria jadi leluasa berbicara.

"Pak Cakra dekat banget sama Pak Salim, sudah seperti keluarga sendiri." Ria berdeham. Gadis itu mengibaskan tangannya, meminta Lanang menunduk dan memberikan telinga. "Ini rahasia, nggak boleh bocor. Pak Cakra pernah mau dijodohkan sama putri bungsunya Pak Salim."

"Hah?"

Ria kontan menepuk bibir Lanang. "Hari ini hari pernikahan putri bungsu Pak Salim. Kamu bisa bayangkan bagaimana canggungnya saya bakal ketemu beliau di pelaminan sebagai substitusi Pak Cakra. Nggak enak banget, tahu!"

Lanang mengusap dagu sambil manggut-manggut. "Kenapa Pak Cakra menolak perjodohan itu?"

Ria mengangkat bahu. "Nggak tahu. Dulu saya juga heran kenapa Pak Cakra bisa dijodohkan. Saya kira Pak Cakra sudah berkeluarga, dan dengan gilanya Pak Salim membiarkan putrinya dimadu. Tapi, akhir-akhir ini saya malah baru tahu kalau Pak Cakra sebenarnya sudah duda."

"Duda?" Lanang gagal menjaga volume suaranya. "Lha, saya malah mikirnya belum menikah sama sekali gara-gara tadi Pak Cakra bilang mau cariin cincin untuk calon istri."

Ria menepuk jidat. Bicara bersama Lanang membuatnya pening. Mulut Lanang titisan pengeras suara, sama sekali tak bisa menjaga rahasia. Ria berdoa semoga saja kisah rumit percintaan atasannya ini tidak menyebar secepat angin berembus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top