33 | Jawaban Ratna

Note: Mulai bab baru, guys. Belum pernah aku publish di mana-mana, nih. Tolong vote & comment, ya. Makasih 🥰

***

Ratna sudah menduga cepat atau lambat Cakra pasti melamarnya. Sejak awal Ratna tahu kekasihnya mendapat tekanan dari keluarga untuk segera menikah kembali. Risiko yang harus Ratna tanggung dari mencoba-coba berhubungan dengan Cakra adalah ini.

Tanpa sadar Cakra menggigit pinggiran kukunya melihat Ratna yang diam saja. "Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf. Aku malah bikin kamu bingung."

Lidah Ratna yang kelu perlahan mendapatkan kekuatannya untuk bicara lagi. "Jangan minta maaf. Melamar bukanlah kesalahan." Ratna meraih tangan Cakra dan balik menepuk-nepuk punggung tangannya. "Aku boleh tahu kenapa kamu mau menikah secepat ini? Maksudku, bukannya kita sudah sepakat mau menunda pembahasan sampai urusanku selesai? Apa kamu dapat tekanan keluarga lagi, jadinya mau buru-buru menikah?"

Kelopak mata Cakra membuka lebar. "Bukan, bukan. Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan keluarga aku."

"Jadi? Kenapa?"

"Nggak tahu juga. Rasanya memang sudah pas aja, apalagi aku sedang senang karena doa dan permintaan Raga tadi."

Ratna terkekeh. "Kadang aku iri sama kamu. Keputusan sebesar ini bisa tiba-tiba keluar dari mulut cuma karena mengikuti suara hati."

"Maksud kamu, aku ceroboh?"

Ratna menggeleng. "Maksudku, kamu jujur. Kamu jujur sama perasaanmu sendiri, sama suara hati."

Cakra tercenung. Perbedaan dua tahun di antara mereka jadi terlihat sangat jelas. Ratna tampak sangat dewasa dalam memilih kata-kata balasan. Ketimbang merasa tersinggung, Cakra justru seperti sedang mendapat pujian.

Bila menilik lebih jauh ke belakang, Cakra memang sering kali menuruti apa kata hatinya bila sudah berurusan dengan wanita. Dia suka, maka detik itu juga bisa bertindak. Untuk masalah hati, Cakra tak pernah berpikir panjang. Tak mengherankan Cakra bisa memiliki Raga di usia muda, menjadi duda dengan mudahnya, mencium Ratna tanpa mengutarakan perasaan sebagai pembukaan, juga melamar Ratna secara tiba-tiba seperti yang sekarang dia lakukan.

Cakra segera menyadari dirinya benar-benar bodoh dan ceroboh. Seharusnya dia mengambil pelajaran dari kegagalan di masa lalu. Bagaimana mungkin dia menawarkan diri sebagai pasangan sehidup semati tanpa persiapan memadai? Selain itu, orang yang ingin dia nikahi adalah Ratna, wanita berpikiran matang yang selalu berhati-hati dalam bertindak.

"Kayaknya otak aku lagi konslet." Cakra meringis. "Lupakan percakapan ini. Aku bakal lamar kamu lagi setelah kita berdua sama-sama siap."

"Kamu menyesal?"

Cakra tidak jadi beranjak. Keinginan untuk kabur dan mengubur wajah sirna begitu saja. Saat menoleh, dia melihat Ratna justru sedang menarik garis senyum, manis sekali.

"Kamu menyesal sudah lamar aku?" Ratna mengulangi pertanyaan dengan menambah penjelasan. "Padahal aku senang lho, Cak. Tadinya aku mau terima kamu."

Cakra sempat melongo. "Aku kira kamu nggak senang. Muka bengong kamu kelihatan nggak suka sama percakapan ini. Bukannya tadi secara tersirat kamu mempermasalahkan perjanjian kita untuk nggak bahas soal ini sampai semuanya beres?"

"Aku cuma tanya, bukan mempermasalahkan."

Cakra berkedip-kedip. Agaknya isi kepala Cakra sedang terlalu padat sampai tidak bisa mencerna pembelaan Ratna lebih cepat. Ratna yang menganggapnya lucu lantas memanfaatkan kesempatan untuk maju. Dia mencium pipi Cakra, kemudian mengalungkan lengan di lehernya.

"I wanna marry you, Cak."

Jantung Cakra berdegup kencang, saking kencangnya sampai-sampai membuat gendang telinga Cakra menangkap bunyi berisik. Pria itu tertawa kecil. Dia membalas pelukan Ratna erat-erat.

"Nggak tahu harus ngomong apa lagi. Aku senang banget," balas Cakra.

Ratna mengurai pelukan lebih dulu. Wanita itu menyampirkan rambut ke belakang telinga. Jemari lentiknya kemudian bergerak ke depan Cakra. Ratna berbicara dengan tatapan manjanya.

"Apa?" Cakra kebingungan.

"Lamaran biasanya ada cincin, kan?" Ratna menggerakkan jemarinya. "Aku sudah siap."

"Aku belum beli cincin."

Ratna yang sudah dengan percaya diri menyodorkan tangan kirinya kembali menarik tangan. Akan tetapi, Cakra tidak membiarkan tangan Ratna kosong begitu saja. Pria itu menangkap pergelangan tangan Ratna, kemudian menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari Ratna. Tangan mereka saling terkunci dalam kehangatan dan kemantapan.

"Untuk sementara, gini dulu," kata Cakra.

"Pegangan tangan sebagai pengganti cincin?"

Ratna memekik setelahnya. Bukannya memberi jawaban, Cakra malah mendorong tubuh Ratna hingga merebah di sofa. Untaian tangan mereka Cakra tarik ke atas kepala Ratna.

Waktu seakan berhenti. Tidak hanya tangan mereka yang bersatu dalam genggaman, tatapan juga. Napas keduanya perlahan mulai seirama. Cakra merasa jantungnya bisa meledak saking cepatnya berdetak. Dialah yang memulai, tetapi dia juga yang kewalahan mengendalikan diri.

"Cakra." Ratna menelan ludah susah payah. Suaranya pecah. "Aku deg-degan."

"Sama."

Entah siapa yang memulai lebih dulu. Medan gravitasi di antara mereka terlalu kuat untuk diabaikan. Tahu-tahu Cakra dan Ratna sudah saling mempertemukan bibir. Genggaman tangan si pria mengetat seolah menyuarakan keinginan memiliki Ratna hanya untuk dirinya sendiri. Sangat posesif.

Sebagai penutup, Cakra mengerang frustrasi. Kepalanya terkulai di dada Ratna, tidak melakukan apa-apa. Deru napas terburu-buru, desir darah yang terpompa kuat, dan peluh yang mengintip dari pori-pori menjadi saksi mata bagaimana untuk pertama kalinya Cakra harus bisa menahan gairah demi terhindar dari anggapan bahwa dia semata-mata mencintai Ratna karena menginginkan hubungan badan.

Ratna lebih dari itu. Cakra sendiri tak tahu sejak kapan hidupnya berada di telapak tangan Ratna. Cakra pasrah. Bila Ratna memilih mengatupkan tangan dan meremasnya, Cakra ikhlas hancur berkeping-keping.

"Nggak pernah sedikit pun aku membayangkan bakal menerima lamaran setelah bercerai."

Pipi Cakra merasakan getaran ketika kekasihnya berbicara. Pria itu lantas menyangga tubuh dan menciptakan ruang yang cukup, tanpa melepaskan genggamannya pada tangan kiri Ratna. Si pria terhenyak beberapa saat melihat mata Ratna mulai berkaca-kaca.

"Kayak mimpi, Cak," sambung Ratna. Dia mengerumiti bibir bawahnya sambil berkedip-kedip. Satu bulir air mata lolos, membuat Ratna memalingkan wajah. "Bersama kamu, aku dapat apa yang aku butuhkan. Bahkan aku baru tahu apa yang aku butuhkan setelah ketemu kamu."

Cakra mengusap jejak bening di pipi kekasihnya. Namun, tindakannya malah mengundang aliran air mata Ratna kian deras. Pada akhirnya, Cakra biarkan Ratna hanyut dalam gelombang emosi. Tugas Cakra hanya mendengarkan, sambil sesekali mengecup pipinya.

Ratna menceritakan kesan pertamanya bertemu dengan Cakra untuk membahas permintaan bercerainya dari Dewa. Di situ Ratna sama sekali tidak memberi perhatian lebih pada Cakra, murni hubungan profesional. Ratna bilang, dia sempat tak suka ketika Cakra dapat mengendus apa yang berusaha Ratna sembunyikan. Bermula dari tanpa sengaja menemukan lebam di tubuh Ratna dan mengamati bagaimana Ratna selalu mengenakan pakaian tertutup meski Surabaya serasa neraka, konfrontasi Cakra meluluhkan dinding tak konkret yang berdiri di antara mereka.

"Aku berhasil bikin kamu cerita, kan? Kamu bahkan secara sukarela kasih lihat bukti kekerasan yang mantan suamimu lakukan," balas Cakra.

"Kalau aku nggak gitu, pasti kamu bakal terus mendesak." Ratna meletakkan telapak tangannya yang bebas di dada Cakra. Dia mendorong pelan. "Sesak, Cak. Duduk aja."

Cakra membantu Ratna untuk bangkit. Mereka duduk bersisian. Di pantulan layar TV yang tidak menyala, Cakra dapat melihat bayangan mereka berdua. Serasi, pikirnya.

"Mumpung kita lagi bahas masa lalu, aku sekalian mau tanya." Ratna menarik napas panjang. "Pesan teror ke HP-ku sudah berhenti. Waktu kita cek apartemenku, di sana juga aman-aman aja. Tinggal teror berupa foto kita berdua yang masuk ke kotak surat Doni." Ratna menelengkan kepala. "Ada kabar lanjutan? Kamu ngotot mau urusin berdua sama Doni tanpa melibatkan aku. Aku sampai lupa buat follow up."

Cakra mengetukkan genggaman tangan mereka ke lututnya secara perlahan. Dia menghindar dari tatapan menyelidik Ratna.

"Buntu," jawabnya singkat.

"Kamu benaran jadi ke rumah Haiyan?"

Cakra mendesah. Tak lama kemudian dia mengangguk. "Haiyan menolak jadi saksi. Dia lagi repot memperbaiki rumah tangganya. Sssttt! Jangan tanya kenapa. Kode etik. Aku pernah hampir jadi kuasa hukum istri Haiyan."

Ratna menaikkan alis. "Oh, begitu."

"Ya, begitu." Cakra membalas tatapan bingung Ratna dengan senyum masam. "Kesimpulannya, kita buta arah. Kasus pesan teror, pembobolan, aku yang jadi ikutan kena stalking, semuanya menemui jalan buntu dan aku nggak tahu harus memulai dari mana. Tanpa garis penghubung, ketiganya bisa diduga sebagai kasus yang terpisah, pelakunya beda-beda."

"Padahal Dewa punya motif yang jelas."

"Motif saja nggak cukup." Cakra mengakhiri percakapan serius itu dengan mengecup punggung tangan Ratna. "Kita random banget. Dari ngomongin perbaikan spion mobil, lamaran, sampai bahas kasus."

Ratna tertawa. Mungkin ini salah satu alasan Ratna menyukai Cakra. Bersamanya, dunia Ratna jadi tidak sepi lagi. Apa pun bisa dijadikan pembahasan.

"Ayo, tidur! Malam ini aku tidur di kamarmu, ya," kata Cakra.

"Tumben izin. Biasanya bebas keluar masuk dan menyusup tiba-tiba," balas Ratna meledek. "Lagian, Cak. Aku masih red day."

"Aku nggak cari itu. Aku memang mau tidur biasa aja sama kamu malam ini, biar besok pagi bisa lihatin wajah kamu sebelum harus bangun bikin sarapan."

Ratna bergumam panjang. "Dilihat-lihat, kita sudah beberapa minggu ini simulasi sebagai pasangan suami istri. Tapi, kamu selalu bisa bangun pagi untuk pindah kamar supaya nggak ketahuan Raga."

Cakra menarik kedua tangan Ratna supaya bangkit dari sofa. "Aku nggak mau kasih contoh jelek ke Raga."

"Sadar diri, nih, ceritanya?"

Cakra mendesah. "Iya, aku berengsek."

Ratna tertawa renyah mendengarnya. Sebenarnya Ratna turut andil dalam peran menjadikan Cakra berengsek. Kalau dia tidak mengamini keinginan Cakra dulu, pasti hubungan mereka tidak akan berkembang sepesat ini.

Ratna harus mengakui. Kebolehan Cakra di atas ranjang patut diacungi jempol. Ratna bersyukur sampai akhir sisa hidupnya nanti dia akan mengarungi suasana ranjang yang panas hanya bersama Cakra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top