32 | Kebahagiaan di antara Kesialan
Cakra terlalu bersemangat mengejar orang yang putranya tunjuk. Begitu sudah tertangkap, Cakra melakukan interogasi. Si orang asing mengelak. Ketika orang itu menunjukkan gelagat akan kembali kabur, dari arah belakang Ratna memberi hadiah berupa dorongan tenaga dalam.
Si tersangka terjerembap. Cakra terkejut, Raga tidak kalah terkejut. Keduanya lupa bahwa Ratna andal menggunakan teknik bela diri karate.
Untung saja Cakra termasuk orang yang cepat membaca situasi. Dia segera menolong korban kebengisan Ratna untuk duduk di tepian trotoar. Sambil berjaga-jaga, takut Ratna kembali main tangan, Cakra menyerahkan tugas menjaga Raga kepada kekasihnya itu. Cakra menyadari bahwa Ratna dalam mode induk macan memang tidak bisa diajak main-main.
"Kalau merasa nggak salah, kenapa kamu mau kabur?" Cakra kembali menanyai tersangka yang tak kunjung menurunkan masker dari area mulutnya.
"Karena saya tiba-tiba ditunjuk sama adik itu dan dikejar sama Bapak!" kilahnya tak terima. Pupil pria itu bergetar melihat Ratna mulai melemaskan otot-otot jemari tangan. Seketika nyali si tersangka menciut, suaranya pun memelan. "Saya refleks, Pak. Tiba-tiba takut aja, kayak lagi dikejar anjing. Saya takut anjing."
"Anjing itu lucu, Om!" Raga menyeletuk sembarangan. "Ayah nggak kasih izin aku pegang-pegang doggo. Tapi, mereka lucu."
"Rodok gendheng! Asu ki–" Ucapannya terputus di tengah melihat tatapan horor Ratna di balik punggung Raga. Si tersangka gelagapan. Dia mengabaikan celotehan Raga dan memilih menghadap Cakra. "Sumpah, Pak! Saya nggak tahu salah saya apa."
Cakra menoleh pada putranya. "Raga, benar orang ini teman Tante Ratna kayak yang kamu bilang tadi?"
"Bajunya sama." Raga menunjuk kepala si pria. "Rambutnya juga panjang." Raga menarik tangannya ke depan dada. Raut wajahnya terlihat tidak yakin. "Tapi, Yah, teman Tante Ratna nggak bisa lari. Kakinya sakit."
Ratna keheranan karena tiba-tiba saja namanya tercatut dalam hal yang tidak dia mengerti. Ratna mengirim sinyal pada Cakra untuk meminta penjelasan. Namun, kekasihnya itu justru mengucapkan kata nanti tanpa bersuara.
"Raga tahu muka orangnya gimana?" tanya Cakra lembut.
"Aku lihat, ingat dikit-dikit. Habis ... si om cuma sebentar buka maskernya."
"Buka maskermu!" titah Ratna tegas. Gerakan mata dan otot-otot wajah Ratna menyiratkan supaya si tersangka menuruti perintahnya.
"Saya jerawatan, Pak." Si pria asing merengek pada Cakra. Di pikirannya, Ratna terlalu menyeramkan. Lebih baik dia mencari perlindungan pada Cakra.
"Buka sebentar aja!" desak Ratna, suaranya mulai meninggi. "Jerawat kamu nggak bakal kabur, kok!"
Perkataan Ratna membuat Cakra tergelitik. Dari mana Ratna mencomot lelucon sejenis itu? Hebatnya, Ratna bisa mempertahankan raut muka, tak tertawa sedikit pun. Cakra pernah melihat Ratna bersikap tegas, tetapi tidak dengan ekspresi kesal siap mengamuk seperti yang Ratna tunjukkan sekarang.
"Buka," kata Cakra. Dia setuju dengan Ratna, meski cara berbicaranya tidak segalak cara bicara kekasihnya. "Supaya nggak ada kesalahpahaman lagi."
Setelah melalui perlawanan tanpa arti, pria itu menurut. Cakra menyuruh Raga mengingat-ingat. Sayangnya, jawaban Raga berupa gelengan kepala. Raga mencebikkan bibir. Dia kecewa karena gagal mengenali orang di depannya.
"Ratna." Kali ini Cakra menatap Ratna. "Kamu kenal sama dia? Dia benaran teman kamu?"
"Saya temanan sama ibu itu? Kenal saja nggak!"
Cakra memperhatikan bagaimana si tersangka bergidik ngeri seolah-olah tidak ingin meski itu sekadar berkenalan dengan Ratna. Setelah menyelisik lebih jauh, Cakra menarik kesimpulan final. Pria itu terlihat jujur. Dia tidak mengenal Ratna.
"Bukan temanku, Cak," kata Ratna pada Cakra.
Interogasi singkat pun disudahi. Sebagai perwakilan rombongan, Cakra meminta maaf pada si tersangka. Cakra tidak ingin berlama-lama berada di sana. Setelah mengambil pesanan makanan, yang pada akhirnya dibungkus, mereka bertiga pulang ke rumah.
***
Ratna menuruni tangga dan mendapati Cakra tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Melalui kerlingan mata, Cakra menyuruh Ratna mendekat. Pria itu menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya sebagai isyarat supaya Ratna duduk di sana. Dari hasil mencuri dengar, Ratna pun tahu bahwa Cakra tengah mengatur janji dengan bengkel mobil.
"Aku perlu bayar berapa?" todong Ratna begitu percakapan di telepon rampung. "Mobil kamu rusak karena aku. Biar aku bayar biaya perbaikannya."
Kedua alis Cakra menukik tajam, tetapi kembali mendatar sedetik kemudian. Lengannya nangkring di bahu Ratna dan menarik si wanita supaya lebih mendekat. Cakra mencium kepalanya lama, sekaligus menghirup aroma sabun mandi yang samar-samar menguar.
"Aku bersyukur kamu nggak kenapa-kenapa."
Ratna melenguh. "Cakra ...." Dia tahu, permintaannya ditolak.
"Memang kamu yang merencanakan kejadian hari ini?" Cakra justru melempar pertanyaan yang bermaksud supaya Ratna refleksi diri. "Kamu yang mukul sampai spion mobilku patah begitu? Bukan, kan? Nggak usah bayar apa-apa. Ini murni kecelakaan."
Ketenangan dan kesabaran Cakra membuat Ratna jenuh. "Tapi, aku yang–"
Cakra memotong ucapan Ratna dengan cara yang manis. Kelopak mata Ratna melebar ketika kelembapan bibir Cakra terasa di bibirnya sendiri. Meskipun ini bukan ciuman pertama mereka, efek kejutnya tetap saja terasa.
Ratna kira Cakra akan membuat bibirnya jontor, seperti biasa. Nyatanya, Cakra hanya menanamkan kecupan kecil berulang kali, sambil sesekali terkekeh sebab Ratna masih terpaku.
"Kesalahan kamu cuma satu." Cakra bicara lirih tepat di depan wajah kekasihnya. "Kekerasan." Satu ciuman ringan hinggap di ujung hidung Ratna sebelum Cakra kembali menarik tubuh. "Aku khawatir kamu benar-benar kelepasan ngamuk di depan umum. Salah-salah, kamu kena pasal penganiayaan."
Setelah mengingat-ingat, rona di wajah Ratna perlahan hadir. Dia menyadari tubuhnya bergerak sesuai impuls. Akibat terlalu emosi, Ratna tidak berpikir panjang. Kini dia malu sendiri karena telah menunjukkan sisi barbar di depan Cakra.
"Jangan diingat!" seru Ratna sambil meraih bantal sofa dan menyembunyikan wajah di baliknya. "Aku kelewat emosi tahu!"
Cakra terkekeh. Gelaknya saja sangat manis dan candu. "Emosi banget?"
"Iya!" Sepasang mata cantik menyembul malu-malu, mengintip reaksi si pria. "Habis ... aku kira dia benaran pelakunya. Dia juga ngaku-ngaku jadi temanku."
"Itu, kan, orang yang berbeda."
Cakra meraih pergelangan tangan Ratna begitu lembut hingga posisi bantalnya makin turun. Senyum dan tatapan Cakra kian teduh. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling pandang. Cakra menyampirkan sejumput rambut ke balik telinga Ratna, kemudian jemarinya mampir mengelus pipi merah muda Ratna yang hangat.
"Sejujurnya, aku lebih merasa kalut ketimbang marah," ungkap Cakra. "Seharusnya aku nggak ninggalin kamu ke mobil sendirian. Seharusnya aku pergi bareng kamu dan Raga ke toko. Seharusnya aku bisa jagain kalian berdua." Ucapan Cakra belum berakhir karena tarikan napasnya terdengar sangat berat. "Ratna, kalau ada sesuatu terjadi ke kamu di bawah pengawasanku, aku nggak bakal bisa maafin diri sendiri."
Ratna membisu. Otaknya seakan tak bisa diajak bekerja sama. Apakah dalam hubungan bernama pacaran ada tanggung jawab saling melindungi sebesar itu? Ratna yang selalu zonk dalam urusan asmara, seketika menjadi orang paling beloon saat bertemu Cakra.
"Tahu, nggak?"
Lagi-lagi Cakra berbicara. Karena Ratna tak kunjung menimpali, Cakra seperti sedang bermonolog. Namun, Cakra tidak mempermasalahkannya. Dia yakin Ratna pasti menyimak.
"Aku berpegang pada satu hal sampai bisa menganggap hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku."
"Meskipun mobil harus masuk bengkel?" timpal Ratna sangsi.
Cakra terkekeh dan mengangguk. "Meskipun mobil harus masuk bengkel."
"Kenapa? Ada hal spesial apa?"
Si pria tak buru-buru menjawab. Tatapan Cakra turun pada tangan kiri Ratna yang terkulai di pangkuan. Dia raih dengan hati-hati, lantas mengusap punggung tangannya lembut.
"Hari ini aku lihat Raga berdoa sungguh-sungguh." Bola mata Cakra kembali bergulir ke atas, menemukan milik Ratna yang berbinar ceria. "Dia berdoa supaya ibu kandungnya nggak cemburu sama ibu sambung. Calon ibu sambung."
Sepotong hati Ratna mulai merasa tak nyaman. Jantungnya berayun ribut hingga degupnya memekakkan telinga. Mata wanita itu berkedip cepat, bingung harus melihat ke arah mana.
"Raga senang menerima kamu sebagai ibunya. Jarang-jarang Raga cepat menerima kehadiran orang baru. Tapi, bersama kamu, dia nggak begitu." Cakra kian berani saat Ratna tidak membantah ucapannya. Pria itu memamerkan senyum tulus penuh pengharapan. Pertanyaan final pun terlontar. "Ratna, maukah kamu jadi ibu untuk anakku?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top