31 | Raga si Saksi Mata

Ratna:

Aku sama Raga izin jalan bareng. Raga ada tugas bawa ATK ke sekolah. Kami mau sekalian makan malam di luar. Aku share loc, ya.

"Tante sudah izin ke Ayah?"

Ratna mengangguk dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Tangan Ratna yang terulur langsung disambut Raga untuk bergandengan. "Raga punya daftar barang-barang yang mau dibeli?"

"Ada," balas Raga sambil mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari saku celana.

"Dijaga baik-baik, jangan sampai hilang. Raga juga nggak boleh jauh-jauh dari Tante, oke?"

"Oke!"

Sebelum bertemu dengan Raga dan Lintang, Ratna sama sekali tidak pernah bertemu anak-anak secara intens. Menurut Ratna, Raga adalah anak manis yang sangat penurut. Untuk Ratna yang tidak punya pengalaman mengasuh anak, tingkah laku Raga yang tidak neko-neko lumayan memudahkannya selama menjadi baby sitter.

Misi paling merepotkan yang sejauh ini Ratna emban adalah membantu Raga mengerjakan tugas sekolah. Sesungguhnya tidak benar-benar susah. Hanya saja, jantung Ratna hampir lari dari rongga dada saat Raga menyeletuk butuh banyak sekali alat tulis untuk mata pelajaran esok hari. Garis bawahi, esok hari, tetapi dia baru mengatakannya enam jam sebelum hari berganti.

Ratna dan Raga melakukan perjalanan menggunakan taksi. Tujuan utama ialah salah satu toko alat tulis grosiran murah meriah terkenal di Surabaya. Memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi Ratna yakin semua kebutuhan Raga tersedia di toko itu. Saat tiba, untungnya, toko sedang tidak penuh sesak.

Ratna mengekori ke mana pun Raga berjalan. Jika Raga kesulitan menemukan barang, Ratna menyuruhnya untuk bertanya sendiri pada pelayan toko. Bagi Raga si bocah pintar, hal itu adalah persoalan sepele. Dalam sekejap Raga mencentang semua barang di kertas catatannya.

"Tante, aku boleh lihat-lihat barang di sana?" tanya Raga sambil menarik-narik lengan baju Ratna.

Ratna mengikuti arah pandang Raga. Sekitar lima meter jauhnya ada rak mainan. Di mata anak-anak, tempat itu bagaikan kotak harta karun berisi emas batangan, menggiurkan. Ratna langsung mengantisipasi dengan wejangan ala ibu-ibu.

"Lihat-lihat, boleh. Beli, nggak boleh." Ratna tak mudah luluh oleh tatapan memohon Raga. "Di rumah banyak mainan, Raga. Nanti uang Ayah habis untuk beliin Raga mainan, tapi nggak bisa beliin Raga peralatan sekolah."

"Kalau gitu, aku lihat-lihat aja. Janji." Raga mengangkat kelima jari tangan kanannya. "Lima menit."

"Sip. Lima menit."

Ratna tersenyum memperhatikan langkah riang Raga menuju rak mainan. Kini dia sedang mengantre di kasir. Karena pertimbangan mau menghemat waktu, selain itu dari tempatnya berdiri Ratna masih bisa melihat Raga, Ratna membiarkan Raga untuk bersantai sejenak.

"Dik, ini ada yang jatuh dari saku."

Raga mendongak. Dia tidak bisa melihat jelas wajah orang yang tengah mengajaknya bicara. Raga menatap kertas yang dia kenali sebagai catatan belanja miliknya di tangan orang berpakaian serba hitam tersebut, lantas mengambilnya.

"Makasih, Om."

Raga mundur selangkah ketika orang itu justru berjongkok di depannya. Sejak membalas sapaan, Raga tak pernah menunjukkan senyumnya.

"Lagi jalan-jalan sama ibu, ya?"

"Ayah bilang, aku nggak boleh bicara sama orang asing."

"Om bukan orang jahat, kok." Pria itu menurunkan masker sebentar, membiarkan Raga melihat wajahnya. "Om temannya Ratna."

Raga menelengkan kepala. "Ratna? Tante Ratna?" Matanya mengerjap-ngerjap bingung. "Kalau Om benaran teman Tante Ratna, harusnya Om tahu Tante Ratna itu bukan ibuku."

"Oh, belum jadi ibu ternyata."

"Belum? Memang Tante Ratna bakal jadi ibuku?"

Pria itu kebingungan mendapat cecaran pertanyaan ala Raga. Sesekali dia melirik ke arah kasir. Sebentar lagi giliran Ratna membayar. Pria itu menyadari bahwa waktunya tidak banyak.

"Kamu sebentar lagi ulang tahun." Si orang asing menyodorkan kotak kado kecil berpita dan memasukkan ke dalam saku celana Raga. "Ini kado dari Tante Ratna. Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya! Tante Ratna minta tolong Om untuk kasih ini buat kamu sebagai kejutan."

"Aku boleh bilang Tante Ratna?"

"Nggak boleh. Kadonya dibuka di hari ulang tahun kamu."

Raga tidak diberi kesempatan untuk bertanya lagi. Setelah mengusap rambut Raga, pria itu berdiri dan berjalan cepat keluar toko. Raga berniat berlari menyusulnya, tetapi Ratna keburu mencegat.

"Hayo, mau ke mana?" Ratna mengangkat tas plastik hitam di tangan kanannya. "Tante sudah selesai bayar. Sekarang kita lanjut ke tempat makan. Ayah kamu langsung nyusul ke sana."

Tangan Raga secara otomatis menyentuh kantung celana tempat kotak kado tersimpan. Anak itu mengangguk patah-patah. Dalam benaknya, Raga memiliki misi baru. Raga harus menjaga kadonya dan jangan sampai ada orang yang mengetahui keberadaan benda tersebut.

***

Akibat terkenal dengan kelezatannya, warung penyetan ini selalu ramai. Menu yang ditawarkan tidak terlalu berbeda dengan warung lainnya; ada ayam, bebek, lele, tempe, tahu, dan masih banyak lagi. Karena teringat dengan ucapan Ratna kemarin pagi yang mengatakan suka makanan pedas ketika sedang mendapat tamu bulanan, Cakra pun menyarankan tempat makan ini, tempat di mana Cakra berhasil menerobos masuk ke kehidupan Ratna akibat mengendus penguntitan yang tengah wanita itu alami. Tempat bersejarah untuk hubungan mereka, menurut Cakra.

Cakra sudah turun dari mobil, tetapi masih belum masuk warung. Dia ingin menunggu Raga dan Ratna. Ujung sepatunya mengetuk tanah tak sabaran. Cakra baru bisa menghela napas lega saat melihat sebuah taksi menepi. Ratna turun duluan, disusul Raga kemudian.

"HP kamu mati?"

"HP-ku mati?" Kedua alis Ratna terangkat. "Aku nggak cek lagi, sih. Tadi terakhir kali pesan taksi online baterainya masih isi lima belas persen." Ratna menarik Raga maju sedikit untuk berlindung di antara dirinya dan Cakra. "Dua harian ini HP aku gampang panas. Mungkin karena memori hampir penuh."

"Jangan sampai mati lagi! Aku khawatir. Lain kali bawa powerbank."

"Siap!" Ratna memulas senyum. Ratna melongok ke dalam warung, lalu menunjuk meja kosong. "Kamu sama Raga duluan aja. Aku mau taruh belanjaan di mobil. Eh, bawa mobil, kan?"

Cakra mengangguk. Dia merogoh saku dan menyerahkan kunci mobil pada Ratna. Sambil menahan Raga yang menarik sebelah tangannya untuk segera duduk, Cakra menunjuk mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tepat di seberang.

"Ayah."

Sontak Cakra menoleh pada Raga yang duduk di sebelahnya. Cakra melihat bayangan dirinya di bola mata sang anak. Raga tampak lebih diam daripada biasanya.

"Tante Ratna bakal jadi ibuku?" tanya Raga.

Cakra terbatuk-batuk. Dia menarik dugaannya tadi. Raga tidak berubah menjadi pendiam. Dia masih suka bertanya, hanya saja pertanyaannya sekarang sukses membuat Cakra terkejut.

"Tante Ratna bilang kayak gitu?" Cakra balik bertanya setelah napasnya kembali normal.

Raga menggeleng. "Temannya Tante Ratna yang bilang gitu."

"Teman Tante Ratna? Siapa?"

Raga kembali menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri. Bahunya naik turun. "Tadi ketemu di toko tulis-tulis."

"Toko alat tulis?" Cakra memperjelas.

"Iya, di toko alat tulis." Raga mengangguk semangat. "Aku disuruh simpan satu rahasia. Jadi, aku nggak boleh kasih tahu yang satu itu ke Ayah." Raga menarik lengan kemeja Cakra supaya ayahnya itu memberi telinga. "Tapi, Yah, Tante Ratna bakalan jadi ibu aku?"

"Kamu, nih, main rahasia-rahasiaan segala." Cakra mengusap puncak kepala Raga. "Kalau Tante Ratna benaran jadi ibu kamu, gimana?"

Raga mengedip lambat. Dia tidak menjawab. Anak itu justru mengatupkan kedua tangan di depan dada seperti berdoa. Setelah membuat sang ayah menunggu, Raga baru memberi jawaban.

"Aku habis bikin permohonan ke Tuhan, Yah."

Cakra menahan geli supaya tidak menjelma menjadi tawa. "Raga minta apa?"

"Minta biar ibuku yang ada di tempat jauh nggak cemburu sama ibuku yang baru. Biar Tante Ratna bisa jadi ibuku."

Cakra puas mendengar jawaban putranya. "Raga juga doain biar Tante Ratna mau nikah sama Ayah, ya."

Raga kembali menunduk dan berdoa. Cakra memberi punggung supaya Raga tak melihatnya merona. Cakra tak menyangka putranya bersungguh-sungguh begitu. Rupanya, bukan cuma Cakra, Raga pun menginginkan Ratna untuk bergabung dalam keluarga kecil mereka.

Suasana yang terasa menyenangkan rusak oleh kerusuhan di luar sana. Cakra yang saat ini menghadap ke arah pintu, tanpa sengaja melihat segerombolan orang mengejar sebuah sepeda motor yang melaju cepat. Seketika Cakra teringat pada Ratna yang belum kembali.

"Ayah mau ke mana?" Raga menarik baju Cakra kuat-kuat. Dia ketakutan dengan suara ribut di luar sana.

Cakra tertahan di kursi. "Ayah mau periksa Tante Ratna sebentar."

"Ikut."

Cakra mendesah pelan, lalu mengangkat Raga masuk ke dalam gendongannya supaya cepat. Mereka bersama-sama melongok ke luar. Betapa terkejutnya Cakra melihat salah satu spion mobilnya telah patah, menggantung mengenaskan pada kabel-kabel yang menjuntai. Ratna berdiri tak jauh dari sana, terlihat syok sekaligus marah.

"Na, ada apa?" Cakra menghampiri dengan jantung berdegup kencang. "Kamu nggak apa-apa?"

"Ada copet, Pak." Seorang pria berpakaian seragam tukang parkir yang menjawab. "Pelakunya dua orang, naik motor. Langsung kabur sebelum sempat diringkus."

"Ayah!" Raga menepuk-nepuk pundak Cakra sambil menunjuk ke suatu arah. "Itu teman Tante Ratna! Orangnya mau kabur!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top